PENDIDIKAN DALAM
AL-QUR’AN
Oleh; Jajat Darojat
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan pentunjuk manusia,
atau mungkin lebih tepatnya pedoman hidup bagi manusia yang diturunkan oleh
Allah SWT melalui perantara wahyu. Meskispun kandungan ayat al-Qur’an masih
banyak yang tersirat namun justru disinilah letak makna perintah mengenai
pendidikan, oleh karena itu masih harus terus digali maksud dari kandungan
ayat-ayat al-Qur’an. Seperti dalam hal turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang
berangsur-angsur, ini menunjukan proses tahap demi tahap dalam memahami maksud dari
kandungan ayat yang diturunkan.
Pendidikan merupakan proses dari yang
tidak tahu menjadi tahu, artinya manusia sebagai mahkluk yang memiliki akal
sehingga mampu berfikir untuk terus mencari tahu apa yang maksud oleh Allah SWT
dalam ayat-ayat al-Qur’annya. Sebab itulah manusia diturunkan ke bumi untuk
menjadi Khalifah, menjaga alam, menciptakan hubungan antara manusia
dengan manusia (hablum min al-nas) serta hubungan manusia dengan
Tuhannya (hamblum min Allah). Paling tidak menciptakan formulasi baru
dalam mengungkapkan kekuasaan Allah sehingga manusia bisa mensyukuri segala
nikmat-Nya yang diberikan kepada manusia.
Manusia tidak akan mampu untuk
berfikir tentang Tuhannya (Allah), namun manusia masih bisa berfikir akan
kekuasaan-Nya, ciptaan-Nya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu sebagai upaya
untuk menjembatani semua itu adalah melalui proses pendidikan. Maka kemudian manusia
akan tahu apa yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat yang diturunkan-Nya.
Sebagai contoh, pada saat wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad Saw adalah Q.S. al-Alaq, disini Nabi Muhammad Saw diperintahkan untuk
membaca ayat tersebut. Padahal Nabi sebelumnya tidak bisa membaca, oleh karena
itu ia dibimbing untuk belajar membaca agar tahu maksud dari ayat yang
diturunkan, dan begitupun pada ayat-ayat selanjutnya.
Hal inilah kemudian yang membuat kita
senantiasa untuk mengetahui ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an, baik
yang tersirat maupun yang tersurat. Oleh karena itu dalam pembahasan disini
akan sedikit memaparkan beberapa maksud dari ayat al-Qur’an dalam konteks
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mengenal Asal Usul Manusia
Seperti yang sudah kita ketahui
bersama, bahwa nenek moyang dari manusia itu adalah Adam dan hawa. Beberapa
penjelasan tersebut sudah banyak di singgung dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Penjelasan mengenai penciptaan manusia, tugas manusia, dan lain sebagainya
merupakan landasan awal dalam memahami asal usul manusia. Dalam penjelasan
selanjutnya, bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna dan
sebaik-baik ciptaan yang dilengkapai dengan akal fikiran. Dalam hal ini Ibnu
‘Arabi misalnya melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa, “tidak ada
makhluk Allah yang lebih bagus daripada manusia, yang memiliki daya hidup,
mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan
memutuskan”. Manusia adalah makhluk kosmos yang sangat penting, karena
dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan dalam
mengemban tugas dan fungsinya sebagai makhluk Allah di muka bumi.[1]
Seperti yang sudah dijelaskan diawal
bahwa penjelasan tentang penciptaan manusia terdapat dalam al-Qur’an. Dalam penjelasan
menurut al-Maraghi mengenai ayat yang terkandung dalam surat al-‘Alaq adalah dijelaskan
bahwa ;
“Dialah (Allah) yang menjadikan
manusia dari segumpal darah menjadi mahluk yang peling mulia, dan selanjutnya
Allah memberikan potensi (al-qudrah) untuk berasimilasi dengan segala sesuatu
yang ada di alam jagat raya yang selanjutnya bergerak dengan kekuasaan-Nya,
sehingga ia menjadi mahluk yang sempurna, dan dapat menguasai bumi dengan
segala isinya. Kekuasaan Allah itu telah diperlihatkan ketika dia memberikan
kemampuan membaca kepada Nabi Muhammad Saw, sekalipun sebelum itu ia belum pernah
membaca”.
Dengan demikian ayat ini memberikan
informasi tentang pentingnya memahami asal-usul dan proses kejadian manusia
dengan segenap potensi yang ada pada dirinya. Penjelasan tentang asal-usul dan
proses kejadian manusia ini lebih lanjut dijelaskan dalam firman Allah SWT
sebagai berikut ;
‰s)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB
7's#»n=ß™ `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR ’Îû
9‘#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜ‘Z9$# Zps)n=tæ $uZø)n=y‚sù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=y‚sù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u‘$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ
Artinya ;
“12. Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (13). Kemudian kami jadikan saripati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (14). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus
dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”. (Q.S. al-Mu’minun ; 12-14)
Proses kejadian manusia sebagaimana
dikemukakan dalam ayat-ayat tersebut telah terbukti sejalan dengan apa yang
dijelaskan berdasarkan analisis ilmu pengetahuan. Namun yang terpenting dari
makna tersebut adalah agar timbul kesadaran pada manusia, bahwa dirinya adalah
mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Kesadaran ini selanjutnya diharapkan
dapat menimbulkan sikap merasa sama dengan manusia lainnya (egaliter), rendah
hati, bertanggungjawab, beribadah dan beramal salih. Kemudian kalimat khalqan
akbar (manusia yang berbentuk lain) yang terdapat pada ayat tersebut
menunjukan bahwa disamping manusia mempunyai unsur fisik, ia juga memiliki
potensi lain. Menurut H.M. Quraish Shihab, bahwa potensi itu adalah adanya
unsur ilahiyah yang dihembuskan tuhan pada saat bayi berusia empat bulan dalam
kandungan.[2]
Penjelasan yang disampaikan oleh beberapa tokoh tersebut merupakan sebagian
dari pendapatnya mengenai manusia dalam surat al-Alaq, namun setidaknya ada
tiga kata yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk makna manusia, yaitu ; al-Basyar,
al-Insan, dan al-nas, meskipun ketiga kata tersebut menunjuk pada
makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda.[3]
Pemahaman yang komprehensif tentang
manusia ini disepakati oleh para ahli didik sebagai hal yang amat penting dalam
rangka merumuskan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan rumusan tujuan
pendidikan, materi pendidikan, dan metode pendidikan. Dengan demikian kita
dapat merumuskan tujuan pendidikan dengan ungkapan bahwa pendidikan adalah
upaya membina jasmani dan rohani manusia dengan segenap potensi yang ada pada
keduanya secara seimbang sehingga dapat dilahirkan manusia yang seutuhnya. Dan
dengan demikian juga kita dapat merumuskan materi pendidikan dengan ungkapan
bahwa materi pendidikan harus berisi materi bahan-bahan pelajaran yang dapat
menumbuhkan, mengarahkan, membina, dan mengembangkan potensi-potensi jasmani dan
rohani tersebut secara seimbang. Kemudian dalam pemahaman perumusan metode
pendidikan dengan ungkapan bahwa metode pendidikan harus bertolak pada
kecenderungan manusia.[4]
Dapat kita ketahui beberapa garis
besar yang mungkin bisa disimpulkan dari hasil pemaparan diatas mengenai
asal-usul manusia. Bahwa manusia jika dipahami secara utuh memiliki potensi
masing-masing dalam dirinya. Karena dalam al-Qur’an pun dinyatakan bahwa Allah
SWT menciptakan manusia (Q.S. al-Mu’minuun/ 23 ; 115) mempunyai suatu tujuan dan
fungsinya. Secara global tujuan dan fungsi penciptaan manusia tersebut dapat
diklasifikasikan dalam dua hal, yaitu sebagai Khalifah fil ardl dan al-Abd.[5] Hal ini pun sudah
jelas kiranya bahwa manusia pada dasarnya memiliki fitrah atau potensi untuk
menjadi baik atau jahat, akan tetapi pada saat manusia dilahirkan kebumi dengan
keadaan suci tanpa noda dan dosa. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah
berikut ;
$ygyJolù;r'sù $ydu‘qègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ
Artinya ;
“Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Q.S. Asy-Syams ; 8)[6]
Oleh karena itu agar potensi-potensi
yang ada pada diri manusia tersebut bisa diarahkan pada hal yang positif serta
berkembang secara optimal, maka Nabi pun mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu
atau melakukan proses pendidikan. Karena jelas di awal juga dijelaskan bahwa
al-Qur’an merupakan pentunjuk bagi manusia, maka dalam hal pendidikan pun
dijelaskan.
B. Aspek Pendidikan Yang
Terkandung Dalam al-Qur’an
Seperti yang sudah kita pahami di
atas, bahwa aspek pendidikan pun terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Sekurang-kurang
al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat manusia dengan ilmu,
oleh karena itu penting kiranya manusia untuk mencari dan menggali ilmu
pengetahuan dalam arti yang luas. Seperti dalam firman-Nya berikut ini ;
Æìsùötƒ.... ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_u‘yŠ 4....... .....
Artinya ;
“Niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat”. (Q.S.
al-Mujaadilah ; 11)[7]
Ilmu adalah suatu sifat yang dengan
sifat tersebut sesuatu yang dituntut bisa terungkap dengan sempurna. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa ilmu merupakan sarana untuk mengungkap,
mengatasi, menyelesaikan dan menjawab persoalan yang sedang dihadapi dalam
hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu ilmu dapat membedakan nilai
manusia di hadapan Allah SWT, seperti dalam firman-Nya ;
أَمَنْ هُوَ قَنِتٌ أَنَاءَ اْلَيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُوْ
لأَخِرَةَ وَيَرْجُوْأ رَحْمَةَ رَبِّهِ, قُلْ هَلْ يَسْتَوِى اَّلذَيْنَ
يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُو اْلأَلْبَبِ
Artinya ;
“Adakah orang yang patuh pada waktu malam dengan
sujud dan berdiri, takut dengan siksa akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya
– sama dengan orang yang durhaka – katakanlah (Muahammad) adakah sama
orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu.? (tentu tidak). Hanya orang-orang berakal
yang dapat menerima peringatan”.
Ayat tersebut menjelaskan
betapa Allah telah membedakan antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang
yang tidak berilmu, karena dengan ilmunya orang akan dapat memikirkan semesta
dengan segala ke-Mahakuasaan Pendciptanya. Ilmu juga merupakan sarana untuk
mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.[8]
Oleh karena itu ilmu dan ajaran menjadi yang paling dihajatkan oleh manusia
dalam dunia dan akhirat, karena ilmu dan ajaran dapat meluruskan aqidahnya, memperbaiki
ibadahnya kepada rabb-nya, dan prilakunya dengan rabb-nya, dengan
dirinya dan dengan manusia. Dan dalam hal ini para ulama salaf telah merangkum
semuanya itu dalam dua perkara, yaitu ilmu tauhid dan ilmu af’al (perbuatan)
hamba. Kedua jenis ilmu ini adalah semua ilmu dan pengetahuan yang berkaitan
dengan hidup manusia di alam dunia dan di alam baka.[9]
Jika ditinjau dari pendekatan lain,
maka ilmu sangat erat sekali kaitannya dengan pendidikan. Maka dari itu Secara
filosofi pendidikan pada umumnya mengacu kepada term al-tarbiyah, al-ta’dib,dan
al-ta’lim. Dari ketiga term
tersebut yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah.
Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun
kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian ini pada dasarnya
menunjukan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga
kelestarian atau eksistensinya. Kata rabb sebagaimana terdapat dalam
Q.S. al-Fatihah ayat 2 (alhamdu li Allahi rabb al-alamin) mempunyai
kandungan makna berkonotasi dengan istilah al-tarbiyah. Sebab kata rabb
(Tuhan) menjadi murabbi (pendidikan) berasal dari akar kata yang
sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah SWT adalah pendidik yang Maha Agung bagi
seluruh alam.
Uraian di atas, secara filosofi
mengisyaratkan bahwa proses pendidikan adalah bersumber pada pendidikan yang
diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam
konteks yang luas, pengertian pendidikan yang dikandung dalam al-tarbiyah terdiri
dari unsur pendekatan yaitu ;
1.
Memelihara dan menjaga fitrah menjelang dewasa (baligh).
2.
Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan.
3.
Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan.
4.
Melaksanakan pendidikan secara bertahap.
Penggunaan term al-tarbiyah untuk
menunjuk makna pendidikan Islam dapat dipahami dengan merujuk firman Allah,
berikut ;
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA—%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§‘ $yJßg÷Hxqö‘$# $yJx. ’ÎT$u‹/u‘ #ZŽÉó|¹ ÇËÍÈ
Artinya ;
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu
kecil”. (Q.S. al-Israa ; 24)[10]
Secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa al-Qur’an melihat pendidikan sebagai sarana yang amat strategis dan ampuh
dalam mengangkat harkat dan martabat manusia dari keterpurukannya sebagaimana
yang dijumpai pada abad jahiliyah. Hal ini dapat dipahami karena dengan
pendidikan seseorang akan dapat memiliki bekal untuk memasuki lapangan kerja,
merebut berbagai kesempatan dan peluang yang menjanjikan masa depan, penuh
percaya diri dan tidak mudah diperalat oleh manusia lain. Sejalan dengan itu
al-Qur’an menegaskan tentang pentingnya akan tanggungjawab intelektual dalam
melakukan berbagai kegiatan. Dalam kaitan ini, al-Qur’an selain menganjurkan
manusia belajar dalam arti seluas-luasnya hingga akhir hayat mengharuskan
seseorang agar bekerja dengan dukungan ilmu pengetahuan keahlian dan
keterampilan yang dimiliki. Pekerjaan yang dilakukan tanpa dukungan ilmu
pengetahuan, keahlian dan keterampilan dianggap tidak sah, bahkan akan
mendatangkan kehancuran. Bersamaan dengan itu, dalam Islam seorang yang berilmu
juga diwajibkan mengamalkan (mengajarkan) ilmu yang dimilikinya kepada orang.[11]
Dalam penjelasan mengenai asal-usul
manusia bahwa, manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifah-Nya di muka
bumi. Maka manusia harus bertanggungjawab dalam membangun bumi, menciptakan
keamanan, keadilan dan kedamaian. Untuk memenuhi kewajiban semua itu, tentunya
manusia harus memiliki bekal dengan mengembangkan potensi-potensi melalui
pendidikan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa asas dari pendidikan adalah
keberlangsungan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi.[12]
C. Posisi Akal dan Nafsu
Dalam Islam Serta Kedudukannya Dalam Pendidikan
Menusia sebagai pelaku dan sasaran
pendidikan memiliki alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan, dan
keburukan. Alat untuk mencapai keburukan adalah hati nurani, akal ruh, dan
sirr. Sedangkan alat yang dapat digunakan untuk mencapai keburukan adalah hawa
nafsu syahwat yang berpusat diperut dan hawa nafsu amarah yang terdapat di
dada. Dalam konteks ini pendidikan harus berupaya mengarahkan agar memiliki
keterampilan untuk menggunakan alat yang dapat membawa kepada kebaikan, yaitu
akal, dan menjauhkannya dari mempergunakan alat yang dapat membawanya pada
keburukan yaitu hawa nafsu. Kajian terhadap akal dan hawa nafsu ini menjadi
penting artinya, mengingat dampak yang dapat ditimbulkan dari kedua potensi
tersebut bagi kehidupan manusia amat besar.
Sehubungan dengan hal tersebut maka
dalam al-Qur’an akal diidentikan dengan kata lub jamaknya al-albab.
Sehingga kata ulu al-bab dapat diartikan dengan orang-orang yang
berakal. Hal ini dapat ditunjukan dalam firman Allah SWT sebagai berikut ;
žcÎ) ’Îû
È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í‘$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy ’Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$# tbrãä.õ‹tƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4’n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtƒur ’Îû
È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur $uZ/u‘ $tB
|Mø)n=yz #x‹»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß™ $oYÉ)sù z>#x‹tã Í‘$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
Artinya ;
“190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, 191. (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Al-Imran ; 190-191)
Pada ayat tersebut terlihat bahwa
orang yang berakal (ulu al-bab) adalah orang yang melakukan dua hal
yaitu tazakkur yakni mengingat Allah SWT, dan tafakkur memikirkan
(ciptaan Allah). [13]
Dengan kata lain ketika akal melakukan
fungsinya sebagai alat untuk memahami apa yang tersirat dibalik yang tersurat,
dan dari padanya ia menemukan kekuasaan tuhan, lalu ia tunduk dan patuh kepada
Allah, maka pada saat itupulah akal dinamai al-qalb. Akal dalam
pengertian itu dapat dijumpai pada pemakaiannya dalam surat al-Kahfi ayat 18
yang artinya ;
“Dan kamu mengira mereka itu bangun
padahal mereka tidur, dan kami balik-balikan ke kanan dan ke kiri, sedang
anjing mereka mengulurkan kedua tangannya kemuka pintu gua. Dan jika kamu
menyaksikan mereka tentulah kami akan berpaling dari mereka dengan melarikan
(diri) dan tentulah (hati kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka).
(Q.S. al-Kahfi ;18)
Akal yang demikian itulah yang kini
disebut dengan istilah kecerdasan emosional, yaitu suatu kemampuan
mengelola diri agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Pemahaman terhdap
potensi berpikir yang dimiliki akal sebagaimana tersebut di atas memiliki
hubungan yang amat erat dengan pendidikan. Hubungan tersebut antara lain
terlihat dalam perumusan tujuan pendidikan. Menurut Benyamin Bloom cs., dalam
bukunya Taxonomy of education obyektive membagi tujuan pendidikan dalam
tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian
pendidikan harus mempertimbangkan manusia yang merupakan sasarannya sebagai
mahluk yang memiliki akal dengan berbagai fungsinya yang variatif.[14]
Seiring dengan itu maka pendidikan juga harus diarahkan pada pengingatan
manusia agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merangsang dorongan
hawa nafsu sehingga menjerumuskan manusia pada perbuatan-perbuatan yang buruk.
Jelas sudah bahwa pendidikan Islam
sangat memperhatikan akal. Karena, akal merupakan kekuatan besar yang diberikan
Allah SWT kepada manusia. Ini menunjukan bahwa akal sendiri sebagai kekuatan
yang perlu dilatih dan dimanfaatkan agar dapat dipergunakan untuk hal-hal yang
baik. Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah ;
Ÿ¨bÎ)..... yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur ‘@ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Artinya ;
“Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S. al-Israa’ ; 36)
Dalam kaitannya tersebut, bahwa
al-Qur’an telah meletakkan konsep yang benar bagi akal, agar hal tersebut
dipergunakan untuk merenungkan dan memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah,
serta menghayati berbagai hikmah yang tersirat didalamnya, dengan penghayatan
yang mendalam dan seksama.[15] Dalam
penjelasan lebih lanjut, ketika manusia telah terbina akalnya dan telah
terkendali hawa nafsunya dengan pendidikan sebagaimana tersebut diatas, maka ia
akan menjadi manusia yang tangguh mentalnya, tahan uji dalam hidup, tidak mudah
terjerumus dan siap menghadapi ujian hidup.[16] Berdasarkan
uraian tersebut di atas terlihat jelas bahwa penjelasan mengenai akal dan hawa
nafsu dalam al-Qur’an menjadi sangat erat kaitannya dengan pendidikan.
BAB III
PENUTUP
Dari hasil pembahasan di atas mengenai
“pendidikan dalam al-Qur’an”, maka penulis dapat simpulkan beberapa pokok
pikiran dalam pembahasannya tersebut, yang itu diantaranya adalah ;
- Keberadaan al-Qur’an
sebagai sumber utama pengembangan konsep pendidikan dapat dibuktikan
dengan nyata dan akurat. Konsep pendidikan yang berdasarkan al-Qur’an
tersebut dapat dikatakan lebih unggul dibandingkan dengan konsep
pendidikan yang tidak berdasarkan al-Qur’an. Hal ini sejalan dengan sifat
ajaran Islam itu sendiri yang bersifat universal, integrated,
komprehensif, utuh dan berdaya tahan untuk jangka waktu yang tidak
terbatas.
- Berbagai aspek
yang dibicarakan dalam pembahasan makalah ini yang dijelaskan dalam al-Qur’an
seperti masalah aqidah, manusia, alam, akhirat, akal, nafsu, ilmu
pengetahuan, ternyata berkaitan dengan pendidikan. Pembicaraan dalam
berbagai bidang tersebut tidak terletak pada materi kajian bidang tersebut
saja, melainkan yang dituju adalah pendidikan. Yaitu pembinaan sikap dan
kepribadian yang mulia pada manusia. Hal ini sejalan dengan inti ajaran
al-Qur’an itu sendiri, yaitu pembinaan mental dan ahklak mulia yang
bertumpu pada hubungan dengan Allah (habl min Allah) dan hubungan
dengan manusia (habl min al-nas).
- Nilai-nilai
pendidikan yang terkandung dalam al-Qur’an mengisaratkan bahwa pendidikan
diartikan sebagai sebuah upaya perubahan pada diri manusia. Oleh karena
itu, potensi dalam arti yang positif yang dimiliki setiap manusia harus dikembangkan
kearah yang lebih baik sehingga menunjang dalam perkembangan potensi ke-taqwa-annya
terhadap Tuhan (Allah SWT) serta mengendalikan kecenderungan potensi fujur
(negatif).
- Pembahasan tersebut
merupakan bagian terkecil dari pembahasan-pembahasan mengenai pendidikan
dalam al-Qur’an, oleh karena itu masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an
yang mungkin belum tergali lebih lanjut. Namun penulis disini hanya memberikan
gambaran bahwa kandungan dalam ayat-ayat al-Qur’an yang sudah dibahas tadi
menggambarkan sebuah konsep pendidikan dalam al-Qur’an.
Daftar Pustaka ;
-
Abuddun Nata, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”, RajaGrapindo Persada,
Jakarta ; 2009.
-
Asy-Syeikh Fuhaim Musthafa, “Manhaj Pendidikan anak Muslim (Penerjemahan
Abdillah Obid dan Yessi HM. Basyaruddin)”, Mustaqiim, Mesir ; 2003.
-
Juwariyah, “Hadits Tarbawi”, Teras, Yogyakarta ; 2010.
-
Samsul Nizar, “Filsafat Pendidikan (pendekatan histories, teoritis, dan
praktis)”, Ciputat Pers, Jakarta ; 2002.
-
Syeikh Ali Abd. Halim Mahmud, “Prinsip-Prinsip Tarbiyah dalam Surat
al-Anfaal”, Islamuna Press, Jakarta
; 2006.
[1] Samsul Nizar, “Filsafat Pendidikan (pendekatan histories,
teoritis, dan praktis)”, Ciputat Pers, Jakarta ; 2002, hal. 1
[2] Abuddun Nata, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”, Rajagrapindo
Persada, Jakarta
; 2009, hal. 45.
[3] Samsul Nizar, “Filsafat Pendidikan ...,
hal. 1
[4] Abuddun Nata, “Tafsir Ayat-Ayat
Pendidikan”…., hal. 47.
[5] Samsul Nizar, “Filsafat Pendidikan...,
hal.17
[6] Juwariyah, “Hadits Tarbawi”, Teras,
Yogyakarta ; 2010, hal. 2
[7] Asy-Syeikh Fuhaim
Musthafa, “Manhaj Pendidikan anak Muslim (Penerjemahan Abdillah Obid dan
Yessi HM. Basyaruddin)”, Mustaqiim,
Mesir ; 2003, hal. 31.
[8] Juwariyah, “Hadits Tarbawi”…, hal. 139.
[9] Syeikh Ali Abd. Halim Mahmud, “Prinsip-Prinsip Tarbiyah dalam Surat al-Anfaal”, Islamuna Press, Jakarta ; 2006, hal. 8.
[10] Samsul Nizar, “Filsafat Pendidikan...,
hal. 25.
[11] Abuddun Nata, “Tafsir Ayat-Ayat
Pendidikan”…, hal. 36
[12] Asy-Syeikh Fuhaim Musthafa, “Manhaj
Pendidikan anak Muslim..., hal. 23
[14] Abuddun Nata, “Tafsir Ayat-Ayat
Pendidikan”…, hal. 137.
[15] Asy-Syeikh Fuhaim Musthafa, “Manhaj
Pendidikan anak Muslim..., hal. 30.
[16] Abuddun Nata, “Tafsir Ayat-Ayat
Pendidikan”…, hal. 149.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar