Pages

Jumat, 22 Maret 2013

PENELITIAN PERUBAHAN SOSIAL di YOGYAKARTA
THE NEXT CHAPTER II
(30 Tahun setelah Selo Soemardjan)
Tema: Kekuasaan
Lokus: Praktik kuasa di dalam pengelolaan keamanan lapis bawah
Oleh  : Jajat Darojat, Arman Marwing, Purnama Ayu

A.    Latar Belakang
Yogyakarta adalah prototipe masyarakat multikultur di Indonesia. Pelbagai suku bangsa dan agama dapat ditemukan di kota ini. Status sebagai kota pelajar yang ditandai dengan  melimpahnya pilihan jenjang sekolah tinggi seperti universitas, sekolah tinggi , institut, serta akademi seakan menjadi daya tarik bagi banyak kalangan untuk mengenyam pendidikan di sini. Konsekuensi yang tidak terelakkan dari kenyataan tersebut adalah pertambahan penduduk yang pesat setiap tahunnya. Berdasarkan data yang dilansir dari Badan Pusat Statistik Indonesia, tahun 1990, 1995, 2000, dan 2005 jumlah penduduk di Yogyakarta berturut-turut mencapai angka 2.913.054, 2.916.779, 3.121.045, dan 3.343.651. Saat memasuki tahun ajaran baru atau penerimaan mahasiswa baru pun, Yogyakarta menerima ratusan ribu calon mahasiswa baru. Di antara mereka,  ada yang berasal dari dalam provinsi, akan tetapi banyak pula yang datang dari luar daerah. Hal ini ternyata memberikan implikasi yang cukup positif terkait
dengan gairah perekonomian di Yogyakarta. Masuknya ratusan ribu “pendatang” baru untuk mengenyam pendidikan diyakini menjadi sumber ekonomi yang sangat menguntungkan. Mahasiswa pun pada akhirnya dinasbihkan sebagai oli yang melumasi roda perekonomian di kota yang multikultur ini.
Nilai ekonomis tersebut rupanya tidak hanya dimonopoli universitas tempat para mahasiwa menempuh jenjang studi.efek mobilisasi penduduk baru ini berdampak luas pada bergeraknya roda perekonomian masyarakat asli dan lokal ke arah yang positif dan signifikan. Kenyataan ini  dapat dilihat dengan menjamurnya usaha yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar mahasiswa yang bersifat primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan seperti sandang, papan, dan pangan, diakomodasi dengan tersedianya berbagai gerai pakaian, aneka usaha kuliner, hingga tempat tinggal yang layak selama menetap di kota ini. Ketersediaan berbagai fasilitas tersebut  memanjakan mahasiswa sekaligus menempatkan mahasiswa pendatang sebagai mode konsumtif.
Tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik tersebut, pada persoalan yang sangat hakiki dan privat seperti hak atas keselamatannya sendiri pun, mode produksi juga ikut bermain dan terjalin begitu kuat. Hal ini sebagaimana terlihat dari fenomena kecenderungan anak kost, asrama, dan kontrakan yang lebih cenderung “menyerahkan” keamanan dirinya serta asset yang dimilikinya selama tinggal di perantauan pada pola –pola keamanan yang ada di sekitarnya, meski terkadang efektifitasnya sangat mungkin untuk dipertanyakan.
Bagaimana mode produksi- konsumtif seperti ini bisa terjalin dalam masyarakat Yogyakarta? Mengingat masyarakat Yogyakarta oleh kebanyakan orang dinilai sebagai masyarakat tradisional yang diasosiasikan dengan guyub dan rukun, dan egaliter. Apakah nilai gotong royong dalam bentuk ronda sebagai sistem keamanan lokal sudah menjadi begitu konsumtif dan eksklusif? Bagaimana pula kuasa yang terjalin erat di dalamnya? Beberapa kegelisahan peneliti di atas menjadi hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.

B.     Metodologi Penelitan dan Hasil Temuan.
Penelitian singkat berupa light research ini dilaksanakan kurang dari satu minggu, waktu yang sangat singkat untuk melakukan sebuah penelitian dasar.  Sehubungan dengan penelitian ini, yang terkait dengan masalah sosial -budaya, maka peneliti menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan etnografi. Pendekatan etnografi sendiri didefinisikan sebagai pendeskripsian mengenai makna dari semua data, benda budaya, segala kebiasaan maupun peristiwa yang penting dan monumental dilakukan oleh kelompok masyarakat dari suatu daerah atau etnis tertentu (Kathryn & Margaret 1986).
Secara esensial, etnografi dikarakteristikkan sebagai  pengumpulan data dari berbagai sumber yang ada. Misalnya dengan wawancara, percakapan, observasi, dokumentasi; mempelajari perilaku dalam konteks keseharian pada kondisi eksperimental; menggunakan pendekatan tidak terstruktur untuk mengumpulkan data dalam tahap awal, sehingga isu-isu kunci dapat muncul perlahan-lahan melalui analisis; dan membandingkan sebuah studi indepth satu atau dua situasi.
Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah mahasiswa yang berdomisili di Yogyakarta. Prosedur ini mengacu pada pengertian populasi yang dikemukakan oleh Sugiono (2006),  yaitu sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan untuk memperoleh data yang menggambarkan sifat populasi maka penelitian ini menggunakan teknik sampling yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Pengambilan sampel dilakukan untuk perampingan biaya dan waktu penelitian namun tetap mengacu pada ketepatan representasi terhadap populasi secara keseluruhan.
Terdapat berbagai macam teknik sampling yang dapat digunakan untuk metode penelitian. Pada penelitian kali ini digunakan metode sampling purposif (purposif sampling). Teknik ini mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar kriteria-kriteria tertentu yang dibuat peneliti berdasarkan tujuan penelitian. Sedangkan orang-orang dalam populasi yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut tidak dijadikan sampel. Adapun yang menjadi sampel dan dipandang relevan dengan lokus penelitian ini yakni mahasiswa di Yogyakarta yang pernah dikenai insentif uang keamanan oleh RT setempat.
Dari Hasil wawancara di lapangan menemukan fakta bahwa “penyerahan” otoritas keamanan ini tidak terjalin secara tiba-tiba atau taken for granted. Melainkan melalui proses dinamis yang berlangsung terus menerus. Pelaksanaan ronda tidak bisa lagi dilihat sebagai sesuatu yang bebas kepentingan sebagaimana yang dipandang oleh banyak pihak, tetapi telah menjadi representasi berbagai kepentingan, sementara pihak yang lain, yang tidak dilibatkan , mengganti kepasifannya tersebut melalui kompensasi tertentu berupa pembayaran uang keamanan.
Keadaan tersebut seperti halnya dikemukakan oleh Lappe (25), mahasiswa penghuni asrama di komunitas Sulawesi. Menurut Lappe (25), ia acap kali didatangi ketua RT untuk menagih  uang purna atau uang keamanan yang besarannya mencapa RP. 35.000,-. Bagi Lappe, pungutan-pungutan uang keamanan seperti yang dialaminya bukanlah hal yang baru. Sebelumnya , ia juga harus berurusan dengan pemuda kampung yang mendatangi asrama untuk meminta uang ronda keamanan. Para pemuda yang datang menagih mendatanginya berlagak seperti preman yang berkuasa di tempat tersebut.  Kondisi tersebut  memicu keraguan dalam dirinya, terkait dengan keabsahan pungutan uang keamanan bagi pemuda, yang tertera nominal  Rp 10.000,00 tersebut. Namun karena mereka membawa secarik kertas pemberintahuan, yang sudah dibubuhi stempel dan tanda tangan RT dan instansi yang terkait. Membuat dirinya nya mengesampingkan keraguannya dan terpaksa memenuhi keinginan para pemuda tersebut.
Peneliti sendiri tanpa sengaja mendapati  pemuda yang melakukan pungutan uang keamanan tersebut di pojok lorong yang remang-remang . Mereka tengah sibuk menghitung uang pungutan yang nampak lumayan banyak (Observasi, 5 oktober 2011). Artinya, banyak pemondok dan pemilik usaha juga  dipungut biaya serupa. Ketika peneliti bersama dengan informan Lappe (25) melakukan konfirmasi pada  RT setempat, jawaban yang didapati sungguh mengejutkan. Pak RT dengan enteng menyatakan, uang keamanan untuk pemuda dan RT merupakan dua hal yang berbeda. Namun ia menolak memberikan penjelasan lebih lanjut terkait hal ini. Ia hanya menandaskan uang keamanan tersebut wajib dibayarkan oleh setiap kepala rumah tangga yang bertempat tinggal di wilayah administratifnya.
Kegelisahan akan keberadaan pungutan “liar” inipun diamini pula oleh Fajrin (20) mahasiswa UMY. Ia mengaku sangat terganggu dengan  pungutan-pungutan yang dianggapnya liar dari beberapa pemuda yang mengatasnamakan uang keamanan. Menurut Faje, selama ini,secara pribadi, tidak pernah mendapati keseriusan warga melaksanakan tugas ronda. Ia juga tidak pernah menjumpai warga berkeliling di sekitar asrama tempat tinggal dirinya. Hal lain yang membuatnya tidak habis mengerti adalah sebagai ketua asrama, yang mewakili para penghuni asrama tempatnya bernaung, ia tidak pernah sekalipun dilibatkan dalam proses musyawarah yang diselenggarakan warga setempat. Padahal dalam surat pungutan tersebut menyertakan “kesepakatan warga” sebagai acuan pelaksanaan pungutan. Berdasarkan wawancara  dengan Jumadi, warga RT sebelah , memaparkan bahwa di wilayah RT nya dan biasanya juga berlaku di tempat lainnya, sebelum aktifitas ronda dilaksanakan, biasanya harus didahului dengan proses  musyawarah warga . Pasalnya dari hasil musyawarah itulah,  kemudian pengurus RT bersama dapat mengetahui, menentukan kewajiban serta  jadwal ronda masing-masing warga.
Di tempat yang lain, keluhan soal pungutan keamanan juga diungkapkan oleh Priscilla (19), mahasiswa UGM. Sudah setahun lebih ia dikenai uang pungutan keamanan sebesar Rp 200,00 per harinya. Jika dikalkulasi ini berarti ia harus merogoh kocek sebesar Rp 6000,00 per bulan untuk membayar jasa keamanan. Ketika dihubungi via telepon, gadis murah senyum ini menuturkan, tak terlalu mempermasalahkan insentif keamanan tersebut. “Saya tidak curiga sama sekali dengan keabsahan instruksi itu karena sudah disahkan oleh RT,” imbuhnya. Meskipun feedback yang ia terima terkait dengan kualitas keamanan tak sebanding dengan uang yang dikeluarkan.
Persoalan kualitas keamanan yang dikelola oleh warga lokal atau penduduk asli memang menjadi keluhan umum dari banyak pihak terutama bagi mereka yang telah menyerahkan rasa amannya kepada otoritas tersebut. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada kasus yang terjadi pada asrama Fitria. Menurut salah seorang penghuni kost tersebut yaitu  Nurul Hidayah (bukan nama sebenarnya) menunjukkan kekecewaannya atas pelbagai kejadian pencurian, perkelahian yang kerap terjadi diwilayah dikostnya. Ia juga menyesalkan tindakan aparatur keamanan lokal yang seolah-olah kurang respons terhadap kasus pencurian di kostnya. Padahal setiap bulan ia membayar uang retribusi mulai dari keamanan, kebersihan, dan lain sebagainya. Ironisnya, kejadian tersebut tidak pernah ditangani secara serius padahal kejadian serupa sudah sering terjadi. Dan lebih ironisnya lagi, letak asrama fitia, yang menjadi lokasi praktik kejahatan berada  tepat di depan pos ronda yang sejatinya berfungsi sebaga pusat pengamanan warga . Tentu saja, hal tersebut membuat penghuni kost menjadi bertanya-tanya terhadap peran dan fungsi dari pos ronda yang ada diwilayahnya karena berkebalikan dengan tingginya kasus-kasus pencurian, perkelahian yang sering terjadi dan tidak pernah terselesaikan dengan baik.
Beberapa kesaksian informan di atas semakin menguatkan hipotesis peneliti bahwa telah terjadi suatu penyimpangan dalam praktek kehidupan kemasyarakatan di Yogyakarta. Hal ini ditandai dengan pemberlakuan aturan-aturan yang bersifat linier dan “despotik” dari pemerintah yang berkuasa di daerah yang bersangkutan seperti aturan pembenaran pungutan liar misalnya. Di satu sisi, aturan dominatif tersebut bisa berfungsi sebagai sabuk pengikat kehidupan bersama. Pun bagus pula untuk menjaga ritme keseimbangan dalam masyarakat yang majemuk dan multikultur agar tidak terjadi “konflik”.  Meminjam istilah  M.G Smith, diperlukan “dominasi” yang mengikat masyarakat majemuk untuk tetap eksis sebagai masyarakat. Akan tetapi jika berbicara dari sisi humanis, maka praktek pungutan liar tersebut akan mereduksi hak-hak warga pendatang. Pasalnya, sejak awal partisipasi mereka meamng sengaja dihindari dan hak keamanan yang memadai tak juga mereka dapatkan, apalagi mereka tetap harus dibebani dengan pembayaran uang keamanan yang pada kenyataannya tidak sebanding dengan pelayananan keamanan yang seharusnya mereka dapatkan.

C.    Kerangka Teoritis & Telaah penelitian.
Segregasi
Menurut Liliweri (2005), segregasi merupakan salah satu bentuk hubungan antaretnik atau kelompok yang berbentuk tindakan pemisahan dari dua kelompok yang berbeda, kelompok mayoritas dan minoritas, etnis maupun ras. Pemisahan itu dapat dilakukan berdasarkan tempat tinggal, tempat kerja, fasilitas sosial seperti pendidikan baik sekolah, gereja, asrama, mal, toko dan lain-lain.
Segregasi juga berarti proses pemisahan secara fisik dan sosial di kalangan ras,etnik dan kelompok. Umumnya, kelompok masyarakat mayoritas melakukan segregasi terhadap kaum minoritas bukan dengan cara paksaan, tetapi secara struktural melalui peraturan dan perundang-undangan. Seperti sepanjang AS, terlihat bahwa segregasi rasial dilakukan melalui perangkat hukum de jure, atau mengakui segregasi secara de facto. Para peneliti menyimpan sejumlah dokumentasi tentang apa yang disebut dengan hyper-segregation yang terjadi atas keturunan African Americans di beberapa kota, di mana mereka diperlakukan sebagai ghettos.
            Jika melihat temuan penelitian di lapangan, dapat kita simpulkan bahwa kondisi yang dialami oleh para mahasiswa pendatang, merupakan tindakan segregasi, dalam bentuk perilaku pemisahan secara sosial. Kekuasaan yang berlangsung dalam segregasi model seperti ini bersifat represif dan non represif. Kuasa bersifat represif yaitu dengan menggunakan dasar hukum stempel RT,  yang disepakati “bersama” (kalangan sendiri) secara general dalam menentukan hajat hidup orang banyak atas kenyamanan dan keselamatan diri. Kedua, non represif, yaitu dengan cara membatasi atau menghilangkan akses informasi yang memadai kepada warga luar atau pendatang sehingga informasi tentang hak dan kewajiban mereka di kampung mereka tinggal, menjadi tidak tersampaikan dengan baik.
Patisipasi para pendatang kenyataannya menjadi pasif dan sangat tidak ideal dalam konteks partisipasi pembangunan. Bahkan Jika merujuk pada istilah Davis (dalam Muhrodi, 2002) tentang unsur partisipasi meliputi: (a) ada tujuan bersama yang hendak dicapai, (b) ada dorongan untuk melibatkan diri bagi tercapainya tujuan bersama itu, (c) Keterlibatan masyarakat itu terjadi secara mental, emosi dan fisik dan (d) ada rasa tanggung jawab demi tercapai tujuan tersebut. Maka, dari beberapa unsur partisipasi tersebut, tentu saja sulit rasanya kita bisa menyimpulkan bahwa aktifitas warga pendatang dengan membayar iuran keamanan dapat dianggap sebagai partisipasi sebagai wujud kesadaran (awareness). Efek samping dari  ketidaksadaran ini pula, maka aktivitas ronda malam, yang sejatinya  sebagai wujud gotong royong bersama atas kesadaran bersama atas hak dan kewajibannya, selanjutnya seperti lahan basah yang tidak terkontrol dan menjadi mudah terkooptasi oleh kepentingan elit lokal yang dominan untuk kepentingan yang spesifik.

Peubahan sosial (social change)
Dari hasil penelitian tersebut, kesimpulan sementara yang bisa diambil adalah adanya perubahan sosial yang berdampak pada munculnya sentifitas golongan. Di bidang sosial perubahan sikap yang terjadi pada masyarakat Yogyakarta merupakan hasil dari adanya interaksi antara masyarakat asli dengan mahasiswa/ pelajar sebagai masyarakat pendatang. Perubahan sosial tidak selalu bernilai negatif. Hal positif yang nampak menyangkut tindakan-tindakan masyarakat yang mempunyai sikap bersahabat dan antusias terhadap para  pendatang. Namun disisi lain, perubahan sosial juga mengarah pada arah perubahan yang sifatnya negatif terutama terkait dengan perubahan sikap masyarakat lokal dan pendatang mengenai solidaritas antar sesama warga. Akibatnya kegiatan-kegiatan yang sifatnya sosial  dan  memungkinkan terciptanya interaksi sosial yang dalam , masih minim dalam kehidupan masyarakat.
 Pada masyarakat tradisional, mereka akan menemukan keamanan dan kenyamanan dalam ikatan sosial yang kuat. Rasa saling percaya dan solidaritas yang tinggi membuat anggota masyarakat bisa saling mengandalkan, keanggotaan kelompok ditandai dengan komitmen dan peran-peran sosial yang dimainkan. Perbedaan kelas dan status dibentuk dari perbedaan usia, kematangan berfikir dan bertindak. Hal ini berbeda dengan masyarakat modern di mana keamanan dan kenyamanan tidak lagi didapatkan dari ikatan sosial yang kuat yang didasarkan atas kepercayaan dan solidaritas. Dalam masyarakat masa kini, ikatan sosial terwujud dari penanda-penanda material yang dimiliki dan dikenakan oleh individu. Ini terlihat dari semua hal menjadi begitu konsumtif , tidak lagi menjadi pola gotong royong yang diinginkan. Bahkan dalam bentuk yang lain kita dapat membalikkan logika berfikir kita, bahwa gotong royong dalam bentuk ronda, hanyalah sebuah keadaan transaksional, di mana para penguasa lokal bertindak  selaku pemberi jasa pelayananan keamanan, sedangkan para pendatang sebagai konsumen, yang hanya bisa meratapi kenyataan bahwa dirinya harus menyerahkan otoritas keamanannya kepada orang lain.
Persoalan keamanan bisa dikatakan seksi dan mengundang banyak kepentingan sebab merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap orang . Hal ini ddilatarbelakangi oleh beberapa sebab. Pertama, gangguan keamanan kini memiliki modus yang semakin canggih. Dengan modus memperbaiki pompa air, meminta sumbangan hingga mengamen, barang-barang berharga seisi rumah dapat dengan mudah diambil oleh kawanan pencuri. Kedua, bentuk gangguan keaman tidak saja kriminal melainkan juga sosial. Diantaranya yakni menjamurnya media porno dan obat-obatan terlarang yang meresahkan warga masyarakat. Ketiga, perubahan lingkungan sosial. Perubahan sosial telah mendorong setiap orang menjadi individualis yang melemahkan kontrol sosial. Keempat, lemahnya kepemimpinan informal yang bisa memprakarsai usaha meminimalisir gangguan keamanan (Prasetyo, 2004).
Hanya saja, dalam pekembagannya  atas nama kepentingan bersama, kepentingan umum, hak-hak kaum minoritas-dalam hal ini adalah mahasiswa-dieliminir dan dibatasi sedemikian rupa untuk tidak masuk dalam ranah tersebut. Ranah yang sebenarnya privat dan setiap orang berhak menggugat dan memperjuangkannya. Kenyataan inilah yang membuat sistem kehidupan multikultur di Yogyakarta menjadi pincang karea tidak berjalan sebagaimana mestinya. Merujuk pada tesis John Rex, di dalam masyarakat multikultur yang ideal, kita mengandaikan bahwa semua individu terintegrasi  dan mereka memiliki kesetaraan yang sama di depan hukum. Akan tetapi model ideal ini tidak akan pernah tercapai ke dalam realitas, selama masih ada orang yang masih mengalami diskriminasi atau hak-haknya sebagai warga (negara) tidak lagi diakui sepenuhnya.
Keadaan-keadaan di atas seakan mengisyaratkan bahwa telah terjadi sebuah proses perubahan sosial di dalam masyarakat, yang ditandai dengan perubahan nilai di dalamnya. Ronda sebagai model gotong royong tidak lagi bersifat netral dan dilandasi dalam bentuk kesukarelaan (volunteerism)  dan partisipasi seperti halnya dikemukakan Davis di atas, melainkan telah menjelma dalam bentuk  mode produksi sekaligus bentuk dominasi kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dalam sebuah ranah, yang disebut  ranah rasa aman. Dengan kata lain, Konsep generasi aku, yang dikemukakan oleh Giddens (1999), yang digambarkannya sebagai hancurnya nilai-nilai umum dan kepedulian terhadap publik di mana orang-orang mulai menarik diri secara fisik atau melepaskan kontrol sosial yang sebelumnya membantu menjadi warga dalam komunitas tersebut, tidak menemukan relevansinya, sebab kenyataannya banyak pihak sangat menginginkan keberlanjutan struktur status quo yang sudah ada.

D. Simpulan
Mode lokalitas seperti gotong royong, yang sejatinya didasarkan pada semangat kebersamaan, saat ini telah kehilangan rohnya. Roh yang dimaksud adalah ruh kesadaran kolektif untuk mencapai kesejahteraan. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh praktik gotong royong saat ini terutama praktik ronda. Dalam temuan penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah di tataran terendah , yakni  RT tidak memfasilitasi terciptanya ruang  yang terbuka bagi semua pihak baik para pendatang yang berasal dari luar daerah, maupun warga lokal atau asli  dalam mengemukakan gagasannya dalam komunikasi pembangunan di wilayahnya. Praktik segregasi kelihatan memang sengaja dipelihara terutama pada pembatasan akses keamanan sosial yang secara kapital sangat menguntungkan,
Persoalan keamanan bahkan dalam wilayah privat sekalipun selanjutnya hanya bisa diakses oleh orang lokal dengan imbalan kapital tertentu. Keadaan inilah yang menciderai semangat multikulturalise di Jogja. Cepat atau lambat, tidak menutup kemungkinan pendatang yang terus menerus  menjadi “objek” praktik segregasi dan kelompok terekslusi kemudian menjadi apatis dan skeptis terhadap keadaan di sekitarnya, dan bisa jadi, benih-benih curiga, apriori yang terus terpelihara akan tumbuh menjadi dasar konflik horizontal antara warga dan pendatang. Oleh karena itu, jika kita benar-benar memahami bahwa partisipasi komunikasi pembangunan tidak berada dalam kondisi netral dan ruang kosong, maka seharusnya pemerintah lokal, dalam hal ini RT sadar bahwa proses pertemuan berbagai macam  kepentingan  ini seharusnya terfasilitasi dengan baik sehingga penyelesaian persoalan-persoalan pada masyarakat benar-benar berpijak pada lokalitas masyarakat secara spesifik dan dapat menghasilkan kesejahteraan bersama.
  
REFERENSI
Giddens, Anthony. 1999. Jalan ketiga : Pembaharuan Demokrasi Sosial.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama 
Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Liliweri, alo. 2005. Prasangka & Konflik. Yogyakarta : LKIS.  
Muhrodi, 2002, Hubungan kepemimpinan Kepala desa dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Pembangunan di Kabupaten Karawang. Tesis Pasca Sarjana Ilmu Pemerintahan, Universitas Satyagama, Jakarta
Prasetyo, Eko. 2004.  Menyegarkan Kembali Hubungan Polisi dan Masyarkat: Dalam peran polisi dalam konflik sosial dan politik di Indonesia, Kerjasama PUSHAM UII-The Asia Foundation- POLDA DIY, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar