PEMBENTUKAN
KARAKTER
DALAM
PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Oleh Jajat
Darojat
A. Pendahuluan
Pendidikan
merupakan suatu upaya internalisasi nilai-nilai manusia dan kemanusiaan. Proses
internalisasi nilai-nilai kemanusiaan tersebut dapat dikatakan sebagai
pembentukan sikap ataupun prilaku dari peserta didik. Sehingga pendidikan dapat
dijadikan sebagai wadah untuk mengaktualisasikan diri dalam pembentukan
karakter manusia kearah yang lebih baik. Berbagai kondisi yang diberikan dalam
proses pendidikan adalah upaya untuk menuju tercapainya pribadi manusia yang
baik di mata manusia lain (insan paripurna), bahkan sampai menjadi
manusia yang sempurna di hadapan sang Penciptanya (insan kamil). Oleh
karena itu, pendidikan merupakan instrumen penting dalam membentuk sikap maupun
prilaku manusia yang diinginkan.
Salah satu
studi yang mengkaji tentang pembentukan sikap ataupun karakter dari manusia
adalah
Psikologi
Pendidikan Islam. Istilah psikologi yang digunakan adalah sebagai disiplin ilmu
yang membahas mengenai nurani, jiwa dan emosi manusia. Sedangkan istilah Islam
yang terangkai dalam psikologi pendidikan Islam sendiri bukan berarti sebagai
imbuhan atau tambahan kata dalam melengkapi pengertian. Akan tetapi, kata Islam
sendiri mempertegas sebagai suatu sistem pendidikan yang berlandasakan
nilai-nilai serta metode yang Islami, yakni sebagai dasar dalam proses
pendidikannya.
Dalam
pembahasan makalah di sini, pemakalah mencoba menjelaskan peranan psikologi
pendidikan Islam dalam membentuk watak, sikap, prilaku maupun pribadi dari
peserta didik. Studi kasus yang diberikan sebagai gambaran sejauhmana peranan
pendidikan Islam dalam mempengaruhi prilaku peserta didik dalam membentuk
manusia yang membawa pada pembangunan masyarakat konstruktif-positif.
B. Latar Belakang Masalah
Pergaulan
anak sebenarnya tidak terbatas dalam lingkungan keluarga saja, akan
tetapi juga dengan lingkungan sekitar. Beberapa faktor (eksternal) yang dapat
mempengaruhi prilaku manusia adalah keluarga, masyarakat dan sekolah. Namun,
ada faktor lain yang menyebabkan anak lebih senang tinggal di luar atau
lingkungannya, karena itu tergantung bagaimana proses pendidikan yang diberikan
di dalam keluarga itu sendiri. Dalam kawasan lingkungan berbagai dimensi sub
kultur yang tergabung, mulai dari kawan-kawan sebayanya sampai pada orang-orang
yang lebih tua lagi, dari prilaku positif sampai pada prilaku negatif. Berbagai
kondisi yang ditawarkan dari pergaulan lingkungan dapat memicu arah
perkembangan anak. Pengaruh-pengaruh yang didapatkan dari interaksi sosial tersebut
akan membentuk sikap dan kepribadian anak, sehingga dibutuhkan manaj/ bimbingan
dan filtrasi dari berbagai faktor (keluarga/ pendidik).
Berbagai
masalah kenakalan, sebenarnya tidak terlepas dari penyakit masyarakat pada
umumnya, yang biasanya disebut penyakit mental. Ada berbagai penyakit
masyarakat yang umum dikenali seperti kebobrokan akhlak, sehingga di dalam
masyarakat penuh dengan pencurian, kemaksiatan, kemabukan, dan sebagainya. Ada
yang berupa penghisapan manusia atas manusia. Tetapi ada pula yang berupa
kelumpuhan mental, yaitu hilangnya kepercayaan pada diri sendiri dan krisis
kepribadian. Penyakit mental yang berupa kebobrokan akhlak pada anak-anak
itulah disebut dengan kenakalan anak.[1] Berbagai
kenakalan remaja ini bukan berarti mengasumsikan bahwa hal tersebut merupakan
tindakan yang disebut “salah asuh”. Namun, upaya pemberian situasi (proses
pendidikan) merupakan faktor yang mempengaruhi dalam memberikan proses
pembelajaran pada anak. Artinya, dalam proses pendidikan dalam arti membentuk
pribadi anak, perlu adanya dukungan dari berbagai faktor. Selain faktor
keluarga yang menentukan cara mendidik, juga faktor lingkungan dalam memberikan
situasi pembelajaran sehingga dukungan dari berbagai faktor tersebut mempunyai
hubungan kerjasama dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang positif.
Perkembangan
masyarakat semakin maju, peradaban kehidupan manusia semakin pesat, berbagai
teknologi informasi maupun komunikasi menawarkan warna kehidupan bagi para
generasai muda. Hal ini dimungkinkan perlu adanya filtrasi atau batasan
tertentu dalam hal pemberian situasi pembelajaran, agar sesuai dengan porsi dan
jatah dalam memberikan pendidikan terhadap anak. Persoalan-persoalan dalam
tingkat masyarakat pun semakin kompleks. Sebagaimana kasus-kasus sebelumnya,
seperti kekerasan dalam dunia remaja (anak sekolah) yang sering terjadi seperti
tawuran antar pelajar, kini penyakit sosialpun tumbuh kembali seperti maraknya
pemberitaan mengenai “geng motor”.
Masyarakat
Bandung dan sekitarnya dihebohkan dengan fenomena geng motor yang meresahkan.
Mereka tidak segan untuk melukai, mencederai, bahkan membunuh orang-orang yang
dianggap musuh. Fenomena geng motor ini menuai perhatian dari berbagai
kalangan, karena aksinya yang membahayakan diri sendiri, juga membahayakan
orang lain karena tindakan-tindakannya yang sadis. Banyak pengamat menyatakan
bahwa usia muda adalah masa mencari jati diri dan identitas. Usia muda
seringkali dijadikan alasan untuk bermalas-malasan, hura-hura, dan berbuat
“aksi nekat” yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Di usia muda banyak
orang tua yang terbuai oleh pemikiran ini. Banyak orang tua malah membiarkan
dan memberikan ruang ekspresi yang lebih untuk anak-anaknya. Anak-anaknya
dibiarkan bebas tanpa arah dengan alasan pencarian jati diri dan identitas.
Menurut Zakiyah Darajat, Usia muda atau remaja adalah masa peralihan dari masa
kanak-kanak menuju dewasa. Masa peralihan ini ditandai dengan adanya goncangan
kejiwaan dan kegelisahan. Ia merasa telah dewasa, dan ia merasa telah mampu
melakukan segala sesuatunya dengan baik sebagaimana orang dewasa. Ia merasa
telah mempu berpikir dengan baik dan mampu mandiri tanpa bantuan orang lain.[2]
Fenomena
geng motor yang dulu sempat terjadi di Bandung, yang mulai meredup dan
sepertinya tidak akan terjadi lagi kini telah muncul diberbagai daerah lain
seperti Tasikmalaya, Garut, Jakarta, Makasar dan berbagai daerah lainnya. Dari
fenomena ini, tidak saja menimbulkan kerugian dalam aspek materiil, namun
kerugian dalam bentuk non-materiil pun juga berdampak yakni telah menelan
korban jiwa. Berbagai pertanyaan mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam
menangani masalah kenakalan remaja tersebut, saling tuding dan juga saling
melemparkan tanggungjawab dalam pengasuhan dan pembentukan sikap maupun pribadi
anak remaja tersebut. Jika kita cermati kembali fungsi pendidikan, maka ranah
ini yang mungkin cukup strategis dalam mengelola serta menanamkan nilai-nilai
manusia dan kemanusiaan. Artinya, proses pembelajaran yang diberikan perlu
diberikan perhatian lebih sehingga menjadi lebih efektif dalam
mengimplementasikan serta menanamkan nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi).
Maka dari itu, aspek pertumbuhan (jasmani) dan aspek perkembangan (rohani)
menjadi perlu diperhatikan agar pendidikan mencapai tujuan yang pasti dan tidak
hanya dianggap sebagai sarana pemindahan ilmu (transfer of knowledge).
Dari latar
belakang masalah tersebut dapat ditarik garis besarnya, bahwa pendidikan
menjadi instrumen yang penting dalam membina, mendidik serta membimbing peserta
didik pada arah yang lebih baik. Namun, perlunya strategi serta metode yang
akan disusun dalam pelaksanaan pendidikan sudah semestinya berlandaskan pada
tujuan pembentukan manusia yang beradab dan bersusila dengan nilai-nilai Islam
sehingga pendidikan diarahkan pada proses humanisasi. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang
diajukan, yaitu;
1. Bagaimana pandangan psikologi terhadap manusia dan
pendidikan.?
2. Sejauhmana peran psikologi pendidikan Islam dalam
membentuk karakter/ pertumbuhan serta perkembangan manusia.?
C. Pembahasan
Manusia dan Pendidikan
Membahas
psikologi pendidikan Islam, tentu erat kaitannya dengan pembahasan manusia.
Karena yang menjadi obyek kajian dalam psikologi maupun pendidikan itu sendiri
adalah manusia. Sesuai dengan landasan berpikir tersebut, maka diperlukan
pengenalan lebih jauh mengenai apa, siapa dan bagaimana manusia itu. Hal lain
yang mendasari pengkajian mengenai manusia adalah, bahwa psikologi dalam
istilah lama disebut dengan ilmu jiwa. Secara etimologi kata psikologi sendiri
berasal dari bahasa Inggris yaitu psychology. Kata psychology sendiri
terdiri dari dua unsur kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani), yaitu
1). Psyche yang berarti jiwa, dan 2). Logos yang
berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi memang berarti ilmu jiwa.[3] Artinya, jelas sekali jika psikologi itu merupakan
kajian tentang manusia itu sendiri, apalagi dihubungkan dengan pendidikan.
Karena itu, pada dasarnya adalah psikologi pendidikan merupakan ilmu yang
mempelajari, meneliti, dan membahas seluruh tingkahlaku manusia yang terlibat
dalam proses pendidikan.
Sedangkan,
berbicara mengenai pendidikan sendiri adalah proses untuk memberikan manusia
berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Aspek-aspek yang
biasanya paling dipertimbangkan adalah penyadaran, pencerahan, pemberdayaan,
dan perubahan prilaku.[4] Upaya pemberian situasi
ini diharapakan akan merubah sikap, mental maupun emosi dari manusia dalam
menghadapi realitas (lingkungannya). Artinya, hal yang terkait dengan psikologi
adalah berkaitan dengan proses belajar (strategi) atau aspek pengajaran
(metode) manusia agar menjadi pribadi yang lebih baik.
Manusia
adalah makhluk yang diberikan kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk
lain, ia mempunyai kecenderungan-kecenderungan. Sebagaimana dijelaskan dalam
Q.S. Asy-Syams ayat 8;
Artnya; “Maka
diilhamkanlah kepada jiwa manusia yang baik dan yang buruk”.
Pada
dasarnya manusia sejak lahir sudah dianugerahi fitrah atau potensi untuk baik
dan jahat (taqwa dan fujur), akan tetapi anak yang baru
lahir berada dalam keadaan suci tanpa noda dan dosa.[5] Imam
al-Ghazali sendiri dengan karya yang monumentalnya “Ihya Ulumuddin” mengulas
seputar konsepsi manusia, berpendapat bahwa esensi manusia terdiri dari empat
bagian, yaitu; hati, ruh, jiwa dan akal.[6] Unsur-unsur
yang terdapat dalam diri manusia inilah yang perlu dikembangkan dan
dioptimalkan. Sehingga perlunya sarana dalam mengembangkan serta mengoptimalkan
potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia. Pengelolaan sikap, ataupun emosi
yang terkandung dalam fitrah manusia perlu dikelola sehingga dapat menjadi
manfaat bagi kemakmuran di bumi dan lingkungannya.
Manusia
dibekali Tuhan dengan segala potensi dan kekuatan positif untuk merubah corak
kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik (Q.S. 13:11), serta ditundukan dan
dimudahkan kepadanya alam raya untuk dikelola dan dimanfaatkan (Q.S. 45:
12-13). Antara lain, ditetapkan ke arah yang ia tuju (Q.S. 51:56) serta
dianugerahkan kepadanya petunjuk untuk menjadi pelita dalam perjalanan itu
(Q.S. 2: 38).[7] Bekal yang dititipkan berupa
potensi adalah fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kesempurnaan
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Ia mempunyai akal pikiran, mampu
berpikir, berbuat, dan mempunyai keinginan sehingga bisa melakukan sesuatu apapun
yang dikehendaknya. Pada kawasan tertentu manusia perlu diarahkan pada tujuan
tertentu sehingga tidak menimbulkan kerusakan di dunia, dan pada kawasan inilah
manusia memerlukan proses pendidikan. namun, proses pendidikan seperti apa yang
dikehendaki sehingga sesuai dengan harapan yang diinginkan, yaitu manusia yang
baik dimata manusia lain (insan paripurna) dan Tuhannya (insan kamil).
Sebagamana
disinggung di atas, bahwa manusia mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang
berarti akan berpengaruh terhadap pola hidup maupun prilaku dalam kehidupan
sosialnya. Dalam pembentukan prilaku atau kita sebut dengan proses pendidikan
tentunya tidak terlepas dari komponen-komponen yang terdapat pada faktor
internal maupun eksternal. Tentunya faktor internal adalah dalam diri manusia
itu sendiri yang disebut dengan potensi (fitrah), akan tetapi dalam
faktor eksternal sendiri adalah keluarga, masyarakat (lingkungan), dan sekolah.
Ketiga faktor eksternal inilah yang cukup berpengaruh dalam pembentukan sikap
ataupun prilaku dalam pembentukan karakter manusia, apakah akan mengarah pada
kecenderungan fujur (buruk) ataukah pada kecenderungan taqwa (baik).
Perlu
dipahami bersama, bahwa pendidikan bukan hanya sebagai sarana akan tetapi juga
sebagai tujuan. Sebagaimana dijelaskan oleh Mochtar Buchori, bahwa masyarakat
Indonesia masih menganggap pendidikan hanya sebagai sarana, dan bukan sebagai
tujuan. Karena yang dibangun dalam pendidikan adalah berupa konstruksi mental,
yang akan dibentuk lewat pendidikan adalah jiwa-jiwa generasi bangsa.[8] Proses perubahan pada diri manusia menjadi tujuan
pendidikan dalam proses humanisasi. Maka, pendidikan dianggap sebagai sarana
untuk merubah sikap ataupun mental manusia, dalam hal inilah yang menjadi
tujuan dari pendidikan.
Peran Psikologi Pendidikan Islam
Kekerasan
dalam dunia anak atau remaja tampaknya akan selalu berulang. Hal ini
dikarenakan jika seluruh komponen dalam pendidikan seperti keluarga,
masyarakat, dan sekolah (lembaga pendidikan formal) belum menyadari hakikat
dari pendidikan. Hakikat dari pendidikan sebagai suatu proses mengenali potensi
yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia sejak lahir, proses bergaul dengan
lingkungan yang berbeda, dan proses untuk tumbuh dan berkembang. Berbagai
persoalan dalam dunia remaja seperti yang digambarkan di atas adalah salah satu
potret persoalan yang perlu dijadikan refleksi bagi dunia pendidikan.
Persoalan-persoalan kenakalan remaja seperti geng motor, tawuran antar pelajar,
dan lain sebagainya adalah bagian dari persoalan watak atau mental pada
generasi bangsa.
Namun,
bagaimanakah untuk memperkuat pertahanan sehingga membentuk suasana lingkungan
sebaik-baiknya. Lingkungan disini terutama adalah keluarga. Jadi keluarga
inilah yang harus dapat membuat rangsang-rangsang yang sebaik-baiknya.
Hendaknya keluarga atau lingkungan ini tidak membuat tekanan-tekanan yang dapat
menimbulkan ketegangan-ketegangan atau kecemasan yang pada akhirnya akan
membuat letusan dengan tindakan-tindakan yang bersifat agresif atau malah
menentang lingkungan (norma) masyarakat. Akan tetapi malah justru harus
memberikan dorongan-dorongan atau motivasi untuk tidak berbuat sesuka hati
(sikap egoisme).
Faktor
pendekatan dan metode pembelajaran yang hingga kini masih menjadi persoalan
dalam lingkungan pendidikan. Pendekatan yang tepat dan metode yang efektif
tentu akan mendukung terhadap keberhasilan pembelajaran.[9] Terkait
dengan fenomena kekerasan dalam dunia anak-remaja, memiliki hubungan erat
dengan beberapa aspek pendekatan ataupun metode dalam proses pendidikan. Salah
satu faktor yang berpengaruh dalam membentuk pribadi atau sikap dari anak
adalah metode dan pendekatan yang efektif dan sesuai dengan kebutuhan. Perlunya
metode ataupun pendekatan secara persuasif dan penuh kasih sayang, sehingga
proses pendidikan lebih menekankan aspek humanisme dalam pendekatannya.
Para ahli
pendidikan telah menyepakati pentingnya periode anak-anak dalam kehidupan
manusia. Menurut mereka, beberapa tahun pertama pada masa kanak-kanak merupakan
kesempatan yang paling tepat. Karena, dalam periode-periode tersebut
kepribadian anak mulai terbentuk dan kecenderungan-kecenerungannya semakin
tampak. Masa kanak-kanak juga sangat menentukan proses pembentukan akhlak
individu dan sosial. Hal terebut disebabkan pengaruh lingkungan sekitar
terhadap anak, dimana dirinya dapat merespon berbagai pengaruh lingkungan
dengan cepat.[10] Jika salah satu pendapat
menyebutkan bahwa anak adalah seperti “kertas kosong (teori tabularasa)” yang
perlu diarahakan dengan baik dan positif. Maka keyakinan ini menimbulkan
perspektif bahwa lingkungan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam
membentuk pribadi manusia. Sebagaimana yang dikutip oleh pendapat Thomas Hobbe,
menjelaskan bahwa;
“Alam telah
membentuk dan membuat keadaan manusia benar-benar sama baik dari sisi fisik
maupun pikiran, oleh sebab itu ada manusia yang kuat secara fisik akan tetapi
lemah secara pikiran, dan begitupun sebaliknya.”[11]
Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka secara umum dapat dikategorikan menjadi beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi proses belajar, yaitu;
a. Faktor internal (faktor dari dalam anak), yakni
keadaan/ kondisi jasmani dan rohani anak.
b. Faktor eksternal (faktor dari luar anak), yakni
kondisi lingkungan di sekitar anak.
c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning),
yakni jenis upaya belajar anak yang meliputi strategi dan metode yang digunakan
anak untuk melakukan kegiatan pembelajaran/ materi-materi pembelajaran.[12]
Hal lain
yang perlu diperhatikan adalah program pendidikan yang diberikan kepada anak,
agar sesuai dengan harapan dan tujuan pendidikan Islam maka beberapa yang
dimaksud dalam perogram pendidikan itu adalah sebagai berikut;
a. Melatih anak melaksanakan berbagai kewajibannya dengan
penuh ketaatan, seperti dalam hal peribadatan.
b. Memberikan pemahaman akan pentingnya menghormati kedua
orang tua, atau orang yang lebih tua darinya.
c. Memberikan pemahaman mengenai perkara yang boleh
dilakukan dan tidak boleh/ halal-haram. Dalam hal ini, mengenalkan nilai-nilai
normatif/ ajaran kepada anak.
d. Tidak berlebih-lebihan dalam memanjakan anak dan dalam
memenuhi keinginan-keinginannya. Perlu diketahui bahwa anak pada usia masih
muda membutuhkan bimbingan dan pengarahan yang jauh dari kekerasan.
e. Menjelaskan tentang prilaku-prilaku yang tidak patut
untuk dilakukan seperti, berbohong, mencuri, dan perilaku jahat lain yang dapat
menjerumuskan anak kejurang kenistaan dan kesesatan.
f. Melatih anak untuk menghormati hak-hak orang lain dan
tidak bersikap lancang terhadap orang lain.
g. Membiasakan untuk tabah dan bersikap sabar dalam
menghadapi segala hal kesulitan.
h. Melatih anak dengan berbagai sikap yang dapat
menumbuhkan prilaku-prilaku positif di dalam dirinya. Sehingga mampu mewujudkan
ketenangan hati dalam dirinya sperti keberanian, bukan sikap sombong atau
pengecut.
i. Membiasakan anak untuk menjalin berbagai hubungan
persaudaraan yang penuh kasih sayang dan dilandaskan pada keimanan kepada Allah
Swt.[13]
Aspek
metode dan pendekatan yang ditawarkan dalam pendidikan Islam sebenarnya cukup
efektif dalam membentuk pribadi manusia yang sempuran (Insan kamil dan paripurna).
Dengan metode dan pendekatan yang dipakai dalam proses pendidikan kejiwaan yang
benar, akan menghindarkan dari berbagai gejolak emosi yang membayakan anak
maupun lingkungannya (dehumanisasi). Dimana gejolak tersebut akan
mengakibatkan permusuhan dan kebencian diantara anggota-anggota masyarakat.
D. Penutup
Persoalan
kenakalan remaja seperti kasus geng motor dan tawuran antar pelajar bahkan
sampai kalangan mahasiswa, merupakan persoalan yang selalu menjadi sorotan
utama di negeri ini. Bagaimana tidak, calon penerus bangsa yang sudah
seharusnya menjadi penopang bagi keberlangsungan peradaban bangsa justru
menambah deretan persoalan sosial masyarakat. Berbagai penyakit remaja sudah
seharusnya memiliki perhatian khusus dalam membentuk karakter bangsa yang
beradab dan bersusila. Oleh karena itu, dibutuhkan instrumen penting dalam
membentuk karakter bangsa yang beradab dan bersusila yang sesuai dengan
falsafah Pancasila. Salah satu instrumen yang dapat menginternalisasikan
nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila tersebut adalah
pendidikan.
Pendidikan
sebagai wahana mendidik (tarbiyah), membimbing (ta’lim), dan
membina (ta’dib) merupakan proses pembentukan manusia sehingga menjadi
lebih baik dan siap menghadapi segala kondisi lingkungannya. Karena dalam diri
manusia terdapat potensi-potensi yang harus dikembangkan serta dioptimalkan,
maka secara umum unsur yang perlu disentuh dalam psikologi pendidikan
Islam adalah sebagai berikut;
1. Perkembangan dalam aspek ruhaniah
2. Pertumbuhan dalam aspek jasmaniah
Dari kedua
unsur tersebut adalah terdiri dari jiwa, ruh, akal, dan hati, yang perlu
diperhatikan dalam proses pendidikan. Sehingga proses pendidikan setidaknya
tujuan umumnya adalah membentuk manusia yang sempurna dimata manusia lain (insan
paripurna) dan manusia sempurna dimata Allah Swt (insan kamil).
Maka, peran psikologi pendidikan Islam sangat berpengaruh terhadap pembentukan
karakater manusia baik dalam segi sikap, pribadi, maupun prilaku atau tindakan
bagi para penerus bangsa dalam kehidupan sosial-masyarakatnya.
Kesempurnaan
hanya milik Allah Swt, maka kekurangan hanya dimiliki oleh makluk-Nya. Walaupun
masih jauh dari kata sempurna, namun pemakalah sendiri mengharapkan kritikan
serta saran yang membangun dari pembaca. Sehinggga pemakalah dapat terus
memperbaiki tulisan serta pembahasan dalam makalah.
Daftar
Pustaka
· Juwariyah.
2010. Hadis Tarbawi. Yogyakarta: Teras.
· Musthafa,
Asy-Syaikh Fuhaim. 2004. Manhaj Pendidikan Anak Muslim, Penerj.
Abdillah Obid dan Yessi HM. Basyaruddin dari buku Manhajuth-Thiflil Muslim.
Jakarta: Mustaqim.
· Mu’arif.
2008. Liberalisasi Pendidikan (menggadaikan kecerdasan kehidupan
bangsa). Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
· Partowisastro,
Koestoer. 1983. Dinamika Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
· Rembangy,
Musthofa. 2010. Pendidikan Transformatif (pergulatan kritis merumuskan
pendidikan di tengah pusaran arus globalisasi). Yogyakarta: Teras.
· Setiawan,
Benni. 2008. Agenda Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
· Shihab, M.
Quraish. 1999. Membumikan al-Qur’an (fungsi dan peran wahyu dalam
kehidupan masyarakat). Bandung: Mizan.
· Soyomukti,
Nurani Soyomukti. 2010. Teori-teori Pendidikan (tradisional, neo
liberal, marxis-sosialis, post modern). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
· Syah,
Muhibbin. 2005. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
· Umiarso dan
Zamroni. 2011. Pendidikan Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur) Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
· Yaqin, M.
Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural (cross-cultural undestanding
untuk demokrasi dan keadilan). Yogyakarta: Nusantara Aksara.
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan
Pendekatan Baru, Cet. XI, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 7.
[4] Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan
(tradisional, neo liberal, marxis-sosialis, post modern), Cet. I,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hal. 27.
[6] Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan
(dalam perspektif Barat dan Timur), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), hal. 70.
[7] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an
(fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat), Cet. XIX (Bandung:
Mizan, 1999), hal. 69.
[8] Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan (menggadaikan
kecerdasan kehidupan bangsa), Cet. I, (Yogyakarta: Pinus Book
Publisher, 2008), hal. 119.
[9] Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif
(pergulatan kritis merumuskan pendidikan di tengah pusaran arus globalisasi), Cet.
II, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 25.
[10] Asy-Syaikh Fuhaim Musthafa, Manhaj Pendidikan
Anak Muslim, Penerj. Abdillah Obid dan Yessi HM. Basyaruddin dari buku
Manhajuth-Thiflil Muslim. Cet. I, (Jakarta: Mustaqim, 2004), hal. 24.
[11] M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural
(cross-cultural undestanding untuk demokrasi dan keadilan), Cet. I,
(Yogyakarta: Nusantara Aksara, 2005), hal. 227.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar