PENELITIAN PERUBAHAN SOSIAL di YOGYAKARTA
THE NEXT CHAPTER II
(30 Tahun setelah Selo Soemardjan)
Tema:
Kekuasaan
Lokus: Praktik kuasa di
dalam pengelolaan keamanan lapis bawah
Oleh : Jajat Darojat, Arman
Marwing, Purnama Ayu
A.
Latar Belakang
Yogyakarta adalah prototipe
masyarakat multikultur di Indonesia .
Pelbagai suku bangsa dan agama dapat ditemukan di kota ini. Status sebagai kota pelajar yang ditandai dengan melimpahnya pilihan jenjang sekolah tinggi seperti
universitas, sekolah tinggi , institut, serta akademi seakan menjadi daya tarik
bagi banyak kalangan untuk mengenyam pendidikan di sini. Konsekuensi yang tidak
terelakkan dari kenyataan tersebut adalah pertambahan penduduk yang pesat
setiap tahunnya. Berdasarkan data yang dilansir dari Badan Pusat Statistik
Indonesia, tahun 1990, 1995, 2000, dan 2005 jumlah penduduk di Yogyakarta
berturut-turut mencapai angka 2.913.054, 2.916.779, 3.121.045, dan 3.343.651.
Saat memasuki tahun ajaran baru atau penerimaan mahasiswa baru pun, Yogyakarta menerima ratusan ribu calon mahasiswa baru. Di
antara mereka, ada yang berasal dari
dalam provinsi, akan tetapi banyak pula yang datang dari luar daerah. Hal ini
ternyata memberikan implikasi yang cukup positif terkait
dengan gairah
perekonomian di
Nilai ekonomis tersebut rupanya
tidak hanya dimonopoli universitas tempat para mahasiwa menempuh jenjang studi.efek
mobilisasi penduduk baru ini berdampak luas pada bergeraknya roda perekonomian
masyarakat asli dan lokal ke arah yang positif dan signifikan. Kenyataan
ini dapat dilihat dengan menjamurnya
usaha yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar mahasiswa yang bersifat
primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan seperti sandang, papan, dan pangan, diakomodasi
dengan tersedianya berbagai gerai pakaian, aneka usaha kuliner, hingga tempat
tinggal yang layak selama menetap di kota
ini. Ketersediaan berbagai fasilitas tersebut
memanjakan mahasiswa sekaligus menempatkan mahasiswa pendatang sebagai
mode konsumtif.
Tidak hanya terbatas pada hal-hal yang
bersifat fisik tersebut, pada persoalan yang sangat hakiki dan privat seperti
hak atas keselamatannya sendiri pun, mode produksi juga ikut bermain dan
terjalin begitu kuat. Hal ini sebagaimana terlihat dari fenomena kecenderungan
anak kost, asrama, dan kontrakan yang lebih cenderung “menyerahkan” keamanan dirinya
serta asset yang dimilikinya selama tinggal di perantauan pada pola –pola
keamanan yang ada di sekitarnya, meski terkadang efektifitasnya sangat mungkin
untuk dipertanyakan.
Bagaimana mode produksi- konsumtif
seperti ini bisa terjalin dalam masyarakat Yogyakarta ?
Mengingat masyarakat Yogyakarta oleh
kebanyakan orang dinilai sebagai masyarakat tradisional yang diasosiasikan
dengan guyub dan rukun, dan egaliter. Apakah nilai gotong royong dalam bentuk
ronda sebagai sistem keamanan lokal sudah menjadi begitu konsumtif dan
eksklusif? Bagaimana pula kuasa yang terjalin erat di dalamnya? Beberapa
kegelisahan peneliti di atas menjadi hal yang
menarik untuk dikaji lebih lanjut.
B.
Metodologi
Penelitan dan Hasil Temuan.
Penelitian singkat berupa light research ini
dilaksanakan kurang dari satu minggu, waktu yang
sangat singkat untuk melakukan sebuah penelitian dasar. Sehubungan dengan penelitian ini, yang
terkait dengan masalah sosial -budaya, maka peneliti menggunakan metodologi
kualitatif dengan pendekatan etnografi. Pendekatan etnografi sendiri
didefinisikan sebagai pendeskripsian mengenai makna dari semua data, benda
budaya, segala kebiasaan maupun peristiwa yang penting dan monumental dilakukan
oleh kelompok masyarakat dari suatu daerah atau etnis tertentu (Kathryn &
Margaret 1986).
Secara esensial, etnografi
dikarakteristikkan sebagai pengumpulan
data dari berbagai sumber yang ada. Misalnya dengan wawancara, percakapan,
observasi, dokumentasi; mempelajari perilaku dalam konteks keseharian pada
kondisi eksperimental; menggunakan pendekatan tidak terstruktur untuk
mengumpulkan data dalam tahap awal, sehingga isu-isu kunci dapat muncul
perlahan-lahan melalui analisis; dan membandingkan sebuah studi indepth satu
atau dua situasi.
Dalam
penelitian ini, yang menjadi populasi adalah mahasiswa yang berdomisili di
Yogyakarta. Prosedur ini mengacu pada pengertian populasi yang dikemukakan oleh
Sugiono (2006), yaitu sebagai wilayah
generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan untuk memperoleh data yang menggambarkan sifat
populasi maka penelitian ini menggunakan teknik sampling yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Pengambilan sampel dilakukan untuk perampingan biaya
dan waktu penelitian namun tetap mengacu pada ketepatan representasi terhadap
populasi secara keseluruhan.
Terdapat
berbagai macam teknik sampling yang dapat digunakan untuk metode penelitian.
Pada penelitian kali ini digunakan metode sampling purposif (purposif
sampling). Teknik ini mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar
kriteria-kriteria tertentu yang dibuat peneliti berdasarkan tujuan penelitian.
Sedangkan orang-orang dalam populasi yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut
tidak dijadikan sampel. Adapun yang menjadi sampel dan dipandang relevan dengan
lokus penelitian ini yakni mahasiswa di Yogyakarta yang pernah dikenai insentif
uang keamanan oleh RT setempat.
Dari Hasil wawancara di lapangan
menemukan fakta bahwa “penyerahan” otoritas keamanan ini tidak terjalin secara
tiba-tiba atau taken for granted. Melainkan melalui proses dinamis yang
berlangsung terus menerus. Pelaksanaan ronda tidak bisa lagi dilihat sebagai
sesuatu yang bebas kepentingan sebagaimana yang dipandang oleh banyak pihak,
tetapi telah menjadi representasi berbagai kepentingan, sementara pihak yang
lain, yang tidak dilibatkan , mengganti kepasifannya tersebut melalui
kompensasi tertentu berupa pembayaran uang keamanan.
Keadaan tersebut seperti halnya
dikemukakan oleh Lappe (25), mahasiswa penghuni asrama di komunitas Sulawesi . Menurut Lappe (25), ia acap kali didatangi
ketua RT untuk menagih uang purna atau
uang keamanan yang besarannya mencapa RP. 35.000,-. Bagi Lappe, pungutan-pungutan
uang keamanan seperti yang dialaminya bukanlah hal yang baru. Sebelumnya , ia
juga harus berurusan dengan pemuda kampung yang mendatangi asrama untuk meminta
uang ronda keamanan. Para pemuda yang datang
menagih mendatanginya berlagak seperti preman yang berkuasa di tempat
tersebut. Kondisi tersebut memicu keraguan dalam dirinya, terkait dengan
keabsahan pungutan uang keamanan bagi pemuda, yang tertera nominal Rp 10.000,00 tersebut. Namun karena mereka
membawa secarik kertas pemberintahuan, yang sudah dibubuhi stempel dan tanda tangan RT dan instansi yang terkait.
Membuat dirinya nya mengesampingkan keraguannya dan terpaksa memenuhi keinginan
para pemuda tersebut.
Peneliti sendiri tanpa sengaja
mendapati pemuda yang melakukan pungutan
uang keamanan tersebut di pojok lorong yang remang-remang . Mereka tengah sibuk
menghitung uang pungutan yang nampak lumayan banyak (Observasi, 5 oktober 2011).
Artinya, banyak pemondok dan pemilik usaha juga
dipungut biaya serupa. Ketika peneliti bersama dengan informan Lappe (25)
melakukan konfirmasi pada RT setempat,
jawaban yang didapati sungguh mengejutkan. Pak RT dengan enteng menyatakan,
uang keamanan untuk pemuda dan RT merupakan dua hal yang berbeda. Namun ia
menolak memberikan penjelasan lebih lanjut terkait hal ini. Ia hanya
menandaskan uang keamanan tersebut wajib dibayarkan oleh setiap kepala rumah
tangga yang bertempat tinggal di wilayah administratifnya.
Kegelisahan akan keberadaan
pungutan “liar” inipun diamini pula oleh Fajrin (20)
mahasiswa UMY. Ia mengaku sangat terganggu dengan pungutan-pungutan yang dianggapnya liar dari
beberapa pemuda yang mengatasnamakan uang keamanan. Menurut Faje, selama ini,secara
pribadi, tidak pernah mendapati keseriusan warga melaksanakan tugas ronda. Ia
juga tidak pernah menjumpai warga berkeliling di sekitar asrama tempat tinggal
dirinya. Hal lain yang membuatnya tidak habis mengerti adalah sebagai ketua
asrama, yang mewakili para penghuni asrama tempatnya bernaung, ia tidak pernah
sekalipun dilibatkan dalam proses musyawarah yang diselenggarakan warga
setempat. Padahal dalam surat
pungutan tersebut menyertakan “kesepakatan warga” sebagai acuan pelaksanaan
pungutan. Berdasarkan wawancara dengan
Jumadi, warga RT sebelah , memaparkan bahwa di wilayah RT nya dan biasanya juga
berlaku di tempat lainnya, sebelum aktifitas ronda dilaksanakan, biasanya harus
didahului dengan proses musyawarah warga
. Pasalnya dari hasil musyawarah itulah, kemudian pengurus RT bersama dapat mengetahui,
menentukan kewajiban serta jadwal ronda
masing-masing warga.
Di tempat yang lain, keluhan soal
pungutan keamanan juga diungkapkan oleh Priscilla
(19), mahasiswa UGM. Sudah setahun lebih ia dikenai uang pungutan keamanan
sebesar Rp 200,00 per harinya. Jika dikalkulasi ini berarti ia harus merogoh
kocek sebesar Rp 6000,00 per bulan untuk membayar jasa keamanan. Ketika
dihubungi via telepon, gadis murah senyum ini menuturkan, tak terlalu
mempermasalahkan insentif keamanan tersebut. “Saya tidak curiga sama sekali
dengan keabsahan instruksi itu karena sudah disahkan oleh RT,” imbuhnya.
Meskipun feedback yang ia terima terkait dengan kualitas keamanan tak
sebanding dengan uang yang dikeluarkan.
Persoalan kualitas
keamanan yang dikelola oleh warga lokal atau penduduk asli memang menjadi
keluhan umum dari banyak pihak terutama bagi mereka yang telah menyerahkan rasa
amannya kepada otoritas tersebut. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada
kasus yang terjadi pada asrama Fitria. Menurut salah seorang penghuni kost
tersebut yaitu Nurul Hidayah (bukan nama
sebenarnya) menunjukkan kekecewaannya atas pelbagai kejadian pencurian,
perkelahian yang kerap terjadi diwilayah dikostnya. Ia juga menyesalkan
tindakan aparatur keamanan lokal yang seolah-olah kurang respons terhadap kasus
pencurian di kostnya. Padahal setiap bulan ia membayar uang retribusi mulai
dari keamanan, kebersihan, dan lain sebagainya. Ironisnya, kejadian tersebut
tidak pernah ditangani secara serius padahal kejadian serupa sudah sering
terjadi. Dan lebih ironisnya lagi, letak asrama fitia, yang menjadi lokasi
praktik kejahatan berada tepat di depan
pos ronda yang sejatinya berfungsi sebaga pusat pengamanan warga . Tentu saja,
hal tersebut membuat penghuni kost menjadi bertanya-tanya terhadap peran dan
fungsi dari pos ronda yang ada diwilayahnya karena berkebalikan dengan
tingginya kasus-kasus pencurian, perkelahian yang sering terjadi dan tidak
pernah terselesaikan dengan baik.
Beberapa kesaksian informan
di atas semakin menguatkan hipotesis peneliti bahwa telah terjadi suatu
penyimpangan dalam praktek kehidupan kemasyarakatan di Yogyakarta .
Hal ini ditandai dengan pemberlakuan aturan-aturan yang bersifat linier dan
“despotik” dari pemerintah yang berkuasa di daerah yang bersangkutan seperti
aturan pembenaran pungutan liar misalnya. Di satu sisi, aturan dominatif
tersebut bisa berfungsi sebagai sabuk pengikat kehidupan bersama. Pun bagus
pula untuk menjaga ritme keseimbangan dalam masyarakat yang majemuk dan
multikultur agar tidak terjadi “konflik”.
Meminjam istilah M.G Smith,
diperlukan “dominasi” yang mengikat masyarakat majemuk untuk tetap eksis
sebagai masyarakat. Akan tetapi jika berbicara dari sisi humanis, maka praktek
pungutan liar tersebut akan mereduksi hak-hak warga pendatang. Pasalnya, sejak
awal partisipasi mereka meamng sengaja dihindari dan hak keamanan yang memadai
tak juga mereka dapatkan, apalagi mereka tetap harus dibebani dengan pembayaran
uang keamanan yang pada kenyataannya tidak sebanding dengan pelayananan
keamanan yang seharusnya mereka dapatkan.
C.
Kerangka Teoritis & Telaah penelitian.
Segregasi
Menurut Liliweri (2005), segregasi
merupakan salah satu bentuk hubungan antaretnik atau kelompok yang berbentuk
tindakan pemisahan dari dua kelompok yang berbeda, kelompok mayoritas dan
minoritas, etnis maupun ras. Pemisahan itu dapat dilakukan berdasarkan tempat
tinggal, tempat kerja, fasilitas sosial seperti pendidikan baik sekolah,
gereja, asrama, mal, toko dan lain-lain.
Segregasi juga berarti proses
pemisahan secara fisik dan sosial di kalangan ras,etnik dan kelompok. Umumnya,
kelompok masyarakat mayoritas melakukan segregasi terhadap kaum minoritas bukan
dengan cara paksaan, tetapi secara struktural melalui peraturan dan
perundang-undangan. Seperti sepanjang AS, terlihat bahwa segregasi rasial
dilakukan melalui perangkat hukum de jure, atau mengakui segregasi
secara de facto. Para peneliti menyimpan sejumlah dokumentasi tentang
apa yang disebut dengan hyper-segregation yang terjadi atas keturunan
African Americans di beberapa kota ,
di mana mereka diperlakukan sebagai ghettos.
Jika
melihat temuan penelitian di lapangan, dapat kita simpulkan bahwa kondisi yang
dialami oleh para mahasiswa pendatang, merupakan tindakan segregasi, dalam
bentuk perilaku pemisahan secara sosial. Kekuasaan yang berlangsung dalam
segregasi model seperti ini bersifat represif dan non represif. Kuasa bersifat
represif yaitu dengan menggunakan dasar hukum stempel RT, yang disepakati “bersama” (kalangan sendiri)
secara general dalam menentukan hajat hidup orang banyak atas kenyamanan dan
keselamatan diri. Kedua, non represif, yaitu dengan cara membatasi atau
menghilangkan akses informasi yang memadai kepada warga luar atau pendatang
sehingga informasi tentang hak dan kewajiban mereka di kampung mereka tinggal,
menjadi tidak tersampaikan dengan baik.
Patisipasi para pendatang kenyataannya
menjadi pasif dan sangat tidak ideal dalam konteks partisipasi pembangunan.
Bahkan Jika merujuk pada istilah Davis (dalam Muhrodi, 2002) tentang unsur
partisipasi meliputi: (a) ada tujuan bersama yang hendak dicapai, (b) ada
dorongan untuk melibatkan diri bagi tercapainya tujuan bersama itu, (c)
Keterlibatan masyarakat itu terjadi secara mental, emosi dan fisik dan (d) ada
rasa tanggung jawab demi tercapai tujuan tersebut. Maka, dari beberapa unsur
partisipasi tersebut, tentu saja sulit rasanya kita bisa menyimpulkan bahwa
aktifitas warga pendatang dengan membayar iuran keamanan dapat dianggap sebagai
partisipasi sebagai wujud kesadaran (awareness).
Efek samping dari ketidaksadaran ini
pula, maka aktivitas ronda malam, yang sejatinya sebagai wujud gotong royong bersama atas
kesadaran bersama atas hak dan kewajibannya, selanjutnya seperti lahan basah
yang tidak terkontrol dan menjadi mudah terkooptasi oleh kepentingan elit lokal
yang dominan untuk kepentingan yang spesifik.
Peubahan
sosial (social change)
Dari hasil penelitian tersebut,
kesimpulan sementara yang bisa diambil adalah adanya perubahan sosial yang
berdampak pada munculnya sentifitas golongan. Di bidang sosial perubahan sikap
yang terjadi pada masyarakat Yogyakarta
merupakan hasil dari adanya interaksi antara masyarakat asli dengan mahasiswa/
pelajar sebagai masyarakat pendatang. Perubahan sosial tidak selalu bernilai
negatif. Hal positif yang nampak menyangkut tindakan-tindakan masyarakat yang
mempunyai sikap bersahabat dan antusias terhadap para pendatang. Namun disisi lain, perubahan sosial
juga mengarah pada arah perubahan yang sifatnya negatif terutama
terkait dengan perubahan sikap masyarakat lokal dan pendatang mengenai
solidaritas antar sesama warga. Akibatnya kegiatan-kegiatan yang
sifatnya sosial dan memungkinkan terciptanya interaksi sosial yang
dalam , masih minim dalam kehidupan masyarakat.
Pada masyarakat tradisional, mereka akan
menemukan keamanan dan kenyamanan dalam ikatan sosial yang kuat. Rasa saling
percaya dan solidaritas yang tinggi membuat anggota masyarakat bisa saling
mengandalkan, keanggotaan kelompok ditandai dengan komitmen dan peran-peran
sosial yang dimainkan. Perbedaan kelas dan status dibentuk dari perbedaan usia,
kematangan berfikir dan bertindak. Hal ini berbeda dengan masyarakat modern di
mana keamanan dan kenyamanan tidak lagi didapatkan dari ikatan sosial yang kuat
yang didasarkan atas kepercayaan dan solidaritas. Dalam masyarakat masa kini,
ikatan sosial terwujud dari penanda-penanda material yang dimiliki dan
dikenakan oleh individu. Ini terlihat dari semua hal menjadi begitu konsumtif ,
tidak lagi menjadi pola gotong royong yang diinginkan. Bahkan dalam bentuk yang
lain kita dapat membalikkan logika berfikir kita, bahwa gotong royong dalam
bentuk ronda, hanyalah sebuah keadaan transaksional, di mana para penguasa
lokal bertindak selaku pemberi jasa
pelayananan keamanan, sedangkan para pendatang sebagai konsumen, yang hanya
bisa meratapi kenyataan bahwa dirinya harus menyerahkan otoritas keamanannya
kepada orang lain.
Persoalan keamanan bisa dikatakan
seksi dan mengundang banyak kepentingan sebab merupakan kebutuhan mendasar bagi
setiap orang . Hal ini ddilatarbelakangi oleh beberapa sebab. Pertama, gangguan
keamanan kini memiliki modus yang semakin canggih. Dengan modus memperbaiki
pompa air, meminta sumbangan hingga mengamen, barang-barang berharga seisi
rumah dapat dengan mudah diambil oleh kawanan pencuri. Kedua, bentuk gangguan
keaman tidak saja kriminal melainkan juga sosial. Diantaranya yakni menjamurnya
media porno dan obat-obatan terlarang yang meresahkan warga masyarakat. Ketiga,
perubahan lingkungan sosial. Perubahan sosial telah mendorong setiap orang
menjadi individualis yang melemahkan kontrol sosial. Keempat, lemahnya
kepemimpinan informal yang bisa memprakarsai usaha meminimalisir gangguan
keamanan (Prasetyo, 2004).
Hanya saja, dalam pekembagannya atas nama kepentingan bersama, kepentingan
umum, hak-hak kaum minoritas-dalam hal ini adalah mahasiswa-dieliminir dan
dibatasi sedemikian rupa untuk tidak masuk dalam ranah tersebut. Ranah yang
sebenarnya privat dan setiap orang berhak menggugat dan memperjuangkannya. Kenyataan
inilah yang membuat sistem kehidupan multikultur di Yogyakarta
menjadi pincang karea tidak berjalan sebagaimana mestinya. Merujuk pada tesis
John Rex, di dalam masyarakat multikultur yang ideal, kita mengandaikan bahwa
semua individu terintegrasi dan mereka
memiliki kesetaraan yang sama di depan hukum. Akan tetapi model ideal ini tidak
akan pernah tercapai ke dalam realitas, selama masih ada orang yang masih
mengalami diskriminasi atau hak-haknya sebagai warga (negara) tidak lagi diakui
sepenuhnya.
Keadaan-keadaan di atas seakan
mengisyaratkan bahwa telah terjadi sebuah proses perubahan sosial di dalam
masyarakat, yang ditandai dengan perubahan nilai di dalamnya. Ronda sebagai
model gotong royong tidak lagi bersifat netral dan dilandasi dalam bentuk
kesukarelaan (volunteerism) dan partisipasi seperti halnya dikemukakan Davis di atas, melainkan
telah menjelma dalam bentuk mode
produksi sekaligus bentuk dominasi kelompok mayoritas terhadap kelompok
minoritas dalam sebuah ranah, yang disebut ranah rasa aman. Dengan kata lain, Konsep
generasi aku, yang dikemukakan oleh Giddens (1999), yang digambarkannya sebagai
hancurnya nilai-nilai umum dan kepedulian terhadap publik di mana orang-orang
mulai menarik diri secara fisik atau melepaskan kontrol sosial yang sebelumnya
membantu menjadi warga dalam komunitas tersebut, tidak menemukan relevansinya, sebab
kenyataannya banyak pihak sangat menginginkan keberlanjutan struktur status quo
yang sudah ada.
D.
Simpulan
Mode lokalitas seperti gotong
royong, yang sejatinya didasarkan pada semangat kebersamaan, saat ini telah
kehilangan rohnya. Roh yang dimaksud adalah ruh kesadaran kolektif untuk
mencapai kesejahteraan. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh praktik gotong
royong saat ini terutama praktik ronda. Dalam temuan penelitian ini menunjukkan
bahwa sebagian besar pemerintah di tataran terendah , yakni RT tidak memfasilitasi terciptanya ruang yang terbuka bagi semua pihak baik para
pendatang yang berasal dari luar daerah, maupun warga lokal atau asli dalam mengemukakan gagasannya dalam komunikasi
pembangunan di wilayahnya. Praktik segregasi kelihatan memang sengaja
dipelihara terutama pada pembatasan akses keamanan sosial yang secara kapital
sangat menguntungkan,
Persoalan keamanan bahkan dalam
wilayah privat sekalipun selanjutnya hanya bisa diakses oleh orang lokal dengan
imbalan kapital tertentu. Keadaan inilah yang menciderai semangat
multikulturalise di Jogja. Cepat atau lambat, tidak menutup kemungkinan pendatang
yang terus menerus menjadi “objek”
praktik segregasi dan kelompok terekslusi kemudian menjadi apatis dan skeptis
terhadap keadaan di sekitarnya, dan bisa jadi, benih-benih curiga, apriori yang
terus terpelihara akan tumbuh menjadi dasar konflik horizontal antara warga dan
pendatang. Oleh karena itu, jika kita benar-benar memahami bahwa partisipasi
komunikasi pembangunan tidak berada dalam kondisi netral dan ruang kosong, maka
seharusnya pemerintah lokal, dalam hal ini RT sadar bahwa proses pertemuan
berbagai macam kepentingan ini seharusnya terfasilitasi dengan baik
sehingga penyelesaian persoalan-persoalan pada masyarakat benar-benar berpijak
pada lokalitas masyarakat secara spesifik dan dapat menghasilkan kesejahteraan
bersama.
REFERENSI
Giddens,
Anthony. 1999. Jalan ketiga : Pembaharuan Demokrasi Sosial.Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama
Kriyantono,
Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana.
Liliweri, alo. 2005. Prasangka & Konflik. Yogyakarta : LKIS.
Muhrodi, 2002, Hubungan kepemimpinan Kepala desa dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Pembangunan di Kabupaten Karawang. Tesis Pasca Sarjana Ilmu Pemerintahan,
Universitas Satyagama, Jakarta
Prasetyo, Eko. 2004. Menyegarkan
Kembali Hubungan Polisi dan Masyarkat: Dalam
peran polisi dalam konflik sosial
dan politik di Indonesia ,
Kerjasama PUSHAM UII-The Asia Foundation- POLDA DIY, Yogyakarta .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar