A.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan faktor terpenting dalam struktur
sosial karena pendidikan merupakan jalan yang cukup strategis dalam menanamkan
nilai-nilai struktural kerakyatan. Melalui pendidikan, manusia bisa menyadari
potensi yang ada pada dirinya. Oleh karena itu, banyak para tokoh pendidikan
menyadari bahwa pendidikan merupakan proses hominisasi dan proses humanisasi. Dalam
definisi Ki Hajar Dewantara ,
ia mengartikan pendidikan sebagai
proses penyadaran diri manusia. Sehingga ia mendefinisikan bahwa pendidikan
bukan hanya menciptakan manusia-manusia yang cerdas secara akademik, akan
tetapi mendidik berarti membimbing manusia pada budi pekerti yang positif
sehingga menjadi masyarakat yang beradab dan bersusila.
Hal yang sama dikenalkan oleh Paulo Freire mengenai
pendidikan, konsep pendidikan sebagai pembebasan adalah bagian dari definisi
pendidikan sebagai praktek memanusiakan manusia. Ia mendasarkan praktiknya tersebut
pada ide-ide teori yang lebih dialogis-partisipatoris dalam proses
pendidikannya. Sehingga pada dataran implemantasinya, guru diposisikan sebagai
fasilitator, motivator, mediator, korektor, inspirator, pembimbing, organisator,
evaluator, informator, pengelola kelas, dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
jika melihat kembali definisi-definisi dari teori yang dikemukakan oleh Paulo
Freire tersebut, maka anak didik sendiri diposisikan sebagai subyek dari
pendidikan.
Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah membentuk
manusia yang holistic serta mampu membawa manusia pada keterbukaan dunia
secara universal, sehingga tahap akhir dari proses pendidikan tersebut adalah
menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya baik internal (self)
maupun lingkungannya (problem solving). Rumusan dari tujuan pendidikan
tersebut terangkum pada Undang-Undang tentang pendidikan Nasional No. 4 tahun
1950, yakni membentuk/ membangun manusia religius, cerdas, dan Nasionalis. Hal
inipun dipertegas dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang System Pendidikan Nasional,
yang tercantum pada pasal 4 menjelaskan bahwa pendidikan Nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani,
berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan
dan bangsa.
B.
Menggugat
Pendidikan Nasional
Kenyataannya, pendidikan di Indonesia sekarang sudah menjadi
barang komiditi, barang yang susah didapatkan. Dengan kata lain, pendidikan
menjadi alat penguasa untuk melanggengkan status quo-nya sehingga pendidikan
Nasional sampai saat ini belum sesuai dengan amanat yang tertulis baik dalam
UUD 1945 maupun UU lain yang berbicara terkait dengan pendidikan. Sehingga pada
akhirnya pendidikan hanya menjadi alat hegemoni para penguasa.
Jika kita membuka kembali buku sejarah pendidikan
Nasional kita, maka tentu kita akan teringat dengan politik etis (politik balas
budi) yang diterapkan oleh Belanda yang salah satunya terkait dengan pendidikan
(education). Walaupun terlihat mempunyai niat baik terhadap masyarakat
pribumi, namun didalamnya mengandung unsur-unsur kepentingan (politis) bagi
Belanda (colonialms) itu sendiri yaitu menciptakan buruh dari Indonesia .
Kemudian pada rezim Orde Baru pun pendidikan Nasional tidak jauh berbeda dengan
pendidikan Pra-kemerdekaan. Dengan kata lain, pendidikan hanya diletakan
sebagai proses indoktrinasi penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya dan hal
itu terlihat pada system NKK/ BKK (Normalisasi Kegiatan Kampus/ Badan
Koordinasi Kampus) yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut.
Menelisik pendidikan pada kondisi sekarang tidak jauh
bedanya dengan pendidikan Pra-kemerdekaan dan Orde Baru, yaitu pendidikan digunakan sebagai mesin pencetak
buruh yang profesional. Sebagai
realisasinya, konsep pendidikan tersebut terakomodasi dalam sebuah konsep Link
and Mach yang merupakan usulan dari Karl Willenbrock asal Amerika Serikat. Dalam
praktiknya, Willenbrock mengusulkan perlunya perusahaan menjadi bapak angkat
bagi perguruan tinggi atau lembaga-lembaga pendidikan. Perusahaan tidak sekadar
memberi tempat berlatih, atau menyisihkan sebagian keuntungannya, namun juga
terlibat langsung dalam pengembangan serta pembuat kebijakan-kebijakan dalam lembaga
pendidikan tersebut (tinggi). Singkat kata, pendidikan Nasional sekarangpun
tidak ada ubahnya pada periode-periode sebelumnya.
C.
Liberalisasi
Pendidikan
Alhasil pendidikan Nasional masih jauh dari kata
harapan bangsa. Dengan demikian, pendidikan justru menjadi jurang pemisah
antara si miskin dan si kaya. Artinya jika kita melihat kembali rumusan tujuan
pendidikan di atas serta UUD 1945 maka sangat jelas sekali, bahwa pendidikan
Nasional pada praktiknya sudah menunjukan keberpihakan kepada seluruh komponen
masyarakat Indonesia. Pendidikan Nasional hanya berpihak kepada kelompok
masyarakat yang mampu membeli. Sebagaimana dijelaskan diawal tadi, bahwa
pendidikan sudah menjadi barang komoditi, yang tidak sembarang orang bisa
mendapatkannya.
Jaminan pendidikan yang teratur dalam UUD 1945 ataupun
UU yang terkait sudah terciderai oleh kepentingan para penguasa yang tidak
bertanggungjawab sehingga pendidikan itu menjadi ruang pemisah bagi masyarakat.
Kebijakan desentralisasi pendidikan pun tidak menjamin seseorang untuk sekolah.
Bahkan dengan adanya kebijakan tersebut semakin terlihat jelas betapa bobrok
dan hancurnya pendidikan nasioanal kita. Substansi serta peraturan pendidikan
kita sudah jauh dari pada esensinya (panggang jauh dari bara). Artinya, jika
melihat esensi dari pendidikan itu sendiri pada praktiknya sudah berbeda jauh,
bahkan sudah berlawanan. Kemudian jika melihat kebijakan-kebijakan pendidikan
yang tertuang dan Undang-Undang sudah tidak sesuai lagi pada dataran
implementasinya.
D.
Revitalisasi
Pendidikan
Sebagai bagian yang terpenting dalam kehidupan manusia,
pendidikan menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi peradaban masyarakat. Pendidikan
menjadi sub penting bagi system sosial-kemasyarakatan, oleh karena itu pendidikan
menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat. Pendidikan tidak bisa ditawar dengan
kebutuhan lain, sehingga pendidikan harus berpola Nasional, berwatak kerakyatan
(egaliter), serta bersifat demokratis. Ketiga elemen tersebut akan membawa
masyarakat pada kehidupan yang adil dan sejahtera. Oleh karena itu, tidak lain
kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan harus didasarkan pada ketiga
elemen tersebut.
Pendidikan berpola Nasional adalah pendidikan yang
dikembalikan pada jati diri bangsa, yang mempunyai system pendidikan Nasional
yang sesuai dengan karakter bangsa sehingga dalam hakikatnya pendidikan
tersebut adalah milik masyarakat. Kemudian pendidikan yang berwatak kerakyatan
(egaliter) adalah pendidikan yang dapat dirasakan oleh semua lapisan
masyarakat, tanpa memandang dari lapisan mana ia berasal (education for all).
Maka dalam praktinya pendidikan tersebut dilaksanakan dari, oleh dan untuk
masyarakat. Kemudian sebagaimana dijelaskan Paulo Friere dalam konsep pendidikan
pembebasan (liberation) mengenai pendidikan yang bersifat demokratis,
bahwa untuk mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia maka dibutuhkan pendidikan
yang dialogis-partisipatoris. Dan hal tersebut menurut Paulo Friere akan
menciptakan kecerdasan kritis pada manusia. Karena menurutnya kecerdasan
tersebut dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kecerdasan magis, kecerdasan naïf,
dan kecerdasan kritis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar