KANDUNGAN MAKNA DALAM
SURAT AL-AN’AM
AYAT 125
2011
I.
Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai
petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia. Kitab ini bukan hanya sebagai tuntunan
bagi seorang muslim untuk beribadah saja, melainkan juga sebagai sumber ilmu
pengetahuan yang sangat lengkap. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang sungguh
sempurna dalam penciptaannya yang dianugrahi akal dan hati, dituntut untuk
mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya. Maka al-Qur’an sebagai petunjuk
dan pedoman hidup bagi manusia sangat berperan bagi
kelangsungan dan peradaban hidupnya. Namun dari segala potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut tidak serta kemudian berkembang dengan sendirinya. Artinya, perkembangan dan pengoptimalan potensi yang dimiliki oleh manusia harus melalui proses pendidikan yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, al-Qur’an harus terus digali dan dikaji secara mendalam sehingga terciptanya segala bidang keilmuan yang mampu menopang perkembangan dan peradaban manusia.
kelangsungan dan peradaban hidupnya. Namun dari segala potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut tidak serta kemudian berkembang dengan sendirinya. Artinya, perkembangan dan pengoptimalan potensi yang dimiliki oleh manusia harus melalui proses pendidikan yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, al-Qur’an harus terus digali dan dikaji secara mendalam sehingga terciptanya segala bidang keilmuan yang mampu menopang perkembangan dan peradaban manusia.
Peradaban manusia
harus diarahkan pada tujuan yang positif-konstruktif, maka al-Qur’an sebagai
jawaban yang paling tepat untuk membimbing dan mengarahkan manusia pada
peradaban tersebut. Karena secara eksplisit al-Qur’an memberikan
kandungan-kandungan pelajaran yang bisa diambil sebagai upaya pembentukan
manusia yang sempurna (insan kamil) dalam kacamata Islam. Oleh karena
itu, jika melihat penjelasan tersebut di atas maka al-Qur’an dan manusia tidak
dapat dipisahkan satu sama lainnya. Disatu sisi al-Qur’an sebagai penjelas bagi
manusia dalam membina kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat kelak, dan
di sisi lain manusia adalah makhluk ciptaan-Nya yang akan kembali pada sang
pencipta-Nya sehingga ia ditugaskan untuk mendekatkan diri dan mengenali
pencipta-Nya melalui al-Qur’an. Dengan kata lain, mempelajari isi kandungan
yang terdapat dalam al-Qur’an adalah sebagai bentuk upaya pengenalan manusia
terhadap pencipta-Nya.
Dalam pembahasan
makalah ini, penulis mencoba mengkaji isi kandungan yang terdapat dalam
al-Qur’an atau lebih tepatnya dalam Q.S. al-An’am ayat 125. Hal ini dimaksudkan
agar dalam ayat tersebut terkuak sebuah maksud yang disampaikan oleh Allah Swt
kepada manusia. Artinya, apa yang diperingatkan Allah Swt terhadap manusia agar
senantiasa menjadi isu pokok dalam kehidupan manusia. Selain itu juga, dari
kajian makalah mengenai Ayat ini adalah sebagai bentuk penggalian ilmu
pengetahuan, walaupun secara praktik kajian makalah ini masih terbantahkan atau
jauh dari kata sempurna. Namun, satu titik yang menjadi alasan penulisan
makalah ini adalah sebagai bentuk upaya dalam mengenali kebesaran sang pencipta
sehingga mampu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan pada Allah Swt baik bagi
penulis maupun terhadap pembaca.
II.
Pembahasan
`yJsù ÏŠÌムª!$# br&
¼çmtƒÏ‰ôgtƒ ÷yuŽô³o„ ¼çnu‘ô‰|¹ ÉO»n=ó™M~Ï9 ( `tBur ÷ŠÌムbr&
¼ã&©#ÅÒムö@yèøgs† ¼çnu‘ô‰|¹ $¸)Íh‹|Ê %[`tym $yJ¯Rr'Ÿ2 ߉¨è¢Átƒ ’Îû
Ïä!$yJ¡¡9$# 4 šÏ9ºx‹Ÿ2 ã@yèøgs† ª!$# }§ô_Íh9$# ’n?tã šúïÏ%©!$# Ÿw
šcqãZÏB÷sムÇÊËÎÈ
Artinya;
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan
kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama)
Islam. dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah
menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.
begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Q.S. Al-An’am: 125)
Manusia yang ditakdirkan Allah untuk mendapatkan hidayah,
sesuai dengan hukum-Nya yang berlaku dalam pemberian hidayah kepada orang yang
ingin mendapatkannya dan ia mendekati hidayah itu dengan kadar kemampuan untuk
memilih yang dimilikinya, maka Allah akan mencerahkan dadanya untuk menerima
Islam. Sedangkan orang yang ditakdirkan sesat, sesuai dengan hukum Allah dalam
penyesatan orang yang membenci petunjuk dan menutup fitrahnya dari kebenaran
itu, sesuai dengan firman-Nya;
“Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya,
niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang
mendaki ke langit...”
Maka, orang ini sudah tertutup mata hatinya, tidak
memiliki penglihatan lagi. Ia sulit dan berat menerima kebenaran itu, “seolah-olah
ia sedang mendaki langit”, seperti itulah al-Qur’an menggambarkan manusia atau
seseorang yang tertutup akan pintu hidayah-Nya. Ia seakan-akan kesulitan dalam
menerima kebenaran, seperti orang yang kekurangan oksigen atau sesak nafas.
Dengan demikian, peringatan yang difirmankan Allah Swt sebenarnya memiliki
makna dan isarat dengan teguran yang berupa peringatan kepada orang yang tidak
mau membukakan mata hatinya akan kebenaran.
Dari isi kandungan surat al-An’am ini juga menjelaskan
mengenai interaksi dan hubungan antara kehendak Allah dan
kecenderungan-kecenderungan manusia. Dan apa yang mengenai mereka berupa
hidayah dan kesesatan, serta apa yang mereka dapatkan setelah itu berupa
ganjaran, pahala dan siksa membutuhkan penggunaan bagian lain dari
bagian-bagian capaian manusia selain bagian logika otak.
Tshawwur tentang hakikat ini membutuhkan bagian lain dari
bagian-bagian daya tangkap manusia, selain bagian logika otak. Demikian juga
membutuhkan interaksi dengan “realitas nyata” bukan dengan masalah-masalah
logika semata. Al-Qur’an menggunakan hakikat nyata dalam bangunan tubuh manusia
dan wujud realistis. Dalam hakikat ini tersembunyi jalinan antara kehendak
Allah dan takdir-Nya dengan kehendak dan usaha manusia.
Gambaran hakikat nyata sebagaimana dalam realitas, tidak
mungkin dapat terwujud dalam batasan-batasan logika otak. Juga tidak dalam
bentuk masalah-masalah otak serta redaksi manusia tentangnya. Karena jenis
hakikat itulah yang menentukan manhaj (metode) yang cocok dalam menanganinya
dan cara pengungkapannya yang tepat. Hakikat ini tidak dapat ditangani oleh
metodologi logika otak atau masalah-masalah dialektika. Demikian juga
penggambaran hakikat sebagaimana dalam realitas nyatanya, membutuhkan
pengecapan yang sempurna dalam pengalaman ruhaniah dan aqliah. Maka, orang yang
fitrahnya cenderung kepada Islam, ia akan merasakan kelapangan dan kemantapan
dalam hatinya. Sementara itu, orang yang fitrahnya cenderung kepada kesesatan,
maka ia akan mendapatkan perasaan sempit, tertekan dan sulit dalam hatinya.
Kedua keadaan tersebut merupakan kehendak Allah bagi hamba-Nya. Namun, itu
bukanlah kehendak yang memaksa. Itu adalah kehendak yang menciptakan sesuatu
hukum yang berlangsung dan berlaku.[1]
Firman-Nya; “Dadanya sangat sempit lagi sesak,
bagaikan ia sedang mendaki ke langit. kata sangat dipahami dari kata
(يصّعّد)
yushsha’-adu yang menggunakan tasydid (penekanan) pada huruf shad,
padahal dari segi bahasa dapat juga tanpa tasdid itu.
Penggalan ayat ini dijadikan oleh sementara ulama sebagai
salah satu ayat yang mengandung isyarat ilmiah. Bahwa seseorang akan mengalami
sesak nafas pada saat mendaki ke langit/ angkasa, adalah satu kenyataan ilmiah
yang baru dikenal sejak upaya manusia ke luar angkasa, akhir abad XX ini.
Kendati demikian al-Qur’an telah mengisyaratkannya sejak abad XV yang lalu.
Demikian tulis beberapa ilmu. Dahulu ulama-ulama memahami firman-Nya; “Bagaikan
dia sedang mendaki ke langi” sebagai gambaran seseorang yang ingin mendaki
meraih sesuatu tetapi tidak mampu atau selalu gagal. Seorang kafir bila diajak
kepada kebajikan akan mengalami kesulitan luar biasa, hatinya akan terasa
sangat berat tidak ubahnya seorang yang sedang mendaki, terengah-engah dan
mengalami sesak nafas.
Ada yang memahami kata (في) fi dalam firman-Nya; (يصّعّد
في السّماء) yashsha’adu fi as-sama dalam arti (إلى) ila yakni ke,
sehingga ia diterjemahkan mendaki ke langit, yakni angkasa. Ada juga
yang memahaminya sebagaimana maknanya yang populer, yaitu dalam arti di,
yakni di langit/ angkasa. Pemilihan kata itu dalam ayat ini bertujuan
mengilustrasikan seakan-akan dia telah berada di angakasa, dan berusaha naik
dan terus naik, bagaikan seekor binatang yang mendaki satu ketinggian tahap
demi tahap, tetapi ketika dia telah hampir sampai ke puncak, dia terjatuh,
demikian berulang-ulang.[2]
Keterangan
Allah Swt pada ayat ini ternyata lain jalan yang ditempuh orang yang beriman
dan lain pula jalan yang akan dihadapi orang yang tidak akan mengehadapi orang
yang tidak beriman. Orang yang beriman menemui dadanya yang lapang terbuka dan terang menerima kebenaran. Orang yang kafir menemui dadanya
sempit dan terjepit lagi, apabila mendengar kalimat iman, Islam (laa ilaa-ha
illallah), nyawanya seperti mencak-mencak naik ke langit lurus agar jangan
dapat disusul oleh iman tersebut. Ia tidak mau mendekatkan diri
kepada agama dan segera yang ada hubungannya dengan agama Islam. Akan tetapi
janganlah sangka bahwa hati orang yang kafir, hati pembesar-pembesar itu akan
dapat naik ke langit. tidak hanya hati orang mukmin yang dapat naik ke langit. Hati
orang yang kafir, munafiq dan sebagainya itu akan naik ke langit, tetapi
seolah-olah ia hendak naik ke langit karena sempit dadanya itu. Sebagaimana
dijelaskan oleh As-Suddiy, tetapi ia pasti tidak dapat naik ke langit karena
dadanya berat, yaitu berat karena dosanya. Pengarang tafsir al-Manar
menguraikan hati orang yang kafir itu sangat sempit sekali, tidak bisa menerima
sesuatu orang yang baru berupa apa saja, karena hatinya telah dikuasai oleh
ketakaburan dan hatinya dipengaruhi ole kebesaran dan pengaruh kekuasaan, ia
takut kalau-kalau kebesaran dan kekuasaanya itu terganggu manakala ia menerima
sesuatu yang baru di dalam dadanya. Ia merasa tidak sanggup dibawah orang lain
biarpun barang sedikit juga. Dari pada tunduk kepada orang-orang di bumi, yang
dirasanya kurang dari pada ia sendiri, lebih baik ia lari dan naik ke langit. Adapun
perkataan dalam bahasa Arab ash-adu fis-samaa’ itu artinya naik ke
langit, digunakan bagi menyatakan sesuatu yag tidak mungkin atau sangat sukar
sekali akan tercapai, tetapi disebut juga karena orang kafir yang terkena dalam
hal seperti ini masih berusaha naik dengan segala susah dan payah walaupun
tidak akan berhasil adanya. Inilah dia ketinggian bahasa al-Qur’an. Sepakat
dengan keadaan segala pembangkang Rasul, biarpun mereka berpuluh-puluh tahun
menentang Islam tetapi Islam maju terus. Mereka tidak sanggup menerima Islam,
lebih baik nyawanya terbang ke langit dari pada dimasuki Islam atau
mendengarnya.[3]
Keterangan dan penjelasan dalam al-Qur’an sebenarnya telah menunjukan
keistimewaannya, bahwa al-Qur’an dengan segala penjelasan yang ada didalamnya
menunjukan bahwa ilmu pengetahuan terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Sebenarnya penurunan ayat yang disampaikan oleh malaikat kepada Rasul yang
terutama pada al-Qur’an Surat al-An’am ayat 125 ini tidak terlepas pada kondisi
penurunan ayat tersebut (asbabun an-nuzul). Bahwa kondisi masyarakat
(kaum kafir Quraisy) yang tidak mengehendaki kedatangan Islam, mereka menolak
keberadaan Nabi Muhammad Saw serta ajarannya yang dibawakannya. Mereka khawatir
agama dan keyakinan mereka akan tergeser oleh ajaran yang dibawa oleh nabi,
sehingga berdampak pada posisi mereka dimasyarakat pada saat itu. Dengan kata
lain, mereka (kaum kafir) mengingkari ajaran Islam sehingga memilih untuk tidak
mengikuti ajaran Islam dari pada menggadaikan posisi mereka dimasyarakat.
Dasar kita dalam memahami alam dan seisinya ini
sebenarnya sudah terkandung dalam pendoman dan petunjuk bagi manusia, yaitu
a-Qur’an dan hadits. Ilmu pengetahuan yang senantiasa dijunjung tinggi dan
serukan oleh al-Qur’an adalah ilmu pengetahuan dalam pengertian yang kompleks
dan komprehensif, yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan
dan tidak hanya terbatas pada ilmu syri’at atau ilmu agama.[4]
Jadi sangat jelas sekali bahwa fungsi al-Qur’an itu sendiri bukan hanya sebagai
pedoman akan tetapi sebagai petunjuk bagi manusia mengenai alam dan seisinya.
Al-Qur’an juga telah menyeru untuk memalingkan pandangan pada fenomena kemajuan
dan aspek-aspek kehidupan sebagaimana menyeru untuk mempelajari makhluk hidup
yang bernama manusia.
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu
tiada memperhatikan.”
Al-Qur’an senantiasa menjadikan jagad raya ini sebagai
kitab untuk pengetahuan, mengarahkan hati, akal dan penglihatan pada permulaan
ciptaan Allah yang terdapat di dalamnya, menyerukan untuk senantiasa memikirkan
(tafakkur) tanda-tanda kebesaran-Nya, menentramkan jiwanya dengan
rahasia-rahasia yang tersirat dan memahamkannya pada peraturan dan
undang-undang yang terdapat di dalamnya. Dengan pemaparan dan pemahaman semacam
itu, berarti al-Qur’an telah membuka bab-bab ilmu pengetahuan, membebaskan akal
dan fikiran dari tirani kejumudan dan kebodohan serta membangkitkan kegemaran
untuk meneliti, mempelajari dan mengetahui segala sesuatu.[5]
Maka, segala potensi yang dimiliki manusia sebagai anugrah yang dititipkan,
senantiasa diarahkan dan dikembangkan secara optimal sehingga al-Qur’an sebagai
sumber ilmu pengetahuan mampu di terjemahkan dalam kaca mata manusia.
Potensi-potensi yang dimiliki manusia berupa akal dan hati tersebut adalah
sebagai kunci pembuka tabir-tabir rahasia ilmu pengetahuan dan alam yang ada
dalam al-Qur’an. Dengan kata lain, maka semakin jelas tugas manusia sebagai
makhluk yang bertugas menjaga alam dengan ilmu pengetahuan yang sudah
disediakan oleh Allah Swt, yang dalam ajaran Islam disebut sebagai Khalifah
fil ard.
Dalam kandungan surat al-An’am ayat 125 ini, menyinggung
bahwa jika manusia mendaki ke langit maka dadanya akan terasa sesak. Disini
jelas sekali bahwa al-Qur’an telah memberikan pengetahuan kepada manusia akan
adanya sebuah kondisi yang hampa udara, dan semakin tinggi akan semakin sesak.
Kata ilmu dengan berbagai bentuk sebenarnya terulang dalam surat-surat atau
ayat-ayat dalam al-Qur’an sebanyak 854 kali. Kata ini digunakan dalam arti
proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan. ‘Ilm dari segala
bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya
mempunyai ciri kejelasan. Dalam pandangan al-Qur’an, ilmu adalah keistimewaan
yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan
fungsi kekhalifahan. Berdasarkan pejelasan tersebut, maka al-Qur’an memandang
manusia memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin
Allah. Karena itu, bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai
cara untuk mewujudkan hal tersebut. Beberapakali juga al-Qur’an menempatkan
kedudukan manusia yang berilmu lebih tinggi dbanding dengan manusia lain. Hal
ini menunjukan betapa tinggi kedudukan orang-orang yang berilmu pengetahuan.[6]
Terjadinya proses pendidikan dalam pencapaian ilmu
pengetahuan, maka jelas dalam hal ini manusia tidak dapat dipisahkan dengan
pendidikan. Manusia akan selalu membutuhkan pendidikan untuk mengenali diri dan
lingkungannya. Dalam konteks hablum min an-nas manusia dituntut untuk
mengembangkan diri, dan memberdayakan lingkungan, hal ini ditegaskan dalam tugas
manusia di bumi yaitu sebagai Khalifah fil ard sebagaimana dijelaskan di
atas yaitu untuk menjaga sesama dan alamnya. Namun dalam menjalankan peran
manusia tersebut, manusia perlu membekali diri dengan ilmu pengetahuan, oleh
karena itu dari sisi inilah manusia diberi akal dan hati sebagai potensi untuk
dikembangkan secara optimal sebagaimana dijelaskan di atas. Karena diantara
potensi manusia yang diberikan Allah kepadanya adalah kemampuan untuk menjaga kelestarian
alam yang diberikan Allah kepadanya dan bertanggungjawab terhadap apa yang
telah dilakukannya. Kemampuan tersebut dijelaskan dalam Q.S. al-An’am ayat 165;
uqèdur “Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚö‘F{$# yìsùu‘ur öNä3ŸÒ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_u‘yŠ öNä.uqè=ö7uŠÏj9 ’Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7/u‘ ßìƒÎŽ| É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Ö‘qàÿtós9 7LìÏm§‘ ÇÊÏÎÈ
Artinya ;
“Dan dialah yang
menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu
atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam hadits Nabi yang
bersumber dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari;
“Setiap kalian adalah
pemimpin dan setiap kalian bertanggungjawab atas yang dipimpinya. Maka seorang
pemimpin adalah orang yang memimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Orang
laki-laki adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas keluarga suami dan
anak-anaknya. Dan seorang hamba adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas harta
tuannya. Dengan demikian ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan
setiap kalian bertanggungjawab atas yang dipimpinnya.”[7]
Dalam konteks Hablum min
Allah, manusia dituntut untuk mengenali dan mendekatkan diri kepada Sang
Penciptanya. Dengan mensyukuri dan melihat karunia-karunia yang diturunkan
oleh-Nya, maka manusia akan lebih mendekatkan diri (beriman). Oleh karena itu,
ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia diperlukan stir pengendali
sehingga tidak melenceng dari ajaran-ajaran yang disyari’atkan al-Qur’an kepada
manusia, dengan kata lain bahwa manusia memerlukan dimensi keimanan (agama)
untuk mengendalikan ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Islam,
keberagamaan adalah fitrah sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa
sejak lahir. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Rum ayat 30;
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $Zÿ‹ÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏ‰ö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$# ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ
Artinya;
“Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Ini berarti manusia tidak
dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian, karena agama
merupakan kebutuhan hidupnya. William James menegaskan bahwa, “Selama manusia masih memiliki naluri cemas dan
mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan tuhan).” Itulah
sebabnya mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar
untuk beragama.
Agar potensi itu dapat
berkembang secara optimal maka Nabi mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu
semenjak dalam buaian, itu artinya bahwa anak harus sudah mulai dididik dan
diberikan kepadanya pengetahuan tentang segala sesuatu yang menunjang
perkembangan potensi taqwanya semenjak usia dini, bahkan semenjak dalam
kandungan.[8]
Maka kewajiban untuk menuntut ilmu itu sebenarnya sudah diperingatkan oleh al-Qur’an
maupun Hadits. Hal itu dimaksudkan karena dengan bekal ilmu manusia bisa
mempunyai kecenderungan pada ketaqwaan, walaupun pada dasarnya ilmu itu juga
bisa menyesatkan ataupun sebaliknya. Maka dari itu beberapa pendapat memaparkan
bahwa ilmu seharusnya diimbangi dengan keimanan sehingga mengarah pada
ketaqwaan.
Ilmu mempercepat anda
sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju.
Ilmu menyesuaikan manusia
dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya.
Ilmu hiasan lahir, dan
agama hiasan batin.
Ilmu memberikan kekuatan
dan menerangi jalan, dan agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa.
Ilmu menjawab pertanyaan
yang dimulai dengan “bagaimana”, dan agama menjawab yang dimulai dengan
“mengapa”.
Ilmu tidak jarang
mengeruhkan fikiran pemiliknya, sedangkan agama selalu menenangkan jiwa
pemiliknya yang tulus.
Demikian Murtadha
Muhahhari menjelaskan sebagian fungsi dan peranan agama dalam kehidupan ini,
yang tidak mampu diperankan oleh ilmu dan teknologi.[9]
Karena manusia terdiri dari akal, jiwa, dan jasmani yang butuh arahan dalam
setiap peranannya. Sedangkan dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu dan
teknologi, agama sesungguhnya sangat berperan, terutama jika manusia tetap
ingin menjadi manusia. Artinya, terkadang manusia itu menggunakan ilmu
pengetahuan atau tekhnologinya untuk merusak alam, saling memerangi satu sama
lain, atau dengan peribahasa lain manusia memakan manusia. Sebagaimana dalam
penjelasan-penjelasan lain mengenai perusakan yang dilakukan oleh manusia
terhadap alam dan sesama manusianya, ternyata ilmu pengetahuan dapat
menyesatkan hati dan fikiran manusia.
Begitu sentralnya posisi manusia sebagai
makhluk Tuhan, hampir semua ilmu pengetahuan menjadikannya sebagai obyek
studinya. Bukan hanya ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tetapi sebagian ilmu-ilmu
kealaman dan eksakta juga menjadikan manusia sebagai obyek studinya. Yang
membedakan antara ilmu-ilmu tersebut adalah perbedaan sudut pandang terhadap
manusia sesuai dengan disiplin masing-masing. Misalnya biologi mengkaji manusia
dari aspek biologisnya, kedokteran mengkaji manusia dari aspek kesehatan atau
medis, ilmu politik, ekonomi dan seterusnya.[10]
Berbagai disiplin ilmu yang dihasilkan dari kajian terhadap manusia tersebut
menunjukan betapa manusia memiliki berbagai potensi yang dimilikinya. Sehingga,
proses penelaahan manusia menjadi suatu grand tema bagi seluruh disiplin
ilmu. Maka, dari sudut pandang agama (Islam) pun jauh sebelum munculnya
disiplin-disiplin ilmu yang dijelaskan tadi sebenarnya sudah merespons dan
menyebutkannya dalam al-Qur’an, karena itu al-Qur’an di dikatakan sebagai
pedoman sekaligus sebagai petunjuk bagi manusia.
Manusia adalah makhluk yang memiliki
kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Ia dianugrahi berbagai
potensi sebagai wujud makhluk yang memiliki keinginan, nafsu, perubahan, serta
potensi lain yang menjadikannya sebagai makhluk yang menyejarah. Artinya, dari
berbagai potensi tersebut membuat makhluk ini mempunyai
kecenderungan-kecenderungan untuk menjalani kehidupan secara kolektif atau
disebut sebagai makhluk sosial. Namun, berbagai potensi tersebut tidak begitu
saja ada dan berkembang secara sendirinya. Akan tetapi berbagai potensi tersebut
harus dikembangkan sesuai dengan peran dan fungsi manusia. Hal ini yang
menyebabkan manusia membutuhkan suatu dimensi dalam mengembangkan potensi serta
mengarahkan kecenderungan-kecenderungan tersebut kearah yang lebih baik menurut
petunjuk al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Qur’an memperkenalkan kata kunci untuk
memahami manusia secara komprehensif. Kata kunci tersebut adalah Insan, al-Basyar, dan bani Adam. Kata Insan yang bentuk jamaknya al-Nas
dari segi sematik atau ilmu tentang akar kata, dapat dilihat dari asal kata Anasa yang mempunyai arti melihat,
mengetahui, dan meminta izin. Atas dasar ini kata tersebut mengandung petunjuk
adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalaran, yakni
dengan penalaran itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang
dilihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Adapun
kata Basyar sendiri dimaknai sebagai
penyebutan semua makhluk, baik laki-laki maupun perempuan, baik secara
individual maupun kolektif. Kata Basyar adalah
jamak dari kata Basyarah yang artinya
permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.[11]
Kata basyar juga terjelaskan dalam Q.S. al-Hijr yakni makhluk
fisik-biologis. Jasad atau fisik manusia asal mulanya dari tanah, dan setelah
berproses lalu terbentuklah menjadi manusia. Sebagai makhluk biologis
kejadiannya hampir sama dengan makhluk biologis lainnya terutama jenis binatang
mamalia, yaitu dari nutfah, ‘alaqah kemudian mudhghah (embrio) dan
akhirnya terbentuklah janin, yang strukturnya secara gradual lebih sempurna
dari binatang (Q.S at-Tin: 4 dan al-Mukminun: 13-14).[12]
Imam al-Ghazali sendiri dengan karya yang
monumentalnya “Ihya Ulumuddin”
mengulas seputar konsepsi manusia, berpendapat bahwa esensi manusia terdiri
dari empat bagian, yaitu; hati, ruh, jiwa dan akal.[13]
Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal memungkinkan manusia untuk berpikir
dan selalu mencari kebenaran. Karena itu, menurut al-Ghazali, salah satu faktor
sifat kodrati manusia adalah tidak pernah berhenti bertanya dalam mencari
kebenaran. Manusia selalu ingin mengetahui rahasia alam. Semakin jauh rahasia
alam yang bisa diselidiki, semakin banyak pula daerah misteri yang tidak
diketahui, dan semakin tinggi kekagumannya kepada Allah, mysterium,
tremendum et fascinosum. Manusia sadar akan kodratnya sebagai makhluk yang
tidak mau berhenti mencari kebenaran.[14]
Maka, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang
menyejarah dan bisa belajar serta beradaptasi dengan lingkungannya. Manusia
memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam
kehidupan, sosial. Kemudian selain itu juga manusia mempunyai tata etnik,
aturan, peradaban dan tentunya sebagai makhluk yang mempunyai budaya. Inilah
yang kemudian menjadi perbedaan manusia dengan makhluk lain, yang diberikan
kesempurnaan akal pikiran dan hati. Artinya dengan kedua anugrah yang diberikan
tersebut, manusia mempunyai kewajiban untuk mengembangkan potensi positif sehingga
berkembang secara optimal.
Kaitan mengenai potensi manusia yang disebutkan
tersebut, maka penciptaan manusia mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu salah
satunya adalah khalifah. Oleh karena itu potensi tersebut merupakan
modal dasar untuk berperan sebagai khalifah (wakil Allah) di bumi.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai wakil Allah, kemampuan dan kewenangan yang
diperoleh sebagai akibat dari potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut harus
dipertanggungjawabkan kepada-Nya.[15]
Oleh karena itu, salah satu dimensi kemanusiaan yang penting dikaji dalam
hubungannya dengan proses pendidikan adalah fitrah. Sebab pendidikan pada
hakikatnya merupakan aktifitas dan usaha manusia untuk membina dan
mengembangkan potensi-potensi pribadinya agar berkembang seoptimal mungkin.
Secara etimologis, fitrah berarti bersih dan suci. Sebagaimana disinggung
sebelumnya, Hasan Langgulung mengartikan fitrah sebagai potensi yang baik. Hal
ini berdasarkan analisis terhadap hadits Nabi berikut;
“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci (dari
segala dosa dan noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga jelas bicaranya.
Maka kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, Nasrani atau
Majusi.” (HR. Abu Ya’la, al-Thabrani, dan al-Baihaqi
dari al-Aswad bin Sari).[16]
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan
dengan bentuk raga yang sebaik-baiknya, dan berbagai kesempurnaan anugrah lain
seperti akal pikiran dan hati. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah
menciptakan manusia dengan suatu tujuan dan fungsi yaitu, manusia sebagai Khalifah dan Abd (pengabdi Allah). Menurut Musthafa al-Maraghi, kata Khalifah
memiliki dua makna yaitu, Pertama,
adalah pengganti Allah untuk melaksanakan titah-Nya di muka bumi. Kedua, manusia adalah pemimpin yang
kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya dan
memakmurkan alam bagi kepentingan manusia secara keseluruhan. Sedangkan arti Abd sendiri adalah mengacu pada tugas-tugas
individual manusia sebagai hamba Allah.[17]
Tugas yang kedua ini lebih pada hubungan manusia dengan sang penciptanya. Maka,
pendapat tersebut dapat dikategorokan bahwa manusia sebagai makhluk yang
diciptakan, mempunyai tugas dan fungsi menjalin hubungan hablum min Allah dalam hal ini hubungan manusia dengan Tuhannya
(vertikal), dan hablum min an-nas (horizontal)
yaitu sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan hubungan antara manusia dengan
manusia, dan manusia dengan alam. Tentunya tugas manusia sebagai Khalifah dan Abd adalah sebuah isyarat agar manusia tidak memutuskan kedua
hubungan tersebut.
III.
Kesimpulan dan Penutup
Manusia mempunyai
potensinya masing-masing yang dianugrahkan oleh Allah Swt sehingga manusia
mempunyai sifat dasar kecenderungan yaitu mengarah pada kecenderungan untuk
bertaqwa dan kecenderungan untuk berbuat fujur. Sebagaimana dijelaskan
dalam al-Qur’an Surat Asy-Syams ayat 8 yang berbunyi; “maka diilhamkanlah
kepada kepada jiwa manusia yang baik dan yang buruk”. Dari penjelasan ayat
tersebut maka tinggal bagaimana manusia itu agar diarahkan kepada kecenderungan
untuk bertaqwa. Dengan kata lain, pembentukan pribadi manusia tidak terlepas
pada bagaimana proses pembentukan itu diarahkan. Dalam hal ini al-Qur’an secara
tegas sudah memperingatkan agar supaya menjadi pribadi muslim yang sempurna (insan
kamil). Sebagaimana tugas manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan maka
kewajibannya adalah untuk beribadah (Abd) dan wakil Tuhan di muka bumi (khalifah).
Oleh karena itu, untuk membekali manusia dalam menjalankan tugasnya tersebut
maka ilmu pengetahuan dan agama lah sebagai jalannya, dan sebagai petunjuk
serta petunjuk jalannya adalah al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Qur’an sebagai
pedoman sekaligus sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia telah memberikan
pelajaran agar bisa mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya. Maka, dalam
kandungan al-Qur’an Surat al-An’am ayat 125 telah memperingatkan manusia agar
senantiasa beriman dan bertaqwa sehingga ia berada dijalan yang baik. Kemudian
dalam kandungan ayat ini juga menunjukan bahwa al-Qur’an dengan segala
keistimewaan yang ada memiliki kandungan yang sangat lengkap sehingga layak
untuk menjadi dasar pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam ayat ini dijelaskan,
betapa seseaknya dada seseorang (manusia) jika berada didalam ruang yang hampa
akan udara atau bahkan berada diluar angkasa/ langit. Satu kenyataan ilmiah
yang dijelaskan dalam al-Qur’an jauh sebelum manusia mengenali lebih jauh
mengenai tata surya. Jika melihat penjelasan tersebut maka sudah tidak dapat
diragukan lagi bahwa al-Qur’an merupakan kumpulan ilmu pengetahuan mengenai
alam dan seisinya. Maka, al-Qur’an menjadi dasar yang sangat komplit jika
berbicara ilmu pengetahuan, dan dapat digaris bawahi bahwa kitab ini menjadi
sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan bagi manusia.
Sebagai penutup
pembahasan alangkah baiknya mengucapkan puji syukur kepada Allah Swt karena mampu
menyelesaikan penulisan makalah ini. Walaupun jauh dari kata sempurna, namun
penulis berharap agar dapat diberikan kritik dan saran yang mampu membangkitkan
penulis untuk jauh lebih mendalami lagi penelaahan ayat-ayat al-Qur’an. Sebagai
langkah awal untuk mengembangkan dan mendalami kandungan-kandungan dalam
al-Qur’an, penulisan makalah ini menjadi titik tolak bagi penulis untuk
mempelajari kandungan makna yang terdapat dalam al-Qur’an.
Daftar Pustaka
-
Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1,
Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
-
Achmadi,
Ideologi Pendidikan Islam, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
-
Baharuddin
dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik,
Cet. I, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
-
Imam Naisaburi, Tafsir Ayat 125 Surat Al-An’am, http://www.scribd.com/ doc/ 49343925/ Tafsir-ayat-125-Surat-al-An’am.
2011.
-
Juwariyah, Hadits Tarbawi, Cet. I, Yogyakarta, Teras, 2010.
-
Mastuhu,
Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999.
-
Muhamad Syadid, Konsep Pendidikan Dalam Al-Qur’an, Cet. I, Jakarta,
Penebar Salam, 2001.
-
M. Quraish Shihab, Tafsiral al-Misbah, Vol. 4 Surah al-An’am, Cet.
VII, Jakarta, Lentera Hati, 2007.
-
__________, Wawasan al-Qur’an, Cet. VIII, Bandung, Mizan, 1998.
-
Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam
(pendekatan teoritis dan praksis), Cet. I, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
-
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dibawah Naungan al-Qur’an Surah
al-An’am-Surah al-a’Raaf 137, Jilid IV, Jakarta, Gema Insani, 2002.
-
Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif al-Qur’an,Cet. I Yogyakarta,
Mikraj, 2005.
-
Umiarso
dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan (dalam
perspektif Barat dan Timur), Cet. I, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
[1] Sayyid Quthb, Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an dibawah Naungan al-Qur’an Surah al-An’am-Surah al-a’Raaf
137, Jilid IV, (Jakarta, Gema Insani, 2002), hal. 208-210.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsiral
al-Misbah, Vol. 4 Surah al-An’am, Cet. VII, (Jakarta, Lentera Hati, 2007),
hal. 285-286.
[3] Imam Naisaburi, Tafsir Ayat 125 Surat Al-An’am, http://www.scribd.com/ doc/ 49343925/ Tafsir-ayat-125-Surat-al-An’am. 2011.
[4] Muhamad Syadid, Konsep
Pendidikan Dalam Al-Qur’an, Cet. I (Jakarta, Penebar Salam, 2001), hal. 131
[11] Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam 1, Cet. I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 29.
[13] Umiarso dan Zamroni, Pendidikan
Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), hal. 70.
[14] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan
Islam, Cet. II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 23.
[16] Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 38.
[17] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam (pendekatan teoritis dan praksis), Cet. I, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), hal. 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar