Pages

Kamis, 14 Agustus 2014

GERAKAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI

A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Apabila mencermati kondisi pendidikan di Indonesia, sebenarnya telah mengalami pembaharuan, dan tujuan pembaharuan itu adalah untuk menjaga agar pendidikan tersebut tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat dalam menghadapi persoalan-persoalan sosialnya. Namun apakah dalam pembaharuan pendidikan tersebut pada wilayah kualitatif (mutu) ataukah pada wilayah kuntitatif, yakni hanya sebatas pemenuhan kebutuhan kerja atau persyaratan bagi pendidikan lanjut pada jenjang pendidikan berikutnya. Sampai saat ini, pendidikan masih terkungkung di dalam paradigma-paradigma yang tunduk kepada kekuasaan yang otoriter. Karena sistem pendidikan pada saat ini masih dimiliki oleh golongan masyarakat tertentu. Patut diakui bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia secara kuantitatif mengalami kemajuan, tetapi pemberdayaan masyarakat secara luas sebagai cermin dari keberhasilan itu tidak pernah terjadi.
Pendidikan merupakan faktor penting bagi kehidupan masyarakat, karena itu pendidikan menjadi salah satu faktor perubahan pola kehidupan masyarakat. Namun, jika pendidikan sudah berada pada posisi sebagai alat hegemoni penguasa yaitu sebagai cara atau metode dalam mempertahankan status quo. Maka akibatnya sistem pendidikan kemudian dijadikan salah satu instrumen untuk menciptakan safety net bagi pelestarian kekuasaan. Sedangkan visi dan misi pelestarian kekuasaan itu melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat straight jacket dan inilah penyembab kesenjangan terhadap pendidikan.[1] Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang holistic serta mampu membawa manusia pada keterbukaan dunia secara universal, sehingga tahap akhir dari proses pendidikan adalah menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya baik internal (self) maupun lingkungannya (problem solving).
Dalam realitas kehidupan, sebagai kondisi riil pendidikan dapat dilihat adanya perubahan sosial yang begitu cepat, proses transformasi budaya yang semakin deras dan dahsyat, juga perkembangan politik universal, kesenjangan ekonomi yang menganga lebar serta pergeseran nilai kemanusiaan yang fundamental, mau tidak mau mengharuskan pendidikan memfokuskan bidikannya kearah ini. Pendidikan harus senantiasa toleran dan tunduk pada perubahan normatif dan kultural yang terjadi. Karena pendidikan sesungguhnya merupakan sebuah lembaga sosial yang berfungsi sebagai pembentuk insani yang berbudaya dan melakukan proses pembudayaan nilai-nilai[2]. Kondisi pendidikan Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pendidikan nasional, karena pendidikan Islam sendiri merupakan bagian dari pendidikan nasional. Pendidikan Islam mempunyai peran dan posisi yang sangat strategis dalam pola perubahan masyarakat. Karena itu, Pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasi diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat sebagai konsekuensi logis dari perubahan.
Menurut para ahli sosiologi pendidikan, terdapat relasi resiprokal (timbal-balik) antara dunia pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat. Relasi ini bermakna bahwa apa yang berlangsung dalam dunia pendidikan merupakan gambaran dari kondisi yang sesungguhnya di dalam kehidupan masyarakat yang kompleks. Demikian juga sebaliknya, kondisi masyarakat baik dalam aspek kemajuan, peradaban dan sejenisnya, tercermin dalam kondisi dunia pendidikannya. Oleh karena itu, majunya dunia pendidikan dapat dijadikan cermin majunya masyarakat, dan dunia pendidikan yang amburadul juga dapat menjadi cermin terhadap kondisi masyarakatnya yang juga penuh persoalan.[3] Pada era reformasi ini, pendidikan nasional ditekankan untuk membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas, berdasarkan budaya Indonesia. Untuk mencapai cita-cita tersebut, pendidikan hendaknya didasarkan pada paradigma-paradigma baru yang bertujuan untuk membentuk suatu “masyarakat madani” yang demokratis. Pendidikan harus bertolak dari pengembangan manusia Indonesia yang berbudaya dan berperadaban, merdeka, bertakwa, bermoral dan berakhlak, berpengetahuan dan berketerampilan, inovatif dan kompetitif, sehingga dapat berkarya secara profesional dalam kehidupan global menuju masyarakat madani Indonesia.[4]
2.      Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dalam hal ini dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu;
a.       Bagaimana rumusan pendidikan Islam dalam khasanah masyarakat madani.?
b.      Bagaimana tujuan dan fungsi pendidikan Islam dalam membentuk masyarakat madani.?
3.      Pendekatan
Setiap pemabahasan suatu masalah tentunya memiliki suatu metode atau pendekatan dalam kajiannya, karena itu dalam pembahasan makalah kali ini penulis menggunakan pendekatan Sosio-Antropologis dan Preskriptif. Sebagai pendekatan yang menggunakan Sosiologi-Antropologi, yaitu pendekatan yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya. Hal ini tergambar dalam pemaparan penulis dalam menjelaskan interaksi manusia dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan yang disebut dengan pendekatan Preskriptif  merupakan pendekatan yang berupaya untuk mengukur tingkah laku lalu kemudian diterapkan dengan menggunakan bidang pendidikan kesusilaan. Pendekatan ini menyoroti wilayah serta tugas pendidikan sebagai sarana internalisasi nilai-nilai ajaran (normatif) Islam kepada peserta didik.
B.     Pembahasan
1.      Rumusan Pendidikan Islam Dalam Khasanah Masyarakat Madani
Dalam perspektif Islam, Civil Society lebih mengacu pada penciptaan peradaban. Kata al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan makna al-tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al-madinah yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan demikian, makna civil society diterjemahkan sebagai “masyarakat madani”, yang mengandung tiga hal, yaitu agama, peradaban dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya. Pengaturan kehidupan dan hubungan antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat majemuk di Madinah. Karena itulah, masyarakat madani terlahir dari kehidupan masyarakat yang di bina oleh Nabi Muhammad Saw di Madinah, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah”. Dalam Piagam Madinah ini setidaknya ada dua nilai dasar yang tertuang sebagai prinsip dasar atau fundamental yaitu,
a.       Prinsip kesederajatan dan keadilan.
b.      Inklusivisme atau keterbukaan.[5]
Istilah masyarakat madani sendiri disosialisasikan di Indonesia, sebagai terjemahan dari bahasa Inggris civil society. Dengan demikian, kata civil society diartikan sebagai komunitas masyarakat kota, yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Nurcholis Madjid, menyatakan konsepsi seperti ini, pada awalnya merujuk pada dunia Islam yang ditujukan oleh masyarakat kota Arab.[6] Terdapat indikasi proses pembelajaran bagi masyarakat yang berada di Madinah. Nabi Muhammad Saw, membimbing masyarakat tersebut agar saling menghormati diantara perbedaan yang ada pada masyarakat Madinah pada saat itu.
Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu pada hal-hal yang ideal. Paling tidak ideal dalam dua hal yakni mengacu pada kehidupan Rasul periode Madinah dengan pesona keberhasilan Rasul membangun dan membina masyarakat yang plural, demokratis, damai, saling menghormati, dengan landasan hukum hak dan tanggungjawab bersama.[7] Hal inilah yang menjadi tujuan pendidikan Islam, yakni membentuk masyarakat yang berkeadilan, damai, toleran, keharmonisan, serta penuh penghormatan di tengah masyarakat yang penuh tantangan. Pendidikan Islam bukan saja mentransformasikan ilmu pengetahuan, serta ajarannya saja akan tetapi pendidikan Islam juga menanamkan nilai-nilai yang tersirat dalam ajaran.
Perubahan menuju masyarakat madani sangat membutuhkan individu dan masyarakat dengan kemampuan yang tinggi, unggul, berkualitas dan profesional. Untuk menjadi pelaku aktif dalam bidang tertentu dan kualitas kegiatan tertentu serta kualitas hasil yang dikehendaki dalam masyarakat madani, sangat dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional dalam bidangnya dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap tata nilai dan sistem dalam masyarakat madani Indonesia. Peran pendidikan sangat diharapkan agar dapat mempersiapkan individu dan masyarakat yang memiliki kemampuan, inovasi dan berpartisipasi secara aktif dalam aktualisasi dan institusionalisasi masyarakat madani. Partisipasi dari setiap anggota masyarakat tersebut merupakan bagian dari persoalan pendidikan Islam, sehingga mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu hidup toleran serta menjaga keharmonisan ditengah perbedaan yang ada di masyarakat. Artinya, pendidikan Islam pada posisi ini adalah tidak hanya sebagai wadah untuk memindahkan pengetahuan atau proses transformasi ajaran, akan tetapi sebagai proses internalisasi nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam pesan ajaran. Pesan-pesan yang dimaksud adalah bagian dari cara hidup bermasyarakat, saling tolong-menolong, bantu-membantu, saling menjaga keharmonisan, serta segala bentuk pesan ajaran yang terangkum dalam ajaran amar ma’ruf nahi munkar.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa sektor pendidikan memiliki peran strategis dan fungsional dalam menghadapi tuntutan perubahan menuju masyarakat madani Indonesia. Peran sektor pendidikan sangat diharapkan untuk mampu menghasilkan; Pertama, manusia-manusia Indonesia yang bertaqwa, berpengetahuan dan berketerampilan, berjiwa demokratis, memiliki etos kerja, kompetitif dengan menghargai nilai-nilai kemanusiaan, penuh toleransi, memiliki rasa partisipasi sosial dan solidaritas sosial yang tinggi, menjunjung tinggi hukum, menegakan hukum dan peraturan yang berlaku, serta berwawasan global tetapi berpikir dalam kerangka kebutuhan lokal. Kedua, sektor pendidikan dapat membangun demokrasi pendidikan agar dapat menyiapkan peserta didik yang memiliki kebebasan, agar terbiasa berbicara, berpendapat secara bertanggungjawab, terbiasa mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain serta menumbuhkan keberanian moral yang tinggi. Artinya pendidikan diarahkan pada pembaruan kultur, norma keberadaban, partisipasi sosial, dan hukum.[8] Sikap demokratis yang ditanamkan kepada peserta didik diharapkan akan mampu membawa pada masyarakat untuk saling menghargai perbedaan lain. Namun, sikap ini juga tidak tumbuh dengan sendirinya dalam situasi masyarakat, artinya perlu ada perubahan pada struktur budaya yang ada (otoriter) di masyarakat sehingga sikap demokratis ini menjadi kegiatan kehidupan sehari-hari.
Untuk menuju masyarakat madani Indonesia paling tidak peran pendidikan Islam dapat mempersiapkan atau memproses manusia yang akan memiliki kemampuan intelektual, keterampilan dan kemahiran, kemampuan sosial, kemampuan membangun masyarakat yang beradab, memiliki kemampuan kinerja tinggi serta memiliki kemampuan spiritual Illahiyah yang tinggi. Pendidikan Islam perlu melakukan perubahan dengan mendesain ulang konsep filosofis yang jelas dan baku, visi dan misi, tujuan dan fungsi lembaga, kurikulum, materi, dan proses pendidikannya agar dapat memenuhi tuntutan perubahan dan kebutuhan masyarakat. Dalam upaya perubahan pendidikan Islam tidak lagi bersifat konsumtif dalam pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara atau “tambal sulam” konsep saja, tetapi harus merupakan suatu bentuk investasi “sumber daya manusia (human investment) yang berkualitas, dengan tujuan utama;
a.    Pendidikan Islam harus dapat membantu meningkatkan kualitas iman yang aplikatif, pengetahuan dan keterampilan untuk dapat bekerja lebih produktif.
b.    Pendidikan Islam sebagai proses pembebasan dan proses pencerdasan.
c.    Pendidikan Islam sebagai proses untuk menjunjung tinggi hak-hak anak.
d.   Pendidikan Islam sebagai proses pemberdayaan potensi manusia.
e.    Pendidikan Islam dapat menjadikan anak berwawasan integratif.
f.     Pendidikan Islam dapat menghasilkan manusia demokratik dan membangun watak persatuan
g.    Pendidikan Islam dapat menghasilkan manusia cinta perdamaian dan peduli terhadap lingkungan.[9]
2.      Tujuan Dan Fungsi Pendidikan Islam Dalam Membentuk Masyarakat Madani
Pendidikan memiliki kaitan erat dengan setiap perubahan sosial, baik berupa dinamika perkembangan individu maupun proses sosial dalam skala yang lebih luas. Secara tegas, Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Azra mengatakan bahwa pendidikan merupakan alat yang ampuh untuk melakukan perubahan. Dalam kerangka fungsional yang sedemikian signifikan, pendidikan harus diletakan dalam posisi yang tepat. Pendidikan harus diposisikan dalam kerangka pengembangan akal sehat secara kritis dan kreatif. Berbagai bentuk perubahan yang tengah terjadi dalam proses pendidikan pada awalnya merupakan sebuah bentuk perubahan paradigmatik yang berada pada wilayah konsepsi pemikiran manusia. Ide ini menemukan ruang artikulasi dalam masyarakat melalui sentuhan ide dalam komunikasi antar personal yang selanjutnya akan membentuk persepsi-persepsi baru. Setiap persepsi yang terbangun di antara personal dalam masyarakat mempunyai kekuatan konsesi dalam menentukan sistem nilai dalam masyarakat. Di sinilah nantinya muncul seperangkat nilai dan norma yang terlembagakan dalam hukum obyektif maupun tradisi yang menjadi kontrol sosial bagi arah perkembangan masyarakat secara lebih luas.[10] Dalam masyarakat yang berbudaya, kebudayaan akan terbentuk dalam kegiatan-kegiatan masyarakat yang bersifat inter-komunikasi yang inten. Karena itu, setiap kegitan masyarakat harus diarahkan pada kegiatan yang dapat membangun kebudayaan bersifat konstruktif-positif terhadap perkembangan dan perubahan masyarakat.
Untuk menghadapi kehidupan di masa mendatang, berhubungan erat dengan peran dan posisi pendidikan dalam menghadapi realitas masyarakat pada masa mendatang. Kondisi masyarakat yang selalu dinamis, seiring dengan perkembangan pola pikir kehidupan dan perkembangan budaya yang ada. Berangkat dari satu tujuan dan fungsi pendidikan nasional sebagaimana dijelaskan dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Sedangkan sebagai prinsip penyelenggaraan pendidikan salah satunya adalah pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.[11]
Sementara Ary H. Gunawan berpendapat bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi, yaitu sosialisasi nilai, pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Oleh karenanya, pendidikan senyatanya harus mampu menjawab persoalan-persoalan yang berada di tengah masyarakat. Melakukan analisis kritis dalam pendidikan merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakoni dengan sedemikian rupa. Pendidikan bukan hanya mencetak masyarakat yang cerdas secara intelektual, namun juga mampu merasakan segala keluh kesah yang berada di sekitarnya. Masyarakat terdidik mampu berbaur dan membaurkan diri bersama kelompok-kelompok masyarakat lain yang sedang membutuhkan pertolongan untuk dicerdaskan. Dalam konteks ini, pembauran masyarakat terdidik tidaklah pasif, melainkan aktif partisipatoris. Dalam konteks bersama, masyarakat terdidik hanya mampu mengamati segala persoalan yang sedang terjadi di tengah masyarakat, seperti kemiskinan, pengangguran, dan sederetan persoalan lainnya.[12] Karena itu, disinilah peran dan fungsi pendidikan, yakni bertujuan untuk memberikan situasi kepada setiap manusia untuk mempelajari situasi dan kondisi yang ada dilingkungannya, dan lebih lanjut lagi, pendidikan juga memberikan pelatihan kepada manusia untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Pendidikan dan masyarakat merupakan dua variabel yang sulit dipisahkan. Hubungannya, dalam term Figerlind bersifat dialektis. Bagaimana agar pendidikan itu tidak hanya hanyut oleh dinamika perubahan, tetapi ia mampu memerankan dirinya sebagai agen perubahan itu sendiri. Kreativitas dalam konteks ini merupakan variabel yang perlu dipertimbangkan. Kreativitas merupakan indikator kecerdasan. Semakin cerdas seseorang semakin tinggi kreativitasnya, sedangkan kecerdasan merupakan kerja akal, maka cara mengoptimalkannya fungsi akan itu sendiri. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana pendidikan Islam berperan dalam mengoptimalkan fungsi akal yang ada pada manusia. Mempersiapkan outputnya dalam menghadapi perubahan masyarakat yang terus melaju sehingga mereka bisa menghadapi perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut, bisa berperan mewarnai serta bisa terakomodasikan dalam semua sektor masyarakat tersebut. Kecerdasan merupakan potensi pembawaan seseorang sejak lahir. Oleh karenanya, secara teoritis, sama bagi setiap orang. Perkembangannya akan sangat tergantung pada interaksi individu yang bersangkutan dengan lingkungannya. Manusia sebagai khalifah di bumi, keberadaannya disamping sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Dari sinilah Hasan Langgulung melihat bahwa pendidikan bisa dilihat dari dua pendekatan, yaitu; pendekatan yang berangkat dari keberadaan manusia sebagai makhluk individu yang melihat pendidikan sebagai pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi; dan pendekatan yang berangkat dari keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang melihat pendidikan sebagai pewarisan kebudayaan dari generasi ke generasi agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan. Dari sini sangat jelas bahwa Islam sangat menghargai pemanfaatan akal secara optimal.[13]
Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu paradigma dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Karena itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam adalah untuk terbentuknya masyarakat madani Indonesia. Berdasarkan pandangan tersebut, maka peran pendidikan Islam semestinya bukan hanya “dipahami dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan), malainkan juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat pada umumnya, sehingga pendidikan Islam terintegrasi antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat. Dengan demikian, kerangka acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan Islam menuju masyarakat madani Indonesia, harus mampu mengakomodasi berbagai pandangan secara selektif sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep yaitu;
a.       Pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain.
b.      Pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha.
c.       Prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang diletakan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa.
d.      Prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerjasama.
e.       Dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan konsesus.
f.       Prinsip perencanaan pendidikan.
g.      Prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki perubahan mendasar.
h.      Prinsip pendidikan yang berorientasi pada peserta didik.
i.        Prinsip pendidikan multikultural
j.        Pendidikan dengan prinsip global, artinya pendidikan harus berperan dan harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global.[14]
Dengan paradigma baru tersebut, pendidikan Islam harus dapat mengembangkan kemampuan tingkahlaku manusia yang dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada disekitarnya. Dengan demikian pendidikan Islam akan selalu relevan terhadap setiap kondisi maupun situasi yang berorientasi pada pembentukan masyarakat madani Indonesia.
C.    Penutup
1.      Kesimpulan
a.      Pendidikan Islam Dalam Khasanah Masyarakat Madani
Pendidikan memiliki peran yang cukup strategis dan fungsional dalam menghadapi tuntutan perubahan menuju masyarakat madani Indonesia. Dasar pemikiran ini menunjukan bahwa kasawan atau bidang garapan pendidikan tidak hanya sebatas sebagai tempat pemindahan ilmu dari satu personal kepada personal lain, atau hanya sebatas kegiatan belajar mengajar saja. Akan tetapi, secara makro ruang lingkup bidang garapan pendidikan Islam adalah membentuk masyarakat yang sesuai dengan dasar dan asas Pancasila. Sehingga pendidikan Nasional bertujuan untuk mempersiapkan generasi-generasi penerus bangsa dalam membentuk masyarakat yang berkeadilan, demokratis, serta memiliki cakrawala yang luas.
Pendidikan Islam adalah bagian dari pendidikan Nasional, oleh karena itu pendidikan Islam juga memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk serta menyiapkan generasi-generasi bangsa sehingga menjadi masyarakat madani Indonesia. Sebagai acuan dalam bidang garapan pendidikan Islam, bertugas menanamkan sikap jujur, adil, demokratis, bertanggungjawab, toleransi, harmonisasi, penuh penghargaan, mempunyai etos kerja yang tinggi serta semangat membangun demi tercapainya masyarakat yang damai dan sejahtera.
b.      Tujuan Dan Fungsi Pendidikan Islam Dalam Membentuk Masyarakat Madani
Sebagai prinsip penyelenggaraan pendidikan salah satunya adalah pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Oleh karena itu, pendidikan dalam pengertian ini mempunyai fungsi dan tujuan untuk membangun masyarakat yang beradab dan bersusila. Pendidikan tidak hanya menciptakan manusia yang cerdas secara intelektual, pintar, serta terdidik, namun pendidikan juga berusaha menciptakan manusia yang berbudaya, beradab, serta bersusila dalam kehidupan masyarakat (educated and civilized human being).
2.      Saran
a.       Untuk menggerakan pendidikan agar beriorientasi pada pembentukan masyarakat yang berbudaya, beradab, dan bersusila atau masyarakat madani, maka pendidikan memerlukan reorientasi, restrukturisasi, dan rekonstruksi pendidikan Islam.
b.      Gerakan pembaharuan Islam meskipun sudah dilaksanakan namun dukungan dari stake holder masih minim sehingga perlunya gerakan pembaharuan pendidikan Islam yang lebih aplikatif serta tersusun demi tercapainya tujuan pendidikan.



Daftar Pustaka
Baharuddin dan Moh. Makin. 2009. Pendidikan Humanistik (konsep, teori, dan aplikasi praksis dalam dunia pendidikan). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Mahfudhz, Sahal Mahfudhz, Qodri Abdillah Azizy, dkk. 2000. Pendidikan Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Mas’ud, Abdurrachman, Widodo Supriyono, dkk. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural (konsep dan aplikasi), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Rembangy, Musthofa. 2010. Pendidikan Transformatif (pergulatan kritis merumuskan pendidikan di tengah pusaran arus globalisasi). Yogyakarta: Teras.
Sanky, Hujair Ah. 2003. Paradigma Pendidikan Islam (membangun masyarakat madani Indonesia). Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia (belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.


[1] Hujair Ah. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam (membangun masyarakat madani Indonesia), Cet. I, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 8.
[2] Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik (konsep, teori, dan aplikasi praksis dalam dunia pendidikan), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 12.
[3] Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural (konsep dan aplikasi), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 13.
[4] Hujair Ah. Sanaky, Paradigma Pendidikan..., hal. 9.
[5] Hujair Ah. Sanaky, Paradigma Pendidikan..., hal. 30.
[6] Ibid., 42.
[7] Sahal Mahfudhz, Qodri Abdillah Azizy, dkk, Pendidikan Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), hal. 130.
[8] Hujair Ah. Sanaky, Paradigma Pendidikan..., hal. 270
[9] Ibid., 271.
[10] Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural..., hal. 35.
[11] Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif (pergulatan kritis merumuskan pendidikan di tengah pusaran arus globalisasi), Cet. II, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 111.
[12] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia (belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara), Cet. I (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 17.
[13] Abdurrachman Mas’ud, Widodo Supriyono, dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hal. 301.
[14] Hujair Ah. Sanaky, Paradigma Pendidikan..., hal. 115.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar