Pages

Senin, 18 Maret 2013


KANDUNGAN MAKNA DALAM
SURAT AL-AN’AM AYAT 125
2011

I.        Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia. Kitab ini bukan hanya sebagai tuntunan bagi seorang muslim untuk beribadah saja, melainkan juga sebagai sumber ilmu pengetahuan yang sangat lengkap. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang sungguh sempurna dalam penciptaannya yang dianugrahi akal dan hati, dituntut untuk mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya. Maka al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia sangat berperan bagi
kelangsungan dan peradaban hidupnya. Namun dari segala potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut tidak serta kemudian berkembang dengan sendirinya. Artinya, perkembangan dan pengoptimalan potensi yang dimiliki oleh manusia harus melalui proses pendidikan yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, al-Qur’an harus terus digali dan dikaji secara mendalam sehingga terciptanya segala bidang keilmuan yang mampu menopang perkembangan dan peradaban manusia.
Peradaban manusia harus diarahkan pada tujuan yang positif-konstruktif, maka al-Qur’an sebagai jawaban yang paling tepat untuk membimbing dan mengarahkan manusia pada peradaban tersebut. Karena secara eksplisit al-Qur’an memberikan kandungan-kandungan pelajaran yang bisa diambil sebagai upaya pembentukan manusia yang sempurna (insan kamil) dalam kacamata Islam. Oleh karena itu, jika melihat penjelasan tersebut di atas maka al-Qur’an dan manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Disatu sisi al-Qur’an sebagai penjelas bagi manusia dalam membina kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat kelak, dan di sisi lain manusia adalah makhluk ciptaan-Nya yang akan kembali pada sang pencipta-Nya sehingga ia ditugaskan untuk mendekatkan diri dan mengenali pencipta-Nya melalui al-Qur’an. Dengan kata lain, mempelajari isi kandungan yang terdapat dalam al-Qur’an adalah sebagai bentuk upaya pengenalan manusia terhadap pencipta-Nya.
Dalam pembahasan makalah ini, penulis mencoba mengkaji isi kandungan yang terdapat dalam al-Qur’an atau lebih tepatnya dalam Q.S. al-An’am ayat 125. Hal ini dimaksudkan agar dalam ayat tersebut terkuak sebuah maksud yang disampaikan oleh Allah Swt kepada manusia. Artinya, apa yang diperingatkan Allah Swt terhadap manusia agar senantiasa menjadi isu pokok dalam kehidupan manusia. Selain itu juga, dari kajian makalah mengenai Ayat ini adalah sebagai bentuk penggalian ilmu pengetahuan, walaupun secara praktik kajian makalah ini masih terbantahkan atau jauh dari kata sempurna. Namun, satu titik yang menjadi alasan penulisan makalah ini adalah sebagai bentuk upaya dalam mengenali kebesaran sang pencipta sehingga mampu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan pada Allah Swt baik bagi penulis maupun terhadap pembaca.
II.        Pembahasan
`yJsù ϊ̍ムª!$# br& ¼çmtƒÏôgtƒ ÷yuŽô³o ¼çnuô|¹ ÉO»n=óM~Ï9 ( `tBur ÷ŠÌãƒ br& ¼ã&©#ÅÒムö@yèøgs ¼çnuô|¹ $¸)Íh|Ê %[`tym $yJ¯Rr'Ÿ2 ߨè¢Átƒ Îû Ïä!$yJ¡¡9$# 4 šÏ9ºxŸ2 ã@yèøgs ª!$# }§ô_Íh9$# n?tã šúïÏ%©!$# Ÿw šcqãZÏB÷sムÇÊËÎÈ
Artinya;
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Q.S. Al-An’am: 125)
Manusia yang ditakdirkan Allah untuk mendapatkan hidayah, sesuai dengan hukum-Nya yang berlaku dalam pemberian hidayah kepada orang yang ingin mendapatkannya dan ia mendekati hidayah itu dengan kadar kemampuan untuk memilih yang dimilikinya, maka Allah akan mencerahkan dadanya untuk menerima Islam. Sedangkan orang yang ditakdirkan sesat, sesuai dengan hukum Allah dalam penyesatan orang yang membenci petunjuk dan menutup fitrahnya dari kebenaran itu, sesuai dengan firman-Nya;
Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit...”
Maka, orang ini sudah tertutup mata hatinya, tidak memiliki penglihatan lagi. Ia sulit dan berat menerima kebenaran itu, “seolah-olah ia sedang mendaki langit”, seperti itulah al-Qur’an menggambarkan manusia atau seseorang yang tertutup akan pintu hidayah-Nya. Ia seakan-akan kesulitan dalam menerima kebenaran, seperti orang yang kekurangan oksigen atau sesak nafas. Dengan demikian, peringatan yang difirmankan Allah Swt sebenarnya memiliki makna dan isarat dengan teguran yang berupa peringatan kepada orang yang tidak mau membukakan mata hatinya akan kebenaran.
Dari isi kandungan surat al-An’am ini juga menjelaskan mengenai interaksi dan hubungan antara kehendak Allah dan kecenderungan-kecenderungan manusia. Dan apa yang mengenai mereka berupa hidayah dan kesesatan, serta apa yang mereka dapatkan setelah itu berupa ganjaran, pahala dan siksa membutuhkan penggunaan bagian lain dari bagian-bagian capaian manusia selain bagian logika otak.
Tshawwur tentang hakikat ini membutuhkan bagian lain dari bagian-bagian daya tangkap manusia, selain bagian logika otak. Demikian juga membutuhkan interaksi dengan “realitas nyata” bukan dengan masalah-masalah logika semata. Al-Qur’an menggunakan hakikat nyata dalam bangunan tubuh manusia dan wujud realistis. Dalam hakikat ini tersembunyi jalinan antara kehendak Allah dan takdir-Nya dengan kehendak dan usaha manusia.
Gambaran hakikat nyata sebagaimana dalam realitas, tidak mungkin dapat terwujud dalam batasan-batasan logika otak. Juga tidak dalam bentuk masalah-masalah otak serta redaksi manusia tentangnya. Karena jenis hakikat itulah yang menentukan manhaj (metode) yang cocok dalam menanganinya dan cara pengungkapannya yang tepat. Hakikat ini tidak dapat ditangani oleh metodologi logika otak atau masalah-masalah dialektika. Demikian juga penggambaran hakikat sebagaimana dalam realitas nyatanya, membutuhkan pengecapan yang sempurna dalam pengalaman ruhaniah dan aqliah. Maka, orang yang fitrahnya cenderung kepada Islam, ia akan merasakan kelapangan dan kemantapan dalam hatinya. Sementara itu, orang yang fitrahnya cenderung kepada kesesatan, maka ia akan mendapatkan perasaan sempit, tertekan dan sulit dalam hatinya. Kedua keadaan tersebut merupakan kehendak Allah bagi hamba-Nya. Namun, itu bukanlah kehendak yang memaksa. Itu adalah kehendak yang menciptakan sesuatu hukum yang berlangsung dan berlaku.[1]
Firman-Nya; “Dadanya sangat sempit lagi sesak, bagaikan ia sedang mendaki ke langit. kata sangat dipahami dari kata (يصّعّد) yushsha’-adu yang menggunakan tasydid (penekanan) pada huruf shad, padahal dari segi bahasa dapat juga tanpa tasdid itu.
Penggalan ayat ini dijadikan oleh sementara ulama sebagai salah satu ayat yang mengandung isyarat ilmiah. Bahwa seseorang akan mengalami sesak nafas pada saat mendaki ke langit/ angkasa, adalah satu kenyataan ilmiah yang baru dikenal sejak upaya manusia ke luar angkasa, akhir abad XX ini. Kendati demikian al-Qur’an telah mengisyaratkannya sejak abad XV yang lalu. Demikian tulis beberapa ilmu. Dahulu ulama-ulama memahami firman-Nya; “Bagaikan dia sedang mendaki ke langi” sebagai gambaran seseorang yang ingin mendaki meraih sesuatu tetapi tidak mampu atau selalu gagal. Seorang kafir bila diajak kepada kebajikan akan mengalami kesulitan luar biasa, hatinya akan terasa sangat berat tidak ubahnya seorang yang sedang mendaki, terengah-engah dan mengalami sesak nafas.
Ada yang memahami kata (في) fi dalam firman-Nya; (يصّعّد في السّماء) yashsha’adu fi as-sama dalam arti (إلى) ila yakni ke, sehingga ia diterjemahkan mendaki ke langit, yakni angkasa. Ada juga yang memahaminya sebagaimana maknanya yang populer, yaitu dalam arti di, yakni di langit/ angkasa. Pemilihan kata itu dalam ayat ini bertujuan mengilustrasikan seakan-akan dia telah berada di angakasa, dan berusaha naik dan terus naik, bagaikan seekor binatang yang mendaki satu ketinggian tahap demi tahap, tetapi ketika dia telah hampir sampai ke puncak, dia terjatuh, demikian berulang-ulang.[2]
Keterangan Allah Swt pada ayat ini ternyata lain jalan yang ditempuh orang yang beriman dan lain pula jalan yang akan dihadapi orang yang tidak akan mengehadapi orang yang tidak beriman. Orang yang beriman menemui dadanya yang lapang terbuka dan terang menerima kebenaran. Orang yang kafir menemui dadanya sempit dan terjepit lagi, apabila mendengar kalimat iman, Islam (laa ilaa-ha illallah), nyawanya seperti mencak-mencak naik ke langit lurus agar jangan dapat disusul oleh iman tersebut. Ia tidak mau mendekatkan diri kepada agama dan segera yang ada hubungannya dengan agama Islam. Akan tetapi janganlah sangka bahwa hati orang yang kafir, hati pembesar-pembesar itu akan dapat naik ke langit. tidak hanya hati orang mukmin yang dapat naik ke langit. Hati orang yang kafir, munafiq dan sebagainya itu akan naik ke langit, tetapi seolah-olah ia hendak naik ke langit karena sempit dadanya itu. Sebagaimana dijelaskan oleh As-Suddiy, tetapi ia pasti tidak dapat naik ke langit karena dadanya berat, yaitu berat karena dosanya. Pengarang tafsir al-Manar menguraikan hati orang yang kafir itu sangat sempit sekali, tidak bisa menerima sesuatu orang yang baru berupa apa saja, karena hatinya telah dikuasai oleh ketakaburan dan hatinya dipengaruhi ole kebesaran dan pengaruh kekuasaan, ia takut kalau-kalau kebesaran dan kekuasaanya itu terganggu manakala ia menerima sesuatu yang baru di dalam dadanya. Ia merasa tidak sanggup dibawah orang lain biarpun barang sedikit juga. Dari pada tunduk kepada orang-orang di bumi, yang dirasanya kurang dari pada ia sendiri, lebih baik ia lari dan naik ke langit. Adapun perkataan dalam bahasa Arab ash-adu fis-samaa’ itu artinya naik ke langit, digunakan bagi menyatakan sesuatu yag tidak mungkin atau sangat sukar sekali akan tercapai, tetapi disebut juga karena orang kafir yang terkena dalam hal seperti ini masih berusaha naik dengan segala susah dan payah walaupun tidak akan berhasil adanya. Inilah dia ketinggian bahasa al-Qur’an. Sepakat dengan keadaan segala pembangkang Rasul, biarpun mereka berpuluh-puluh tahun menentang Islam tetapi Islam maju terus. Mereka tidak sanggup menerima Islam, lebih baik nyawanya terbang ke langit dari pada dimasuki Islam atau mendengarnya.[3] Keterangan dan penjelasan dalam al-Qur’an sebenarnya telah menunjukan keistimewaannya, bahwa al-Qur’an dengan segala penjelasan yang ada didalamnya menunjukan bahwa ilmu pengetahuan terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Sebenarnya penurunan ayat yang disampaikan oleh malaikat kepada Rasul yang terutama pada al-Qur’an Surat al-An’am ayat 125 ini tidak terlepas pada kondisi penurunan ayat tersebut (asbabun an-nuzul). Bahwa kondisi masyarakat (kaum kafir Quraisy) yang tidak mengehendaki kedatangan Islam, mereka menolak keberadaan Nabi Muhammad Saw serta ajarannya yang dibawakannya. Mereka khawatir agama dan keyakinan mereka akan tergeser oleh ajaran yang dibawa oleh nabi, sehingga berdampak pada posisi mereka dimasyarakat pada saat itu. Dengan kata lain, mereka (kaum kafir) mengingkari ajaran Islam sehingga memilih untuk tidak mengikuti ajaran Islam dari pada menggadaikan posisi mereka dimasyarakat.
Dasar kita dalam memahami alam dan seisinya ini sebenarnya sudah terkandung dalam pendoman dan petunjuk bagi manusia, yaitu a-Qur’an dan hadits. Ilmu pengetahuan yang senantiasa dijunjung tinggi dan serukan oleh al-Qur’an adalah ilmu pengetahuan dalam pengertian yang kompleks dan komprehensif, yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan dan tidak hanya terbatas pada ilmu syri’at atau ilmu agama.[4] Jadi sangat jelas sekali bahwa fungsi al-Qur’an itu sendiri bukan hanya sebagai pedoman akan tetapi sebagai petunjuk bagi manusia mengenai alam dan seisinya. Al-Qur’an juga telah menyeru untuk memalingkan pandangan pada fenomena kemajuan dan aspek-aspek kehidupan sebagaimana menyeru untuk mempelajari makhluk hidup yang bernama manusia.
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan.”
Al-Qur’an senantiasa menjadikan jagad raya ini sebagai kitab untuk pengetahuan, mengarahkan hati, akal dan penglihatan pada permulaan ciptaan Allah yang terdapat di dalamnya, menyerukan untuk senantiasa memikirkan (tafakkur) tanda-tanda kebesaran-Nya, menentramkan jiwanya dengan rahasia-rahasia yang tersirat dan memahamkannya pada peraturan dan undang-undang yang terdapat di dalamnya. Dengan pemaparan dan pemahaman semacam itu, berarti al-Qur’an telah membuka bab-bab ilmu pengetahuan, membebaskan akal dan fikiran dari tirani kejumudan dan kebodohan serta membangkitkan kegemaran untuk meneliti, mempelajari dan mengetahui segala sesuatu.[5] Maka, segala potensi yang dimiliki manusia sebagai anugrah yang dititipkan, senantiasa diarahkan dan dikembangkan secara optimal sehingga al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan mampu di terjemahkan dalam kaca mata manusia. Potensi-potensi yang dimiliki manusia berupa akal dan hati tersebut adalah sebagai kunci pembuka tabir-tabir rahasia ilmu pengetahuan dan alam yang ada dalam al-Qur’an. Dengan kata lain, maka semakin jelas tugas manusia sebagai makhluk yang bertugas menjaga alam dengan ilmu pengetahuan yang sudah disediakan oleh Allah Swt, yang dalam ajaran Islam disebut sebagai Khalifah fil ard.
Dalam kandungan surat al-An’am ayat 125 ini, menyinggung bahwa jika manusia mendaki ke langit maka dadanya akan terasa sesak. Disini jelas sekali bahwa al-Qur’an telah memberikan pengetahuan kepada manusia akan adanya sebuah kondisi yang hampa udara, dan semakin tinggi akan semakin sesak. Kata ilmu dengan berbagai bentuk sebenarnya terulang dalam surat-surat atau ayat-ayat dalam al-Qur’an sebanyak 854 kali. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan. ‘Ilm dari segala bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Dalam pandangan al-Qur’an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Berdasarkan pejelasan tersebut, maka al-Qur’an memandang manusia memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu, bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Beberapakali juga al-Qur’an menempatkan kedudukan manusia yang berilmu lebih tinggi dbanding dengan manusia lain. Hal ini menunjukan betapa tinggi kedudukan orang-orang yang berilmu pengetahuan.[6]
            Terjadinya proses pendidikan dalam pencapaian ilmu pengetahuan, maka jelas dalam hal ini manusia tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan. Manusia akan selalu membutuhkan pendidikan untuk mengenali diri dan lingkungannya. Dalam konteks hablum min an-nas manusia dituntut untuk mengembangkan diri, dan memberdayakan lingkungan, hal ini ditegaskan dalam tugas manusia di bumi yaitu sebagai Khalifah fil ard sebagaimana dijelaskan di atas yaitu untuk menjaga sesama dan alamnya. Namun dalam menjalankan peran manusia tersebut, manusia perlu membekali diri dengan ilmu pengetahuan, oleh karena itu dari sisi inilah manusia diberi akal dan hati sebagai potensi untuk dikembangkan secara optimal sebagaimana dijelaskan di atas. Karena diantara potensi manusia yang diberikan Allah kepadanya adalah kemampuan untuk menjaga kelestarian alam yang diberikan Allah kepadanya dan bertanggungjawab terhadap apa yang telah dilakukannya. Kemampuan tersebut dijelaskan dalam Q.S. al-An’am ayat 165;
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3ŸÒ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7­/u ßìƒÎŽ|  É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
Artinya ;
“Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam hadits Nabi yang bersumber dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari;
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggungjawab atas yang dipimpinya. Maka seorang pemimpin adalah orang yang memimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Orang laki-laki adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas keluarga suami dan anak-anaknya. Dan seorang hamba adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas harta tuannya. Dengan demikian ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggungjawab atas yang dipimpinnya.”[7]
Dalam konteks Hablum min Allah, manusia dituntut untuk mengenali dan mendekatkan diri kepada Sang Penciptanya. Dengan mensyukuri dan melihat karunia-karunia yang diturunkan oleh-Nya, maka manusia akan lebih mendekatkan diri (beriman). Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia diperlukan stir pengendali sehingga tidak melenceng dari ajaran-ajaran yang disyari’atkan al-Qur’an kepada manusia, dengan kata lain bahwa manusia memerlukan dimensi keimanan (agama) untuk mengendalikan ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fitrah sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak lahir. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Rum ayat 30;
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ
Artinya;
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. William James menegaskan bahwa, “Selama  manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan tuhan).” Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama.
Agar potensi itu dapat berkembang secara optimal maka Nabi mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu semenjak dalam buaian, itu artinya bahwa anak harus sudah mulai dididik dan diberikan kepadanya pengetahuan tentang segala sesuatu yang menunjang perkembangan potensi taqwanya semenjak usia dini, bahkan semenjak dalam kandungan.[8] Maka kewajiban untuk menuntut ilmu itu sebenarnya sudah diperingatkan oleh al-Qur’an maupun Hadits. Hal itu dimaksudkan karena dengan bekal ilmu manusia bisa mempunyai kecenderungan pada ketaqwaan, walaupun pada dasarnya ilmu itu juga bisa menyesatkan ataupun sebaliknya. Maka dari itu beberapa pendapat memaparkan bahwa ilmu seharusnya diimbangi dengan keimanan sehingga mengarah pada ketaqwaan.
Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju.
Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya.
Ilmu hiasan lahir, dan agama hiasan batin.
Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa.
Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana”, dan agama menjawab yang dimulai dengan “mengapa”.
Ilmu tidak jarang mengeruhkan fikiran pemiliknya, sedangkan agama selalu menenangkan jiwa pemiliknya yang tulus.
Demikian Murtadha Muhahhari menjelaskan sebagian fungsi dan peranan agama dalam kehidupan ini, yang tidak mampu diperankan oleh ilmu dan teknologi.[9] Karena manusia terdiri dari akal, jiwa, dan jasmani yang butuh arahan dalam setiap peranannya. Sedangkan dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu dan teknologi, agama sesungguhnya sangat berperan, terutama jika manusia tetap ingin menjadi manusia. Artinya, terkadang manusia itu menggunakan ilmu pengetahuan atau tekhnologinya untuk merusak alam, saling memerangi satu sama lain, atau dengan peribahasa lain manusia memakan manusia. Sebagaimana dalam penjelasan-penjelasan lain mengenai perusakan yang dilakukan oleh manusia terhadap alam dan sesama manusianya, ternyata ilmu pengetahuan dapat menyesatkan hati dan fikiran manusia.
Begitu sentralnya posisi manusia sebagai makhluk Tuhan, hampir semua ilmu pengetahuan menjadikannya sebagai obyek studinya. Bukan hanya ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tetapi sebagian ilmu-ilmu kealaman dan eksakta juga menjadikan manusia sebagai obyek studinya. Yang membedakan antara ilmu-ilmu tersebut adalah perbedaan sudut pandang terhadap manusia sesuai dengan disiplin masing-masing. Misalnya biologi mengkaji manusia dari aspek biologisnya, kedokteran mengkaji manusia dari aspek kesehatan atau medis, ilmu politik, ekonomi dan seterusnya.[10] Berbagai disiplin ilmu yang dihasilkan dari kajian terhadap manusia tersebut menunjukan betapa manusia memiliki berbagai potensi yang dimilikinya. Sehingga, proses penelaahan manusia menjadi suatu grand tema bagi seluruh disiplin ilmu. Maka, dari sudut pandang agama (Islam) pun jauh sebelum munculnya disiplin-disiplin ilmu yang dijelaskan tadi sebenarnya sudah merespons dan menyebutkannya dalam al-Qur’an, karena itu al-Qur’an di dikatakan sebagai pedoman sekaligus sebagai petunjuk bagi manusia.
Manusia adalah makhluk yang memiliki kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Ia dianugrahi berbagai potensi sebagai wujud makhluk yang memiliki keinginan, nafsu, perubahan, serta potensi lain yang menjadikannya sebagai makhluk yang menyejarah. Artinya, dari berbagai potensi tersebut membuat makhluk ini mempunyai kecenderungan-kecenderungan untuk menjalani kehidupan secara kolektif atau disebut sebagai makhluk sosial. Namun, berbagai potensi tersebut tidak begitu saja ada dan berkembang secara sendirinya. Akan tetapi berbagai potensi tersebut harus dikembangkan sesuai dengan peran dan fungsi manusia. Hal ini yang menyebabkan manusia membutuhkan suatu dimensi dalam mengembangkan potensi serta mengarahkan kecenderungan-kecenderungan tersebut kearah yang lebih baik menurut petunjuk al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Qur’an memperkenalkan kata kunci untuk memahami manusia secara komprehensif. Kata kunci tersebut adalah Insan, al-Basyar, dan bani Adam. Kata Insan yang bentuk jamaknya al-Nas dari segi sematik atau ilmu tentang akar kata, dapat dilihat dari asal kata Anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui, dan meminta izin. Atas dasar ini kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalaran, yakni dengan penalaran itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Adapun kata Basyar sendiri dimaknai sebagai penyebutan semua makhluk, baik laki-laki maupun perempuan, baik secara individual maupun kolektif. Kata Basyar adalah jamak dari kata Basyarah yang artinya permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.[11] Kata basyar juga terjelaskan dalam Q.S. al-Hijr yakni makhluk fisik-biologis. Jasad atau fisik manusia asal mulanya dari tanah, dan setelah berproses lalu terbentuklah menjadi manusia. Sebagai makhluk biologis kejadiannya hampir sama dengan makhluk biologis lainnya terutama jenis binatang mamalia, yaitu dari nutfah, ‘alaqah kemudian mudhghah (embrio) dan akhirnya terbentuklah janin, yang strukturnya secara gradual lebih sempurna dari binatang (Q.S at-Tin: 4 dan al-Mukminun: 13-14).[12]
Imam al-Ghazali sendiri dengan karya yang monumentalnya “Ihya Ulumuddin” mengulas seputar konsepsi manusia, berpendapat bahwa esensi manusia terdiri dari empat bagian, yaitu; hati, ruh, jiwa dan akal.[13] Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal memungkinkan manusia untuk berpikir dan selalu mencari kebenaran. Karena itu, menurut al-Ghazali, salah satu faktor sifat kodrati manusia adalah tidak pernah berhenti bertanya dalam mencari kebenaran. Manusia selalu ingin mengetahui rahasia alam. Semakin jauh rahasia alam yang bisa diselidiki, semakin banyak pula daerah misteri yang tidak diketahui, dan semakin tinggi kekagumannya kepada Allah, mysterium, tremendum et fascinosum. Manusia sadar akan kodratnya sebagai makhluk yang tidak mau berhenti mencari kebenaran.[14] Maka, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang menyejarah dan bisa belajar serta beradaptasi dengan lingkungannya. Manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan, sosial. Kemudian selain itu juga manusia mempunyai tata etnik, aturan, peradaban dan tentunya sebagai makhluk yang mempunyai budaya. Inilah yang kemudian menjadi perbedaan manusia dengan makhluk lain, yang diberikan kesempurnaan akal pikiran dan hati. Artinya dengan kedua anugrah yang diberikan tersebut, manusia mempunyai kewajiban untuk mengembangkan potensi positif sehingga berkembang secara optimal.
Kaitan mengenai potensi manusia yang disebutkan tersebut, maka penciptaan manusia mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu salah satunya adalah khalifah. Oleh karena itu potensi tersebut merupakan modal dasar untuk berperan sebagai khalifah (wakil Allah) di bumi. Sesuai dengan kedudukannya sebagai wakil Allah, kemampuan dan kewenangan yang diperoleh sebagai akibat dari potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya.[15] Oleh karena itu, salah satu dimensi kemanusiaan yang penting dikaji dalam hubungannya dengan proses pendidikan adalah fitrah. Sebab pendidikan pada hakikatnya merupakan aktifitas dan usaha manusia untuk membina dan mengembangkan potensi-potensi pribadinya agar berkembang seoptimal mungkin. Secara etimologis, fitrah berarti bersih dan suci. Sebagaimana disinggung sebelumnya, Hasan Langgulung mengartikan fitrah sebagai potensi yang baik. Hal ini berdasarkan analisis terhadap hadits Nabi berikut;
“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci (dari segala dosa dan noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga jelas bicaranya. Maka kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Abu Ya’la, al-Thabrani, dan al-Baihaqi dari al-Aswad bin Sari).[16]
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan bentuk raga yang sebaik-baiknya, dan berbagai kesempurnaan anugrah lain seperti akal pikiran dan hati. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia dengan suatu tujuan dan fungsi yaitu, manusia sebagai Khalifah dan Abd (pengabdi Allah). Menurut Musthafa al-Maraghi, kata Khalifah memiliki dua makna yaitu, Pertama, adalah pengganti Allah untuk melaksanakan titah-Nya di muka bumi. Kedua, manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya dan memakmurkan alam bagi kepentingan manusia secara keseluruhan. Sedangkan arti Abd sendiri adalah mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah.[17] Tugas yang kedua ini lebih pada hubungan manusia dengan sang penciptanya. Maka, pendapat tersebut dapat dikategorokan bahwa manusia sebagai makhluk yang diciptakan, mempunyai tugas dan fungsi menjalin hubungan hablum min Allah dalam hal ini hubungan manusia dengan Tuhannya (vertikal), dan hablum min an-nas (horizontal) yaitu sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan hubungan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Tentunya tugas manusia sebagai Khalifah dan Abd adalah sebuah isyarat agar manusia tidak memutuskan kedua hubungan tersebut.
III.        Kesimpulan dan Penutup
Manusia mempunyai potensinya masing-masing yang dianugrahkan oleh Allah Swt sehingga manusia mempunyai sifat dasar kecenderungan yaitu mengarah pada kecenderungan untuk bertaqwa dan kecenderungan untuk berbuat fujur. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an Surat Asy-Syams ayat 8 yang berbunyi; “maka diilhamkanlah kepada kepada jiwa manusia yang baik dan yang buruk”. Dari penjelasan ayat tersebut maka tinggal bagaimana manusia itu agar diarahkan kepada kecenderungan untuk bertaqwa. Dengan kata lain, pembentukan pribadi manusia tidak terlepas pada bagaimana proses pembentukan itu diarahkan. Dalam hal ini al-Qur’an secara tegas sudah memperingatkan agar supaya menjadi pribadi muslim yang sempurna (insan kamil). Sebagaimana tugas manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan maka kewajibannya adalah untuk beribadah (Abd) dan wakil Tuhan di muka bumi (khalifah). Oleh karena itu, untuk membekali manusia dalam menjalankan tugasnya tersebut maka ilmu pengetahuan dan agama lah sebagai jalannya, dan sebagai petunjuk serta petunjuk jalannya adalah al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Qur’an sebagai pedoman sekaligus sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia telah memberikan pelajaran agar bisa mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya. Maka, dalam kandungan al-Qur’an Surat al-An’am ayat 125 telah memperingatkan manusia agar senantiasa beriman dan bertaqwa sehingga ia berada dijalan yang baik. Kemudian dalam kandungan ayat ini juga menunjukan bahwa al-Qur’an dengan segala keistimewaan yang ada memiliki kandungan yang sangat lengkap sehingga layak untuk menjadi dasar pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam ayat ini dijelaskan, betapa seseaknya dada seseorang (manusia) jika berada didalam ruang yang hampa akan udara atau bahkan berada diluar angkasa/ langit. Satu kenyataan ilmiah yang dijelaskan dalam al-Qur’an jauh sebelum manusia mengenali lebih jauh mengenai tata surya. Jika melihat penjelasan tersebut maka sudah tidak dapat diragukan lagi bahwa al-Qur’an merupakan kumpulan ilmu pengetahuan mengenai alam dan seisinya. Maka, al-Qur’an menjadi dasar yang sangat komplit jika berbicara ilmu pengetahuan, dan dapat digaris bawahi bahwa kitab ini menjadi sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan bagi manusia.
Sebagai penutup pembahasan alangkah baiknya mengucapkan puji syukur kepada Allah Swt karena mampu menyelesaikan penulisan makalah ini. Walaupun jauh dari kata sempurna, namun penulis berharap agar dapat diberikan kritik dan saran yang mampu membangkitkan penulis untuk jauh lebih mendalami lagi penelaahan ayat-ayat al-Qur’an. Sebagai langkah awal untuk mengembangkan dan mendalami kandungan-kandungan dalam al-Qur’an, penulisan makalah ini menjadi titik tolak bagi penulis untuk mempelajari kandungan makna yang terdapat dalam al-Qur’an.
Daftar Pustaka
-          Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
-          Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
-          Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, Cet. I, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
-          Imam Naisaburi, Tafsir Ayat 125 Surat Al-An’am, http://www.scribd.com/ doc/ 49343925/ Tafsir-ayat-125-Surat-al-An’am. 2011.
-          Juwariyah, Hadits Tarbawi, Cet. I, Yogyakarta, Teras, 2010.
-          Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
-          Muhamad Syadid, Konsep Pendidikan Dalam Al-Qur’an, Cet. I, Jakarta, Penebar Salam, 2001.
-          M. Quraish Shihab, Tafsiral al-Misbah, Vol. 4 Surah al-An’am, Cet. VII, Jakarta, Lentera Hati, 2007.
-          __________, Wawasan al-Qur’an, Cet. VIII, Bandung, Mizan, 1998.
-          Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (pendekatan teoritis dan praksis), Cet. I, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
-          Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dibawah Naungan al-Qur’an Surah al-An’am-Surah al-a’Raaf 137, Jilid IV, Jakarta, Gema Insani, 2002.
-          Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif al-Qur’an,Cet. I Yogyakarta, Mikraj, 2005.
-          Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur), Cet. I, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.



[1] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dibawah Naungan al-Qur’an Surah al-An’am-Surah al-a’Raaf 137, Jilid IV, (Jakarta, Gema Insani, 2002), hal. 208-210.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsiral al-Misbah, Vol. 4 Surah al-An’am, Cet. VII, (Jakarta, Lentera Hati, 2007), hal. 285-286.
[3] Imam Naisaburi, Tafsir Ayat 125 Surat Al-An’am, http://www.scribd.com/ doc/ 49343925/ Tafsir-ayat-125-Surat-al-An’am. 2011.
[4] Muhamad Syadid, Konsep Pendidikan Dalam Al-Qur’an, Cet. I (Jakarta, Penebar Salam, 2001), hal. 131
[5] Ibid., 132
[6] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Cet. VIII (Bandung, Mizan, 1998), hal. 434
[7] Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif al-Qur’an,Cet. I (Yogyakarta, Mikraj, 2005), hal. 51
[8] Juwariyah, Hadits Tarbawi, Cet. I, (Yogyakarta, Teras, 2010), hal. 3.
[9] Ibid., hal. 375.
[10] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 41.
[11] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Cet. I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 29.
[12] Achmadi, Ideologi Pendidikan..., hal. 45.
[13] Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 70.
[14] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 23.
[15] Achmadi, Ideologi Pendidikan..., hal. 47.
[16] Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 38.
[17] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (pendekatan teoritis dan praksis), Cet. I, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar