GERAKAN
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
DALAM
MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Apabila
mencermati kondisi pendidikan di Indonesia, sebenarnya telah mengalami
pembaharuan, dan tujuan pembaharuan itu adalah untuk menjaga agar pendidikan
tersebut tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat dalam menghadapi
persoalan-persoalan sosialnya. Namun apakah dalam pembaharuan pendidikan
tersebut pada wilayah kualitatif (mutu) ataukah pada wilayah kuntitatif,
yakni hanya sebatas pemenuhan kebutuhan kerja atau persyaratan bagi pendidikan
lanjut pada jenjang pendidikan berikutnya. Sampai saat ini, pendidikan masih
terkungkung di dalam paradigma-paradigma yang tunduk kepada kekuasaan yang
otoriter. Karena sistem pendidikan pada saat ini masih dimiliki oleh golongan
masyarakat tertentu. Patut diakui bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia
secara kuantitatif mengalami kemajuan, tetapi pemberdayaan masyarakat secara
luas sebagai cermin dari keberhasilan itu tidak pernah terjadi.
Pendidikan
merupakan faktor penting bagi kehidupan masyarakat, karena itu pendidikan
menjadi salah satu faktor perubahan pola kehidupan masyarakat. Namun, jika
pendidikan sudah berada pada posisi sebagai alat hegemoni penguasa yaitu
sebagai cara atau metode dalam mempertahankan status quo. Maka
akibatnya sistem pendidikan kemudian dijadikan salah satu instrumen untuk
menciptakan safety net bagi pelestarian kekuasaan. Sedangkan
visi dan misi pelestarian kekuasaan itu melahirkan kebijakan pendidikan yang
bersifat straight jacket dan inilah penyembab kesenjangan
terhadap pendidikan.[1] Pada dasarnya tujuan
pendidikan adalah membentuk manusia yang holistic serta mampu
membawa manusia pada keterbukaan dunia secara universal, sehingga tahap akhir
dari proses pendidikan adalah menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya
baik internal (self) maupun lingkungannya (problem solving).
Dalam
realitas kehidupan, sebagai kondisi riil pendidikan dapat dilihat adanya
perubahan sosial yang begitu cepat, proses transformasi budaya yang semakin
deras dan dahsyat, juga perkembangan politik universal, kesenjangan ekonomi
yang menganga lebar serta pergeseran nilai kemanusiaan yang fundamental, mau
tidak mau mengharuskan pendidikan memfokuskan bidikannya kearah ini. Pendidikan
harus senantiasa toleran dan tunduk pada perubahan normatif dan kultural yang
terjadi. Karena pendidikan sesungguhnya merupakan sebuah lembaga sosial yang
berfungsi sebagai pembentuk insani yang berbudaya dan melakukan proses
pembudayaan nilai-nilai[2]. Kondisi pendidikan Islam
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pendidikan nasional, karena pendidikan
Islam sendiri merupakan bagian dari pendidikan nasional. Pendidikan Islam
mempunyai peran dan posisi yang sangat strategis dalam pola perubahan
masyarakat. Karena itu, Pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasi diri
untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat sebagai
konsekuensi logis dari perubahan.
Menurut
para ahli sosiologi pendidikan, terdapat relasi resiprokal (timbal-balik)
antara dunia pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat. Relasi ini bermakna
bahwa apa yang berlangsung dalam dunia pendidikan merupakan gambaran dari
kondisi yang sesungguhnya di dalam kehidupan masyarakat yang kompleks. Demikian
juga sebaliknya, kondisi masyarakat baik dalam aspek kemajuan, peradaban dan
sejenisnya, tercermin dalam kondisi dunia pendidikannya. Oleh karena itu,
majunya dunia pendidikan dapat dijadikan cermin majunya masyarakat, dan dunia
pendidikan yang amburadul juga dapat menjadi cermin terhadap kondisi
masyarakatnya yang juga penuh persoalan.[3] Pada
era reformasi ini, pendidikan nasional ditekankan untuk membangun manusia dan
masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas, berdasarkan budaya
Indonesia. Untuk mencapai cita-cita tersebut, pendidikan hendaknya didasarkan
pada paradigma-paradigma baru yang bertujuan untuk membentuk suatu “masyarakat
madani” yang demokratis. Pendidikan harus bertolak dari pengembangan manusia
Indonesia yang berbudaya dan berperadaban, merdeka, bertakwa, bermoral dan
berakhlak, berpengetahuan dan berketerampilan, inovatif dan kompetitif,
sehingga dapat berkarya secara profesional dalam kehidupan global menuju
masyarakat madani Indonesia.[4]
2. Rumusan Masalah
Dari
pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dalam hal ini dapat dirumuskan
beberapa rumusan masalah, yaitu;
a. Bagaimana rumusan pendidikan Islam dalam khasanah
masyarakat madani.?
b. Bagaimana tujuan dan fungsi pendidikan Islam dalam
membentuk masyarakat madani.?
3. Pendekatan
Setiap
pemabahasan suatu masalah tentunya memiliki suatu metode atau pendekatan dalam
kajiannya, karena itu dalam pembahasan makalah kali ini penulis menggunakan
pendekatan Sosio-Antropologis dan Preskriptif. Sebagai
pendekatan yang menggunakan Sosiologi-Antropologi, yaitu pendekatan
yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelelidiki
ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya. Hal ini tergambar dalam
pemaparan penulis dalam menjelaskan interaksi manusia dalam kehidupan
masyarakat. Sedangkan yang disebut dengan pendekatan Preskriptif
merupakan pendekatan yang berupaya untuk mengukur tingkah laku lalu kemudian
diterapkan dengan menggunakan bidang pendidikan kesusilaan. Pendekatan ini
menyoroti wilayah serta tugas pendidikan sebagai sarana internalisasi
nilai-nilai ajaran (normatif) Islam kepada peserta didik.
B. Pembahasan
1. Rumusan Pendidikan Islam Dalam Khasanah
Masyarakat Madani
Dalam
perspektif Islam, Civil Society lebih mengacu pada penciptaan
peradaban. Kata al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama,
berkaitan dengan makna al-tamaddun, atau peradaban. Keduanya
menyatu ke dalam pengertian al-madinah yang arti harfiahnya
adalah kota. Dengan demikian, makna civil society diterjemahkan
sebagai “masyarakat madani”, yang mengandung tiga hal, yaitu agama, peradaban
dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin agama merupakan sumber, peradaban
adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya. Pengaturan kehidupan dan
hubungan antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat
majemuk di Madinah. Karena itulah, masyarakat madani terlahir dari kehidupan
masyarakat yang di bina oleh Nabi Muhammad Saw di Madinah, dengan menggariskan
ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai “Piagam
Madinah”. Dalam Piagam Madinah ini setidaknya ada dua nilai dasar yang tertuang
sebagai prinsip dasar atau fundamental yaitu,
a. Prinsip kesederajatan dan keadilan.
b. Inklusivisme atau keterbukaan.[5]
Istilah
masyarakat madani sendiri disosialisasikan di Indonesia, sebagai terjemahan
dari bahasa Inggris civil society. Dengan demikian, kata civil
society diartikan sebagai komunitas masyarakat kota, yakni masyarakat
yang telah berperadaban maju. Nurcholis Madjid, menyatakan konsepsi seperti
ini, pada awalnya merujuk pada dunia Islam yang ditujukan oleh masyarakat kota
Arab.[6] Terdapat indikasi proses pembelajaran bagi
masyarakat yang berada di Madinah. Nabi Muhammad Saw, membimbing masyarakat
tersebut agar saling menghormati diantara perbedaan yang ada pada masyarakat
Madinah pada saat itu.
Konsep
“madani” bagi orang Arab memang mengacu pada hal-hal yang ideal. Paling tidak
ideal dalam dua hal yakni mengacu pada kehidupan Rasul periode Madinah dengan
pesona keberhasilan Rasul membangun dan membina masyarakat yang plural,
demokratis, damai, saling menghormati, dengan landasan hukum hak dan
tanggungjawab bersama.[7] Hal inilah yang menjadi
tujuan pendidikan Islam, yakni membentuk masyarakat yang berkeadilan, damai,
toleran, keharmonisan, serta penuh penghormatan di tengah masyarakat yang penuh
tantangan. Pendidikan Islam bukan saja mentransformasikan ilmu pengetahuan,
serta ajarannya saja akan tetapi pendidikan Islam juga menanamkan nilai-nilai
yang tersirat dalam ajaran.
Perubahan
menuju masyarakat madani sangat membutuhkan individu dan masyarakat dengan
kemampuan yang tinggi, unggul, berkualitas dan profesional. Untuk menjadi
pelaku aktif dalam bidang tertentu dan kualitas kegiatan tertentu serta
kualitas hasil yang dikehendaki dalam masyarakat madani, sangat dibutuhkan
sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional dalam bidangnya dan
memiliki komitmen yang tinggi terhadap tata nilai dan sistem dalam masyarakat
madani Indonesia. Peran pendidikan sangat diharapkan agar dapat mempersiapkan
individu dan masyarakat yang memiliki kemampuan, inovasi dan berpartisipasi
secara aktif dalam aktualisasi dan institusionalisasi masyarakat madani.
Partisipasi dari setiap anggota masyarakat tersebut merupakan bagian dari
persoalan pendidikan Islam, sehingga mempersiapkan sumber daya manusia yang
mampu hidup toleran serta menjaga keharmonisan ditengah perbedaan yang ada di
masyarakat. Artinya, pendidikan Islam pada posisi ini adalah tidak hanya
sebagai wadah untuk memindahkan pengetahuan atau proses transformasi ajaran,
akan tetapi sebagai proses internalisasi nilai-nilai keislaman yang terkandung
dalam pesan ajaran. Pesan-pesan yang dimaksud adalah bagian dari cara hidup
bermasyarakat, saling tolong-menolong, bantu-membantu, saling menjaga
keharmonisan, serta segala bentuk pesan ajaran yang terangkum dalam ajaran amar
ma’ruf nahi munkar.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa sektor pendidikan memiliki peran
strategis dan fungsional dalam menghadapi tuntutan perubahan menuju masyarakat
madani Indonesia. Peran sektor pendidikan sangat diharapkan untuk mampu
menghasilkan; Pertama, manusia-manusia Indonesia yang bertaqwa,
berpengetahuan dan berketerampilan, berjiwa demokratis, memiliki etos kerja,
kompetitif dengan menghargai nilai-nilai kemanusiaan, penuh toleransi, memiliki
rasa partisipasi sosial dan solidaritas sosial yang tinggi, menjunjung tinggi
hukum, menegakan hukum dan peraturan yang berlaku, serta berwawasan global
tetapi berpikir dalam kerangka kebutuhan lokal. Kedua, sektor
pendidikan dapat membangun demokrasi pendidikan agar dapat menyiapkan peserta
didik yang memiliki kebebasan, agar terbiasa berbicara, berpendapat secara
bertanggungjawab, terbiasa mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain
serta menumbuhkan keberanian moral yang tinggi. Artinya pendidikan diarahkan
pada pembaruan kultur, norma keberadaban, partisipasi sosial, dan hukum.[8] Sikap demokratis yang ditanamkan kepada peserta
didik diharapkan akan mampu membawa pada masyarakat untuk saling menghargai
perbedaan lain. Namun, sikap ini juga tidak tumbuh dengan sendirinya dalam
situasi masyarakat, artinya perlu ada perubahan pada struktur budaya yang ada
(otoriter) di masyarakat sehingga sikap demokratis ini menjadi kegiatan
kehidupan sehari-hari.
Untuk
menuju masyarakat madani Indonesia paling tidak peran pendidikan Islam dapat
mempersiapkan atau memproses manusia yang akan memiliki kemampuan intelektual,
keterampilan dan kemahiran, kemampuan sosial, kemampuan membangun masyarakat
yang beradab, memiliki kemampuan kinerja tinggi serta memiliki kemampuan
spiritual Illahiyah yang tinggi. Pendidikan Islam perlu
melakukan perubahan dengan mendesain ulang konsep filosofis yang jelas dan
baku, visi dan misi, tujuan dan fungsi lembaga, kurikulum, materi, dan proses
pendidikannya agar dapat memenuhi tuntutan perubahan dan kebutuhan masyarakat.
Dalam upaya perubahan pendidikan Islam tidak lagi bersifat konsumtif dalam
pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat
sementara atau “tambal sulam” konsep saja, tetapi harus merupakan suatu bentuk
investasi “sumber daya manusia (human investment) yang berkualitas,
dengan tujuan utama;
a. Pendidikan Islam harus dapat membantu meningkatkan
kualitas iman yang aplikatif, pengetahuan dan keterampilan untuk dapat bekerja
lebih produktif.
b. Pendidikan Islam sebagai proses pembebasan dan proses
pencerdasan.
c. Pendidikan Islam sebagai proses untuk menjunjung
tinggi hak-hak anak.
d. Pendidikan Islam sebagai proses pemberdayaan potensi
manusia.
e. Pendidikan Islam dapat menjadikan anak berwawasan
integratif.
f. Pendidikan Islam dapat menghasilkan manusia demokratik
dan membangun watak persatuan
g. Pendidikan Islam dapat menghasilkan manusia cinta
perdamaian dan peduli terhadap lingkungan.[9]
2. Tujuan Dan Fungsi Pendidikan Islam Dalam
Membentuk Masyarakat Madani
Pendidikan
memiliki kaitan erat dengan setiap perubahan sosial, baik berupa dinamika
perkembangan individu maupun proses sosial dalam skala yang lebih luas. Secara
tegas, Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Azra mengatakan bahwa pendidikan
merupakan alat yang ampuh untuk melakukan perubahan. Dalam kerangka fungsional
yang sedemikian signifikan, pendidikan harus diletakan dalam posisi yang tepat.
Pendidikan harus diposisikan dalam kerangka pengembangan akal sehat secara
kritis dan kreatif. Berbagai bentuk perubahan yang tengah terjadi dalam proses
pendidikan pada awalnya merupakan sebuah bentuk perubahan paradigmatik yang
berada pada wilayah konsepsi pemikiran manusia. Ide ini menemukan ruang
artikulasi dalam masyarakat melalui sentuhan ide dalam komunikasi antar
personal yang selanjutnya akan membentuk persepsi-persepsi baru. Setiap
persepsi yang terbangun di antara personal dalam masyarakat mempunyai kekuatan
konsesi dalam menentukan sistem nilai dalam masyarakat. Di sinilah nantinya
muncul seperangkat nilai dan norma yang terlembagakan dalam hukum obyektif
maupun tradisi yang menjadi kontrol sosial bagi arah perkembangan masyarakat
secara lebih luas.[10] Dalam masyarakat yang
berbudaya, kebudayaan akan terbentuk dalam kegiatan-kegiatan masyarakat yang
bersifat inter-komunikasi yang inten. Karena itu, setiap kegitan masyarakat
harus diarahkan pada kegiatan yang dapat membangun kebudayaan bersifat
konstruktif-positif terhadap perkembangan dan perubahan masyarakat.
Untuk
menghadapi kehidupan di masa mendatang, berhubungan erat dengan peran dan
posisi pendidikan dalam menghadapi realitas masyarakat pada masa mendatang.
Kondisi masyarakat yang selalu dinamis, seiring dengan perkembangan pola pikir
kehidupan dan perkembangan budaya yang ada. Berangkat dari satu tujuan dan
fungsi pendidikan nasional sebagaimana dijelaskan dalam UU Sisdiknas No. 20
tahun 2003, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Sedangkan
sebagai prinsip penyelenggaraan pendidikan salah satunya adalah pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat.[11]
Sementara
Ary H. Gunawan berpendapat bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai proses
sosialisasi, yaitu sosialisasi nilai, pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Oleh karenanya, pendidikan senyatanya harus mampu menjawab persoalan-persoalan
yang berada di tengah masyarakat. Melakukan analisis kritis dalam pendidikan
merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakoni dengan sedemikian rupa.
Pendidikan bukan hanya mencetak masyarakat yang cerdas secara intelektual,
namun juga mampu merasakan segala keluh kesah yang berada di sekitarnya.
Masyarakat terdidik mampu berbaur dan membaurkan diri bersama kelompok-kelompok
masyarakat lain yang sedang membutuhkan pertolongan untuk dicerdaskan. Dalam
konteks ini, pembauran masyarakat terdidik tidaklah pasif, melainkan aktif
partisipatoris. Dalam konteks bersama, masyarakat terdidik hanya mampu
mengamati segala persoalan yang sedang terjadi di tengah masyarakat, seperti
kemiskinan, pengangguran, dan sederetan persoalan lainnya.[12] Karena
itu, disinilah peran dan fungsi pendidikan, yakni bertujuan untuk memberikan
situasi kepada setiap manusia untuk mempelajari situasi dan kondisi yang ada
dilingkungannya, dan lebih lanjut lagi, pendidikan juga memberikan pelatihan
kepada manusia untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Pendidikan
dan masyarakat merupakan dua variabel yang sulit dipisahkan. Hubungannya, dalam
term Figerlind bersifat dialektis. Bagaimana agar pendidikan itu tidak hanya
hanyut oleh dinamika perubahan, tetapi ia mampu memerankan dirinya sebagai agen
perubahan itu sendiri. Kreativitas dalam konteks ini merupakan variabel yang
perlu dipertimbangkan. Kreativitas merupakan indikator kecerdasan. Semakin
cerdas seseorang semakin tinggi kreativitasnya, sedangkan kecerdasan merupakan
kerja akal, maka cara mengoptimalkannya fungsi akan itu sendiri. Permasalahan
yang muncul adalah bagaimana pendidikan Islam berperan dalam mengoptimalkan
fungsi akal yang ada pada manusia. Mempersiapkan outputnya dalam
menghadapi perubahan masyarakat yang terus melaju sehingga mereka bisa
menghadapi perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut, bisa berperan
mewarnai serta bisa terakomodasikan dalam semua sektor masyarakat tersebut.
Kecerdasan merupakan potensi pembawaan seseorang sejak lahir. Oleh karenanya,
secara teoritis, sama bagi setiap orang. Perkembangannya akan sangat tergantung
pada interaksi individu yang bersangkutan dengan lingkungannya. Manusia sebagai
khalifah di bumi, keberadaannya disamping sebagai makhluk individu juga sebagai
makhluk sosial. Dari sinilah Hasan Langgulung melihat bahwa pendidikan bisa
dilihat dari dua pendekatan, yaitu; pendekatan yang berangkat dari keberadaan
manusia sebagai makhluk individu yang melihat pendidikan sebagai pengembangan
potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi; dan pendekatan yang berangkat
dari keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang melihat pendidikan sebagai
pewarisan kebudayaan dari generasi ke generasi agar hidup masyarakat tetap
berkelanjutan. Dari sini sangat jelas bahwa Islam sangat menghargai pemanfaatan
akal secara optimal.[13]
Proses
pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang
terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari
kebudayaan. Kita memerlukan suatu paradigma dari pendidikan untuk menghadapi
proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Karena
itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam adalah untuk terbentuknya
masyarakat madani Indonesia. Berdasarkan pandangan tersebut, maka peran
pendidikan Islam semestinya bukan hanya “dipahami dalam konteks mikro
(kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan),
malainkan juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat pada umumnya,
sehingga pendidikan Islam terintegrasi antara proses belajar di sekolah dengan
belajar di masyarakat. Dengan demikian, kerangka acuan pemikiran dalam penataan
dan pengembangan sistem pendidikan Islam menuju masyarakat madani Indonesia,
harus mampu mengakomodasi berbagai pandangan secara selektif sehingga terdapat
keterpaduan dalam konsep yaitu;
a. Pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara
sektor pendidikan dengan sektor-sektor lain.
b. Pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat
dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh,
seperti keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha.
c. Prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap
institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang diletakan dengan
fungsi mendidik generasi penerus bangsa.
d. Prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip
pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif untuk
memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerjasama.
e. Dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan
prinsip toleransi dan konsesus.
f. Prinsip perencanaan pendidikan.
g. Prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat
selalu menghendaki perubahan mendasar.
h. Prinsip pendidikan yang berorientasi pada peserta
didik.
i.
Prinsip
pendidikan multikultural
j.
Pendidikan
dengan prinsip global, artinya pendidikan harus berperan dan harus menyiapkan
peserta didik dalam konstelasi masyarakat global.[14]
Dengan
paradigma baru tersebut, pendidikan Islam harus dapat mengembangkan kemampuan
tingkahlaku manusia yang dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada
disekitarnya. Dengan demikian pendidikan Islam akan selalu relevan terhadap
setiap kondisi maupun situasi yang berorientasi pada pembentukan masyarakat
madani Indonesia.
C. Penutup
1. Kesimpulan
a. Pendidikan Islam Dalam Khasanah Masyarakat Madani
Pendidikan
memiliki peran yang cukup strategis dan fungsional dalam menghadapi tuntutan
perubahan menuju masyarakat madani Indonesia. Dasar pemikiran ini menunjukan
bahwa kasawan atau bidang garapan pendidikan tidak hanya sebatas sebagai tempat
pemindahan ilmu dari satu personal kepada personal lain, atau hanya sebatas
kegiatan belajar mengajar saja. Akan tetapi, secara makro ruang lingkup bidang
garapan pendidikan Islam adalah membentuk masyarakat yang sesuai dengan dasar
dan asas Pancasila. Sehingga pendidikan Nasional bertujuan untuk mempersiapkan
generasi-generasi penerus bangsa dalam membentuk masyarakat yang berkeadilan,
demokratis, serta memiliki cakrawala yang luas.
Pendidikan
Islam adalah bagian dari pendidikan Nasional, oleh karena itu pendidikan Islam
juga memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk serta menyiapkan
generasi-generasi bangsa sehingga menjadi masyarakat madani Indonesia. Sebagai
acuan dalam bidang garapan pendidikan Islam, bertugas menanamkan sikap jujur,
adil, demokratis, bertanggungjawab, toleransi, harmonisasi, penuh penghargaan,
mempunyai etos kerja yang tinggi serta semangat membangun demi tercapainya
masyarakat yang damai dan sejahtera.
b. Tujuan Dan Fungsi Pendidikan Islam Dalam Membentuk
Masyarakat Madani
Sebagai
prinsip penyelenggaraan pendidikan salah satunya adalah pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat. Oleh karena itu, pendidikan dalam pengertian
ini mempunyai fungsi dan tujuan untuk membangun masyarakat yang beradab dan
bersusila. Pendidikan tidak hanya menciptakan manusia yang cerdas secara
intelektual, pintar, serta terdidik, namun pendidikan juga berusaha menciptakan
manusia yang berbudaya, beradab, serta bersusila dalam kehidupan masyarakat (educated
and civilized human being).
2. Saran
a. Untuk menggerakan pendidikan agar beriorientasi pada
pembentukan masyarakat yang berbudaya, beradab, dan bersusila atau masyarakat
madani, maka pendidikan memerlukan reorientasi, restrukturisasi, dan
rekonstruksi pendidikan Islam.
b. Gerakan pembaharuan Islam meskipun sudah dilaksanakan
namun dukungan dari stake holder masih minim sehingga perlunya
gerakan pembaharuan pendidikan Islam yang lebih aplikatif serta tersusun demi
tercapainya tujuan pendidikan.
Daftar
Pustaka
Baharuddin dan Moh. Makin. 2009. Pendidikan
Humanistik (konsep, teori, dan aplikasi praksis dalam dunia pendidikan).
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Mahfudhz, Sahal Mahfudhz, Qodri Abdillah
Azizy, dkk. 2000. Pendidikan Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Mas’ud, Abdurrachman, Widodo Supriyono,
dkk. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan
Multikultural (konsep dan aplikasi), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Rembangy, Musthofa. 2010. Pendidikan
Transformatif (pergulatan kritis merumuskan pendidikan di tengah pusaran arus
globalisasi). Yogyakarta: Teras.
Sanky, Hujair Ah. 2003. Paradigma
Pendidikan Islam (membangun masyarakat madani Indonesia). Yogyakarta:
Safiria Insania Press.
Yamin, Moh. 2009. Menggugat
Pendidikan Indonesia (belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara). Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
[1] Hujair
Ah. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam (membangun masyarakat madani
Indonesia), Cet. I, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 8.
[2] Baharuddin
dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik (konsep, teori, dan aplikasi
praksis dalam dunia pendidikan), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009),
hal. 12.
[3] Ngainun
Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural (konsep dan aplikasi), Cet.
I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 13.
[4] Hujair Ah. Sanaky, Paradigma
Pendidikan..., hal. 9.
[5] Hujair Ah. Sanaky, Paradigma
Pendidikan..., hal. 30.
[6] Ibid., 42.
[7] Sahal Mahfudhz, Qodri Abdillah Azizy, dkk, Pendidikan
Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 2000), hal. 130.
[8] Hujair
Ah. Sanaky, Paradigma Pendidikan..., hal. 270
[9] Ibid., 271.
[10] Ngainun
Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural..., hal. 35.
[11] Musthofa
Rembangy, Pendidikan Transformatif (pergulatan kritis merumuskan
pendidikan di tengah pusaran arus globalisasi), Cet. II, (Yogyakarta:
Teras, 2010), hal. 111.
[12] Moh.
Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia (belajar dari Paulo Freire dan Ki
Hadjar Dewantara), Cet. I (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 17.
[13] Abdurrachman
Mas’ud, Widodo Supriyono, dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Cet.
I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hal. 301.
[14] Hujair
Ah. Sanaky, Paradigma Pendidikan..., hal. 115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar