PAPER
PENDIDIKAN
ISLAM DALAM PERSPEKTIF KULTURAL
Oleh; Jajat
Darojat, S.Pd.I., MSI
A.
Pendahuluan
Dalam suatu perkembangan sosial, secara alamiah masyarakat akan
mengalami perubahan. Namun, apakah perkembangan sosial tersebut akan mengarah
kepada perubahan yang bersifat konstruktif atau pada yang bersifat destruktif.
Arah perubahan sosial-masyarakat tidak terlepas dari adanya peran pendukung
pendidikan yang merupakan bagian dari sub-sistem sosial. Apabila mencermati
kondisi pendidikan di Indonesia, sebenarnya telah mengalami pembaharuan. Tujuan
pembaharuan itu adalah
untuk menjaga agar pendidikan tersebut tetap relevan
dengan kebutuhan masyarakat dalam menghadapi persoalan-persoalan sosialnya.
Namun apakah dalam pembaharuan pendidikan tersebut pada wilayah kualitatif
(mutu) ataukah pada wilayah kuntitatif, yakni hanya sebatas pemenuhan kebutuhan
kerja atau persyaratan bagi pendidikan lanjut pada jenjang pendidikan
berikutnya. Sampai saat ini, pendidikan masih terkungkung di dalam
paradigma-paradigma yang tunduk kepada kekuasaan yang otoriter. Karena sistem
pendidikan pada saat ini masih dimiliki oleh golongan masyarakat tertentu.
Patut diakui bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia secara kuantitatif
mengalami kemajuan, tetapi pemberdayaan masyarakat secara luas dan merata sebagai
cermin dari keberhasilan pendidikan belum nampak sampai hari ini.
Pendidikan merupakan suatu proses pemberian manusia berbagai macam
situasi yang bertujuan memberdayakan diri.[1]
Maka, pendidikan adalah bagian dari kegiatan sosial masyarakat yang tidak
terpisahkan. Pendidikan merupakan faktor penting bagi kehidupan masyarakat. Pendidikan
menjadi salah satu faktor perubahan pola kehidupan masyarakat. Namun, jika
pendidikan sudah berada pada posisi sebagai alat hegemoni penguasa yaitu
sebagai cara atau metode dalam mempertahankan status quo. Akibatnya
sistem pendidikan kemudian dijadikan salah satu instrumen untuk menciptakan safety
net bagi pelestarian kekuasaan. Sedangkan visi dan misi pelestarian
kekuasaan itu melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat straight jacket
dan inilah penyembab kesenjangan terhadap pendidikan.[2]
Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang holistic
serta mampu membawa manusia pada keterbukaan dunia secara universal. Sehingga
tahap akhir dari proses pendidikan adalah menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapinya baik internal (self) maupun lingkungannya (problem
solving).
Kondisi pendidikan Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
pendidikan nasional, karena pendidikan Islam sendiri merupakan bagian dari
pendidikan nasional. Pendidikan Islam mempunyai peran dan posisi yang sangat
strategis dalam pola perubahan masyarakat. Pendidikan Islam setidaknya
senantiasa mengorientasikan diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang
muncul dalam masyarakat sebagai konsekuensi logis dari perubahan. Menurut para
ahli sosiologi pendidikan, terdapat relasi resiprokal (timbal-balik) antara
dunia pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat. Relasi ini bermakna bahwa
apa yang berlangsung dalam dunia pendidikan merupakan gambaran dari kondisi
yang sesungguhnya di dalam kehidupan masyarakat yang kompleks. Demikian juga
sebaliknya, kondisi masyarakat baik dalam aspek kemajuan, peradaban dan
sejenisnya, tercermin dalam kondisi dunia pendidikannya. Oleh karena itu,
majunya dunia pendidikan dapat dijadikan cermin majunya masyarakat, dan dunia
pendidikan yang amburadul juga dapat menjadi cermin terhadap kondisi
masyarakatnya yang juga penuh persoalan.[3]
Pada era reformasi ini, pendidikan nasional ditekankan untuk membangun manusia
dan masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas, berdasarkan budaya
Indonesia. Untuk mencapai cita-cita tersebut, pendidikan hendaknya didasarkan
pada paradigma-paradigma baru yang bertujuan untuk membentuk suatu “masyarakat
madani” yang demokratis. Pendidikan harus bertolak dari pengembangan manusia
Indonesia yang berbudaya dan berperadaban, merdeka, bertakwa, bermoral dan
berakhlak, berpengetahuan dan berketerampilan, inovatif dan kompetitif,
sehingga dapat berkarya secara profesional dalam kehidupan global menuju
masyarakat madani Indonesia.[4]
Pembicaraan
mengenai pendidikan akan selalu hangat untuk diperbincangkan. Dalam
pembahasannya tidak akan menemukan titik final karena dalam setiap kondisi
ataupun situasi akan selalu berubah. Oleh karena itu, pendidikan akan menjadi
pembahasan yang selalu up to date untuk
diperbincangkan. Sebagai respons terhadap perubahan-perubahan tersebut maka
pendidikan dibutuhan penyegaran kembali dalam orientasi maupun tujuan dari
pendidikan itu sendiri. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya untuk merekonstruksi,
reorientasi, serta restrukturisasi pendidikan sehingga lebih realistik dan
sesuai dengan konteks perkembangan dan perubahan masyarakat. Sebab,
bagaimanapun sederhananya suatu proses pendidikan, ultimate goal-nya harus diarahkan pada tujuan yang lebih mulia,
yakni membuat manusia benar-benar menjadi manusia. Berbagai persoalan dalam situasi sosial masyarakat saat ini,
menjadi fakta bahwa pendidikan belum menemukan problem solver-nya. Oleh
karena itu untuk menghasilkan suatu pandangan dan kesimpulan yang
tersistematis, maka perlu adanya pembahasan yang sistematis pula dan
terstruktur dalam merumuskan kembali orientasi dan tujuan pendidikan. Sebagai
awal pembahasan dalam merumuskan suatu tujuan dan orientasi pendidikan maka
terlebih dahulu diawali dengan menelaah si pelaku dari proses pendidikan
tersebut. Pendidikan merupakan suatu yang inheren dalam kehidupan manusia. Karena
itu manusia sebagai pelaku dari proses pendidikan menempatkan dirinya sebagai
tujuan dari proses pelaksanaan pendidikan tersebut. Dengan demikian langkah
awal yang ditempuh dalam merumuskan orientasi dan tujuan pendidikan adalah menelaah
hakikat dari manusia itu sendiri.
B.
Pembahasan
1.
Manusia dalam perspektif Islam
Al-Qur’an
memperkenalkan kata kunci untuk memahami manusia secara komprehensif. Kata
kunci tersebut adalah Insan, al-Basyar, dan
bani Adam. Kata Insan yang bentuk jamaknya al-Nas
dari segi sematik atau ilmu tentang akar kata, dapat dilihat dari asal kata Anasa yang mempunyai arti melihat,
mengetahui, dan meminta izin. Atas dasar ini kata tersebut mengandung petunjuk
adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalaran. Yakni
dengan penalaran itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang
dilihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Adapun
kata Basyar sendiri dimaknai sebagai
penyebutan semua makhluk, baik laki-laki maupun perempuan, baik secara
individual maupun kolektif. Kata Basyar adalah
jamak dari kata Basyarah yang artinya
permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.[5] Kata basyar juga terjelaskan dalam Q.S. al-Hijr yakni
makhluk fisik-biologis. Jasad atau fisik manusia asal mulanya dari tanah, dan
setelah berproses lalu terbentuklah menjadi manusia. Sebagai makhluk biologis
kejadiannya hampir sama dengan makhluk biologis lainnya terutama jenis binatang
mamalia, yaitu dari nutfah, ‘alaqah kemudian mudhghah (embrio) dan
akhirnya terbentuklah janin, yang strukturnya secara gradual lebih sempurna
dari binatang (Q.S at-Tin: 4 dan al-Mukminun: 13-14).[6]
Imam
al-Ghazali sendiri dengan karya yang monumentalnya “Ihya Ulumuddin” mengulas seputar konsepsi manusia, berpendapat
bahwa esensi manusia terdiri dari empat bagian, yaitu; hati, ruh, jiwa dan
akal.[7] Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal memungkinkan manusia
untuk berpikir dan selalu mencari kebenaran. Karena itu, menurut al-Ghazali,
salah satu faktor sifat kodrati manusia adalah tidak pernah berhenti bertanya
dalam mencari kebenaran. Manusia selalu ingin mengetahui rahasia alam. Semakin
jauh rahasia alam yang bisa diselidiki, semakin banyak pula daerah misteri yang
tidak diketahui, dan semakin tinggi kekagumannya kepada Allah, mysterium,
tremendum et fascinosum. Manusia sadar akan kodratnya sebagai makhluk yang
tidak mau berhenti mencari kebenaran.[8] Maka, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk
yang menyejarah dan mampu belajar serta beradaptasi dengan lingkungannya.
Karena itu, manusia merupakan makluk sosial yang tidak bisa berdiri sendiri
(makluk individual). Manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan
perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial. Kemudian selain itu juga manusia
mempunyai tata etnik, aturan, peradaban dan tentunya sebagai makhluk yang
mempunyai budaya. Inilah kemudian yang menjadi perbedaan manusia dengan makhluk
lain, diberikan kesempurnaan akal pikiran dan hati. Artinya dengan kedua
anugrah yang diberikan tersebut, manusia mempunyai kewajiban untuk
mengembangkan potensi positif sehingga berkembang secara optimal. Maka
pengembangan potensi yang dimiliki manusia tersebut tiada lain adalah melalui
proses pendidikan.
Hasan
Langgulung, sebagaimana ia menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Manusia dan
Pendidikan” bahwa potensi-potensi manusia menurut pandangan Islam tersimpul
dalam al-Asma’ al-Husna, yaitu sifat-sifat Allah yang berjumlah 99 itu.
Pengembangan sifat-sifat ini pada diri manusia itulah ibadat dalam arti kata
yang luas, sebab tujuan manusia diciptakan adalah untuk menyembah Allah. Untuk
mencapai tingkat menyembah Allah ini dengan sempurna, haruslah sifat-sifat
Tuhan yang terkandung di dalam al-Asma’ al-Husma itu dikembangkan
sebaik-baiknya pada diri manusia. Dan itulah dia pendidikan menurut pandangan
Islam. Misalnya, sifat suci (al-Qudus). Untuk mengembangkan kesucian, manusia
diperintahkan untuk mengerjakan ibadat formal yang terdiri dari rukun Islam
yang lima; Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji. Syahadat bertujuan
mensucikan niat dan pikiran manusia dari segala syirik. Shalat, hendaklah
didahului oleh kesucian badan, dan seterusnya. Hati juga harus suci dari riya’
atau sifat pura-pura, supaya jangan termasuk golongan munafiq. Zakat adalah
usaha mensucikan harta dari segala yang tidak halal. Begitu juga dengan puasa
dan haji. Pendeknya untuk mengembangkan sifat suci itu pada diri manusia, dia
harus mengerjakan ibadat formal. Menurut pandangan filosof-filosof Islam,
sifat-sifat Tuhan yang berjumlah 99 itu merupakan potensi-potensi manusia yang
harus dikembangkan dengan wajar dan sempurna. Oleh karena itu bukan hanya
kekuatan jasmani saja yang dikembangkan dalam proses pendidikan akan tetapi
sifat-sifat kerohaniannya juga perlu diperhatian.[9] Lebih lanjut lagi, menurut Azyumardi Azra, pada dasarnya manusia
merupakan makhluk teomorfis, artinya dibalik keterbatasan dan kelemahannya ia
memiliki sesuatu yang ada di dalam dirinya, yaitu sifat-sifat ke-Tuhanan.
Tetapi dengan kerangka berpikir demikian, tidaklah mengisyaratkan pemanusiaan
Tuhan (antromorfisasi), karena bagaimanapun juga zat Tuhan tetap abadi dan
kekal, lain halnya dengan manusia yang zatnya berubah serta zatnya tidak abadi.[10]
Kaitan
mengenai potensi manusia yang disebutkan tersebut, maka penciptaan manusia
mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu salah satunya adalah khalifah.
Oleh karena itu potensi tersebut merupakan modal dasar untuk berperan sebagai khalifah
(wakil Allah) di bumi. Sesuai dengan kedudukannya sebagai wakil Allah,
kemampuan dan kewenangan yang diperoleh sebagai akibat dari potensi yang
dimiliki oleh manusia tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya.[11] Oleh karena itu, salah satu dimensi kemanusiaan yang penting
dikaji dalam hubungannya dengan proses pendidikan adalah fitrah. Sebab
pendidikan pada hakikatnya merupakan aktifitas dan usaha manusia untuk membina
dan mengembangkan potensi-potensi pribadinya agar berkembang seoptimal mungkin.
Secara etimologis, fitrah berarti bersih dan suci. Sebagaimana disinggung
sebelumnya, Hasan Langgulung mengartikan fitrah sebagai potensi yang baik. Hal
ini berdasarkan analisis terhadap hadits Nabi berikut;
“Semua anak
dilahirkan dalam keadaan suci (dari segala dosa dan noda) dan pembawaan
beragama tauhid, sehingga jelas bicaranya. Maka kedua orangtuanyalah yang
menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Abu Ya’la, al-Thabrani, dan al-Baihaqi dari al-Aswad bin Sari).[12]
Manusia
adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan bentuk raga yang sebaik-baiknya,
dan berbagai kesempurnaan anugrah lain seperti akal pikiran dan hati. Dalam
al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia dengan suatu tujuan dan
fungsi yaitu, manusia sebagai Khalifah
dan Abd (pengabdi Allah). Menurut
Musthafa al-Maraghi, kata Khalifah memiliki dua makna yaitu, Pertama, adalah pengganti Allah untuk
melaksanakan titah-Nya di muka bumi. Kedua,
manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan
makhluk lainnya dan memakmurkan alam bagi kepentingan manusia secara
keseluruhan. Sedangkan arti Abd
sendiri adalah mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah.[13] Tugas yang kedua ini lebih pada hubungan manusia dengan sang
penciptanya. Maka, pendapat tersebut dapat asumsikan bahwa manusia sebagai
makhluk yang diciptakan mempunyai tugas dan fungsi menjalin hubungan hablum min Allah dalam hal ini hubungan
manusia dengan Tuhannya (vertikal), dan hablum
min an-nas (horizontal) yaitu sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan
hubungan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Tentunya tugas
manusia sebagai Khalifah dan Abd adalah sebuah isyarat agar manusia
tidak memutuskan kedua hubungan tersebut.
Pendidikan
Islam pada dasarnya berangkat dan berorientasi pada potensi dasar manusia
secara lebih sistematik dan realistik. Sebab, bagaimanapun sederhananya suatu
proses pendidikan, ultimate goal-nya haruslah diarahkan pada tujuan yang lebih
mulia. Yakni membuat manusia benar-benar menjadi manusia dengan melaksanakan
proses pendidikan yang memanusiakan manusia. Untuk mengoptimalkan serta
mengaktualisasikan potensi dasar kemanusian itu menjadi inti kegiatan tarbiyah Islamiyah. Menurut Marwah Daud
Ibrahim, pendidikan yang baik dan yang paling benar adalah upaya paling
strategis serta efektif untuk membantu mengoptimalkan dan mengaktualkan potensi
kemanusiaan. Potensi dasar manusia merupakan suatu yang given, dan semua makhluk manusia diberi potensi dasar yang sama
oleh Allah.[14]
Karena itu untuk mencari serta menemukan paradigma baru pendidikan Islam yang
humanistik, pekerjaan paling awalnya adalah menelaah manusia itu sendiri. Baru
kemudian menelaah konstelasi pendidikan Islam agar bisa menemukan hubungan
keduannya. Hal inilah yang mendasari mengapa pembahasannya dimulai dengan
menelaah konsep manusia. Oleh karena itu, secara garis besar tujuan diciptakan
manusia adalah;
a. Tujuan utama diciptakan manusia adalah
agar manusia beribadah kepada Allah (Q.S. az-Zariyah: 56)
Pengertian ibadah disini sangatlah luas, namun kepatuhan sepenuh hati
untuk taat kepada Allah adalah sebagai tolak ukurnya. Meliputi berbagai amal
perbuatan yang ditujukan karena Allah untuk mencari ke-ridlaan Allah, garisnya
amal saleh. Menurut Abdul A’la Maududi mengemukakan tentang luasnya lapangan
ibadah dalam Islam. Ia menjelaskan bahwa segala perbuatan manusia dalam
interaksi sosialnya yang bentuknya tolong menolong, saling membantu, saling
menghargai, serta perbuatan lain yang sifatnya positif atas dasar taat kepada
Allah, maka perbuatan itu termasuk dengan ibadah.
b. Manusia dicipta untuk berperan sebagai
wakil Tuhan dimuka bumi (Q.S. al-Baqarah: 30, Yunus: 14, al-An’am: 165)
Karena Allah Zat menguasai dan memelihara alam semesta (Rabbul ‘alamin), maka tugas utama manusia sebagai
wakil Tuhan adalah menata dan memelihara serta melestarikan dan menggunakan
alam sebaik-baiknya untuk kesejahteraan hidupnya. (Q.S. Hud: 61) Jabatan
sebagai Khalifatullah
ini merupakan anugrah tetapi sekaligus
sebagai amanat. Oleh karena itu, segala aktivitas dalam kaitannya kekhalifahan
ini harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
c. Manusia diciptakan untuk membentuk
masyarakat manusia yang saling kenal-mengenal, hormat-menghormati dan
tolong-menolong antara satu dengan yang lain (Q.S. al-Hujarat: 13). Jika tujuan
penciptaan pertama dan kedua difokuskan pada tanggungjawab individu, tujuan
penciptaan yang ketiga ini menegaskan perlunya tanggungjawab bersama dalam
menciptakan tatanan kehidupan dunia yang damai.[15]
Dalam pandangannya A. Malik Fadjar menyatakan bahwa manusia sebagai
makhluk pengemban amanah kekhalifahan mempunyai potensi yang luar biasa
besarnya, sehingga dapat mendayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka
membangun peradaban berdasarkan nilai-nilai ilahiyah.[16] Sedangkan menurut Jalaluddin, potensi bawaan (fitrah) tersebut
memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap
lebih-lebih pada usia dini.[17] Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan dan mengoptimalkan
potensi yang ada pada diri manusia maka hal ini membutuhkan suatu proses
humanisasi yaitu melalui proses pendidikan. Manusia adalah makhluk sosial (social
human) yang memiliki kemampuan, keinginan, akal pikiran, rasio, dan segala
potensi lainnya yang meliputi kemampuan skill. Dalam kategori lain,
manusia juga dapat dikatakan sebagai makhluk sosial yaitu makhluk yang memiliki
sejarah masa lalu, masa kini, dan akan memiliki masa yang akan datang. Maka,
dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk pendidikan (the create education),
karena ia senantiasa memiliki pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang
didapatkan tersebut akan berpengaruh terhadap segala potensi yang disebutkan di
atas tadi, seperti pemikiran, keinginan, kemampuan, bahkan pada karakter
manusia itu sendiri.
2.
Pendidikan menurut pandangan Islam
Berbicara mengenai pendidikan, adalah proses untuk memberikan
manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Aspek-aspek
yang biasanya paling dipertimbangkan adalah penyadaran, pencerahan,
pemberdayaan, dan perubahan prilaku.[18] Maka, dapat dikatakan bahwa manusia adalah sebagai subyek dari
proses pendidikan. Hal ini dilandasi bahwa proses pendidikan adalah proses
untuk memberikan kemampuan kepada individu untuk memberikan makna terhadap diri
dan lingkungannya.[19] Dari sudut pandang epistemologi, pendidikan dilihat sebagai suatu
proses yang inheren dalam konsep manusia, artinya manusia hanya dapat
dimanusiakan melalui proses pendidikan.[20] Pendidikan merupakan proses atau upaya manusia dalam meningkatkan
taraf derajat dan martabat manusia dan kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat.
Dengan kata lain bahwa pendidikan adalah salah satu bagian dari kegiatan
manusia yang tidak dapat terpisahkan dalam interaksi sosial masyarakat. Karena
itu, pendidikan merupakan suatu yang inheren dalam kegiatan manusia sehingga
menjadi suatu alat (problem solver) bagi persoalan-persoalan manusia dan
kemanusiaan. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan manusia dan realitasnya.
Karena manusia adalah sebagai subyek dari proses pendidikan dan realitas
merupakan obyek dari proses pendidikan itu sendiri.
Pendidikan merupakan upaya pemberian situasi pada peserta didik.
Dalam bahasa Islam sendiri pendidikan memiliki berbagai istilah, seperti
a.
Kata
kerja rabba yang masdarnya tarbiyyatan memiliki beberapa arti
yaitu mengasuh, mendidik dan memelihara.
b.
Kata
kerja ‘allama yang masdarnya ta’liman berarti mengajar yang
bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan.
c.
Kata
kerja addaba yang masdarnya ta’diban dapat diartikan mendidik
yang secara sempit mendidik budi pekerti dan secara lebih luas meningkatkan
peradaban.[21]
Terlepas
dari berbagai istilah yang diberikan dalam memahami dan mengartikan pendidikan.
Syed Naquib al-Attas sendiri berpendapat bahwa dari hasil kajiannya ditemukan
istilah ta’dib lebih tepat digunakan
dalam konteks pendidikan Islam, dan kurang setuju terhadap penggunaan istilah tarbiyah dan ta’lim.[22] Karena dalam proses pendidikan Islam yang menjadi subyek dari
prosesnya adalah manusia. Oleh karena itu, istilah ta’dib (membimbing) lebih humanis jika menggunakan istilah
pendidikan Islam. Kemudian selain itu juga, sebagaimana dijelaskan di awal
bahwa sifat dasar manusia adalah sebagai makhluk sosial. Maka tujuan untuk
mengembangkan dan memberdayakan potensi dasar yang dimiliki manusia perlu bimbingan
serta pembinaan sehingga unsur potensi yang dimiliki manusia baik itu jasmani,
intelektual, maupun rohaniah tersebut menjadi berkembang.
Untuk
mengembangkan potensi dasar yang dimiliki, maka manusia membutuhkan adanya
bantuan orang lain untuk mengembangkan, membimbing, mendorong, dan mengarahkan
agar potensi tersebut sehingga tumbuh dan berkembang secara optimal. Dengan
begitu mereka akan memenuhi kebutuhan hidupnya serta dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan fisik maupun sosialnya. Pendidikan Islam memandang manusia
sebagai struktur organik yang terdiri dari berbagai dimensi ruhaniah maupun
jasmaniah. Dari sudut pandang ini, pendidikan Islam berperan sebagai wadah
pengembangan kedua dimensi tersebut. Dengan pengertian pendidikan Islam seperti
yang dijelaskan di atas fungsi pendidikan sudah cukup jelas, yaitu memelihara
dan mengembangkan fitrah dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia
seutuhnya (insan kamil) yakni manusia berkualitas sesuai dengan
pandangan Islam.[23]
Menurut
Abdul Fattah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia
sebagai hamba Allah. Ia mengatakan bahwa tujuan ini akan mewujudkan
tujuan-tujuan khusus. Dengan mengutip surat al-Takwir ayat 27, Jalal menyatakan
bahwa tujuan itu adalah untuk semua manusia (Al Qur'an itu tiada lain hanyalah
peringatan bagi semesta Alam). Jadi, menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan
seluruh manusia menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah. Oleh
karena itu menurut Jalal ibadah itu tidak terbatas pada menunaikan shalat, saum
di bulan Ramadhan, zakat, haji, akan tetapi semua yang mencakup amal, fikiran,
dan perasaan yang disandarkan kepada Allah juga disebut dengan ibadah.[24] Artinya, jika mengacu pada pengertian atau hakikat dari pada
pendidikan adalah suatu proses yang inheren dalam kehidupan manusia. Maka
pendidikan merupakan pengalaman hidup manusia. Untuk membentuk suatu institusi
pengalaman pendidikan yang lebih konstruktif maka pendidikan tersebut diarahkan
pada kepentingan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan manusia sebagai
makhluk sosial.
Usaha
untuk mencari ketinggian spiritual, moral, sosial, dan intelektual merupakan
inti dari pendidikan Islam. Karena pembentukan moral yang tinggi adalah tujuan
utama dari pendidikan Islam.[25] Sehingga muara dari tujuan pendidikan Islam adalah membentuk
manusia sempurna dimata Tuhannya (insan
kamil) dan manusia sempurna dimata manusia (insan paripurna) atau
“muslim paripurna”. Karena itu, jika melihat kembali mengenai
pengertian-pengertian pendidikan Islam di atas baik secara etimologi maupun
terminologi. Bahwa keberadaan pendidikan Islam bukan sebatas menyangkut
persoalan ciri khas, atau pendidikan yang diberikan imbuhan kata Islam. Akan
tetapi pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang menggunakan
nilai-nilai normatif Islam, dengan tujuan, metode, kurikulum, dasar, dan
lainnya berlandaskan dan berpedoman pada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Melihat
kebutuhan akan suatu proses pendidikan,
manusia dituntut untuk selalu menjadi subyek yang mampu mengubah realitas dan
eksistensialnya, bahkan menjadi makhluk yang lebih manusiawi. Dalam bahasa
filsafat pendidikan Paulo Freire bertumpu pada keyakinan manusia secara fitrah
mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya dan seluruh alam semesta yang dalam
pendidikan Islam dikatakan bahwa manusia sebagai khalifah fil ard (wakil Tuhan di muka bumi).[26] Untuk memenuhi tugas tersebut, maka manusia sebagai makhluk Tuhan
yang berakal senantiasa berproses untuk mencari eksistensinya menuju
kesempurnaan (insan kamil dan insan paripurna). Artinya pada kawasan tersebut, proses pendidikan
merupakan proses pengembangan dan sekaligus proses rekonstruksi manusia
sehingga terjadi perubahan diri dan lingkungannya.
Melihat peran dan fungsi pendidikan Islam, maka
dengan mengembangkan kajian antropologi dan sosiologi ke dalam perspektif
al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan Islam adalah;
a. Mengembangkan wawasan yang tepat dan
benar mengenai jati diri manusia, alam sekitarnya dan mengenai kebesaran Ilahi,
sehingga tumbuh kemampuan membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan, serta
memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan kemampuan ini akan
menumbuhkan kreativitas dan produktivitas sebagai implementasi identifikasi
diri pada Tuhan “Pencipta”.
b. Membebaskan manusia dari segala anasir
yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari
dalam dirinya sendiri maupun dari luar. Yang dari dalam antara lain kejumudan,
taklid, kultus individu, khurafat dan yang terbesar adalah syirik. Terhadap
anasir dari dalam ini, manusia harus terus melakukan penyucian diri (tazkiyah
an-nafsi).
Sedangkan yang datang dari luar adalah situasi dan kondisi, baik yang bersifat
kultural maupun struktural yang dapat memasung kebebasan manusia dalam
mengembangkan realisasi dan aktualisasi diri. Untuk menghilangkan dan
meminimalkan anasir dari luar harus ada upaya sistematis dan strategis dari
seluruh elemen masyarakat, terutama pemerintah. Dengan semakin minimalnya
anasir-anasir tersebut terbukalah jalan untuk optimalisasi realisasi diri dan
aktualisasi diri sehingga menuntun hidup individu dan masyarakat lebih arif dan
bertanggungjawab.
Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk
menopang dan memakukan kehidupan baik individu maupun sosial. Untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan menurut sinyal yang diberikan al-Qur’an,
sebagaimana tersebut pada butir pertama, hendaknya dimulai dengan memahami
fenomena alam dan kehidupan dengan pendekatan empirik, sehingga mengetahui
hukum-hukumnya (Sunnah Allah).[27]
3.
Pendidikan Dalam Perspektif Kultural
Menurut Mastuhu, pendidikan pada dasarnya
hanya satu yaitu memanusiakan manusia. Dengan kata lain mengangkat harkat dan
martabat manusia (human dignity), yaitu mengangkat manusia
menjadi pemimpin di muka bumi. Dengan perkataan lain, menurut istilah agama
menjadi khalifah di bumi dengan tugas dan tanggungjawab memakmurkan kehidupan
dan memelihara lingkungan.[28]
Salah satu upaya preventif yang kemudian direkomendasikan adalah membangun kesadaran dan pemahaman akan
pentingnya untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi,
kemanusiaan dan pluralisme dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu pendidikan bukan
hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar dan terdidik. Namun
jauh lebih penting lagi adalah pendidikan mewujudkan manusia yang terdidik dan
juga memiliki kepekaan terhadap budaya (educated
and civilized human
being)
juga berdasarkan pada peserta
didik, pasar, atau bahkan tuntutan perkembangan zaman.
Idealnya sistem pendidikan itu diarahkan
pada pemahaman kebudayaan Indonesia yang Bhineka dengan menanggalkan sistem pendidikan yang
berorientasi pada kepentingan pemerintah yang sudah terkontaminasi dengan
kepentingan-kepentingan golongan.[29]
Pada
dasarnya antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang saling
berkaitan. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula tidak ada
praksis pendidikan di dalam vakum tetapi selalu berada di dalam lingkup
kebudayaan yang konkret. Tujuan untuk membangun kembali masyarakat
Indonesia dari krisis multidimensi maka pendidikan dalam perspektif kultural merupakan
suatu kebutuhan.
Uraian bahwa pendidikan tidak terlepas dari kebudayaan bahkan merupakan bagian
dari kebudayaan itu sendiri, maka tidak dapat dibayangkan adanya
pendidikan tanpa kebudayaan. Seterusnya, apabila telah bersepakat untuk
mewujudkan suatu masyarakat dan bangsa Indonesia, maka menjadi
suatu kewajiban untuk membentuk dan mengembangkan kebudayaan nasional.
Sebagai
titik tolak analisis mengenai hakikat kebudayaan yang dapat digunakan untuk
memahami hakikat pendidikan. Dalam hal ini mengambil
rumusan pelopor antropologi yaitu Edward B. Tylor dalam bukunya "Primitive
Culture" yang terbit pada Tahun 1871 mendefinisikan atau menjelaskan bahwa;
"Kebudayaan
atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan
kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat".[30]
Oleh karena itu, kultur yang dimiliki oleh masyarakat adalah sebagai
indentitas bangsa yang kemudian menjadi modal utama dalam menciptakan
pendidikan yang bersifat egaliter, demokratis, adil serta mampu bersaing dalam
kancah dunia internasional. Dengan ini masyarakat mampu
menjadi warga global dengan tidak akan lagi ada kekawatiran akan kehilangan jati
diri atau bahkan tercerabut dari akarnya sebagai bangsa Indonesia.
Dalam
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
dalam Bab I Pasal 1 dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaknya,
masyarakat, bangsa dan negera.[31]
Walaupun secara definisi para tokoh pendidikan mempunyai banyak versi dalam
mempersepsikan pendidikan. Namun makna dan tujuannya tidak keluar dari hakikat
pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan yang diselenggarakan bukan hanya
semata-mata untuk membentuk suatu kecerdasan intelektual semata. Pengertian
pendidikan yang dijelaskan dalam UU Sisdiknas tersebut adalah selain membentuk
kecerdasan secara intelektual, juga membentuk kecerdasan emosional maupun
spiritual. Jadi secara garis besar dapat terlihat komponen-komponen yang akan
dituju dalam membentuk manusia pancasilais yang beradab dan bersusila yaitu
kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan intelektual. Karena
pada dasarnya manusia hendaknya memiliki kesadaran terhadap lingkungan (sebagai
kecerdasan emosional). Artinya, keberadaannya sebagai makhluk, memiliki tata
peradaban dan berakhlak terhadap alam dan lingkungannya. Begitulah sebagai
tujuan pendidikan Nasional dengan dasar tujuan asas Pancasila. Harapannya
pendidikan tersebut dapat membentuk masyarakat Pancasilais yang berke-Tuhanan
Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, dan seterusnya.
Pendidikan
dituntut untuk selalu relevan dengan kontinuitas perubahan. Ini adalah landasan
epistemologi dan prisip-prinsip umum dari pendidikan atau terminologi
al-Syaibany dikatakan sebagai “prinsip perubahan yang diingini”. Dalam realitas
kehidupan, sebagai kondisi riil pendidikan dapat dilihat dari adanya perubahan
sosial yang begitu cepat. Pendidikan harus senantiasa toleran dan tunduk
terhadap perubahan normatif dan kultural yang terjadi. Pendidikan sesungguhnya
merupakan sebuah institusi sosial yang berfungsi sebagai pembentuk insan yang
berbudaya dan melakukan proses pembudayaan nilai-nilai. Dengan demikian,
pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal penting yang saling terkait satu
sama lain dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Disatu sisi, pengembangan
dan pelestarian budaya berlangsung dalam suatu proses pendidikan, hal ini
tentunya memerlukan rekayasa pendidikan. Sementara itu, pengembangan pendidikan
juga membutuhkan sistem kebudayaan sebagai akar dan pendukung berlangsungnya
pendidikan tersebut. Pengembangan kebudayaan juga membutuhkan kebebasan kreatif
sementara pendidikan memerlukan stabilitas budaya yang mapan.[32]
Jika fungsi utama pendidikan adalah pelestari kebudayaan dan ilmu sekaligus
mengembangkannya, maka filsafat sebagai ilmu dan bagan konseptual kebudayaan
akan menjadi basis intelektual bagi penyusun konsep pendidikan dan juga
penyelenggaraan proses belajar mengajar.[33]
Secara
kontekstual, pendidikan harus sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan manusia
sehingga dapat menjawab kebutuhan dan tantangan jaman. Dalam memahami
perubahan-perubahan sosial yang terjadi, tentunya harus melihat bagaimana
pendidikan dipandang tersebut sebagai sebuah proses yang tidak terpisahkan dari
manusia. Artinya, orientasi dan tujuan pendidikan harus dikembalikan kepada semangat
kemanusiaan dengan membentuk masyarakat yang konstruktif positif. Pendidikan
dalam studi kultural adalah sebagai upaya untuk mengembalikan tujuan dasar dari
proses pendidikan. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat berdiri
sendiri (individual). Ia merupakan makhluk kolektif yang hidup secara komunal
untuk membentuk suatu interaksi sosial. Karena itu, pendidikan di sini
dimaksudkan untuk mempersiapkan manusia pada perubahan lingkungan yang sifatnya
membangun masyarakat yang konstruktif-positif. Walaupun secara formal proses
pendidikan itu terjadi di sekolah, akan tetapi pendidikan perlu dukungan dari
berbagai wilayah lain seperti pendidikan dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini
tidak dapat ditinggalkan begitu saja, karena proses penyadaran, pencerahan,
pemberdayaan, dan perubahan prilaku akan terjadi jika seluruh komponen seperti
sekolah, keluarga, dan masyarakat mampu berperan secara aktif di dalamnya.
Ki
Hadjar Dewantara sendiri mendefinisikan pendidikan sebagai upaya untuk
mengembangkan tumbuhnya budipekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran (intellect)
dan tubuh anak.[34]
Sedangkan menurut Romo Mangun Wijaya, pendidikan adalah proses awal usaha untuk
menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap manusia sebagai pelaku sejarah.
Kesadaran sosial hanya bisa tercapai apabila seseorang telah berhasil membaca
realitas perantaraan dunia di sekitar mereka. Karena itu, menurut ahli
sosiologi pendidikan, terdapat relasi resiprokal (timbal balik) antara
pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat, yang jelas pendidikan itu
menumbuhkan nalar kritisisme sosial.[35]
Pendidikan sebagai institusi sosial memberikan peran terhadap trasformasi dan
internalisasi nilai-nilai kultural masyarakat. Pada dasarnya proses pendidikan
merupakan bagian dari kegiatan untuk membentuk konstruksi kultural masyarakat
yang menjunjung tinggi nilai-nilai egalitarianisme, keadilan, demokratis, dan
seterusnya. Sehingga proses konstruksi kultural masyarakat tersebut menjadi
bagian dari semangat untuk membentuk masyarakat pancasilais. Maka, pendidikan
tidak layaknya “menara gading” yang menjauhkan diri dari realitasnya. Karena
pendidikan sendiri tidak akan terlepas dari suatu fakta sosial. Dengan
memperhatikan pengembangan budipekerti, kecerdasan emosional, kesadaran sosial
dan lain sebagainya, akan mengembalikan proses pendidikan pada hakikat dan
tujuannya. Pendidikan berfungsi untuk melakukan proses penyadaran terhadap
manusia sehingga mampu mengenal, mengerti dan memahami realitas kehidupan yang
ada disekitarnya.
C.
Kesimpulan
Sebagai makhluk yang menyejarah, manusia dikatakan sebagai makhluk
pendidikan (the create eduation). Makhluk yang memiliki potensi akal,
rasio, hati, serta jasad yang dilengkapi dengan panca indera sebagai media
untuk merekam seluruh pengalaman dalam hidupnya. Modal potensi yang dimilikinya
tersebut memungkinkan manusia untuk selalu belajar dan mencari kebenaran dalam
hidupnya. Karena itu, manusia senantiasa untuk berinteraksi dalam kehidupan
sosial. Manusia sebagai makhluk sosial, hanya melalui pendidikan manusia dapat
dimanusiakan. Dengan modal pengalaman sejarah melalui proses pendidikan
tersebut, manusia mengembangkan serta mengoptimalkan segala potensi yang
dimilikinya sehingga menjadi manusia sempurna (insan kamil dan insan
paripurna).
Pendidikan merupakan institusi sosial yang berperan sebagai proses
transformasi serta internalisasi nilai-nilai kultural, karena itu institusi ini
merupakan hasil rekayasa sosial. Karena menjadi bagian dari pendidikan
nasional, pendidikan Islam pun berperan untuk membentuk manusia yang beradab
dan bersusila. Inti dari kegiatan pendidikan Islam adalah untuk mencari
ketinggian spiritual, moral, sosial, dan intelektual. Pembentukan moral yang
tinggi adalah tujuan utama dari pendidikan Islam. Maka tujuan untuk membentuk
masyarakat pancasilais merupakan bagian dari semangat pendidikan Islam. Sebab,
muara akhir dari pendidikan Islam adalah masyarakat yang egalitarian,
berke-Tuhanan, demokratis, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
(masyarakat madani) yang berkeadilan. Artinya, pendidikan Islam
bertujuan untuk membentuk manusia sempurna dimata Tuhannya (insan kamil/ al-‘Abd) dan manusia
sempurna dimata manusia (insan paripurna/ khalifatullah) atau “muslim
paripurna”.
Melihat kebutuhan akan suatu
proses pendidikan, manusia dituntut untuk selalu menjadi subyek yang
mampu mengubah realitas dan eksistensialnya, bahkan menjadi makhluk yang lebih
manusiawi. Dasarnya adalah manusia hendaknya memiliki kesadaran terhadap
lingkungan (sebagai kecerdasan emosional). Artinya, keberadaannya sebagai makhluk
memiliki tata peradaban dan berakhlak terhadap alam dan lingkungannya. Maka
berangkat dari asumsi tersebut, pendidikan dituntut untuk selalu relevan dengan
kontinuitas perubahan. Pendidikan harus senantiasa toleran dan tunduk terhadap
perubahan normatif dan kultural yang terjadi dalam kehidupan sosial. Karena pendidikan
sesungguhnya merupakan suatu institusi sosial yang berfungsi sebagai pembentuk
insan yang berbudaya dan melakukan proses pembudayaan nilai-nilai kultural.
Dari sinilah pendidikan berperan sebagai proses penyadaran kesadaran sosial
sebagai pelaku sejarah dan pelaku perubahan. Alhasil, manusia sebagai makhluk
kolektif (makhluk sosial) yang hidup secara komunal membentuk suatu interaksi
sosial dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, untuk menghasilkan pendidikan
yang mampu menjawab persoalan-persoalan manusia dan kemanusiaan (problem
solving). Maka, dibutuhkan suatu proses pendidikan yang ilmiah dengan
membentuk situasi atau menciptakan kebudayaan ilmiah dalam rangka membangun
intelektulitas sosial manusia.
DAFTAR PUSTAKA;
Achmadi. 2010. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Baharuddin dan Moh. Makin. 2009. Pendidikan Humanistik (konsep,
teori, dan aplikasi praksis dalam dunia pendidikan). Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Dewantara, Ki Hadjar. 1977. Bagian Pertama: Pendidikan.
Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Djohar & Abd. Rochman assegaf.
2010. Pendidikan Transformatif.
Sukses Offset, Yogyakarta.
H.A.R Tilaar. 2002. Pendidikan,
Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho. 2009. Kebijakan Pendidikan (pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan
dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Langgulung, Hasan. 1995.
Manusia dan Pendidikan., Jakarta: Al-Husna Zikra.
Mastuhu. 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Mas’ud, Abdurrahman. 2001. Paradigma
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Mulkan, Abdul Munir. 1994. Paradigma Intelektual Muslim
(pengantar filsafat pendidikan Islam dan dakwah). Yogyakarta; Sipress.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural
(konsep dan aplikasi). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat
Pendidikan Islam (pendekatan teoritis dan praksis). Jakarta: Ciputat Press.
Nata, Abuddin. 1997. Filsafat
Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Sanaky, Hujair Ah. 2003. Paradigma Pendidikan Islam (membangun
masyarakat madani Indonesia). Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Soyomukti, Nurani. 2010. Teori-teori Pendidikan (tradisional, neo liberal, marxis-sosialis,
post modern). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Umiarso dan Zamroni. 2011. Pendidikan
Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. 2005. Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS) dan Penjelasannya. Yogyakarta: Media Wacana.
Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia Belajar Dari
Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
[1] Nurani
Soyomukti, Teori-teori Pendidikan (tradisional,
neo liberal, marxis-sosialis, post modern), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2010), hal. 27.
[2]
Hujair Ah.
Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam (membangun masyarakat madani Indonesia),
Cet. I, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 8.
[3] Ngainun Naim
dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural (konsep dan aplikasi), Cet.
I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 13.
[4] Hujair Ah.
Sanaky, Paradigma Pendidikan..., hal. 9.
[5] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Cet. I,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 29.
[6] Achmadi, Ideologi
Pendidikan Islam, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 45.
[7] Umiarso dan
Zamroni, Pendidikan Pembebasan (dalam
perspektif Barat dan Timur), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),
hal. 70.
[8] Mastuhu, Memberdayakan
Sistem Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal.
23.
[9] Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan,
Cet. III, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hal. 262.
[10] Baharuddin dan
Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2009), hal. 62.
[11] Achmadi,
Ideologi Pendidikan..., hal. 47.
[12] Baharddin dan
Moh. Makin, Pendidikan Humanistik...,
hal. 38.
[13] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (pendekatan
teoritis dan praksis), Cet. I, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 17.
[14] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
Cet. VI, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 26.
[15] Achmadi,
Ideologi Pendidikan..., hal. 64-66.
[16] Hujair Ah.
Sanaky, Paradigma Pendidikan..., hal.
232.
[17] Abdurrahman
Mas’ud, Paradigma Pendidikan Islam, Cet.
I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hal. 220.
[18] Nurani
Soyomukti, Teori-teori Pendidikan...,
hal. 27.
[19] H.A.R. Tilaar
dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan
(pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai
kebijakan publik), Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 21.
[20] H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani
Indonesia, Cet. III, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 17.
[21] Achmadi,
Ideologi Pendidikan..., hal. 27.
[22] Umiarso dan
Zamroni, Pendidikan Pembebasan..., hal. 91.
[23] Achmadi,
Ideologi Pendidikan..., hal. 32.
[24] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan..., hal. 46.
[25] Ibid.,
hal. 48.
[26] Umiarso dan
Zamroni, Pendidikan Pembebasan...,
hal. 27.
[27] Achmadi,
Ideologi Pendidikan..., hal. 38.
[28] Djohar & Abd. Rochman assegaf, Pendidikan Transformatif, Sukses Offset, Yogyakarta ,
2010, hal. 20.
[29] Mastuhu, Menata
Ulang Pemikiran…., hal. 33.
[30] H.A.R Tilaar, Pendidikan,
Kebudayaan... hal. 39.
[31] Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) dan
Penjelasannya, (Yogyakarta: Media Wacana, 2005), hal. 3.
[32] Baharuddin dan
Moh. Makin, Pendidikan Humanistik..., hal. 12.
[33] Abdul Munir
Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim (pengantar filsafat pendidikan Islam
dan dakwah), (Yogyakarta; Sipress, 1994), hal 65.
[34] Ki Hadjar
Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan, Cet. II, (Yogyakarta: Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977), hal. 14.
[35] Moh. Yamin, Menggugat
Pendidikan Indonesia Belajar Dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara,
Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar