MANUSIA
DAN PENDIDIKAN
DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Begitu
sentralnya posisi manusia sebagai makhluk Tuhan, hampir semua ilmu pengetahuan
menjadikannya sebagai obyek studinya. Bukan hanya ilmu-ilmu sosial dan
humaniora, tetapi sebagian ilmu-ilmu kealaman dan eksakta juga menjadikan
manusia sebagai obyek studinya. Yang membedakan antara ilmu-ilmu tersebut
adalah perbedaan sudut pandang terhadap manusia sesuai dengan disiplin masing-masing.
Misalnya biologi mengkaji manusia dari aspek biologisnya, kedokteran mengkaji
manusia dari aspek kesehatan atau medis, ilmu politik, ekonomi dan seterusnya.
Sedangkan ilmu pendidikan membahas manusia dari sudut pandang fenomena dan
aktivitasnya dalam pendidikan.[1]
Berbagai disiplin ilmu yang dihasilkan dari kajian terhadap manusia tersebut
menunjukan betapa manusia memiliki berbagai potensi yang dimilikinya. Sehingga,
proses penelaahan manusia menjadi suatu grand tema bagi
seluruh disiplin
ilmu. Maka, dari sudut pandang agama (Islam) pun jauh sebelum munculnya
disiplin-disiplin ilmu yang dijelaskan tadi sebenarnya sudah merespons dan
menyebutkannya dalam al-Qur’an, karena itu al-Qur’an di dikatakan sebagai
pedoman sekaligus sebagai petunjuk bagi manusia.
Manusia
adalah makhluk yang memiliki kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk
lain. Ia dianugrahi berbagai potensi sebagai wujud makhluk yang memiliki
keinginan, nafsu, perubahan, serta potensi lain yang menjadikannya sebagai
makhluk yang menyejarah. Artinya, dari berbagai potensi tersebut membuat
makhluk ini mempunyai kecenderungan-kecenderungan untuk menjalani kehidupan
secara kolektif atau disebut sebagai makhluk sosial. Namun, berbagai potensi
tersebut tidak begitu saja ada dan berkembang secara sendirinya. Akan tetapi
berbagai potensi tersebut harus dikembangkan sesuai dengan peran dan fungsi
manusia. Hal ini yang menyebabkan manusia membutuhkan suatu dimensi dalam
mengembangkan potensi serta mengarahkan kecenderungan-kecenderungan tersebut kearah
yang lebih baik menurut petunjuk al-Qur’an dan Sunnah.
Manusia
hidup mengandalkan instink atau nalurinya semata. Ia hidup dengan akal,
perasaan, dan kemauan. Ia mampu mengubah dan mengelola lingkungan yang
mengitarinya, menciptakan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai
cita-citanya. Jika manusia mau berulangkali tersandung kepada batu yang sama,
hal itu karena itu ingin mengetahui dan meneliti mengapa ia sampai tersandung.
Setelah itu, ia berusaha memperbaiki dan mengembangkan kehidupannya. Dalam
konteks inilah dikatakan bahwa orientasi kehidupan manusia menjangkau tiga
dimensi waktu: lampau, kini, dan mendatang, hingga memiliki predikat sebagai
makhluk historis.[2]
Sehingga dari sudut pandang inilah perlunya proses dinamika dan dialektika dalam
proses kehidupan manusia sehingga mengarah pada hal yang bersifat
konstruktif-positif. Dimensi yang dimaksud adalah berada dalam proses
pendidikan. Namun, ketika akan menjelaskan konsep pendidikan tentunya harus
memiliki landasan dan dasar dalam merumuskan konsep serta tujuan yang ingin
dicapai dalam proses pendidikan sehingga kajian yang mengawali perumusan konsep
dan tujuan tersebut diawali dengan mengkaji manusia itu sendiri.
Pendidikan
yang berfungsi membantu pertumbuhan dan perkembangan manusia menuju ke arah
yang lebih baik secara normatif, tidak mungkin dilakukan tanpa mengetahui
haikat manusia. Pendidikan yang didasarkan atas pemahaman yang salah mengenai
hakikat manusia akan berakibat fatal. Misalnya menganggap manusia hanya sebagai
makhluk biologis, maka sasaran pengembangannya hanya bertumpu pada aspek fisik.
Pembahasan mengenai hakikat manusia, merupakan wilayah kajian filsafat yaitu
metafisika. Secara metafisis pada umumnya para filosof mengidentifikasikan
manusia dengan makhluk yang memiliki kekhususan serta kelebihan tertentu,
antara lain; manusia adalah makhluk berbicara, berpikir dan berbudaya.
Sedangkan para ahli pendidikan mengklaim bahwa manusia adalah makhluk yang
dapat mendidik dan didik (animal educandum).[3]
Secara umum pendidikan diartikan sebagai proses perubahan dan perkembangan
manusia kearah yang lebih maju, upaya ini bisa dikatakan sebagai pemberian
situasi terhadap manusia sehingga mampu mendewasakan diri. Namun dari sudut
pandang Islam pendidikan memiliki landasan dan dasar yang berbeda dengan
perspektif pendidikan secara umum. Karena itu, pendidikan Islam akan mempunyai
tujuan dan konsep yang berbeda dengan pendidikan secara umum. Sebagai contohnya
saja istilah yang digunakan juga berbeda, secara etimologi pendidikan di
istilahkan dengan education, namun dari sudut pandang Islam justru lebih
beragam yaitu dengan istilah tarbiyah, ta’lim,dan ta’dib. Maka,
dari kedua perbedaan tersebut akan berbeda baik secara konsep maupun tujuan
yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam.
2.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana
konsep manusia menurut pandangan Islam.?
b.
Bagaimana
peran pendidikan Islam dalam mengembangkan potensi (fitrah) manusia.?
3.
Pendekatan
Pembahasan
makalah ini berjudul “Manusia dan Pendidikan Dalam Perspektif Islam”, yakni
mendeskripsikan kedua bahasan tersebut dengan menggunakan beberapa referensi
yang disarankan. Adapun yang menjadi referensi primer dalam pembahasan makalah
ini adalah:
a.
Mastuhu,
dengan judul buku “Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam”
b.
Achmadi,
dengan judul buku “Ideologi Pendidikan Islam”
Dalam
pembahasan makalah, tentunya memiliki berbagai pendekatan atau metode dalam
mengkaji suatu masalah. Pembahasan dalam makalah ini menggunakan pendekatan sosio-antropologi
dan teologis. Pendekatan sosio-antropoligis membahas
mengenai kajian manusia dan kegiatan dalam hidupnya yang mana dalam hal ini
adalah pendidikan, sedangkan pendekatan teologis adalah pendekatan yang
membahas mengenai agama (Islam) dan ajarannya yang mendasar, yakni terkait
dengan pandangannya terjadap ideologi dan perumusan dalam tujuan pendidikan
Islam.
B.
Pembahasan
1.
Konsep manusia menurut Islam
Al-Qur’an
memperkenalkan kata kunci untuk memahami manusia secara komprehensif. Kata
kunci tersebut adalah Insan, al-Basyar, dan
bani Adam. Kata Insan yang bentuk jamaknya al-Nas
dari segi sematik atau ilmu tentang akar kata, dapat dilihat dari asal kata Anasa yang mempunyai arti melihat,
mengetahui, dan meminta izin. Atas dasar ini kata tersebut mengandung petunjuk
adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalaran, yakni
dengan penalaran itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang
dilihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Adapun
kata Basyar sendiri dimaknai sebagai
penyebutan semua makhluk, baik laki-laki maupun perempuan, baik secara
individual maupun kolektif. Kata Basyar adalah
jamak dari kata Basyarah yang artinya
permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.[4] Kata
basyar juga terjelaskan dalam Q.S. al-Hijr yakni makhluk fisik-biologis.
Jasad atau fisik manusia asal mulanya dari tanah, dan setelah berproses lalu
terbentuklah menjadi manusia. Sebagai makhluk biologis kejadiannya hampir sama
dengan makhluk biologis lainnya terutama jenis binatang mamalia, yaitu dari nutfah,
‘alaqah kemudian mudhghah (embrio) dan akhirnya terbentuklah janin,
yang strukturnya secara gradual lebih sempurna dari binatang (Q.S at-Tin: 4 dan
al-Mukminun: 13-14).[5]
Imam
al-Ghazali sendiri dengan karya yang monumentalnya “Ihya Ulumuddin” mengulas seputar konsepsi manusia, berpendapat
bahwa esensi manusia terdiri dari empat bagian, yaitu; hati, ruh, jiwa dan
akal.[6]
Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal memungkinkan manusia untuk berpikir
dan selalu mencari kebenaran. Karena itu, menurut al-Ghazali, salah satu faktor
sifat kodrati manusia adalah tidak pernah berhenti bertanya dalam mencari
kebenaran. Manusia selalu ingin mengetahui rahasia alam. Semakin jauh rahasia
alam yang bisa diselidiki, semakin banyak pula daerah misteri yang tidak
diketahui, dan semakin tinggi kekagumannya kepada Allah, mysterium,
tremendum et fascinosum. Manusia sadar akan kodratnya sebagai makhluk yang
tidak mau berhenti mencari kebenaran.[7] Maka,
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang menyejarah
dan bisa belajar serta beradaptasi dengan lingkungannya. Manusia memiliki
kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan,
sosial. Kemudian selain itu juga manusia mempunyai tata etnik, aturan,
peradaban dan tentunya sebagai makhluk yang mempunyai budaya. Inilah yang
kemudian menjadi perbedaan manusia dengan makhluk lain, yang diberikan
kesempurnaan akal pikiran dan hati. Artinya dengan kedua anugrah yang diberikan
tersebut, manusia mempunyai kewajiban untuk mengembangkan potensi positif
sehingga berkembang secara optimal. Maka pengembangan potensi yang dimiliki
manusia tersebut tiada lain adalah melalui proses pendidikan.
Hasan
Langgulung, sebagaimana ia menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Manusia dan
Pendidikan” bahwa potensi-potensi manusia menurut pandangan Islam tersimpul
dalam al-Asma’ al-Husna, yaitu sifat-sifat Allah yang berjumlah 99 itu.
Pengembangan sifat-sifat ini pada diri manusia itulah ibadat dalam arti kata
yang luas, sebab tujuan manusia diciptakan adalah untuk menyembah Allah. Untuk
mencapai tingkat menyembah Allah ini dengan sempurna, haruslah sifat-sifat
Tuhan yang terkandung di dalam al-Asma’ al-Husma itu dikembangkan sebaik-baiknya
pada diri manusia. Dan itulah dia pendidikan menurut pandangan Islam. Misalnya,
sifat suci (al-Qudus). Untuk mengembangkan kesucian pada diri manusia, kita
diperintahkan mengerjakan ibadat formal yang terdiri dari rukun Islam yang
lima; Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji. Syahadat bertujuan mensucikan
niat dan pikiran manusia dari segala syirik. Shalat, hendaklah didahului oleh
kesucian badan, dan seterusnya. Hati juga harus suci dari riya’ atau sifat
pura-pura, supaya jangan termasuk golongan munafiq. Zakat adalah usaha
mensucikan harta dari segala yang tidak halal. Begitu juga dengan puasa dan
haji. Pendeknya untuk mengembangkan sifat suci itu pada diri manusia, dia harus
mengerjakan ibadat formal. Menurut pandangan filosof-filosof Islam, sifat-sifat
Tuhan yang berjumlah 99 itu merupakan potensi-potensi manusia yang harus
dikembangkan dengan wajar dan sempurna, oleh karena itu bukan hanya kekuatan
jasmani saja yang dikembangkan dalam proses pendidikan akan tetapi sifat-sifat
kerohaniannya juga perlu diperhatian.[8] Lebih
lanjut lagi, menurut Azyumardi Azra, pada dasarnya manusia merupakan makhluk
teomorfis, artinya dibalik keterbatasan dan kelemahannya ia memiliki sesuatu
yang ada di dalam dirinya, yaitu sifat-sifat ke-Tuhanan. Tetapi dengan kerangka
berpikir demikian, tidaklah mengisyaratkan pemanusiaan Tuhan (antromorfisasi),
karena bagaimanapun juga zat Tuhan tetap abadi dan kekal, lain halnya dengan
manusia yang zatnya berubah serta zatnya tidak abadi.[9]
Kaitan
mengenai potensi manusia yang disebutkan tersebut, maka penciptaan manusia
mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu salah satunya adalah khalifah.
Oleh karena itu potensi tersebut merupakan modal dasar untuk berperan sebagai khalifah
(wakil Allah) di bumi. Sesuai dengan kedudukannya sebagai wakil Allah,
kemampuan dan kewenangan yang diperoleh sebagai akibat dari potensi yang
dimiliki oleh manusia tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya.[10] Oleh
karena itu, salah satu dimensi kemanusiaan yang penting dikaji dalam
hubungannya dengan proses pendidikan adalah fitrah. Sebab pendidikan pada
hakikatnya merupakan aktifitas dan usaha manusia untuk membina dan
mengembangkan potensi-potensi pribadinya agar berkembang seoptimal mungkin.
Secara etimologis, fitrah berarti bersih dan suci. Sebagaimana disinggung
sebelumnya, Hasan Langgulung mengartikan fitrah sebagai potensi yang baik. Hal
ini berdasarkan analisis terhadap hadits Nabi berikut;
“Semua anak
dilahirkan dalam keadaan suci (dari segala dosa dan noda) dan pembawaan
beragama tauhid, sehingga jelas bicaranya. Maka kedua orangtuanyalah yang
menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Abu Ya’la, al-Thabrani, dan al-Baihaqi dari al-Aswad bin
Sari).[11]
Manusia
adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan bentuk raga yang sebaik-baiknya,
dan berbagai kesempurnaan anugrah lain seperti akal pikiran dan hati. Dalam
al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia dengan suatu tujuan dan
fungsi yaitu, manusia sebagai Khalifah
dan Abd (pengabdi Allah). Menurut
Musthafa al-Maraghi, kata Khalifah memiliki dua makna yaitu, Pertama, adalah pengganti Allah untuk
melaksanakan titah-Nya di muka bumi. Kedua,
manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan
makhluk lainnya dan memakmurkan alam bagi kepentingan manusia secara
keseluruhan. Sedangkan arti Abd
sendiri adalah mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah.[12] Tugas
yang kedua ini lebih pada hubungan manusia dengan sang penciptanya. Maka,
pendapat tersebut dapat dikategorokan bahwa manusia sebagai makhluk yang
diciptakan, mempunyai tugas dan fungsi menjalin hubungan hablum min Allah dalam hal ini hubungan manusia dengan Tuhannya
(vertikal), dan hablum min an-nas (horizontal)
yaitu sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan hubungan antara manusia dengan
manusia, dan manusia dengan alam. Tentunya tugas manusia sebagai Khalifah dan Abd adalah sebuah isyarat agar manusia tidak memutuskan kedua
hubungan tersebut.
Pendidikan
Islam pada dasarnya berangkat dan berorientasi pada potensi dasar manusia
secara lebih sistematik dan realistik. Sebab, bagaimanapun sederhanannya suatu
proses pendidikan, ultimate goal-nya haruslah diarahkan pada tujuan yang lebih
mulia, yakni membuat manusia benar-benar menjadi manusia dengan melaksanakan
proses pendidikan yang memanusiakan manusia. Untuk mengoptimalkan serta
mengaktualisasikan potensi dasar kemanusian seperti yang sudah dijelaskan tadi.
Potensi dasar manusia merupakan suatu yang given,
dan semua makhluk manusia diberi potensi dasar yang sama oleh Allah. Karena itu
untuk mencari serta menemukan paradigma baru pendidikan Islam yang humanistik,
pekerjaan paling awalnya adalah menelaah manusia itu sendiri. Baru kemudian menelaah
konstelasi pendidikan Islam agar bisa menemukan hubungan keduannya. Hal inilah
yang mendasari mengapa pembahasannya dimulai dengan menelaah konsep manusia.
Oleh karena itu, secara garis besar tujuan diciptakan manusia adalah;
a. Tujuan utama diciptakan manusia adalah
agar manusia beribadah kepada Allah (Q.S. az-Zariyah: 56)
Pengertian ibadah disini sangatlah luas, namun kepatuhan sepenuh hati
untuk taat kepada Allah adalah sebagai tolak ukurnya. Meliputi berbagai amal
perbuatan yang ditujukan karena Allah untuk mencari ke-ridlaan Allah, garisnya
amal saleh. Menurut Abul A’la Maududi mengemukakan tentang luasnya lapangan
ibadah dalam Islam. Ia menjelaskan bahwa segala perbuatan manusia dalam
interaksi sosialnya yang bentuknya tolong menolong, saling membantu, saling
menghargai, serta perbuatan lain yang sifatnya positif atas dasar taat kepada
Allah, maka perbuatan itu termasuk dengan ibadah.
b. Manusia dicipta untuk berperan sebagai
wakil Tuhan dimuka bumi (Q.S. al-Baqarah: 30, Yunus: 14, al-An’am: 165)
Karena Allah Zat menguasai dan memelihara alam semesta (Rabbul ‘alamin), maka tugas utama manusia sebagai
wakil Tuhan adalah menata dan memelihara serta melestarikan dan menggunakan
alam sebaik-baiknya untuk kesejahteraan hidupnya. (Q.S. Hud: 61) jabatan
sebagai Khalifatullah
ini merupakan anugrah tetapi sekaligus
sebagai amanat. Oleh karena itu, segala aktivitas dalam kaitannya kekhalifahan
ini harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
c. Manusia diciptakan untuk membentuk
masyarakat manusia yang saling kenal-mengenal, hormat-menghormati dan
tolong-menolong antara satu dengan yang lain (Q.S. al-Hujarat: 13). Jika tujuan
penciptaan pertama dan kedua difokuskan pada tanggungjawab individu, tujuan
penciptaan yang ketiga ini menegaskan perlunya tanggungjawab bersama dalam
menciptakan tatanan kehidupan dunia yang damai.[13]
Dalam
pandangannya A. Malik Fadjar menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk pengemban
amanah kekhalifahan mempunyai potensi yang luar biasa besarnya, sehingga dapat
mendayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka membangun peradaban
berdasarkan nilai-nilai ilahiyah.[14]
Menurut Jalaluddin, potensi bawaan (fitrah) tersebut memerlukan pengembangan
melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.[15] Oleh
karena itu, dalam rangka mengembangkan dan mengoptimalkan potensi yang ada pada
diri manusia maka hal ini membutuhkan suatu proses humanisasi yaitu melalui
proses pendidikan.
2.
Peran Pendidikan Islam dalam mengembangkan potensi manusia
Berbicara mengenai pendidikan, adalah proses untuk memberikan
manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Aspek-aspek
yang biasanya paling dipertimbangkan adalah penyadaran, pencerahan,
pemberdayaan, dan perubahan prilaku.[16]
Maka, dapat dikatakan bahwa manusia adalah sebagai subyek dari proses
pendidikan. Hal ini dilandasi bahwa proses pendidikan adalah proses untuk
memberikan kemampuan kepada individu untuk memberikan makna terhadap diri dan
lingkungannya.[17]
Dari sudut pandang epistemologi, pendidikan dilihat sebagai suatu proses yang
inheren dalam konsep manusia, artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui
proses pendidikan.[18] Oleh
karena itu, pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan manusia dan realitasnya.
Karena manusia adalah sebagai subyek dari proses pendidikan dan realitas
merupakan obyek dari proses pendidikan itu sendiri.
Pendidikan merupakan upaya pemberian situasi pada peserta didik.
Dalam bahasa Islam sendiri pendidikan memiliki berbagai istilah, seperti
a.
Kata
kerja rabba yang masdarnya tarbiyyatan memiliki beberapa arti
yaitu mengasuh, mendidik dan memelihara.
b.
Kata
kerja ‘allama yang masdarnya ta’liman berarti mengajar yang
bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan.
c.
Kata
kerja addaba yang masdarnya ta’diban dapat diartikan mendidik
yang secara sempit mendidik budi pekerti dan secara lebih luas meningkatkan
peradaban.[19]
Terlepas
dari berbagai istilah yang diberikan pendidikan dalam mengartikan pendidikan.
Syed Naquib al-Attas sendiri berpendapat bahwa dari hasil kajiannya ditemukan
istilah ta’dib lebih tepat digunakan
dalam konteks pendidikan Islam, dan kurang setuju terhadap penggunaan istilah tarbiyah dan ta’lim.[20]
Karena dalam proses pendidikan Islam yang menjadi subyek dari prosesnya adalah
manusia. Oleh karena itu, istilah ta’dib
(membimbing) lebih humanis jika digunakan dalam proses pendidikan Islam.
Kemudian selain itu juga, sebagaimana dijelaskan di awal bahwa tujuan dari
bimbingan terhadap manusia adalah unsur potensi yang dimiliki manusia baik itu
jasmani, intelektual, maupun rohaniahnya.
Untuk
mengembangkan potensi dasar yang dimiliki, maka manusia membutuhkan adanya
bantuan orang lain untuk mengembangkan, membimbing, mendorong, dan mengarahkan
agar potensi tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Dengan begitu
mereka akan memenuhi kebutuhan hidupnya serta dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan fisik maupun sosialnya. Pendidikan Islam memandang manusia sebagai
struktur organik yang terdiri dari berbagai dimensi ruhaniah maupun jasmaniah.
Dari sudut pandang ini, pendidikan Islam berperan sebagai wadah pengembangan
kedua dimensi tersebut. Dengan pengertian pendidikan Islam seperti tersebut di
atas fungsi pendidikan sudah cukup jelas, yaitu memelihara dan mengembangkan
fitrah dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan
kamil) yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan Islam.[21]
Menurut
Abdul Fattah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia
sebagai hamba Allah. Ia mengatakan bahwa tujuan ini akan mewujudkan
tujuan-tujuan khusus. Dengan mengutip surat al-Takwir ayat 27, Jalal menyatakan
bahwa tujuan itu adalah untuk semua manusia. Jadi, menurut Islam, pendidikan
haruslah menjadikan seluruh manusia menjadi manusia yang menghambakan diri
kepada Allah. Oleh karena itu menurut Jalal ibadah itu tidak terbatas pada
menunaikan shalat, saum di bulan Ramadhan, zakat, haji, akan tetapi semua yang
mencakup amal, fikiran, dan perasaan yang disandarkan kepada Allah juga disebut
dengan ibadah.[22]
Artinya, jika mengacu pada pengertian atau hakikat dari pada pendidikan adalah
suatu proses yang ada dalam kehidupan manusia disebut dengan proses pendidikan,
dimulai dari semenjak lahir hingga “liang lahat” atau meminjam istilah lain
dengan life is education maka dalam
tujuan pendidikanpun tidak jauh berbeda dengan pengertian pendidikan.
Usaha
untuk mencari ketinggian spiritual, moral, sosial, dan intelektual merupakan
inti dari pendidikan Islam. Karena pembentukan moral yang tinggi adalah tujuan
utama dari pendidikan Islam,[23] sehingga
muara dari tujuan pendidikan Islam adalah (insan
kamil) atau “muslim paripurna”. Karena itu, jika melihat kembali mengenai
pengertian-pengertian pendidikan Islam di atas baik secara etimologi maupun
terminologi, bahwa keberadaan pendidikan Islam bukan sebatas menyangkut
persoalan ciri khas, atau pendidikan yang diberikan imbuhan kata Islam, akan
tetapi pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang menggunakan
nilai-nilai normatif Islam, dengan tujuan, metode, kurikulum, dasar, dan
lainnya berpedoman pada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Melihat
kebutuhan akan suatu proses pendidikan,
manusia dituntut untuk selalu menjadi subyek yang mampu mengubah realitas dan eksistensialnya,
bahkan menjadi makhluk yang lebih manusiawi. Dalam bahasa filsafat pendidikan
Paulo Freire bertumpu pada keyakinan manusia secara fitrah mempunyai kapasitas
untuk mengubah nasibnya dan seluruh alam semesta yang dalam pendidikan Islam
dikatakan bahwa manusia sebagai khalifah
fil ard (wakil Tuhan di muka bumi).[24] Untuk
memenuhi tugas tersebut, maka manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal
senantiasa berproses untuk mencari eksistensinya menuju kesempurnaan (insan kamil). Artinya pada kawasan
tersebut, proses pendidikan merupakan proses pengembangan dan sekaligus proses
rekonstruksi manusia sehingga terjadi perubahan diri dan lingkungannya.
Melihat peran dan fungsi pendidikan Islam, maka
dengan mengembangkan kajian antropologi dan sosiologi ke dalam perspektif
al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan Islam adalah
a. Mengembangkan wawasan yang tepat dan
benar mengenai jati diri manusia, alam sekitarnya dan mengenai kebesaran Ilahi,
sehingga tumbuh kemampuan membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan, serta
memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan kemampuan ini akan
menumbuhkan kreativitas dan produktivitas sebagai implementasi identifikasi
diri pada Tuhan “Pencipta”.
b. Membebaskan manusia dari segala anasir
yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari
dalam dirinya sendiri maupun dari luar. Yang dari dalam antara lain kejumudan,
taklid, kultus individu, khurafat dan yang terbesar adalah syirik. Terhadap anasir
dari dalam ini, manusia harus terus melakukan penyucian diri (tazkiyah
an-nafsi).
Sedangkan yang datang dari luar adalah situasi dan kondisi, baik yang bersifat
kultural maupun struktural yang dapat memasung kebebasan manusia dalam
mengembangkan realisasi dan aktualisasi diri. Untuk menghilangkan dan
meminimalkan anasir dari luar harus ada upaya sistematis dan strategis dari
seluruh elemen masyarakat, terutama pemerintah. Dengan semakin minimalnya
anasir-anasir tersebut terbukalah jalan untuk optimalisasi realisasi diri dan
aktualisasi diri sehingga menuntun hidup individu dan masyarakat lebih arif dan
bertanggungjawab.
c. Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk
menopang dan memakukan kehidupan baik individu maupun sosial. Untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan menurut sinyal yang diberikan al-Qur’an,
sebagaimana tersebut pada butir pertama, hendaknya dimulai dengan memahami
fenomena alam dan kehidupan dengan pendekatan empirik, sehingga mengetahui
hukum-hukumnya (Sunnah Allah).[25]
3.
Paradigma Humanisme-Teosentris
Perintah
membaca yang tertulis dalam surat al-Alaq ayat pertama bukan hanya
sebatas membaca tulisan, akan tetapi membaca fenomena alam dan peristiwa dalam
kehidupan, termasuk kejadian manusia. Hal inilah yang kemudian disebut dengan
paradigma humanisme-teosentris pendidikan Islam karena kemampuan membaca sebagai
unsur humanisme didasari dengan kekuatan spiritual Ilahiyah (teosentrisme)
yaitu membaca dengan nama Tuhan yang menciptakan manusia (iqra bismirabbik
alladzi khalaq).[26]
Daya kritis yang dibangun oleh pendidikan Islam adalah sebagai wujud perhatian
Islam terhadap manusia. Karena Islam sangat merespons terhadap persoalan
manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu, al-Qur’an menjadi dasar dan landasan
dalam pendidikan Islam, karena al-Qur’an sendiri merupakan petunjuk bagi
manusia (hudan al-nas).
Al-Qur’an
sebagai petuunjuk bagi manusia supaya kehidupannya kearah yang lebih baik, baik
di dunia maupun di akhirat. Artinya, kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki
oleh manusia sehingga dapat di diarahkan oleh petunjuk tersebut. Dalam sistem
pendidikan Islam, manusia dipahami sebagai zat theomorfis. Ia
berorientasi untuk menjadi pribadi yang bergerak diantara dua titik ekstrim;
“Allah – setan”. Kecenderungan-kecenderungan seperti yang dimaksudkan adalah
manusia mempunyai sifat taqwa (baik) dan fujur (buruk), karenanya
dibutuhkan sebuah pedoman khusus dalam membina manusia sehingga menjadi manusia
yang baik dimata manusia dan baik dihadapan Allah. Tuhan menciptakan potensi
atau daya-daya yang ada dalam diri manusia, perkembangan selanjutnya terserah
pada manusia sendiri. Sebagaimana dikatakan al-Jubba’i bahwa manusialah yang
menciptakan perbuatan-perbuatannya. Dengan kata lain, manusialah yang berbuat
baik dan buruk, patuh dan tidak patuh terhadap Allah adalah atas kehendak dan
kemauannya sendiri. Daya-daya untuk mewujudkan kehendak itu telah ada dalam
diri manusia sebelum adanya perbuatan.[27]
Manusia
merupakan makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia lain.
Kehidupan untuk hidup bergotong royong, saling membantu, saling menolog dan
lainnya adalah corak hidup yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia.
Karena itu, untuk menjalankan interaksi sosioal, manusia memerlukan etika atau
nilai yang harus di sepakati sehingga terjadi hubungan yang harmonis antara
manusia yang satu dengan yang lain. Artinya, interaksi manusia akan terus
berlangsung secara harmonis karena ada nilai-nilai kemanusiaan yang disepakati
bersama, yaitu seperti halnya kejujuran, keadilan, tolong-menolong, saling
hormat-menghormati dan lain sebagainya. Maka, untuk dapat mengaktualisasikan
atau mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam praktik kehidupan diperlukan kemauan
moral. Untuk menumbuhkan kemauan moral diperlukan penghayatan dan untuk
menghayati nilai-nilai moral diperlukan pemahaman. Proses pemahaman,
penghayatan dan pengalaman nilai-nilai tersebut tentunya melalui proses
pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan adalah upaya internalisasi dan
menstransformasikan nilai-nilai insani dalam kehidupan. Nilai-nilai inilah yang
akan menuntun wawasan dan kreativitas manusia secara tepat dan bermakna bagi
hidup dan kehidupan, baik individu maupun sosial.[28]
Dalam kajian antrompologi dan sosiologi Islam, disinilah kemudian letak
universalisme Islam dalam merespons persoalan-persoalan manusia.
Universalisme
Islam bertitik tolak dari pengertian “Islam” itu sendiri. Dalam rangka memenuhi
kebutuhan eksistensial al-Qur’an memberikan petunjuk kepada manusia, agar ia
mampu memenuhi janjinya kepada Tuhan. Dari pengertian ini Islam merekatkan
hubungan vertikal, antara manusia dengan Tuhan, dan hubungan horizontal yaitu
manusia dengan alam, serta dengan sesamanya. Dalam kaitan ini pula Nurcholish
Madjid (1992:426). Yang pertama menjadi sumber ide tentang universalisme Islam
adalah pengertian perkataan Islam itu sendiri. Sikap pasrah kepada Tuhan tidak
saja merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya, tetapi ia diajarkan oleh-Nya
dengan disangkutkan kepada alam manusia itu sendiri. Pendidikan Islam sebagai
instrumen perwujudan nilai-nilai Islam menjadikan nilai-nilai universalisme
Islam ini sebagai landasan filosofis, motivasi dan sekaligus ideologi dalam
pandangan, pemikiran, dan tindakan. Karena itu orientasi dan misi pendidikan
Islam diarahkan pada pengembangan potensi manusia untuk mampu hidup
ditengah-tengah masyarakat global dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
universal.[29]
Berbagai
pandangan dari paradigma pendidikan, mengasumsikan manusia sebagai makhluk yang
memiliki sejarah masa lalu, masa kini, dan akan masa yang datang. Karena itu,
berbagai pandangan ini menuai perbedaan yang tidak saja perbedaan mengenai
pandangan terhadap manusianya, akan tetapi juga perbedaan terhadap tujuan dari
pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Misalnya saja dari humanisme sekuler yang
dilatar belakangi oleh eksistensialisme. Dalam idelogi ini memiliki pandangan
bahwa manusia sebagai makhluk yang wujud dengan sendirinya di alam semesta
tidak terdapat bagian atau karakteristik tertentu yang datang dari Tuhan.
Humanisme sekuler lainnya telah mengambil moral kemanusiaan seluruhnya dari
agama, dengan menghasilkan Tuhan, sebagaimana dinyatakan bahwa pendidikan
spiritual dalam nisbahnya dengan keutamaan-keutamaan moral dapat dicapai tanpa
keyakinan terhadap Tuhan. Dengan kata lain, maksudnya adalah bahwa ideologi
humanisme sekuler ini menafikan interfensi Tuhan dalam mengatur kehidupan
karena manusia merasa bisa mengatur dirinya sendiri.[30]
Perbedaan prinsip atau cara pandang inilah yang akan menentukan tujuan yang
ingin dicapai dalam proses pendidikan. Artinya, dari berbagai ideologi
pendidikan yang ada dapat dilihat dari ideologi yang dipakai sehingga
menghasilkan tujuan pendidikan. Karena itu, dalam pendidikan Islam paradigma
humanisme teosentris merupakan paradigma yang membantah asumsi-asumsi yang
disepakati dalam paradigma pendidikan sekuler.
Islam
sebagai agama fitrah memiliki konsep humanisme yang secara eksplisit berbeda
dengan prinsip-prinsip filsafat, ideologi, dan agama-agama yang lain. Hal
inilah bukti bahwa Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia. Humanisme dalam Islam adalah humanisme teosentris, yang
memiliki maksud bahwa pandangan kemanusiaan (humanisme dalam Islam) tetap dalam
bingkai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tauhid). Oleh karena itu,
humanisme teosentris merupakan nilai inti (core of values) dari seluruh
sistem nilai dalam Islam. Dengan humanisme teosentris ini, Islam berbeda dengan
agama-agama lain dalam hal pemikiran dan pandangannya terhadap manusia. Karena
Islam sendiri tidak mengenal sistem pemikiran yang serba pantheologism
atau pemikiran yang serba teologi yang menegasikan pemikiran rasio, tetapi
Islam justru menekankan pentingnya penggunaan daya indra, akal, dan hati (fuad)
untuk menemukan kebenaran.
Teosentrisme
dalam Islam maksudnya adalah “Tauhidi”, yang berarti seluruh kehidupan berpusat
pada Allah. Allah sebagai ghayatul hayat (tujuan hidup). Konsep tauhid
sebagai aqidah Islam mengandung implikasi doktrinal bahwa tujuan kehidupan
manusia adalah ibadah kepada Allah. (al-Dzariyat: 56) dan memikul amanah sebagai
khalifah Allah di bumi (al-Baqarah: 30, Yunus: 14, al-An’am: 165). Implikasi
lebih lanjut dari konsep tauhid adalah berlakunya sistem nilai tauhid, dimana
tauhid adalah nilai dasar dari seluruh tatanan nilai dalam Islam sebagai norma
dan pedoman hidup dalam berbagai bidang kehidupan terutama kehidupan beragama
atau religiusitas seorang muslim.[31]
Walaupun kehidupan manusia ditujukan kepada Allah akan tetapi pada pengertian
Ibadah juga memiliki implementasi dan pengertian yang sangat luas. Karena dalam
doktrin Islam, bahwa Ibadah mempunyai kaitannya dengan keimanan terhadap Tuhan
sedangkan keimanan ini juga membutuhkan amalih atau action kedalam
bentuk kehidupan manusia. Artinya, ke-Tauhidan
ini bukan hanya berada pada keyaninan dalam hati akan tetapi perlu
ditunjukan kedalam perbuatan-perbuatan yang telah tunjukan dalam nilai-nilai
ataupun pesan-pesan yang terkandung dalam keimanan tersebut. Oleh karena itu, ke-Tauhidan
harus selalu diaktualisasikan menjadi amalih dan baliknya amalih baru bermakna
bila didasarkan pada iman dan diorientasikan untuk Ibadah kepada Allah.
4.
Paradigma Teo-Antroposentris
Usaha
untuk mencari paradigma baru pendidikan Islam tidak akan pernah berhenti sampai
titik final, hal ini sesuai dengan perkembangan zaman yang akan terus berubah
dan berkembang. Oleh karena itu, paradigma pendidikan Islam akan selalu
mengalami perkembangan dalam skema pemikirannya, itu artinya pendidikan Islam
akan selalu menjawab dan merespon perkembangan dan pola baru kehidupan
masyarakat. Pendidikan Islam akan selalu up to date dalam setiap locus
maupun perkembangannya, hal ini yang memunculkan suatu pemikiran bahwa
pendidikan Islam akan mengalami rekonstruksi, reorientasi, dan restrukturisasi
sistem dan pemikiran pendidikan Islam.
Sehubungan
dengan semakin gencarnya pengaruh globalisasi lengkap dengan munculnya berbagai
kejadian yang paradoksal, model-model pemikiran lama dan linear terasa tidak
mampu lagi merespon tantangan jaman, seperti yang terungkap dalam semangat postmodernisme.
Karena itu, kita perlu menelaah ulang tiga aliran pendidikan yang sudah
dianggap final sebagai grand theory dalam pendidikan, yaitu empirisme,
nativisme, dan konvergensi. Keberatan utama terhadap tiga teori
pendidikan itu, menurut pandangan filsafat pendidikan Islam, adalah
pandangannya tentang manusia yang terlalu antroposentris. Sementara menurut
ajaran Islam, manusia dipahami sebagai makhluk yang teosentris. Pandangan
manusia sebagai makhluk antroposentris hanya merupakan salah satu aspek dari
dimensi filsafat pendidikan Islam itu. demikian pula dengan persoalan
perkebangan peradaban manusia yang telah mulai berbicara konteks postmodernisme.
Di mana pola pikir yang cenderung mengeneralisasi segala persoalan, termasuk
persoalan-persoalan pendidikan, kurang mendapat tempat.
Sejarah
memang ciptaan manusia. Kepribadian dan prilaku manusia yang hidup didalamnya
ditentukan oleh sejarah. Manusia dalam sejarahnya pernah mengalami masa
kegelapan, pencerahan, awal-modern, dan postmodern. Setiap jaman memiliki
paradigma tersendiri dalam memandang dan melaksanakan pembangunan yang terus
berfikir menentukan arah kehidupannya. Dalam proses itu, seringkali terjadi
peristiwa yang mengejutkan dan manusia kewalahan merespon hasil ciptaanya
sendiri. Misalnya, Iptek semula diciptakan manusia untuk menjadikan
kehidupannya lebih aman dan nyaman, ternyata justru melahirkan krisis makna
hidup. Iptek juga berdampak pada perbudakan umat manusia dan kesenjangan
sosial-budaya. Pada titik ini, Iptek merupakan sumber peluang utama dalam
memperkokoh eksplorasi antara sesama manusia, dan eksplorasi manusia terhadap
alam.[32]
Pada akhirnya, ilmu umum dan ilmu agama seolah-olah terpisah dan memisahkan
diri tanpa adanya saling keterkaitan atau bahkan saling memenuhi kebutuhan.
Ilmu agama hadir dan berjalan tanpa adanya dukungan Iptek, dan begitu
sebaliknya ilmu umum berjalan dan hadir tanpa adanya sentuhan ilmu agama. Hal
inilah yang memunculkan kegelisahan pada dunia keilmuan yaitu dikotomi ilmu.
Padahal jelas sekali bahwa untuk melestarikan serta memakmurkan alam dan
seisinya adalah tugas dari pada manusia, dan untuk menjalankan fungsi tersebut
tentunya berangkat dari petunjuk yang diberikan oleh Sang Pencipta yaitu
al-Qur’an.
Dalam
pandangan Islam antara kebenaran ilmiah, etika, estetika, dan demokrasi
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, mereka
hanya dapat dibedakan menurut posisi dan peran atau fungsinya masing-masing.
Dalam pandangan Islam, ilmu sudah terkandung secara esensial dalam al-Qur’an.
Oleh karena itu berilmu berarti beragama dan beragama berarti berilmu. Maka
tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama. Ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas
dinilai atau dikritik. Menilai dan menggugat kembali keabsahan dan kebenaran
suatu pendapat adalah diharuskan tanpa menilai yang berpendapat. Bahkan ilmuan
dengan senang hati melemparkan pendapatnya untuk dinilai dan bukan untuk
dipertahankan, karena yang dicari adalah kebenaran dan bukan pembenaran.
Paradigma pendidikan Islam yang dimaksud disini adalah pemikiran yang terus
menerus harus dikembangkan melalui pendidikan untuk merebut kembali pendidikan
Iptek, sebagaimana jaman keemasan dulu. Pencarian paradigma baru dalam
pendidikan Islam terhadap Iptek, dan setelah itu baru dirumuskan konsep atau
sistem pendidikan Islam secara utuh. Paradigma baru pendidikan Islam ini
berdasar pada filsafat teosentris dan antroposentris sekaligus.
Prinsip-prinsip lain dalam paradigma baru pendidikan Islam yang ingin
dikembangkan adalah tidak ada dikotomi antara ilmu umum dan agama, ilmu tidak
bebas nilai tetapi dinilai, mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan
dan tidak hanya mengajarkan sisi tradisional, melainkan sisi rasional.
Dengan
paradigma baru pendidikan Islam, diharapkan akan memunculkan ide-ide dan
pemikiran yang dapat memajukan perkembangan ilmu bagi dunia pendidikan Islam.
Seperti konsep pendidikan sekuler tidak sepenuhnya tidak cocok dengan ajaran
Islam. ia mengandung beberapa kebenaran, terutama yang berkenaan dengan Iptek
yang dapat diterima oleh Islam. sebaliknya, Islam tetap meghormati dan menerima
konsep pendidikan tradisional yang sudah mengakar atau mentradisi dalam
kehidupan umat Islam. Namun demikian harus disadari adanya hal-hal yng perlu
ditinggalkan karena sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan jaman. Untuk
mewujudkan keinginan tersebut, maka perlu dipahami dan diberikan ruang dialog
antara ilmu umum dan agama sehingga menjadi satu kesatuan ilmu. Inilah sebabnya
dibutuhkan buku ilmu pengetahuan yang selalu memuat uraian teologi, ilmu-ilmu
tentang jagat raya, ilmu-ilmu tentang manusia, dan lainnya. Dari sini terdapat
beberapa perbedaan mendasar model pendidikan Islam dengan model pendidikan
sekuler.
a.
Dasar
Pendidikan sekuler :
Antroposentris
Pendidikan Islam : Teosentris, dimana konsep
“antropo-entris” merupakan bagian esensial dari konsep teosentris.
b.
Tujuan
Pendidikan Sekuler : Kehidupan duniawiyah, maju, adil,
sejahtera, damai, dan dinamis sebagai tujuan final
Pendidikan Islam : kerja membangun kehidupan duniawiyah
melalui pendidikan sebagai perwujudan mengabdi kepada-Nya. Pembangunan
kehidupan duniawiyah bukan menjadi tujuan final, tetapi merupakan kewajiban
yang diimani dan terkait kuat dengan kehidupan ukhrawiyah; tujuan finalnya
adalah kehidupan ukhrawi dengan ridha Allah Swt.
c.
Konsep
manusia
Pendidikan Sekuler :
Tabularasa
Pendidikan Islam :
Fitrah
d.
Nilai
Pendidikan Sekuler : Iptek
dengan kebenaran relatif
Pendidikan Islam :
Iptek dengan Iman-taqwa; kebenaran relatif dan mutlak
e.
Sistem
atau tanggungjawab
Pendidikan Sekuler :
Murid, orang tua, guru, masyarakat
Pendidikan Islam : Murid, orang tua, guru, masyarakat. namun
mereka berbeda dalam nuansa gradualnya.[33]
C.
Penutup
1.
Kesimpulan
a.
Konsep manusia menurut pandangan Islam
Dalam
al-Qur’an Istilah manusia sudah dijelaskan secara komprehensif serta mendalam,
baik dipandang dari segi makhluk ciptaan Tuhan maupun sebagai makhluk sosial.
Artinya, dalam hal ini Islam mempunyai pandangan yang berbeda dengan pendekatan
ilmu-ilmu lain seperti, manusia dipandang sebagai makhluk ekonomi, makhluk
biologi, makhluk politik dan sebagainya. Sehingga dari sudut pandang tersebut
dapat mempengaruhi konsep yang disusun sebagai pandangannya terhadap manusia. Sebagaimana
dijelaskan dalam pembahasan, contohnya saja dengan istilah al-Nas
dengan bentuk asal kata Anasa yang
memiliki makna melihat, mendengar, serta mengetahui. hal ini menunjukan bahwa
manusia mempunyai kemampuan penalaran, yakni penalaran manusia yang dapat
memiliki pelajaran dari pengalaman hidupnya. Sudah barang tentu dari istilah
satu yang digunakan al-Qur’an tersebut memiliki pembahasan yang sangat luas dan
lebih jauh lagi. Oleh karena itu menurut padangan penulis sendiri, berdasarkan
hasil analisis dari pembahasan. Maka, konsep manusia menurut pandangan Islam
jika dipandang dari salah satu istilah saja yaitu istilah Anasa, penulis
mengasumsikan bahwa pendidikan merupakan suatu yang inheren didalam konsep
manusia itu sendiri. Dengan proses pendidikan tersebut, manusia mampu
mengembangkan diri, mampu meberdayakan kemampuannya sehingga pendidikan
merupakan proses humanisasi.
Salah
satu tokoh Islam seperti al-Ghazali sendiri dalam karyanya menjelaskan bahwa
esensi dari manusia adalah ruh, jiwa, akal, dan hati. Hal ini pada dasarnya
memperkuat asumsi yang disampaikan di atas. Bahwa Anasa memiliki peluang
besar untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, yaitu melalui potensi akal
dan hati. Rasio atau akal tersebut tentunya diperlukan pembuktian dengan
penglihatan, pendengaran, serta pengetahuannya sehingga akal menumbuhkan
penguatan dalam hati. Salah satu contohnya dalam bahasan ke-Tauhidan, manusia
pada dasarnya memiliki ke-Tauhidan sejak lahir akan tetapi keyakinan dalam hati
tersebut akan meningkat jika peran akal bisa ditinggkatkan. Keyakinan (ke-Tauhidan)
dalam hati tersebut dapat diperkuat oleh penglihatan serta pengetahuan (akal) mengenai
penciptaan-Nya.
b.
Peran pendidikan Islam dalam mengembangkan potensi (fitrah) manusia
Pendidikan
merupakan upaya perbaikan diri menuju kesempurnaan di hadapan Tuhan (insan
kamil) dan kesempurnaan di mata manusia (insan paripurna).
Sebagaimana dijelaskan dalam kesimpulan pertama, bahwa potensi ataupun
kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki manusia tersebut tidak saja
berkembang secara sendirinya. Oleh karena itu, dalam dimensi ini manusia
membutuhkan suatu alat untuk mengembangkan selaga potensi dalam dirinya. Proses
pemanusiaan manusia (humanisasi) ini hanya bisa dilakukan melalui proses
pendidikan. Karena itu, dalam proses ini membutuhkan suatu konsep pendidikan
yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Sebagaimana
dijelaskan di atas, bahwa ada dua konsep yang diusung dalam pengembangan
potensi manusia, yaitu sebagai a’bid dan khalifah. Oleh karena
itu, untuk mencapai tujuan tersebut maka yang dibutuhkan adalah konsep
pendidikan Islam. Pendidikan Islam memiliki konsep yang berbeda dengan konsep
pendidikan secara umum, karena yang menjadi landasan dan dasar dalam membangun
konsep pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an sebagai pedoman
sekaligus petunjuk bagi manusia menjadi lebih realis untuk dijadikan landasan dalam
pendidikan Islam. Adapun daerah binaan dalam pendidikan Islam adalah
-
Daerah
jasmani
-
Daerah
akal
-
Daerah
hati
Namun
dari segi tempat, pendidikan terjadi pada tiga wilayah dalam proses
pendidikannya, yaitu diantaranya adalah
-
Wilayah
keluarga
-
Wilayah
masyarakat
-
Wilayah
sekolah
Bagaimanapun
sederhananya suatu proses pendidikan, ultimate goal-nya haruslah
diarahkan pada tujuan yang lebih mulia, yakni membuat manusia benar-benar
menjadi manusia dengan melaksanakan proses pendidikan yang memanusiakan
manusia. Untuk mengoptimalkan serta mengaktualisasikan potensi dasar
kemanusiaan itu menjadi inti kegiatan tarbiyah Islamiyah dalam proses
internalisasi nilai-nilai Illahiyah.
2.
Saran
a.
Proses
pendidikan merupakan proses pembudayaan manusia kearah yang lebih konstruktif-positif,
dalam pendidikan Islam perlunya konsep yang lebih implementatif dalam menangkal
pengaruh-pengaruh dari kebudayaan luar yang bersifat destruktif
b.
Dalam
ideologi pendidikan humanisme-teosentris, peran dan posisi peserta didik dan pendidik
perlu dipertegas. Artinya, apakah dalam proses pendidikan itu yang menjadi
subyek pendidikan adalah peserta didik, pendidik, atau bahkan kedua-duanya.
c.
Perlu
mengadakan sosialisasi kepada seluruh pelaku pendidikan sehingga paradigma
humanisme-teosentris ini menjadi implementatif atau tidak hanya sebatas
teoritis dalam dunia pendidikan.
d.
Perubahan
dan peradaban masyarakat akan terus berkembang, karena itu pendidikan Islam
dituntut untuk lebih kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
jaman, atau tidak konservatif. Oleh karena itu, Perlu adanya rekonstruksi dan
reorientasi paradigma pendidikan Islam agar pendidikan Islam lebih solutif
terhadap kondisi atau realitas masyarakat.
Daftar Pustaka
Achmadi. 2010. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Baharuddin dan Moh. Makin. 2009.
Pendidikan Humanistik.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Djuwaeli, H. M.
Irsjad. 1998. Pembaharuan Kembali
Pendidikan Islam. Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar.
H.A.R. Tilaar dan Riant
Nugroho. 2009. Kebijakan Pendidikan
(pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai
kebijakan publik). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
H.A.R Tilaar. 2002. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani
Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Langgulung, Hasan. 1995.
Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Al-Husna Zikra.
Mastuhu. 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Mas’ud, Abdurrahman.
2001. Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Nata, Abuddin. 1997.
Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam (pendekatan
teoritis dan praksis). Jakarta: Ciputat Press.
Sanaky, Hujair Ah.
Sanaky. 2003. Paradigma Pendidikan Islam
(membangun masyarakat madani Indonesia). Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Soyomukti, Nurani.
2010. Teori-teori Pendidikan
(tradisional, neo liberal, marxis-sosialis, post modern). Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Umiarso dan Zamroni.
2011. Pendidikan Pembebasan (dalam
perspektif Barat dan Timur). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
[1]
Achmadi,
Ideologi Pendidikan Islam, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hal. 41.
[2] Mastuhu, Memberdayakan
Sistem Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal.
22.
[3]
Achmadi,
Ideologi Pendidikan...,hal. 42.
[4]
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Cet. I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), hal. 29.
[5]
Achmadi,
Ideologi Pendidikan..., hal. 45.
[6]
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur), Cet. I,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 70.
[7]
Mastuhu, Memberdayakan
Sistem..., hal. 23.
[8]
Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan,
Cet. III, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hal. 262.
[9]
Baharuddin dan
Moh. Makin, Pendidikan Humanistik,
Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 62.
[10]
Achmadi,
Ideologi Pendidikan..., hal. 47.
[11]
Baharddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik..., hal. 38.
[12]
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (pendekatan teoritis dan praksis), Cet.
I, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 17.
[13]
Achmadi,
Ideologi Pendidikan..., hal. 64-66.
[14]
Hujair Ah. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam (membangun masyarakat madani Indonesia), Cet.
I, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 232.
[15]
Abdurrahman Mas’ud, Paradigma Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 2001), hal. 220.
[16]
Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan (tradisional, neo liberal, marxis-sosialis, post
modern), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hal. 27.
[17]
H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan (pengantar untuk
memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan
publik), Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 21.
[18]
H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Cet. III,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 17.
[19]
Achmadi,
Ideologi Pendidikan..., hal. 27.
[20]
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan..., hal. 91.
[21]
Achmadi,
Ideologi Pendidikan..., hal. 32.
[22]
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan..., hal. 46.
[24]
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan..., hal. 27.
[25]
Achmadi,
Ideologi Pendidikan..., hal. 38.
[27]
Mastuhu, Memberdayakan
Sistem..., hal. 25.
[28]
Achmadi,
Ideologi Pendidikan..., hal. 34.
[29]
H. M. Irsjad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Karsa Utama
Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1998), hal. 31.
[30]
Achmadi,
Ideologi Pendidikan..., hal. 23.
[32]
Mastuhu, Memberdayakan
Sistem..., hal. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar