Pages

Jumat, 22 Maret 2013


PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN
Oleh; Jajat Darojat

BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan pentunjuk manusia, atau mungkin lebih tepatnya pedoman hidup bagi manusia yang diturunkan oleh Allah SWT melalui perantara wahyu. Meskispun kandungan ayat al-Qur’an masih banyak yang tersirat namun justru disinilah letak makna perintah mengenai pendidikan, oleh karena itu masih harus terus digali maksud dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Seperti dalam hal turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang berangsur-angsur, ini menunjukan proses tahap demi tahap dalam memahami maksud dari kandungan ayat yang diturunkan.
Pendidikan merupakan proses dari yang tidak tahu menjadi tahu, artinya manusia sebagai mahkluk yang memiliki akal sehingga mampu berfikir untuk terus mencari tahu apa yang maksud oleh Allah SWT dalam ayat-ayat al-Qur’annya. Sebab itulah manusia diturunkan ke bumi untuk
menjadi Khalifah, menjaga alam, menciptakan hubungan antara manusia dengan manusia (hablum min al-nas) serta hubungan manusia dengan Tuhannya (hamblum min Allah). Paling tidak menciptakan formulasi baru dalam mengungkapkan kekuasaan Allah sehingga manusia bisa mensyukuri segala nikmat-Nya yang diberikan kepada manusia.
Manusia tidak akan mampu untuk berfikir tentang Tuhannya (Allah), namun manusia masih bisa berfikir akan kekuasaan-Nya, ciptaan-Nya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu sebagai upaya untuk menjembatani semua itu adalah melalui proses pendidikan. Maka kemudian manusia akan tahu apa yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat yang diturunkan-Nya. Sebagai contoh, pada saat wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw adalah Q.S. al-Alaq, disini Nabi Muhammad Saw diperintahkan untuk membaca ayat tersebut. Padahal Nabi sebelumnya tidak bisa membaca, oleh karena itu ia dibimbing untuk belajar membaca agar tahu maksud dari ayat yang diturunkan, dan begitupun pada ayat-ayat selanjutnya.
Hal inilah kemudian yang membuat kita senantiasa untuk mengetahui ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Oleh karena itu dalam pembahasan disini akan sedikit memaparkan beberapa maksud dari ayat al-Qur’an dalam konteks pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Mengenal Asal Usul Manusia
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwa nenek moyang dari manusia itu adalah Adam dan hawa. Beberapa penjelasan tersebut sudah banyak di singgung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Penjelasan mengenai penciptaan manusia, tugas manusia, dan lain sebagainya merupakan landasan awal dalam memahami asal usul manusia. Dalam penjelasan selanjutnya, bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapai dengan akal fikiran. Dalam hal ini Ibnu ‘Arabi misalnya melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa, “tidak ada makhluk Allah yang lebih bagus daripada manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan memutuskan”. Manusia adalah makhluk kosmos yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan dalam mengemban tugas dan fungsinya sebagai makhluk Allah di muka bumi.[1]
Seperti yang sudah dijelaskan diawal bahwa penjelasan tentang penciptaan manusia terdapat dalam al-Qur’an. Dalam penjelasan menurut al-Maraghi mengenai ayat yang terkandung dalam surat al-‘Alaq adalah dijelaskan bahwa ;
“Dialah (Allah) yang menjadikan manusia dari segumpal darah menjadi mahluk yang peling mulia, dan selanjutnya Allah memberikan potensi (al-qudrah) untuk berasimilasi dengan segala sesuatu yang ada di alam jagat raya yang selanjutnya bergerak dengan kekuasaan-Nya, sehingga ia menjadi mahluk yang sempurna, dan dapat menguasai bumi dengan segala isinya. Kekuasaan Allah itu telah diperlihatkan ketika dia memberikan kemampuan membaca kepada Nabi Muhammad Saw, sekalipun sebelum itu ia belum pernah membaca”.
Dengan demikian ayat ini memberikan informasi tentang pentingnya memahami asal-usul dan proses kejadian manusia dengan segenap potensi yang ada pada dirinya. Penjelasan tentang asal-usul dan proses kejadian manusia ini lebih lanjut dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut ;
s)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ
Artinya ;
“12.  Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (13).  Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (14).  Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”. (Q.S. al-Mu’minun ; 12-14)
Proses kejadian manusia sebagaimana dikemukakan dalam ayat-ayat tersebut telah terbukti sejalan dengan apa yang dijelaskan berdasarkan analisis ilmu pengetahuan. Namun yang terpenting dari makna tersebut adalah agar timbul kesadaran pada manusia, bahwa dirinya adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Kesadaran ini selanjutnya diharapkan dapat menimbulkan sikap merasa sama dengan manusia lainnya (egaliter), rendah hati, bertanggungjawab, beribadah dan beramal salih. Kemudian kalimat khalqan akbar (manusia yang berbentuk lain) yang terdapat pada ayat tersebut menunjukan bahwa disamping manusia mempunyai unsur fisik, ia juga memiliki potensi lain. Menurut H.M. Quraish Shihab, bahwa potensi itu adalah adanya unsur ilahiyah yang dihembuskan tuhan pada saat bayi berusia empat bulan dalam kandungan.[2] Penjelasan yang disampaikan oleh beberapa tokoh tersebut merupakan sebagian dari pendapatnya mengenai manusia dalam surat al-Alaq, namun setidaknya ada tiga kata yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk makna manusia, yaitu ; al-Basyar, al-Insan, dan al-nas,  meskipun ketiga kata tersebut menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda.[3]
Pemahaman yang komprehensif tentang manusia ini disepakati oleh para ahli didik sebagai hal yang amat penting dalam rangka merumuskan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan rumusan tujuan pendidikan, materi pendidikan, dan metode pendidikan. Dengan demikian kita dapat merumuskan tujuan pendidikan dengan ungkapan bahwa pendidikan adalah upaya membina jasmani dan rohani manusia dengan segenap potensi yang ada pada keduanya secara seimbang sehingga dapat dilahirkan manusia yang seutuhnya. Dan dengan demikian juga kita dapat merumuskan materi pendidikan dengan ungkapan bahwa materi pendidikan harus berisi materi bahan-bahan pelajaran yang dapat menumbuhkan, mengarahkan, membina, dan mengembangkan potensi-potensi jasmani dan rohani tersebut secara seimbang. Kemudian dalam pemahaman perumusan metode pendidikan dengan ungkapan bahwa metode pendidikan harus bertolak pada kecenderungan manusia.[4]
Dapat kita ketahui beberapa garis besar yang mungkin bisa disimpulkan dari hasil pemaparan diatas mengenai asal-usul manusia. Bahwa manusia jika dipahami secara utuh memiliki potensi masing-masing dalam dirinya. Karena dalam al-Qur’an pun dinyatakan bahwa Allah SWT menciptakan manusia (Q.S. al-Mu’minuun/ 23 ; 115) mempunyai suatu tujuan dan fungsinya. Secara global tujuan dan fungsi penciptaan manusia tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua hal, yaitu sebagai Khalifah fil ardl dan al-Abd.[5] Hal ini pun sudah jelas kiranya bahwa manusia pada dasarnya memiliki fitrah atau potensi untuk menjadi baik atau jahat, akan tetapi pada saat manusia dilahirkan kebumi dengan keadaan suci tanpa noda dan dosa. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah berikut ;
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ



Artinya ;
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Q.S. Asy-Syams ; 8)[6]
Oleh karena itu agar potensi-potensi yang ada pada diri manusia tersebut bisa diarahkan pada hal yang positif serta berkembang secara optimal, maka Nabi pun mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu atau melakukan proses pendidikan. Karena jelas di awal juga dijelaskan bahwa al-Qur’an merupakan pentunjuk bagi manusia, maka dalam hal pendidikan pun dijelaskan.
B.     Aspek Pendidikan Yang Terkandung Dalam al-Qur’an
Seperti yang sudah kita pahami di atas, bahwa aspek pendidikan pun terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Sekurang-kurang al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat manusia dengan ilmu, oleh karena itu penting kiranya manusia untuk mencari dan menggali ilmu pengetahuan dalam arti yang luas. Seperti dalam firman-Nya berikut ini ;
Æìsùötƒ.... ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4....... .....
Artinya ;
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (Q.S. al-Mujaadilah ; 11)[7]
Ilmu adalah suatu sifat yang dengan sifat tersebut sesuatu yang dituntut bisa terungkap dengan sempurna. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu merupakan sarana untuk mengungkap, mengatasi, menyelesaikan dan menjawab persoalan yang sedang dihadapi dalam hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu ilmu dapat membedakan nilai manusia di hadapan Allah SWT, seperti dalam firman-Nya ;

أَمَنْ هُوَ قَنِتٌ أَنَاءَ اْلَيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُوْ لأَخِرَةَ وَيَرْجُوْأ رَحْمَةَ رَبِّهِ, قُلْ هَلْ يَسْتَوِى اَّلذَيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُو اْلأَلْبَبِ
Artinya ;
“Adakah orang yang patuh pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, takut dengan siksa akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya – sama dengan orang yang durhaka – katakanlah (Muahammad) adakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu.? (tentu tidak). Hanya orang-orang berakal yang dapat menerima peringatan”.
Ayat tersebut menjelaskan betapa Allah telah membedakan antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu, karena dengan ilmunya orang akan dapat memikirkan semesta dengan segala ke-Mahakuasaan Pendciptanya. Ilmu juga merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.[8] Oleh karena itu ilmu dan ajaran menjadi yang paling dihajatkan oleh manusia dalam dunia dan akhirat, karena ilmu dan ajaran dapat meluruskan aqidahnya, memperbaiki ibadahnya kepada rabb-nya, dan prilakunya dengan rabb-nya, dengan dirinya dan dengan manusia. Dan dalam hal ini para ulama salaf telah merangkum semuanya itu dalam dua perkara, yaitu ilmu tauhid dan ilmu af’al (perbuatan) hamba. Kedua jenis ilmu ini adalah semua ilmu dan pengetahuan yang berkaitan dengan hidup manusia di alam dunia dan di alam baka.[9]
Jika ditinjau dari pendekatan lain, maka ilmu sangat erat sekali kaitannya dengan pendidikan. Maka dari itu Secara filosofi pendidikan pada umumnya mengacu kepada term al-tarbiyah, al-ta’dib,dan  al-ta’lim. Dari ketiga term tersebut yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah. Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian ini pada dasarnya menunjukan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Kata rabb sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-Fatihah ayat 2 (alhamdu li Allahi rabb al-alamin) mempunyai kandungan makna berkonotasi dengan istilah al-tarbiyah. Sebab kata rabb (Tuhan) menjadi murabbi (pendidikan) berasal dari akar kata yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah SWT adalah pendidik yang Maha Agung bagi seluruh alam.
Uraian di atas, secara filosofi mengisyaratkan bahwa proses pendidikan adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan yang dikandung dalam al-tarbiyah terdiri dari unsur pendekatan yaitu ;
1.      Memelihara dan menjaga fitrah menjelang dewasa (baligh).
2.      Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan.
3.      Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan.
4.      Melaksanakan pendidikan secara bertahap.
Penggunaan term al-tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan Islam dapat dipahami dengan merujuk firman Allah, berikut ;
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u­/u #ZŽÉó|¹ ÇËÍÈ
Artinya ;
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”. (Q.S. al-Israa ; 24)[10]
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an melihat pendidikan sebagai sarana yang amat strategis dan ampuh dalam mengangkat harkat dan martabat manusia dari keterpurukannya sebagaimana yang dijumpai pada abad jahiliyah. Hal ini dapat dipahami karena dengan pendidikan seseorang akan dapat memiliki bekal untuk memasuki lapangan kerja, merebut berbagai kesempatan dan peluang yang menjanjikan masa depan, penuh percaya diri dan tidak mudah diperalat oleh manusia lain. Sejalan dengan itu al-Qur’an menegaskan tentang pentingnya akan tanggungjawab intelektual dalam melakukan berbagai kegiatan. Dalam kaitan ini, al-Qur’an selain menganjurkan manusia belajar dalam arti seluas-luasnya hingga akhir hayat mengharuskan seseorang agar bekerja dengan dukungan ilmu pengetahuan keahlian dan keterampilan yang dimiliki. Pekerjaan yang dilakukan tanpa dukungan ilmu pengetahuan, keahlian dan keterampilan dianggap tidak sah, bahkan akan mendatangkan kehancuran. Bersamaan dengan itu, dalam Islam seorang yang berilmu juga diwajibkan mengamalkan (mengajarkan) ilmu yang dimilikinya kepada orang.[11]
Dalam penjelasan mengenai asal-usul manusia bahwa, manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Maka manusia harus bertanggungjawab dalam membangun bumi, menciptakan keamanan, keadilan dan kedamaian. Untuk memenuhi kewajiban semua itu, tentunya manusia harus memiliki bekal dengan mengembangkan potensi-potensi melalui pendidikan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa asas dari pendidikan adalah keberlangsungan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi.[12]
C.    Posisi Akal dan Nafsu Dalam Islam Serta Kedudukannya Dalam Pendidikan
Menusia sebagai pelaku dan sasaran pendidikan memiliki alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan, dan keburukan. Alat untuk mencapai keburukan adalah hati nurani, akal ruh, dan sirr. Sedangkan alat yang dapat digunakan untuk mencapai keburukan adalah hawa nafsu syahwat yang berpusat diperut dan hawa nafsu amarah yang terdapat di dada. Dalam konteks ini pendidikan harus berupaya mengarahkan agar memiliki keterampilan untuk menggunakan alat yang dapat membawa kepada kebaikan, yaitu akal, dan menjauhkannya dari mempergunakan alat yang dapat membawanya pada keburukan yaitu hawa nafsu. Kajian terhadap akal dan hawa nafsu ini menjadi penting artinya, mengingat dampak yang dapat ditimbulkan dari kedua potensi tersebut bagi kehidupan manusia amat besar.
Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam al-Qur’an akal diidentikan dengan kata lub jamaknya al-albab. Sehingga kata ulu al-bab dapat diartikan dengan orang-orang yang berakal. Hal ini dapat ditunjukan dalam firman Allah SWT sebagai berikut ;
žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
Artinya ;
“190.  Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, 191.  (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Al-Imran ; 190-191)
Pada ayat tersebut terlihat bahwa orang yang berakal (ulu al-bab) adalah orang yang melakukan dua hal yaitu tazakkur yakni mengingat Allah SWT, dan tafakkur memikirkan (ciptaan Allah). [13]
Dengan kata lain ketika akal melakukan fungsinya sebagai alat untuk memahami apa yang tersirat dibalik yang tersurat, dan dari padanya ia menemukan kekuasaan tuhan, lalu ia tunduk dan patuh kepada Allah, maka pada saat itupulah akal dinamai al-qalb. Akal dalam pengertian itu dapat dijumpai pada pemakaiannya dalam surat al-Kahfi ayat 18 yang artinya ;
“Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur, dan kami balik-balikan ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengulurkan kedua tangannya kemuka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kami akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka). (Q.S. al-Kahfi ;18)
Akal yang demikian itulah yang kini disebut dengan istilah kecerdasan emosional, yaitu suatu kemampuan mengelola diri agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Pemahaman terhdap potensi berpikir yang dimiliki akal sebagaimana tersebut di atas memiliki hubungan yang amat erat dengan pendidikan. Hubungan tersebut antara lain terlihat dalam perumusan tujuan pendidikan. Menurut Benyamin Bloom cs., dalam bukunya Taxonomy of education obyektive membagi tujuan pendidikan dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian pendidikan harus mempertimbangkan manusia yang merupakan sasarannya sebagai mahluk yang memiliki akal dengan berbagai fungsinya yang variatif.[14] Seiring dengan itu maka pendidikan juga harus diarahkan pada pengingatan manusia agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merangsang dorongan hawa nafsu sehingga menjerumuskan manusia pada perbuatan-perbuatan yang buruk.
Jelas sudah bahwa pendidikan Islam sangat memperhatikan akal. Karena, akal merupakan kekuatan besar yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Ini menunjukan bahwa akal sendiri sebagai kekuatan yang perlu dilatih dan dimanfaatkan agar dapat dipergunakan untuk hal-hal yang baik. Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah ;
Ÿ¨bÎ)..... yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Artinya ;
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S. al-Israa’ ; 36)
Dalam kaitannya tersebut, bahwa al-Qur’an telah meletakkan konsep yang benar bagi akal, agar hal tersebut dipergunakan untuk merenungkan dan memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah, serta menghayati berbagai hikmah yang tersirat didalamnya, dengan penghayatan yang mendalam dan seksama.[15] Dalam penjelasan lebih lanjut, ketika manusia telah terbina akalnya dan telah terkendali hawa nafsunya dengan pendidikan sebagaimana tersebut diatas, maka ia akan menjadi manusia yang tangguh mentalnya, tahan uji dalam hidup, tidak mudah terjerumus dan siap menghadapi ujian hidup.[16] Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat jelas bahwa penjelasan mengenai akal dan hawa nafsu dalam al-Qur’an menjadi sangat erat kaitannya dengan pendidikan.
BAB III
PENUTUP
Dari hasil pembahasan di atas mengenai “pendidikan dalam al-Qur’an”, maka penulis dapat simpulkan beberapa pokok pikiran dalam pembahasannya tersebut, yang itu diantaranya adalah ;
  1. Keberadaan al-Qur’an sebagai sumber utama pengembangan konsep pendidikan dapat dibuktikan dengan nyata dan akurat. Konsep pendidikan yang berdasarkan al-Qur’an tersebut dapat dikatakan lebih unggul dibandingkan dengan konsep pendidikan yang tidak berdasarkan al-Qur’an. Hal ini sejalan dengan sifat ajaran Islam itu sendiri yang bersifat universal, integrated, komprehensif, utuh dan berdaya tahan untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
  2. Berbagai aspek yang dibicarakan dalam pembahasan makalah ini yang dijelaskan dalam al-Qur’an seperti masalah aqidah, manusia, alam, akhirat, akal, nafsu, ilmu pengetahuan, ternyata berkaitan dengan pendidikan. Pembicaraan dalam berbagai bidang tersebut tidak terletak pada materi kajian bidang tersebut saja, melainkan yang dituju adalah pendidikan. Yaitu pembinaan sikap dan kepribadian yang mulia pada manusia. Hal ini sejalan dengan inti ajaran al-Qur’an itu sendiri, yaitu pembinaan mental dan ahklak mulia yang bertumpu pada hubungan dengan Allah (habl min Allah) dan hubungan dengan manusia (habl min al-nas).
  3. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam al-Qur’an mengisaratkan bahwa pendidikan diartikan sebagai sebuah upaya perubahan pada diri manusia. Oleh karena itu, potensi dalam arti yang positif yang dimiliki setiap manusia harus dikembangkan kearah yang lebih baik sehingga menunjang dalam perkembangan potensi ke-taqwa-annya terhadap Tuhan (Allah SWT) serta mengendalikan kecenderungan potensi fujur (negatif).
  4. Pembahasan tersebut merupakan bagian terkecil dari pembahasan-pembahasan mengenai pendidikan dalam al-Qur’an, oleh karena itu masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang mungkin belum tergali lebih lanjut. Namun penulis disini hanya memberikan gambaran bahwa kandungan dalam ayat-ayat al-Qur’an yang sudah dibahas tadi menggambarkan sebuah konsep pendidikan dalam al-Qur’an.

Daftar Pustaka ;
-          Abuddun Nata, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”, RajaGrapindo Persada, Jakarta ; 2009.
-          Asy-Syeikh Fuhaim Musthafa, “Manhaj Pendidikan anak Muslim (Penerjemahan Abdillah Obid dan Yessi HM. Basyaruddin)”,  Mustaqiim, Mesir ; 2003.
-          Juwariyah, “Hadits Tarbawi”, Teras, Yogyakarta ; 2010.
-          Samsul Nizar, “Filsafat Pendidikan (pendekatan histories, teoritis, dan praktis)”, Ciputat Pers, Jakarta ; 2002.
-          Syeikh Ali Abd. Halim Mahmud, “Prinsip-Prinsip Tarbiyah dalam Surat al-Anfaal”,  Islamuna Press, Jakarta ; 2006.


[1] Samsul Nizar, “Filsafat Pendidikan (pendekatan histories, teoritis, dan praktis)”, Ciputat Pers, Jakarta ; 2002, hal. 1
[2] Abuddun Nata, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”, Rajagrapindo Persada, Jakarta ; 2009, hal. 45.
[3] Samsul Nizar, “Filsafat Pendidikan ..., hal. 1
[4] Abuddun Nata, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”…., hal. 47.
[5] Samsul Nizar, “Filsafat Pendidikan..., hal.17
[6] Juwariyah, “Hadits Tarbawi”, Teras, Yogyakarta ; 2010, hal. 2
[7] Asy-Syeikh Fuhaim Musthafa, “Manhaj Pendidikan anak Muslim (Penerjemahan Abdillah Obid dan Yessi HM. Basyaruddin)”,  Mustaqiim, Mesir ; 2003, hal. 31.
[8] Juwariyah, “Hadits Tarbawi”…, hal. 139.
[9] Syeikh Ali Abd. Halim Mahmud, “Prinsip-Prinsip Tarbiyah dalam Surat al-Anfaal”,  Islamuna Press, Jakarta ; 2006, hal. 8.
[10] Samsul Nizar, “Filsafat Pendidikan..., hal. 25.
[11] Abuddun Nata, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”…, hal. 36
[12] Asy-Syeikh Fuhaim Musthafa, “Manhaj Pendidikan anak Muslim..., hal. 23
[13] Abuddun Nata, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”…, hal. 129.
[14] Abuddun Nata, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”…, hal. 137.
[15] Asy-Syeikh Fuhaim Musthafa, “Manhaj Pendidikan anak Muslim..., hal. 30.
[16] Abuddun Nata, “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan”…, hal. 149.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar