Pages

Kamis, 14 Agustus 2014

PEMBENTUKAN KARAKTER
DALAM PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Oleh Jajat Darojat
A.    Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu upaya internalisasi nilai-nilai manusia dan kemanusiaan. Proses internalisasi nilai-nilai kemanusiaan tersebut dapat dikatakan sebagai pembentukan sikap ataupun prilaku dari peserta didik. Sehingga pendidikan dapat dijadikan sebagai wadah untuk mengaktualisasikan diri dalam pembentukan karakter manusia kearah yang lebih baik. Berbagai kondisi yang diberikan dalam proses pendidikan adalah upaya untuk menuju tercapainya pribadi manusia yang baik di mata manusia lain (insan paripurna), bahkan sampai menjadi manusia yang sempurna di hadapan sang Penciptanya (insan kamil). Oleh karena itu, pendidikan merupakan instrumen penting dalam membentuk sikap maupun prilaku manusia yang diinginkan.
Salah satu studi yang mengkaji tentang pembentukan sikap ataupun karakter dari manusia adalah
Psikologi Pendidikan Islam. Istilah psikologi yang digunakan adalah sebagai disiplin ilmu yang membahas mengenai nurani, jiwa dan emosi manusia. Sedangkan istilah Islam yang terangkai dalam psikologi pendidikan Islam sendiri bukan berarti sebagai imbuhan atau tambahan kata dalam melengkapi pengertian. Akan tetapi, kata Islam sendiri mempertegas sebagai suatu sistem pendidikan yang berlandasakan nilai-nilai serta metode yang Islami, yakni sebagai dasar dalam proses pendidikannya.
Dalam pembahasan makalah di sini, pemakalah mencoba menjelaskan peranan psikologi pendidikan Islam dalam membentuk watak, sikap, prilaku maupun pribadi dari peserta didik. Studi kasus yang diberikan sebagai gambaran sejauhmana peranan pendidikan Islam dalam mempengaruhi prilaku peserta didik dalam membentuk manusia yang membawa pada pembangunan masyarakat konstruktif-positif.

B.     Latar Belakang Masalah
Pergaulan anak  sebenarnya tidak terbatas dalam lingkungan keluarga saja, akan tetapi juga dengan lingkungan sekitar. Beberapa faktor (eksternal) yang dapat mempengaruhi prilaku manusia adalah keluarga, masyarakat dan sekolah. Namun, ada faktor lain yang menyebabkan anak lebih senang tinggal di luar atau lingkungannya, karena itu tergantung bagaimana proses pendidikan yang diberikan di dalam keluarga itu sendiri. Dalam kawasan lingkungan berbagai dimensi sub kultur yang tergabung, mulai dari kawan-kawan sebayanya sampai pada orang-orang yang lebih tua lagi, dari prilaku positif sampai pada prilaku negatif. Berbagai kondisi yang ditawarkan dari pergaulan lingkungan dapat memicu arah perkembangan anak. Pengaruh-pengaruh yang didapatkan dari interaksi sosial tersebut akan membentuk sikap dan kepribadian anak, sehingga dibutuhkan manaj/ bimbingan dan filtrasi dari berbagai faktor (keluarga/ pendidik).
Berbagai masalah kenakalan, sebenarnya tidak terlepas dari penyakit masyarakat pada umumnya, yang biasanya disebut penyakit mental. Ada berbagai penyakit masyarakat yang umum dikenali seperti kebobrokan akhlak, sehingga di dalam masyarakat penuh dengan pencurian, kemaksiatan, kemabukan, dan sebagainya. Ada yang berupa penghisapan manusia atas manusia. Tetapi ada pula yang berupa kelumpuhan mental, yaitu hilangnya kepercayaan pada diri sendiri dan krisis kepribadian. Penyakit mental yang berupa kebobrokan akhlak pada anak-anak itulah disebut dengan kenakalan anak.[1] Berbagai kenakalan remaja ini bukan berarti mengasumsikan bahwa hal tersebut merupakan tindakan yang disebut “salah asuh”. Namun, upaya pemberian situasi (proses pendidikan) merupakan faktor yang mempengaruhi dalam memberikan proses pembelajaran pada anak. Artinya, dalam proses pendidikan dalam arti membentuk pribadi anak, perlu adanya dukungan dari berbagai faktor. Selain faktor keluarga yang menentukan cara mendidik, juga faktor lingkungan dalam memberikan situasi pembelajaran sehingga dukungan dari berbagai faktor tersebut mempunyai hubungan kerjasama dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang positif.
Perkembangan masyarakat semakin maju, peradaban kehidupan manusia semakin pesat, berbagai teknologi informasi maupun komunikasi menawarkan warna kehidupan bagi para generasai muda. Hal ini dimungkinkan perlu adanya filtrasi atau batasan tertentu dalam hal pemberian situasi pembelajaran, agar sesuai dengan porsi dan jatah dalam memberikan pendidikan terhadap anak. Persoalan-persoalan dalam tingkat masyarakat pun semakin kompleks. Sebagaimana kasus-kasus sebelumnya, seperti kekerasan dalam dunia remaja (anak sekolah) yang sering terjadi seperti tawuran antar pelajar, kini penyakit sosialpun tumbuh kembali seperti maraknya pemberitaan mengenai “geng motor”.
Masyarakat Bandung dan sekitarnya dihebohkan dengan fenomena geng motor yang meresahkan. Mereka tidak segan untuk melukai, mencederai, bahkan membunuh orang-orang yang dianggap musuh. Fenomena geng motor ini menuai perhatian dari berbagai kalangan, karena aksinya yang membahayakan diri sendiri, juga membahayakan orang lain karena tindakan-tindakannya yang sadis. Banyak pengamat menyatakan bahwa usia muda adalah masa mencari jati diri dan identitas. Usia muda seringkali dijadikan alasan untuk bermalas-malasan, hura-hura, dan berbuat “aksi nekat” yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Di usia muda banyak orang tua yang terbuai oleh pemikiran ini. Banyak orang tua malah membiarkan dan memberikan ruang ekspresi yang lebih untuk anak-anaknya. Anak-anaknya dibiarkan bebas tanpa arah dengan alasan pencarian jati diri dan identitas. Menurut Zakiyah Darajat, Usia muda atau remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Masa peralihan ini ditandai dengan adanya goncangan kejiwaan dan kegelisahan. Ia merasa telah dewasa, dan ia merasa telah mampu melakukan segala sesuatunya dengan baik sebagaimana orang dewasa. Ia merasa telah mempu berpikir dengan baik dan mampu mandiri tanpa bantuan orang lain.[2]
Fenomena geng motor yang dulu sempat terjadi di Bandung, yang mulai meredup dan sepertinya tidak akan terjadi lagi kini telah muncul diberbagai daerah lain seperti Tasikmalaya, Garut, Jakarta, Makasar dan berbagai daerah lainnya. Dari fenomena ini, tidak saja menimbulkan kerugian dalam aspek materiil, namun kerugian dalam bentuk non-materiil pun juga berdampak yakni telah menelan korban jiwa. Berbagai pertanyaan mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam menangani masalah kenakalan remaja tersebut, saling tuding dan juga saling melemparkan tanggungjawab dalam pengasuhan dan pembentukan sikap maupun pribadi anak remaja tersebut. Jika kita cermati kembali fungsi pendidikan, maka ranah ini yang mungkin cukup strategis dalam mengelola serta menanamkan nilai-nilai manusia dan kemanusiaan. Artinya, proses pembelajaran yang diberikan perlu diberikan perhatian lebih sehingga menjadi lebih efektif dalam mengimplementasikan serta menanamkan nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi). Maka dari itu, aspek pertumbuhan (jasmani) dan aspek perkembangan (rohani) menjadi perlu diperhatikan agar pendidikan mencapai tujuan yang pasti dan tidak hanya dianggap sebagai sarana pemindahan ilmu (transfer of knowledge).
Dari latar belakang masalah tersebut dapat ditarik garis besarnya, bahwa pendidikan menjadi instrumen yang penting dalam membina, mendidik serta membimbing peserta didik pada arah yang lebih baik. Namun, perlunya strategi serta metode yang akan disusun dalam pelaksanaan pendidikan sudah semestinya berlandaskan pada tujuan pembentukan manusia yang beradab dan bersusila dengan nilai-nilai Islam sehingga pendidikan diarahkan pada proses humanisasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang diajukan, yaitu;
1.      Bagaimana pandangan psikologi terhadap manusia dan pendidikan.?
2.      Sejauhmana peran psikologi pendidikan Islam dalam membentuk karakter/ pertumbuhan serta perkembangan manusia.?
C.    Pembahasan
                 Manusia dan Pendidikan
Membahas psikologi pendidikan Islam, tentu erat kaitannya dengan pembahasan manusia. Karena yang menjadi obyek kajian dalam psikologi maupun pendidikan itu sendiri adalah manusia. Sesuai dengan landasan berpikir tersebut, maka diperlukan pengenalan lebih jauh mengenai apa, siapa dan bagaimana manusia itu. Hal lain yang mendasari pengkajian mengenai manusia adalah, bahwa psikologi dalam istilah lama disebut dengan ilmu jiwa. Secara etimologi kata psikologi sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu psychology. Kata psychology sendiri terdiri dari dua unsur kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani), yaitu 1). Psyche yang berarti jiwa, dan 2). Logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi memang berarti ilmu jiwa.[3] Artinya, jelas sekali jika psikologi itu merupakan kajian tentang manusia itu sendiri, apalagi dihubungkan dengan pendidikan. Karena itu, pada dasarnya adalah psikologi pendidikan merupakan ilmu yang mempelajari, meneliti, dan membahas seluruh tingkahlaku manusia yang terlibat dalam proses pendidikan.
Sedangkan, berbicara mengenai pendidikan sendiri adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Aspek-aspek yang biasanya paling dipertimbangkan adalah penyadaran, pencerahan, pemberdayaan, dan perubahan prilaku.[4] Upaya pemberian situasi ini diharapakan akan merubah sikap, mental maupun emosi dari manusia dalam menghadapi realitas (lingkungannya). Artinya, hal yang terkait dengan psikologi adalah berkaitan dengan proses belajar (strategi) atau aspek pengajaran (metode) manusia agar menjadi pribadi yang lebih baik.
Manusia adalah makhluk yang diberikan kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain, ia mempunyai kecenderungan-kecenderungan. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Asy-Syams ayat 8;
Artnya; “Maka diilhamkanlah kepada jiwa manusia yang baik dan yang buruk”.
Pada dasarnya manusia sejak lahir sudah dianugerahi fitrah atau potensi untuk baik dan jahat (taqwa dan fujur), akan tetapi anak yang baru lahir berada dalam keadaan suci tanpa noda dan dosa.[5] Imam al-Ghazali sendiri dengan karya yang monumentalnya “Ihya Ulumuddin” mengulas seputar konsepsi manusia, berpendapat bahwa esensi manusia terdiri dari empat bagian, yaitu; hati, ruh, jiwa dan akal.[6] Unsur-unsur yang terdapat dalam diri manusia inilah yang perlu dikembangkan dan dioptimalkan. Sehingga perlunya sarana dalam mengembangkan serta mengoptimalkan potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia. Pengelolaan sikap, ataupun emosi yang terkandung dalam fitrah manusia perlu dikelola sehingga dapat menjadi manfaat bagi kemakmuran di bumi dan lingkungannya.
Manusia dibekali Tuhan dengan segala potensi dan kekuatan positif untuk merubah corak kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik (Q.S. 13:11), serta ditundukan dan dimudahkan kepadanya alam raya untuk dikelola dan dimanfaatkan (Q.S. 45: 12-13). Antara lain, ditetapkan ke arah yang ia tuju (Q.S. 51:56) serta dianugerahkan kepadanya petunjuk untuk menjadi pelita dalam perjalanan itu (Q.S. 2: 38).[7] Bekal yang dititipkan berupa potensi adalah fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Ia mempunyai akal pikiran, mampu berpikir, berbuat, dan mempunyai keinginan sehingga bisa melakukan sesuatu apapun yang dikehendaknya. Pada kawasan tertentu manusia perlu diarahkan pada tujuan tertentu sehingga tidak menimbulkan kerusakan di dunia, dan pada kawasan inilah manusia memerlukan proses pendidikan. namun, proses pendidikan seperti apa yang dikehendaki sehingga sesuai dengan harapan yang diinginkan, yaitu manusia yang baik dimata manusia lain (insan paripurna) dan Tuhannya (insan kamil).
Sebagamana disinggung di atas, bahwa manusia mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang berarti akan berpengaruh terhadap pola hidup maupun prilaku dalam kehidupan sosialnya. Dalam pembentukan prilaku atau kita sebut dengan proses pendidikan tentunya tidak terlepas dari komponen-komponen yang terdapat pada faktor internal maupun eksternal. Tentunya faktor internal adalah dalam diri manusia itu sendiri yang disebut dengan potensi (fitrah), akan tetapi dalam faktor eksternal sendiri adalah keluarga, masyarakat (lingkungan), dan sekolah. Ketiga faktor eksternal inilah yang cukup berpengaruh dalam pembentukan sikap ataupun prilaku dalam pembentukan karakter manusia, apakah akan mengarah pada kecenderungan fujur (buruk) ataukah pada kecenderungan taqwa (baik).
Perlu dipahami bersama, bahwa pendidikan bukan hanya sebagai sarana akan tetapi juga sebagai tujuan. Sebagaimana dijelaskan oleh Mochtar Buchori, bahwa masyarakat Indonesia masih menganggap pendidikan hanya sebagai sarana, dan bukan sebagai tujuan. Karena yang dibangun dalam pendidikan adalah berupa konstruksi mental, yang akan dibentuk lewat pendidikan adalah jiwa-jiwa generasi bangsa.[8] Proses perubahan pada diri manusia menjadi tujuan pendidikan dalam proses humanisasi. Maka, pendidikan dianggap sebagai sarana untuk merubah sikap ataupun mental manusia, dalam hal inilah yang menjadi tujuan dari pendidikan.
Peran Psikologi Pendidikan Islam
Kekerasan dalam dunia anak atau remaja tampaknya akan selalu berulang. Hal ini dikarenakan jika seluruh komponen dalam pendidikan seperti keluarga, masyarakat, dan sekolah (lembaga pendidikan formal) belum menyadari hakikat dari pendidikan. Hakikat dari pendidikan sebagai suatu proses mengenali potensi yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia sejak lahir, proses bergaul dengan lingkungan yang berbeda, dan proses untuk tumbuh dan berkembang. Berbagai persoalan dalam dunia remaja seperti yang digambarkan di atas adalah salah satu potret persoalan yang perlu dijadikan refleksi bagi dunia pendidikan. Persoalan-persoalan kenakalan remaja seperti geng motor, tawuran antar pelajar, dan lain sebagainya adalah bagian dari persoalan watak atau mental pada generasi bangsa.
 Namun, bagaimanakah untuk memperkuat pertahanan sehingga membentuk suasana lingkungan sebaik-baiknya. Lingkungan disini terutama adalah keluarga. Jadi keluarga inilah yang harus dapat membuat rangsang-rangsang yang sebaik-baiknya. Hendaknya keluarga atau lingkungan ini tidak membuat tekanan-tekanan yang dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan atau kecemasan yang pada akhirnya akan membuat letusan dengan tindakan-tindakan yang bersifat agresif atau malah menentang lingkungan (norma) masyarakat. Akan tetapi malah justru harus memberikan dorongan-dorongan atau motivasi untuk tidak berbuat sesuka hati (sikap egoisme).
Faktor pendekatan dan metode pembelajaran yang hingga kini masih menjadi persoalan dalam lingkungan pendidikan. Pendekatan yang tepat dan metode yang efektif tentu akan mendukung terhadap keberhasilan pembelajaran.[9] Terkait dengan fenomena kekerasan dalam dunia anak-remaja, memiliki hubungan erat dengan beberapa aspek pendekatan ataupun metode dalam proses pendidikan. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam membentuk pribadi atau sikap dari anak adalah metode dan pendekatan yang efektif dan sesuai dengan kebutuhan. Perlunya metode ataupun pendekatan secara persuasif dan penuh kasih sayang, sehingga proses pendidikan lebih menekankan aspek humanisme dalam pendekatannya.
Para ahli pendidikan telah menyepakati pentingnya periode anak-anak dalam kehidupan manusia. Menurut mereka, beberapa tahun pertama pada masa kanak-kanak merupakan kesempatan yang paling tepat. Karena, dalam periode-periode tersebut kepribadian anak mulai terbentuk dan kecenderungan-kecenerungannya semakin tampak. Masa kanak-kanak juga sangat menentukan proses pembentukan akhlak individu dan sosial. Hal terebut disebabkan pengaruh lingkungan sekitar terhadap anak, dimana dirinya dapat merespon berbagai pengaruh lingkungan dengan cepat.[10] Jika salah satu pendapat menyebutkan bahwa anak adalah seperti “kertas kosong (teori tabularasa)” yang perlu diarahakan dengan baik dan positif. Maka keyakinan ini menimbulkan perspektif bahwa lingkungan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam membentuk pribadi manusia. Sebagaimana yang dikutip oleh pendapat Thomas Hobbe, menjelaskan bahwa;
“Alam telah membentuk dan membuat keadaan manusia benar-benar sama baik dari sisi fisik maupun pikiran, oleh sebab itu ada manusia yang kuat secara fisik akan tetapi lemah secara pikiran, dan begitupun sebaliknya.”[11]
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka secara umum dapat dikategorikan menjadi beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses belajar, yaitu;
a.       Faktor internal (faktor dari dalam anak), yakni keadaan/ kondisi jasmani dan rohani anak.
b.      Faktor eksternal (faktor dari luar anak), yakni kondisi lingkungan di sekitar anak.
c.       Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar anak yang meliputi strategi dan metode yang digunakan anak untuk melakukan kegiatan pembelajaran/ materi-materi pembelajaran.[12]
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah program pendidikan yang diberikan kepada anak, agar sesuai dengan harapan dan tujuan pendidikan Islam maka beberapa yang dimaksud dalam perogram pendidikan itu adalah sebagai berikut;
a.    Melatih anak melaksanakan berbagai kewajibannya dengan penuh ketaatan, seperti dalam hal peribadatan.
b.    Memberikan pemahaman akan pentingnya menghormati kedua orang tua, atau orang yang lebih tua darinya.
c.    Memberikan pemahaman mengenai perkara yang boleh dilakukan dan tidak boleh/ halal-haram. Dalam hal ini, mengenalkan nilai-nilai normatif/ ajaran kepada anak.
d.   Tidak berlebih-lebihan dalam memanjakan anak dan dalam memenuhi keinginan-keinginannya. Perlu diketahui bahwa anak pada usia masih muda membutuhkan bimbingan dan pengarahan yang jauh dari kekerasan.
e.    Menjelaskan tentang prilaku-prilaku yang tidak patut untuk dilakukan seperti, berbohong, mencuri, dan perilaku jahat lain yang dapat menjerumuskan anak kejurang kenistaan dan kesesatan.
f.     Melatih anak untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak bersikap lancang terhadap orang lain.
g.    Membiasakan untuk tabah dan bersikap sabar dalam menghadapi segala hal kesulitan.
h.    Melatih anak dengan berbagai sikap yang dapat menumbuhkan prilaku-prilaku positif di dalam dirinya. Sehingga mampu mewujudkan ketenangan hati dalam dirinya sperti keberanian, bukan sikap sombong atau pengecut.
i.      Membiasakan anak untuk menjalin berbagai hubungan persaudaraan yang penuh kasih sayang dan dilandaskan pada keimanan kepada Allah Swt.[13]
Aspek metode dan pendekatan yang ditawarkan dalam pendidikan Islam sebenarnya cukup efektif dalam membentuk pribadi manusia yang sempuran (Insan kamil dan paripurna). Dengan metode dan pendekatan yang dipakai dalam proses pendidikan kejiwaan yang benar, akan menghindarkan dari berbagai gejolak emosi yang membayakan anak maupun lingkungannya (dehumanisasi). Dimana gejolak tersebut akan mengakibatkan permusuhan dan kebencian diantara anggota-anggota masyarakat.

D.    Penutup
Persoalan kenakalan remaja seperti kasus geng motor dan tawuran antar pelajar bahkan sampai kalangan mahasiswa, merupakan persoalan yang selalu menjadi sorotan utama di negeri ini. Bagaimana tidak, calon penerus bangsa yang sudah seharusnya menjadi penopang bagi keberlangsungan peradaban bangsa justru menambah deretan persoalan sosial masyarakat. Berbagai penyakit remaja sudah seharusnya memiliki perhatian khusus dalam membentuk karakter bangsa yang beradab dan bersusila. Oleh karena itu, dibutuhkan instrumen penting dalam membentuk karakter bangsa yang beradab dan bersusila yang sesuai dengan falsafah Pancasila. Salah satu instrumen yang dapat menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila tersebut adalah pendidikan.
Pendidikan sebagai wahana mendidik (tarbiyah), membimbing (ta’lim), dan membina (ta’dib) merupakan proses pembentukan manusia sehingga menjadi lebih baik dan siap menghadapi segala kondisi lingkungannya. Karena dalam diri manusia terdapat potensi-potensi yang harus dikembangkan serta dioptimalkan, maka  secara umum unsur yang perlu disentuh dalam psikologi pendidikan Islam adalah sebagai berikut;
1.    Perkembangan dalam aspek ruhaniah
2.     Pertumbuhan dalam aspek jasmaniah
Dari kedua unsur tersebut adalah terdiri dari jiwa, ruh, akal, dan hati, yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan. Sehingga proses pendidikan setidaknya tujuan umumnya adalah membentuk manusia yang sempurna dimata manusia lain (insan paripurna) dan manusia sempurna dimata Allah Swt (insan kamil). Maka, peran psikologi pendidikan Islam sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakater manusia baik dalam segi sikap, pribadi, maupun prilaku atau tindakan bagi para penerus bangsa dalam kehidupan sosial-masyarakatnya.
Kesempurnaan hanya milik Allah Swt, maka kekurangan hanya dimiliki oleh makluk-Nya. Walaupun masih jauh dari kata sempurna, namun pemakalah sendiri mengharapkan kritikan serta saran yang membangun dari pembaca. Sehinggga pemakalah dapat terus memperbaiki tulisan serta pembahasan dalam makalah.

Daftar Pustaka
·   Juwariyah. 2010. Hadis Tarbawi. Yogyakarta: Teras.
·   Musthafa, Asy-Syaikh Fuhaim. 2004. Manhaj Pendidikan Anak Muslim, Penerj. Abdillah Obid dan Yessi HM. Basyaruddin dari buku Manhajuth-Thiflil Muslim. Jakarta: Mustaqim.
·   Mu’arif. 2008. Liberalisasi Pendidikan (menggadaikan kecerdasan kehidupan bangsa). Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
·     Partowisastro, Koestoer. 1983. Dinamika Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
·  Rembangy, Musthofa. 2010. Pendidikan Transformatif (pergulatan kritis merumuskan pendidikan di tengah pusaran arus globalisasi). Yogyakarta: Teras.
·   Setiawan, Benni. 2008. Agenda Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
·  Shihab, M. Quraish. 1999. Membumikan al-Qur’an (fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat). Bandung: Mizan.
·  Soyomukti, Nurani Soyomukti. 2010. Teori-teori Pendidikan (tradisional, neo liberal, marxis-sosialis, post modern). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
·  Syah, Muhibbin. 2005. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
· Umiarso dan Zamroni. 2011. Pendidikan Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur) Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
·   Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural (cross-cultural undestanding untuk demokrasi dan keadilan). Yogyakarta: Nusantara Aksara.


[1] Koestoer Partowisastro, Dinamika Psikologi Sosial, Cet. I, (Jakarta: Erlangga, 1983), hal. 81.
[2] Benni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 27.
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Cet. XI, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 7.
[4] Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan (tradisional, neo liberal, marxis-sosialis, post modern), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hal. 27.
[5] Juwariyah, Hadis Tarbawi, Cet. I, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 2.
[6] Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 70.
[7] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat), Cet. XIX (Bandung: Mizan, 1999), hal. 69.
[8] Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan (menggadaikan kecerdasan kehidupan bangsa), Cet. I, (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2008), hal. 119.
[9] Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif (pergulatan kritis merumuskan pendidikan di tengah pusaran arus globalisasi), Cet. II, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 25.
[10] Asy-Syaikh Fuhaim Musthafa, Manhaj Pendidikan Anak Muslim, Penerj. Abdillah Obid dan Yessi HM. Basyaruddin dari buku Manhajuth-Thiflil Muslim. Cet. I, (Jakarta: Mustaqim, 2004), hal. 24.
[11] M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural (cross-cultural undestanding untuk demokrasi dan keadilan), Cet. I, (Yogyakarta: Nusantara Aksara, 2005), hal. 227.
[12] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan..., hal. 132.
[13] Asy-Syaikh Fuhaim Musthafa, Manhaj Pendidikan...,hal. 26-27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar