Pages

Senin, 18 Maret 2013


MANUSIA DAN PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Begitu sentralnya posisi manusia sebagai makhluk Tuhan, hampir semua ilmu pengetahuan menjadikannya sebagai obyek studinya. Bukan hanya ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tetapi sebagian ilmu-ilmu kealaman dan eksakta juga menjadikan manusia sebagai obyek studinya. Yang membedakan antara ilmu-ilmu tersebut adalah perbedaan sudut pandang terhadap manusia sesuai dengan disiplin masing-masing. Misalnya biologi mengkaji manusia dari aspek biologisnya, kedokteran mengkaji manusia dari aspek kesehatan atau medis, ilmu politik, ekonomi dan seterusnya. Sedangkan ilmu pendidikan membahas manusia dari sudut pandang fenomena dan aktivitasnya dalam pendidikan.[1] Berbagai disiplin ilmu yang dihasilkan dari kajian terhadap manusia tersebut menunjukan betapa manusia memiliki berbagai potensi yang dimilikinya. Sehingga, proses penelaahan manusia menjadi suatu grand tema bagi
seluruh disiplin ilmu. Maka, dari sudut pandang agama (Islam) pun jauh sebelum munculnya disiplin-disiplin ilmu yang dijelaskan tadi sebenarnya sudah merespons dan menyebutkannya dalam al-Qur’an, karena itu al-Qur’an di dikatakan sebagai pedoman sekaligus sebagai petunjuk bagi manusia.
Manusia adalah makhluk yang memiliki kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Ia dianugrahi berbagai potensi sebagai wujud makhluk yang memiliki keinginan, nafsu, perubahan, serta potensi lain yang menjadikannya sebagai makhluk yang menyejarah. Artinya, dari berbagai potensi tersebut membuat makhluk ini mempunyai kecenderungan-kecenderungan untuk menjalani kehidupan secara kolektif atau disebut sebagai makhluk sosial. Namun, berbagai potensi tersebut tidak begitu saja ada dan berkembang secara sendirinya. Akan tetapi berbagai potensi tersebut harus dikembangkan sesuai dengan peran dan fungsi manusia. Hal ini yang menyebabkan manusia membutuhkan suatu dimensi dalam mengembangkan potensi serta mengarahkan kecenderungan-kecenderungan tersebut kearah yang lebih baik menurut petunjuk al-Qur’an dan Sunnah.
Manusia hidup mengandalkan instink atau nalurinya semata. Ia hidup dengan akal, perasaan, dan kemauan. Ia mampu mengubah dan mengelola lingkungan yang mengitarinya, menciptakan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai cita-citanya. Jika manusia mau berulangkali tersandung kepada batu yang sama, hal itu karena itu ingin mengetahui dan meneliti mengapa ia sampai tersandung. Setelah itu, ia berusaha memperbaiki dan mengembangkan kehidupannya. Dalam konteks inilah dikatakan bahwa orientasi kehidupan manusia menjangkau tiga dimensi waktu: lampau, kini, dan mendatang, hingga memiliki predikat sebagai makhluk historis.[2] Sehingga dari sudut pandang inilah perlunya proses dinamika dan dialektika dalam proses kehidupan manusia sehingga mengarah pada hal yang bersifat konstruktif-positif. Dimensi yang dimaksud adalah berada dalam proses pendidikan. Namun, ketika akan menjelaskan konsep pendidikan tentunya harus memiliki landasan dan dasar dalam merumuskan konsep serta tujuan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan sehingga kajian yang mengawali perumusan konsep dan tujuan tersebut diawali dengan mengkaji manusia itu sendiri.
Pendidikan yang berfungsi membantu pertumbuhan dan perkembangan manusia menuju ke arah yang lebih baik secara normatif, tidak mungkin dilakukan tanpa mengetahui haikat manusia. Pendidikan yang didasarkan atas pemahaman yang salah mengenai hakikat manusia akan berakibat fatal. Misalnya menganggap manusia hanya sebagai makhluk biologis, maka sasaran pengembangannya hanya bertumpu pada aspek fisik. Pembahasan mengenai hakikat manusia, merupakan wilayah kajian filsafat yaitu metafisika. Secara metafisis pada umumnya para filosof mengidentifikasikan manusia dengan makhluk yang memiliki kekhususan serta kelebihan tertentu, antara lain; manusia adalah makhluk berbicara, berpikir dan berbudaya. Sedangkan para ahli pendidikan mengklaim bahwa manusia adalah makhluk yang dapat mendidik dan didik (animal educandum).[3] Secara umum pendidikan diartikan sebagai proses perubahan dan perkembangan manusia kearah yang lebih maju, upaya ini bisa dikatakan sebagai pemberian situasi terhadap manusia sehingga mampu mendewasakan diri. Namun dari sudut pandang Islam pendidikan memiliki landasan dan dasar yang berbeda dengan perspektif pendidikan secara umum. Karena itu, pendidikan Islam akan mempunyai tujuan dan konsep yang berbeda dengan pendidikan secara umum. Sebagai contohnya saja istilah yang digunakan juga berbeda, secara etimologi pendidikan di istilahkan dengan education, namun dari sudut pandang Islam justru lebih beragam yaitu dengan istilah tarbiyah, ta’lim,dan ta’dib. Maka, dari kedua perbedaan tersebut akan berbeda baik secara konsep maupun tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam.


2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana konsep manusia menurut pandangan Islam.?
b.      Bagaimana peran pendidikan Islam dalam mengembangkan potensi (fitrah) manusia.?
3.      Pendekatan
Pembahasan makalah ini berjudul “Manusia dan Pendidikan Dalam Perspektif Islam”, yakni mendeskripsikan kedua bahasan tersebut dengan menggunakan beberapa referensi yang disarankan. Adapun yang menjadi referensi primer dalam pembahasan makalah ini adalah:
a.       Mastuhu, dengan judul buku “Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam
b.      Achmadi, dengan judul buku Ideologi Pendidikan Islam
Dalam pembahasan makalah, tentunya memiliki berbagai pendekatan atau metode dalam mengkaji suatu masalah. Pembahasan dalam makalah ini menggunakan pendekatan sosio-antropologi dan teologis. Pendekatan sosio-antropoligis membahas mengenai kajian manusia dan kegiatan dalam hidupnya yang mana dalam hal ini adalah pendidikan, sedangkan pendekatan teologis adalah pendekatan yang membahas mengenai agama (Islam) dan ajarannya yang mendasar, yakni terkait dengan pandangannya terjadap ideologi dan perumusan dalam tujuan pendidikan Islam.
B.     Pembahasan
1.    Konsep manusia menurut Islam
Al-Qur’an memperkenalkan kata kunci untuk memahami manusia secara komprehensif. Kata kunci tersebut adalah Insan, al-Basyar, dan bani Adam. Kata Insan yang bentuk jamaknya al-Nas dari segi sematik atau ilmu tentang akar kata, dapat dilihat dari asal kata Anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui, dan meminta izin. Atas dasar ini kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalaran, yakni dengan penalaran itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Adapun kata Basyar sendiri dimaknai sebagai penyebutan semua makhluk, baik laki-laki maupun perempuan, baik secara individual maupun kolektif. Kata Basyar adalah jamak dari kata Basyarah yang artinya permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.[4] Kata basyar juga terjelaskan dalam Q.S. al-Hijr yakni makhluk fisik-biologis. Jasad atau fisik manusia asal mulanya dari tanah, dan setelah berproses lalu terbentuklah menjadi manusia. Sebagai makhluk biologis kejadiannya hampir sama dengan makhluk biologis lainnya terutama jenis binatang mamalia, yaitu dari nutfah, ‘alaqah kemudian mudhghah (embrio) dan akhirnya terbentuklah janin, yang strukturnya secara gradual lebih sempurna dari binatang (Q.S at-Tin: 4 dan al-Mukminun: 13-14).[5]
Imam al-Ghazali sendiri dengan karya yang monumentalnya “Ihya Ulumuddin” mengulas seputar konsepsi manusia, berpendapat bahwa esensi manusia terdiri dari empat bagian, yaitu; hati, ruh, jiwa dan akal.[6] Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal memungkinkan manusia untuk berpikir dan selalu mencari kebenaran. Karena itu, menurut al-Ghazali, salah satu faktor sifat kodrati manusia adalah tidak pernah berhenti bertanya dalam mencari kebenaran. Manusia selalu ingin mengetahui rahasia alam. Semakin jauh rahasia alam yang bisa diselidiki, semakin banyak pula daerah misteri yang tidak diketahui, dan semakin tinggi kekagumannya kepada Allah, mysterium, tremendum et fascinosum. Manusia sadar akan kodratnya sebagai makhluk yang tidak mau berhenti mencari kebenaran.[7] Maka, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang menyejarah dan bisa belajar serta beradaptasi dengan lingkungannya. Manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan, sosial. Kemudian selain itu juga manusia mempunyai tata etnik, aturan, peradaban dan tentunya sebagai makhluk yang mempunyai budaya. Inilah yang kemudian menjadi perbedaan manusia dengan makhluk lain, yang diberikan kesempurnaan akal pikiran dan hati. Artinya dengan kedua anugrah yang diberikan tersebut, manusia mempunyai kewajiban untuk mengembangkan potensi positif sehingga berkembang secara optimal. Maka pengembangan potensi yang dimiliki manusia tersebut tiada lain adalah melalui proses pendidikan.
Hasan Langgulung, sebagaimana ia menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Manusia dan Pendidikan” bahwa potensi-potensi manusia menurut pandangan Islam tersimpul dalam al-Asma’ al-Husna, yaitu sifat-sifat Allah yang berjumlah 99 itu. Pengembangan sifat-sifat ini pada diri manusia itulah ibadat dalam arti kata yang luas, sebab tujuan manusia diciptakan adalah untuk menyembah Allah. Untuk mencapai tingkat menyembah Allah ini dengan sempurna, haruslah sifat-sifat Tuhan yang terkandung di dalam al-Asma’ al-Husma itu dikembangkan sebaik-baiknya pada diri manusia. Dan itulah dia pendidikan menurut pandangan Islam. Misalnya, sifat suci (al-Qudus). Untuk mengembangkan kesucian pada diri manusia, kita diperintahkan mengerjakan ibadat formal yang terdiri dari rukun Islam yang lima; Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji. Syahadat bertujuan mensucikan niat dan pikiran manusia dari segala syirik. Shalat, hendaklah didahului oleh kesucian badan, dan seterusnya. Hati juga harus suci dari riya’ atau sifat pura-pura, supaya jangan termasuk golongan munafiq. Zakat adalah usaha mensucikan harta dari segala yang tidak halal. Begitu juga dengan puasa dan haji. Pendeknya untuk mengembangkan sifat suci itu pada diri manusia, dia harus mengerjakan ibadat formal. Menurut pandangan filosof-filosof Islam, sifat-sifat Tuhan yang berjumlah 99 itu merupakan potensi-potensi manusia yang harus dikembangkan dengan wajar dan sempurna, oleh karena itu bukan hanya kekuatan jasmani saja yang dikembangkan dalam proses pendidikan akan tetapi sifat-sifat kerohaniannya juga perlu diperhatian.[8] Lebih lanjut lagi, menurut Azyumardi Azra, pada dasarnya manusia merupakan makhluk teomorfis, artinya dibalik keterbatasan dan kelemahannya ia memiliki sesuatu yang ada di dalam dirinya, yaitu sifat-sifat ke-Tuhanan. Tetapi dengan kerangka berpikir demikian, tidaklah mengisyaratkan pemanusiaan Tuhan (antromorfisasi), karena bagaimanapun juga zat Tuhan tetap abadi dan kekal, lain halnya dengan manusia yang zatnya berubah serta zatnya tidak abadi.[9]
Kaitan mengenai potensi manusia yang disebutkan tersebut, maka penciptaan manusia mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu salah satunya adalah khalifah. Oleh karena itu potensi tersebut merupakan modal dasar untuk berperan sebagai khalifah (wakil Allah) di bumi. Sesuai dengan kedudukannya sebagai wakil Allah, kemampuan dan kewenangan yang diperoleh sebagai akibat dari potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya.[10] Oleh karena itu, salah satu dimensi kemanusiaan yang penting dikaji dalam hubungannya dengan proses pendidikan adalah fitrah. Sebab pendidikan pada hakikatnya merupakan aktifitas dan usaha manusia untuk membina dan mengembangkan potensi-potensi pribadinya agar berkembang seoptimal mungkin. Secara etimologis, fitrah berarti bersih dan suci. Sebagaimana disinggung sebelumnya, Hasan Langgulung mengartikan fitrah sebagai potensi yang baik. Hal ini berdasarkan analisis terhadap hadits Nabi berikut;
“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci (dari segala dosa dan noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga jelas bicaranya. Maka kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Abu Ya’la, al-Thabrani, dan al-Baihaqi dari al-Aswad bin Sari).[11]
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan bentuk raga yang sebaik-baiknya, dan berbagai kesempurnaan anugrah lain seperti akal pikiran dan hati. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia dengan suatu tujuan dan fungsi yaitu, manusia sebagai Khalifah dan Abd (pengabdi Allah). Menurut Musthafa al-Maraghi, kata Khalifah memiliki dua makna yaitu, Pertama, adalah pengganti Allah untuk melaksanakan titah-Nya di muka bumi. Kedua, manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya dan memakmurkan alam bagi kepentingan manusia secara keseluruhan. Sedangkan arti Abd sendiri adalah mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah.[12] Tugas yang kedua ini lebih pada hubungan manusia dengan sang penciptanya. Maka, pendapat tersebut dapat dikategorokan bahwa manusia sebagai makhluk yang diciptakan, mempunyai tugas dan fungsi menjalin hubungan hablum min Allah dalam hal ini hubungan manusia dengan Tuhannya (vertikal), dan hablum min an-nas (horizontal) yaitu sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan hubungan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Tentunya tugas manusia sebagai Khalifah dan Abd adalah sebuah isyarat agar manusia tidak memutuskan kedua hubungan tersebut.
Pendidikan Islam pada dasarnya berangkat dan berorientasi pada potensi dasar manusia secara lebih sistematik dan realistik. Sebab, bagaimanapun sederhanannya suatu proses pendidikan, ultimate goal-nya  haruslah diarahkan pada tujuan yang lebih mulia, yakni membuat manusia benar-benar menjadi manusia dengan melaksanakan proses pendidikan yang memanusiakan manusia. Untuk mengoptimalkan serta mengaktualisasikan potensi dasar kemanusian seperti yang sudah dijelaskan tadi. Potensi dasar manusia merupakan suatu yang given, dan semua makhluk manusia diberi potensi dasar yang sama oleh Allah. Karena itu untuk mencari serta menemukan paradigma baru pendidikan Islam yang humanistik, pekerjaan paling awalnya adalah menelaah manusia itu sendiri. Baru kemudian menelaah konstelasi pendidikan Islam agar bisa menemukan hubungan keduannya. Hal inilah yang mendasari mengapa pembahasannya dimulai dengan menelaah konsep manusia. Oleh karena itu, secara garis besar tujuan diciptakan manusia adalah;
a.       Tujuan utama diciptakan manusia adalah agar manusia beribadah kepada Allah (Q.S. az-Zariyah: 56)
Pengertian ibadah disini sangatlah luas, namun kepatuhan sepenuh hati untuk taat kepada Allah adalah sebagai tolak ukurnya. Meliputi berbagai amal perbuatan yang ditujukan karena Allah untuk mencari ke-ridlaan Allah, garisnya amal saleh. Menurut Abul A’la Maududi mengemukakan tentang luasnya lapangan ibadah dalam Islam. Ia menjelaskan bahwa segala perbuatan manusia dalam interaksi sosialnya yang bentuknya tolong menolong, saling membantu, saling menghargai, serta perbuatan lain yang sifatnya positif atas dasar taat kepada Allah, maka perbuatan itu termasuk dengan ibadah.
b.      Manusia dicipta untuk berperan sebagai wakil Tuhan dimuka bumi (Q.S. al-Baqarah: 30, Yunus: 14, al-An’am: 165)
Karena Allah Zat menguasai dan memelihara alam semesta (Rabbul ‘alamin), maka tugas utama manusia sebagai wakil Tuhan adalah menata dan memelihara serta melestarikan dan menggunakan alam sebaik-baiknya untuk kesejahteraan hidupnya. (Q.S. Hud: 61) jabatan sebagai Khalifatullah ini merupakan anugrah tetapi sekaligus sebagai amanat. Oleh karena itu, segala aktivitas dalam kaitannya kekhalifahan ini harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
c.       Manusia diciptakan untuk membentuk masyarakat manusia yang saling kenal-mengenal, hormat-menghormati dan tolong-menolong antara satu dengan yang lain (Q.S. al-Hujarat: 13). Jika tujuan penciptaan pertama dan kedua difokuskan pada tanggungjawab individu, tujuan penciptaan yang ketiga ini menegaskan perlunya tanggungjawab bersama dalam menciptakan tatanan kehidupan dunia yang damai.[13]
Dalam pandangannya A. Malik Fadjar menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk pengemban amanah kekhalifahan mempunyai potensi yang luar biasa besarnya, sehingga dapat mendayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka membangun peradaban berdasarkan nilai-nilai ilahiyah.[14] Menurut Jalaluddin, potensi bawaan (fitrah) tersebut memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.[15] Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan dan mengoptimalkan potensi yang ada pada diri manusia maka hal ini membutuhkan suatu proses humanisasi yaitu melalui proses pendidikan.
2.    Peran Pendidikan Islam dalam mengembangkan potensi manusia
Berbicara mengenai pendidikan, adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Aspek-aspek yang biasanya paling dipertimbangkan adalah penyadaran, pencerahan, pemberdayaan, dan perubahan prilaku.[16] Maka, dapat dikatakan bahwa manusia adalah sebagai subyek dari proses pendidikan. Hal ini dilandasi bahwa proses pendidikan adalah proses untuk memberikan kemampuan kepada individu untuk memberikan makna terhadap diri dan lingkungannya.[17] Dari sudut pandang epistemologi, pendidikan dilihat sebagai suatu proses yang inheren dalam konsep manusia, artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan.[18] Oleh karena itu, pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan manusia dan realitasnya. Karena manusia adalah sebagai subyek dari proses pendidikan dan realitas merupakan obyek dari proses pendidikan itu sendiri.
Pendidikan merupakan upaya pemberian situasi pada peserta didik. Dalam bahasa Islam sendiri pendidikan memiliki berbagai istilah, seperti
a.       Kata kerja rabba yang masdarnya tarbiyyatan memiliki beberapa arti yaitu mengasuh, mendidik dan memelihara.
b.      Kata kerja ‘allama yang masdarnya ta’liman berarti mengajar yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan.
c.       Kata kerja addaba yang masdarnya ta’diban dapat diartikan mendidik yang secara sempit mendidik budi pekerti dan secara lebih luas meningkatkan peradaban.[19]
Terlepas dari berbagai istilah yang diberikan pendidikan dalam mengartikan pendidikan. Syed Naquib al-Attas sendiri berpendapat bahwa dari hasil kajiannya ditemukan istilah ta’dib lebih tepat digunakan dalam konteks pendidikan Islam, dan kurang setuju terhadap penggunaan istilah tarbiyah dan ta’lim.[20] Karena dalam proses pendidikan Islam yang menjadi subyek dari prosesnya adalah manusia. Oleh karena itu, istilah ta’dib (membimbing) lebih humanis jika digunakan dalam proses pendidikan Islam. Kemudian selain itu juga, sebagaimana dijelaskan di awal bahwa tujuan dari bimbingan terhadap manusia adalah unsur potensi yang dimiliki manusia baik itu jasmani, intelektual, maupun rohaniahnya.
Untuk mengembangkan potensi dasar yang dimiliki, maka manusia membutuhkan adanya bantuan orang lain untuk mengembangkan, membimbing, mendorong, dan mengarahkan agar potensi tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Dengan begitu mereka akan memenuhi kebutuhan hidupnya serta dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik maupun sosialnya. Pendidikan Islam memandang manusia sebagai struktur organik yang terdiri dari berbagai dimensi ruhaniah maupun jasmaniah. Dari sudut pandang ini, pendidikan Islam berperan sebagai wadah pengembangan kedua dimensi tersebut. Dengan pengertian pendidikan Islam seperti tersebut di atas fungsi pendidikan sudah cukup jelas, yaitu memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan Islam.[21]
Menurut Abdul Fattah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Ia mengatakan bahwa tujuan ini akan mewujudkan tujuan-tujuan khusus. Dengan mengutip surat al-Takwir ayat 27, Jalal menyatakan bahwa tujuan itu adalah untuk semua manusia. Jadi, menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah. Oleh karena itu menurut Jalal ibadah itu tidak terbatas pada menunaikan shalat, saum di bulan Ramadhan, zakat, haji, akan tetapi semua yang mencakup amal, fikiran, dan perasaan yang disandarkan kepada Allah juga disebut dengan ibadah.[22] Artinya, jika mengacu pada pengertian atau hakikat dari pada pendidikan adalah suatu proses yang ada dalam kehidupan manusia disebut dengan proses pendidikan, dimulai dari semenjak lahir hingga “liang lahat” atau meminjam istilah lain dengan life is education maka dalam tujuan pendidikanpun tidak jauh berbeda dengan pengertian pendidikan.
Usaha untuk mencari ketinggian spiritual, moral, sosial, dan intelektual merupakan inti dari pendidikan Islam. Karena pembentukan moral yang tinggi adalah tujuan utama dari pendidikan Islam,[23] sehingga muara dari tujuan pendidikan Islam adalah (insan kamil) atau “muslim paripurna”. Karena itu, jika melihat kembali mengenai pengertian-pengertian pendidikan Islam di atas baik secara etimologi maupun terminologi, bahwa keberadaan pendidikan Islam bukan sebatas menyangkut persoalan ciri khas, atau pendidikan yang diberikan imbuhan kata Islam, akan tetapi pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang menggunakan nilai-nilai normatif Islam, dengan tujuan, metode, kurikulum, dasar, dan lainnya berpedoman pada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Melihat kebutuhan akan suatu  proses pendidikan, manusia dituntut untuk selalu menjadi subyek yang mampu mengubah realitas dan eksistensialnya, bahkan menjadi makhluk yang lebih manusiawi. Dalam bahasa filsafat pendidikan Paulo Freire bertumpu pada keyakinan manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya dan seluruh alam semesta yang dalam pendidikan Islam dikatakan bahwa manusia sebagai khalifah fil ard (wakil Tuhan di muka bumi).[24] Untuk memenuhi tugas tersebut, maka manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal senantiasa berproses untuk mencari eksistensinya menuju kesempurnaan (insan kamil). Artinya pada kawasan tersebut, proses pendidikan merupakan proses pengembangan dan sekaligus proses rekonstruksi manusia sehingga terjadi perubahan diri dan lingkungannya.
Melihat peran dan fungsi pendidikan Islam, maka dengan mengembangkan kajian antropologi dan sosiologi ke dalam perspektif al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan Islam adalah
a.       Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri manusia, alam sekitarnya dan mengenai kebesaran Ilahi, sehingga tumbuh kemampuan membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan, serta memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan kemampuan ini akan menumbuhkan kreativitas dan produktivitas sebagai implementasi identifikasi diri pada Tuhan “Pencipta”.
b.      Membebaskan manusia dari segala anasir yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar. Yang dari dalam antara lain kejumudan, taklid, kultus individu, khurafat dan yang terbesar adalah syirik. Terhadap anasir dari dalam ini, manusia harus terus melakukan penyucian diri (tazkiyah an-nafsi). Sedangkan yang datang dari luar adalah situasi dan kondisi, baik yang bersifat kultural maupun struktural yang dapat memasung kebebasan manusia dalam mengembangkan realisasi dan aktualisasi diri. Untuk menghilangkan dan meminimalkan anasir dari luar harus ada upaya sistematis dan strategis dari seluruh elemen masyarakat, terutama pemerintah. Dengan semakin minimalnya anasir-anasir tersebut terbukalah jalan untuk optimalisasi realisasi diri dan aktualisasi diri sehingga menuntun hidup individu dan masyarakat lebih arif dan bertanggungjawab.
c.       Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang dan memakukan kehidupan baik individu maupun sosial. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan menurut sinyal yang diberikan al-Qur’an, sebagaimana tersebut pada butir pertama, hendaknya dimulai dengan memahami fenomena alam dan kehidupan dengan pendekatan empirik, sehingga mengetahui hukum-hukumnya (Sunnah Allah).[25]
3.    Paradigma Humanisme-Teosentris
Perintah membaca yang tertulis dalam surat al-Alaq ayat pertama bukan hanya sebatas membaca tulisan, akan tetapi membaca fenomena alam dan peristiwa dalam kehidupan, termasuk kejadian manusia. Hal inilah yang kemudian disebut dengan paradigma humanisme-teosentris pendidikan Islam karena kemampuan membaca sebagai unsur humanisme didasari dengan kekuatan spiritual Ilahiyah (teosentrisme) yaitu membaca dengan nama Tuhan yang menciptakan manusia (iqra bismirabbik alladzi khalaq).[26] Daya kritis yang dibangun oleh pendidikan Islam adalah sebagai wujud perhatian Islam terhadap manusia. Karena Islam sangat merespons terhadap persoalan manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu, al-Qur’an menjadi dasar dan landasan dalam pendidikan Islam, karena al-Qur’an sendiri merupakan petunjuk bagi manusia (hudan al-nas).
Al-Qur’an sebagai petuunjuk bagi manusia supaya kehidupannya kearah yang lebih baik, baik di dunia maupun di akhirat. Artinya, kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki oleh manusia sehingga dapat di diarahkan oleh petunjuk tersebut. Dalam sistem pendidikan Islam, manusia dipahami sebagai zat theomorfis. Ia berorientasi untuk menjadi pribadi yang bergerak diantara dua titik ekstrim; “Allah – setan”. Kecenderungan-kecenderungan seperti yang dimaksudkan adalah manusia mempunyai sifat taqwa (baik) dan fujur (buruk), karenanya dibutuhkan sebuah pedoman khusus dalam membina manusia sehingga menjadi manusia yang baik dimata manusia dan baik dihadapan Allah. Tuhan menciptakan potensi atau daya-daya yang ada dalam diri manusia, perkembangan selanjutnya terserah pada manusia sendiri. Sebagaimana dikatakan al-Jubba’i bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Dengan kata lain, manusialah yang berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh terhadap Allah adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya-daya untuk mewujudkan kehendak itu telah ada dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.[27]
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia lain. Kehidupan untuk hidup bergotong royong, saling membantu, saling menolog dan lainnya adalah corak hidup yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Karena itu, untuk menjalankan interaksi sosioal, manusia memerlukan etika atau nilai yang harus di sepakati sehingga terjadi hubungan yang harmonis antara manusia yang satu dengan yang lain. Artinya, interaksi manusia akan terus berlangsung secara harmonis karena ada nilai-nilai kemanusiaan yang disepakati bersama, yaitu seperti halnya kejujuran, keadilan, tolong-menolong, saling hormat-menghormati dan lain sebagainya. Maka, untuk dapat mengaktualisasikan atau mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam praktik kehidupan diperlukan kemauan moral. Untuk menumbuhkan kemauan moral diperlukan penghayatan dan untuk menghayati nilai-nilai moral diperlukan pemahaman. Proses pemahaman, penghayatan dan pengalaman nilai-nilai tersebut tentunya melalui proses pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan adalah upaya internalisasi dan menstransformasikan nilai-nilai insani dalam kehidupan. Nilai-nilai inilah yang akan menuntun wawasan dan kreativitas manusia secara tepat dan bermakna bagi hidup dan kehidupan, baik individu maupun sosial.[28] Dalam kajian antrompologi dan sosiologi Islam, disinilah kemudian letak universalisme Islam dalam merespons persoalan-persoalan manusia.
Universalisme Islam bertitik tolak dari pengertian “Islam” itu sendiri. Dalam rangka memenuhi kebutuhan eksistensial al-Qur’an memberikan petunjuk kepada manusia, agar ia mampu memenuhi janjinya kepada Tuhan. Dari pengertian ini Islam merekatkan hubungan vertikal, antara manusia dengan Tuhan, dan hubungan horizontal yaitu manusia dengan alam, serta dengan sesamanya. Dalam kaitan ini pula Nurcholish Madjid (1992:426). Yang pertama menjadi sumber ide tentang universalisme Islam adalah pengertian perkataan Islam itu sendiri. Sikap pasrah kepada Tuhan tidak saja merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya, tetapi ia diajarkan oleh-Nya dengan disangkutkan kepada alam manusia itu sendiri. Pendidikan Islam sebagai instrumen perwujudan nilai-nilai Islam menjadikan nilai-nilai universalisme Islam ini sebagai landasan filosofis, motivasi dan sekaligus ideologi dalam pandangan, pemikiran, dan tindakan. Karena itu orientasi dan misi pendidikan Islam diarahkan pada pengembangan potensi manusia untuk mampu hidup ditengah-tengah masyarakat global dengan menjunjung tinggi nilai-nilai universal.[29]
Berbagai pandangan dari paradigma pendidikan, mengasumsikan manusia sebagai makhluk yang memiliki sejarah masa lalu, masa kini, dan akan masa yang datang. Karena itu, berbagai pandangan ini menuai perbedaan yang tidak saja perbedaan mengenai pandangan terhadap manusianya, akan tetapi juga perbedaan terhadap tujuan dari pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Misalnya saja dari humanisme sekuler yang dilatar belakangi oleh eksistensialisme. Dalam idelogi ini memiliki pandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang wujud dengan sendirinya di alam semesta tidak terdapat bagian atau karakteristik tertentu yang datang dari Tuhan. Humanisme sekuler lainnya telah mengambil moral kemanusiaan seluruhnya dari agama, dengan menghasilkan Tuhan, sebagaimana dinyatakan bahwa pendidikan spiritual dalam nisbahnya dengan keutamaan-keutamaan moral dapat dicapai tanpa keyakinan terhadap Tuhan. Dengan kata lain, maksudnya adalah bahwa ideologi humanisme sekuler ini menafikan interfensi Tuhan dalam mengatur kehidupan karena manusia merasa bisa mengatur dirinya sendiri.[30] Perbedaan prinsip atau cara pandang inilah yang akan menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan. Artinya, dari berbagai ideologi pendidikan yang ada dapat dilihat dari ideologi yang dipakai sehingga menghasilkan tujuan pendidikan. Karena itu, dalam pendidikan Islam paradigma humanisme teosentris merupakan paradigma yang membantah asumsi-asumsi yang disepakati dalam paradigma pendidikan sekuler.
Islam sebagai agama fitrah memiliki konsep humanisme yang secara eksplisit berbeda dengan prinsip-prinsip filsafat, ideologi, dan agama-agama yang lain. Hal inilah bukti bahwa Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Humanisme dalam Islam adalah humanisme teosentris, yang memiliki maksud bahwa pandangan kemanusiaan (humanisme dalam Islam) tetap dalam bingkai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tauhid). Oleh karena itu, humanisme teosentris merupakan nilai inti (core of values) dari seluruh sistem nilai dalam Islam. Dengan humanisme teosentris ini, Islam berbeda dengan agama-agama lain dalam hal pemikiran dan pandangannya terhadap manusia. Karena Islam sendiri tidak mengenal sistem pemikiran yang serba pantheologism atau pemikiran yang serba teologi yang menegasikan pemikiran rasio, tetapi Islam justru menekankan pentingnya penggunaan daya indra, akal, dan hati (fuad) untuk menemukan kebenaran.
Teosentrisme dalam Islam maksudnya adalah “Tauhidi”, yang berarti seluruh kehidupan berpusat pada Allah. Allah sebagai ghayatul hayat (tujuan hidup). Konsep tauhid sebagai aqidah Islam mengandung implikasi doktrinal bahwa tujuan kehidupan manusia adalah ibadah kepada Allah. (al-Dzariyat: 56) dan memikul amanah sebagai khalifah Allah di bumi (al-Baqarah: 30, Yunus: 14, al-An’am: 165). Implikasi lebih lanjut dari konsep tauhid adalah berlakunya sistem nilai tauhid, dimana tauhid adalah nilai dasar dari seluruh tatanan nilai dalam Islam sebagai norma dan pedoman hidup dalam berbagai bidang kehidupan terutama kehidupan beragama atau religiusitas seorang muslim.[31] Walaupun kehidupan manusia ditujukan kepada Allah akan tetapi pada pengertian Ibadah juga memiliki implementasi dan pengertian yang sangat luas. Karena dalam doktrin Islam, bahwa Ibadah mempunyai kaitannya dengan keimanan terhadap Tuhan sedangkan keimanan ini juga membutuhkan amalih atau action kedalam bentuk kehidupan manusia. Artinya, ke-Tauhidan  ini bukan hanya berada pada keyaninan dalam hati akan tetapi perlu ditunjukan kedalam perbuatan-perbuatan yang telah tunjukan dalam nilai-nilai ataupun pesan-pesan yang terkandung dalam keimanan tersebut. Oleh karena itu, ke-Tauhidan harus selalu diaktualisasikan menjadi amalih dan baliknya amalih baru bermakna bila didasarkan pada iman dan diorientasikan untuk Ibadah kepada Allah.
4.    Paradigma Teo-Antroposentris
Usaha untuk mencari paradigma baru pendidikan Islam tidak akan pernah berhenti sampai titik final, hal ini sesuai dengan perkembangan zaman yang akan terus berubah dan berkembang. Oleh karena itu, paradigma pendidikan Islam akan selalu mengalami perkembangan dalam skema pemikirannya, itu artinya pendidikan Islam akan selalu menjawab dan merespon perkembangan dan pola baru kehidupan masyarakat. Pendidikan Islam akan selalu up to date dalam setiap locus maupun perkembangannya, hal ini yang memunculkan suatu pemikiran bahwa pendidikan Islam akan mengalami rekonstruksi, reorientasi, dan restrukturisasi sistem dan pemikiran pendidikan Islam.
Sehubungan dengan semakin gencarnya pengaruh globalisasi lengkap dengan munculnya berbagai kejadian yang paradoksal, model-model pemikiran lama dan linear terasa tidak mampu lagi merespon tantangan jaman, seperti yang terungkap dalam semangat postmodernisme. Karena itu, kita perlu menelaah ulang tiga aliran pendidikan yang sudah dianggap final sebagai grand theory dalam pendidikan, yaitu empirisme, nativisme, dan konvergensi. Keberatan utama terhadap tiga teori pendidikan itu, menurut pandangan filsafat pendidikan Islam, adalah pandangannya tentang manusia yang terlalu antroposentris. Sementara menurut ajaran Islam, manusia dipahami sebagai makhluk yang teosentris. Pandangan manusia sebagai makhluk antroposentris hanya merupakan salah satu aspek dari dimensi filsafat pendidikan Islam itu. demikian pula dengan persoalan perkebangan peradaban manusia yang telah mulai berbicara konteks postmodernisme. Di mana pola pikir yang cenderung mengeneralisasi segala persoalan, termasuk persoalan-persoalan pendidikan, kurang mendapat tempat.
Sejarah memang ciptaan manusia. Kepribadian dan prilaku manusia yang hidup didalamnya ditentukan oleh sejarah. Manusia dalam sejarahnya pernah mengalami masa kegelapan, pencerahan, awal-modern, dan postmodern. Setiap jaman memiliki paradigma tersendiri dalam memandang dan melaksanakan pembangunan yang terus berfikir menentukan arah kehidupannya. Dalam proses itu, seringkali terjadi peristiwa yang mengejutkan dan manusia kewalahan merespon hasil ciptaanya sendiri. Misalnya, Iptek semula diciptakan manusia untuk menjadikan kehidupannya lebih aman dan nyaman, ternyata justru melahirkan krisis makna hidup. Iptek juga berdampak pada perbudakan umat manusia dan kesenjangan sosial-budaya. Pada titik ini, Iptek merupakan sumber peluang utama dalam memperkokoh eksplorasi antara sesama manusia, dan eksplorasi manusia terhadap alam.[32] Pada akhirnya, ilmu umum dan ilmu agama seolah-olah terpisah dan memisahkan diri tanpa adanya saling keterkaitan atau bahkan saling memenuhi kebutuhan. Ilmu agama hadir dan berjalan tanpa adanya dukungan Iptek, dan begitu sebaliknya ilmu umum berjalan dan hadir tanpa adanya sentuhan ilmu agama. Hal inilah yang memunculkan kegelisahan pada dunia keilmuan yaitu dikotomi ilmu. Padahal jelas sekali bahwa untuk melestarikan serta memakmurkan alam dan seisinya adalah tugas dari pada manusia, dan untuk menjalankan fungsi tersebut tentunya berangkat dari petunjuk yang diberikan oleh Sang Pencipta yaitu al-Qur’an.
Dalam pandangan Islam antara kebenaran ilmiah, etika, estetika, dan demokrasi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, mereka hanya dapat dibedakan menurut posisi dan peran atau fungsinya masing-masing. Dalam pandangan Islam, ilmu sudah terkandung secara esensial dalam al-Qur’an. Oleh karena itu berilmu berarti beragama dan beragama berarti berilmu. Maka tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama. Ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas dinilai atau dikritik. Menilai dan menggugat kembali keabsahan dan kebenaran suatu pendapat adalah diharuskan tanpa menilai yang berpendapat. Bahkan ilmuan dengan senang hati melemparkan pendapatnya untuk dinilai dan bukan untuk dipertahankan, karena yang dicari adalah kebenaran dan bukan pembenaran. Paradigma pendidikan Islam yang dimaksud disini adalah pemikiran yang terus menerus harus dikembangkan melalui pendidikan untuk merebut kembali pendidikan Iptek, sebagaimana jaman keemasan dulu. Pencarian paradigma baru dalam pendidikan Islam terhadap Iptek, dan setelah itu baru dirumuskan konsep atau sistem pendidikan Islam secara utuh. Paradigma baru pendidikan Islam ini berdasar pada filsafat teosentris dan antroposentris sekaligus. Prinsip-prinsip lain dalam paradigma baru pendidikan Islam yang ingin dikembangkan adalah tidak ada dikotomi antara ilmu umum dan agama, ilmu tidak bebas nilai tetapi dinilai, mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan dan tidak hanya mengajarkan sisi tradisional, melainkan sisi rasional.
Dengan paradigma baru pendidikan Islam, diharapkan akan memunculkan ide-ide dan pemikiran yang dapat memajukan perkembangan ilmu bagi dunia pendidikan Islam. Seperti konsep pendidikan sekuler tidak sepenuhnya tidak cocok dengan ajaran Islam. ia mengandung beberapa kebenaran, terutama yang berkenaan dengan Iptek yang dapat diterima oleh Islam. sebaliknya, Islam tetap meghormati dan menerima konsep pendidikan tradisional yang sudah mengakar atau mentradisi dalam kehidupan umat Islam. Namun demikian harus disadari adanya hal-hal yng perlu ditinggalkan karena sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan jaman. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, maka perlu dipahami dan diberikan ruang dialog antara ilmu umum dan agama sehingga menjadi satu kesatuan ilmu. Inilah sebabnya dibutuhkan buku ilmu pengetahuan yang selalu memuat uraian teologi, ilmu-ilmu tentang jagat raya, ilmu-ilmu tentang manusia, dan lainnya. Dari sini terdapat beberapa perbedaan mendasar model pendidikan Islam dengan model pendidikan sekuler.
a.       Dasar
Pendidikan sekuler      : Antroposentris
Pendidikan Islam            : Teosentris, dimana konsep “antropo-entris” merupakan bagian esensial dari konsep teosentris.
b.      Tujuan
Pendidikan Sekuler       : Kehidupan duniawiyah, maju, adil, sejahtera, damai, dan dinamis sebagai tujuan final
Pendidikan Islam          : kerja membangun kehidupan duniawiyah melalui pendidikan sebagai perwujudan mengabdi kepada-Nya. Pembangunan kehidupan duniawiyah bukan menjadi tujuan final, tetapi merupakan kewajiban yang diimani dan terkait kuat dengan kehidupan ukhrawiyah; tujuan finalnya adalah kehidupan ukhrawi dengan ridha Allah Swt.
c.       Konsep manusia
Pendidikan Sekuler     : Tabularasa
Pendidikan Islam        : Fitrah
d.      Nilai
Pendidikan Sekuler     : Iptek dengan kebenaran relatif
Pendidikan Islam        : Iptek dengan Iman-taqwa; kebenaran relatif dan mutlak
e.       Sistem atau tanggungjawab
Pendidikan Sekuler     : Murid, orang tua, guru, masyarakat
Pendidikan Islam          : Murid, orang tua, guru, masyarakat. namun mereka berbeda dalam nuansa gradualnya.[33]
C.    Penutup
1.      Kesimpulan
a.      Konsep manusia menurut pandangan Islam
Dalam al-Qur’an Istilah manusia sudah dijelaskan secara komprehensif serta mendalam, baik dipandang dari segi makhluk ciptaan Tuhan maupun sebagai makhluk sosial. Artinya, dalam hal ini Islam mempunyai pandangan yang berbeda dengan pendekatan ilmu-ilmu lain seperti, manusia dipandang sebagai makhluk ekonomi, makhluk biologi, makhluk politik dan sebagainya. Sehingga dari sudut pandang tersebut dapat mempengaruhi konsep yang disusun sebagai pandangannya terhadap manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan, contohnya saja dengan istilah al-Nas dengan  bentuk asal kata Anasa yang memiliki makna melihat, mendengar, serta mengetahui. hal ini menunjukan bahwa manusia mempunyai kemampuan penalaran, yakni penalaran manusia yang dapat memiliki pelajaran dari pengalaman hidupnya. Sudah barang tentu dari istilah satu yang digunakan al-Qur’an tersebut memiliki pembahasan yang sangat luas dan lebih jauh lagi. Oleh karena itu menurut padangan penulis sendiri, berdasarkan hasil analisis dari pembahasan. Maka, konsep manusia menurut pandangan Islam jika dipandang dari salah satu istilah saja yaitu istilah Anasa, penulis mengasumsikan bahwa pendidikan merupakan suatu yang inheren didalam konsep manusia itu sendiri. Dengan proses pendidikan tersebut, manusia mampu mengembangkan diri, mampu meberdayakan kemampuannya sehingga pendidikan merupakan proses humanisasi.
Salah satu tokoh Islam seperti al-Ghazali sendiri dalam karyanya menjelaskan bahwa esensi dari manusia adalah ruh, jiwa, akal, dan hati. Hal ini pada dasarnya memperkuat asumsi yang disampaikan di atas. Bahwa Anasa memiliki peluang besar untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, yaitu melalui potensi akal dan hati. Rasio atau akal tersebut tentunya diperlukan pembuktian dengan penglihatan, pendengaran, serta pengetahuannya sehingga akal menumbuhkan penguatan dalam hati. Salah satu contohnya dalam bahasan ke-Tauhidan, manusia pada dasarnya memiliki ke-Tauhidan sejak lahir akan tetapi keyakinan dalam hati tersebut akan meningkat jika peran akal bisa ditinggkatkan. Keyakinan (ke-Tauhidan) dalam hati tersebut dapat diperkuat oleh penglihatan serta pengetahuan (akal) mengenai penciptaan-Nya.
b.      Peran pendidikan Islam dalam mengembangkan potensi (fitrah) manusia
Pendidikan merupakan upaya perbaikan diri menuju kesempurnaan di hadapan Tuhan (insan kamil) dan kesempurnaan di mata manusia (insan paripurna). Sebagaimana dijelaskan dalam kesimpulan pertama, bahwa potensi ataupun kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki manusia tersebut tidak saja berkembang secara sendirinya. Oleh karena itu, dalam dimensi ini manusia membutuhkan suatu alat untuk mengembangkan selaga potensi dalam dirinya. Proses pemanusiaan manusia (humanisasi) ini hanya bisa dilakukan melalui proses pendidikan. Karena itu, dalam proses ini membutuhkan suatu konsep pendidikan yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa ada dua konsep yang diusung dalam pengembangan potensi manusia, yaitu sebagai a’bid dan khalifah. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut maka yang dibutuhkan adalah konsep pendidikan Islam. Pendidikan Islam memiliki konsep yang berbeda dengan konsep pendidikan secara umum, karena yang menjadi landasan dan dasar dalam membangun konsep pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an sebagai pedoman sekaligus petunjuk bagi manusia menjadi lebih realis untuk dijadikan landasan dalam pendidikan Islam. Adapun daerah binaan dalam pendidikan Islam adalah
-          Daerah jasmani
-          Daerah akal
-          Daerah hati
Namun dari segi tempat, pendidikan terjadi pada tiga wilayah dalam proses pendidikannya, yaitu diantaranya adalah
-          Wilayah keluarga
-          Wilayah masyarakat
-          Wilayah sekolah
Bagaimanapun sederhananya suatu proses pendidikan, ultimate goal-nya haruslah diarahkan pada tujuan yang lebih mulia, yakni membuat manusia benar-benar menjadi manusia dengan melaksanakan proses pendidikan yang memanusiakan manusia. Untuk mengoptimalkan serta mengaktualisasikan potensi dasar kemanusiaan itu menjadi inti kegiatan tarbiyah Islamiyah dalam proses internalisasi nilai-nilai Illahiyah.
2.      Saran
a.       Proses pendidikan merupakan proses pembudayaan manusia kearah yang lebih konstruktif-positif, dalam pendidikan Islam perlunya konsep yang lebih implementatif dalam menangkal pengaruh-pengaruh dari kebudayaan luar yang bersifat destruktif
b.      Dalam ideologi pendidikan humanisme-teosentris, peran dan posisi peserta didik dan pendidik perlu dipertegas. Artinya, apakah dalam proses pendidikan itu yang menjadi subyek pendidikan adalah peserta didik, pendidik, atau bahkan kedua-duanya.
c.       Perlu mengadakan sosialisasi kepada seluruh pelaku pendidikan sehingga paradigma humanisme-teosentris ini menjadi implementatif atau tidak hanya sebatas teoritis dalam dunia pendidikan.
d.      Perubahan dan peradaban masyarakat akan terus berkembang, karena itu pendidikan Islam dituntut untuk lebih kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan jaman, atau tidak konservatif. Oleh karena itu, Perlu adanya rekonstruksi dan reorientasi paradigma pendidikan Islam agar pendidikan Islam lebih solutif terhadap kondisi atau realitas masyarakat.

Daftar Pustaka
Achmadi. 2010. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baharuddin dan Moh. Makin. 2009.  Pendidikan Humanistik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Djuwaeli, H. M. Irsjad. 1998. Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam. Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar.

H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho. 2009. Kebijakan Pendidikan (pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

H.A.R Tilaar. 2002. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Langgulung, Hasan. 1995. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Al-Husna Zikra.

Mastuhu. 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Mas’ud, Abdurrahman. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam (pendekatan teoritis dan praksis). Jakarta: Ciputat Press.

Sanaky, Hujair Ah. Sanaky. 2003. Paradigma Pendidikan Islam (membangun masyarakat madani Indonesia). Yogyakarta: Safiria Insania Press.

Soyomukti, Nurani. 2010. Teori-teori Pendidikan (tradisional, neo liberal, marxis-sosialis, post modern). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Umiarso dan Zamroni. 2011. Pendidikan Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.


[1] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 41.
[2] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 22.
[3] Achmadi, Ideologi Pendidikan...,hal. 42.
[4] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Cet. I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 29.
[5] Achmadi, Ideologi Pendidikan..., hal. 45.
[6] Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 70.
[7] Mastuhu, Memberdayakan Sistem..., hal. 23.
[8] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Cet. III, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hal. 262.
[9] Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 62.
[10] Achmadi, Ideologi Pendidikan..., hal. 47.
[11] Baharddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik..., hal. 38.
[12] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (pendekatan teoritis dan praksis), Cet. I, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 17.
[13] Achmadi, Ideologi Pendidikan..., hal. 64-66.
[14] Hujair Ah. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam (membangun masyarakat madani Indonesia), Cet. I, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 232.
[15] Abdurrahman Mas’ud, Paradigma Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hal. 220.
[16] Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan (tradisional, neo liberal, marxis-sosialis, post modern), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hal. 27.
[17] H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan (pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik), Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 21.
[18] H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Cet. III, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 17.
[19] Achmadi, Ideologi Pendidikan..., hal. 27.
[20] Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan..., hal. 91.
[21] Achmadi, Ideologi Pendidikan..., hal. 32.
[22] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan..., hal. 46.
[23] Ibid., hal. 48.
[24] Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan..., hal. 27.
[25] Achmadi, Ideologi Pendidikan..., hal. 38.
[26] Ibid., hal. 36.
[27] Mastuhu, Memberdayakan Sistem..., hal. 25.
[28] Achmadi, Ideologi Pendidikan..., hal. 34.
[29] H. M. Irsjad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1998), hal. 31.
[30] Achmadi, Ideologi Pendidikan..., hal. 23.
[31] Ibid., hal 24.
[32] Mastuhu, Memberdayakan Sistem..., hal. 4.
[33] Ibid., hal. 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar