REVIEW BOOK
KAJIAN QIYAS
IMAM SYAFI’I
(Buku Dinamika
Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam
Oleh ; H.
Sulaeman Abdullah)
Oleh Jajat Darojat
BAB I
PENDAHULUAN
Buku
yang berjudul “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam (Kajian Qiyas
Imam Syafi’I) yang ditulis oleh Sulaeman Abdullah ini merupakan disertasi
beliau dalam menyelesaikan gelar Doktornya di IAIN Syarif Hidayatullah
(sekarang UIN Jakarta). Awalnya, disertasi yang ditulis bukanlah judul serupa
di atas, akan tetapi disertasi tersebut berjudul “Konsep Qiyas Imam Syafi’I
dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia”.
Beliau memaparkan
alasan perubahan judul bukunya dikarenakan ada beberapa perampingan penulisan
dalam bukunya, terutama dalam pembahasan awal yaitu Bab pertama. Namun
perubahan tersebut tidak mengurangi ataupun mengubah tulisan secara substantif.
Buku
yang diterbitkan oleh Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, ini merupakan cetakan yang
pertama pada tahun 1996 dan mempunyai jumlah halaman sebanyak 257. dan sebagai gambaran
mengenai biografi pengarang buku ini adalah sebagai berikut ;
Nama
lengkap dari pengarang buku ini adalah Dr. H. Sulaiman Abdullah, yang berasal
dari Jambi. Ia mulai menyandang gelar
sebagai Sarjana Muda di Fakultas Syari’ah IAIN Jambi pada tahun 1964, hingga
menyelesaikan program Doktoralnya di IAIN Syarif Hidayatullah pada tahun
1991-1993. Selain mempunyai latar belakang pendidikan dalam Hukum Islam, Ia juga
merupakan Pimpinan Pondok Pesantren al-Hidayah Pemda Tingkat I Jambi
(1978 hingga-sekarang). Selain itu juga sebagai Pembantu Dekan I Fakultas
Syari’ah di IAIN Jambi (1991-1993) dan sebagai Dosen Luar Biasa di Perguruan
Tinggi lain. Pengalamannya dalam Perguruan Tinggi cukup memadai, sehingga ia
pun pernah menjabat sebagai Sekretaris Umum MUI Dati I Jambi (1975-1985), Ketua
I MUI Dati I di Jambi (1986-hingga sekarang), sebagai Ketua Satkar Ulama
Propinsi Dati Jambi (1992-hingga sekarang)[1], serta beberapa pengalaman keorganisasian lain
yang mungkin dalam hal ini tidak dapat disebutkan satu persatu.
Jika
dilihat secara sepintas dari terciptanya buku Sulaiman Abdullah ini hingga
pengalaman-pengalamannya dalam dunia pendidikan, mempunyai kajian yang spesifik
dalam pembahasannya mengenai konsep Qiyas Imam Syafi’I. Oleh karena itu menjadi
sebuah landasan kita untuk membedah buku tersebut.
Berawal
dari kegelisahan penulis terhadap persoalan-persoalan sosial kemasyaraktan. Ia
menganggap bahwa perlunya menanggapi perubahan-perubahan dalam perkembangan sosial
kemasyarakatan (sosial change and sosial development)[2] yang semakin kompleks. Oleh karena itu diperlukan pembaharuan dalam
hukum Islam yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Selain
itu juga sebagai respon positif terhadap penggalian hukum Islam yang menyangkut
peristiwa-peristiwa baru yang muncul sebagai akibat dari perubahan sosial dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal penting lain
diungkapkan dalam bukunya adalah dengan melihat dan mengkaji mengenai konsep
Qiyas Imam Syafi’I ini akan diketahui sejauhmana dinamika ushul fiqh
sebagai metode penalaran dan penggalian hukum Islam dalam menjawab tantangan
zaman. Dan jika benar Qiyas mempunyai daya dalam mengantisipasi
perkembangan dan perubahan sosial, sudah barang tentu kajian tentang Qiyas
harus dapat prioritas utama dalam kajian ushul fiqh, dan tentunya kajian ini
harus dikembangkan pada masa-masa yang akan datang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al-Qiyas
Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia (umat
muslim) yang sangat lengkap kandungannya. Oleh
karena itu al-Qur’an menjadi sebuah pedoman hidup manusia dalam segala halnya.
Termasuk kandungan al-Qur’an mengenai petunjuk hukum dengan semua peristiwa
yang dihadapi kaum muslimin, baik peristiwa yang sudah terjadi, sedang terjadi
ataupun yang belum dan akan terjadi. Petunjuk al-Qur’an tentang hukum
tersebut ada yang tersurat (literal, eksplisit, lafziyyah, sarih) tetapi
juga ada yang tersirat (implisit, ma’nawiyah, dengan illah) yang
dapat digali (istinbat) dengan memperhatikan indikasi atau isarat
(tentang adanya hukum) yang menjadi landasan al-qiyas.[3]
Qiyas merupakan dalil keempat setelah al-Qur’an, Sunnah, dan
Ijma. Dan qiyas adalah
memberikan suatu hukum semisalnya karena ada sebab yang sama diantaranya.[4] Dalam beberapa kasus, Rasulullah Saw., juga menggunakan qiyas ketika
menjawab pertanyaan para sahabat. Misanya beliau ketika menjawab pertanyaan
Umar Ibn Khathab tentang batal tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya.
Kemudian dalam hadits riwayah al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud bersabda ;
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu
batal.? Umar menajab, ‘tidak apa-apa’ (tidak batal). Rasulullah Saw., kemudian
bersabda, ‘maka teruskanlah puasamu”(H.R.
al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).
Rasulullah Saw.
dalam hadits ini, menurut para ulama ushul fiqh, meng-qiyas-kan hukum
mencium istri dalam keadaan berpuasa dengan hukum berkumur-kumur bagi orang
puasa. Dengan kata lain, jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka
mencium istripun tidak membatalkan puasa.[5]
Dengan demikian menurut
Sulaeman Abdullah ini, qiyas bisa didefinisikan menjadi sebuah metode
ijtihad dan sarana penggalian (istinbat) hukum bagi peristiwa yang tidak
disebut secara tegas (sarih) dalam nas. Al-qiyas berpungsi
dan berperan sangat penting dalam pengungkapan hukum peristiwa yang tidak disebutkan
al-nas.[6]
Walaupun qiyas berfungsi dan berperan sangat penting dalam
mengungkapkan hukum peristiwa yang tidak disebutkan dalam nas, namun dalam pengertian
ini menurut Imam Syafi’I al-qiyas peringkatnya tidak sama dengan hukum yang
diperoleh secara sarih dari al-Qur’an, sunnah ataupun ijmak.[7]
Dalam pengertian lain qiyas merupakan sesuatu
yang Allah SWT percayakan kepada akal dan fitrah. Pernyataan ini, sebagaimana
dikatakan Ibnu Qoyim, di antara mizan yang Allah SWT turunkan dengan kitab-Nya
dan menjadikannya sebagai pendamping dan pembantunya. Kemudian yang dimaksud dengan mizan adalah adil dan alat yang
dikenal dengan adil dan sebalinyak. Dan qiyas yang benar adalah
al-Mizan. Seperti dalah firman Allah SWT ;
“Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan kami telah turunkan bersama mereka al-Kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (Q.S. al-Hadiid ; 25)[8]
Berikut beberapa ulama
ushul fiqh mengungkapkan pengertian qiyas-nya masing-masing.
1.
Qiyas menurut Imam Syafi’I adalah sebagai berikut ;
“Qiyas itu adalah metode berpikir yang digunakan
untuk mencari sesuatu (hukum peristiwa) yang
sejalan dengan khabar yang sudah ada, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah karena
keduanya merupakan pengetahuan tentang kebenaran yang wajib dicari.”[9]
2. Qiyas menurut al-Ghazali dalam al-Mustashfa ;
“Menanggungkan sesuatu yang
diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada
keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.[10]
3. Qiyas menurut Asy-Syari’ah
“memberlakukan hukum asal
kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui
pendekatan bahasa saja.[11]
4. Qiyas menurut Abu Manshur al-Maturidi
“mengungkap (ibanah) hukum
yang sama dengan hukum salah satu dari dua kasus tertentu berdasarkan kesamaan
sebabnya yang efektif tentang kasus lain.”[12]
Beberapa definisi mengenai qiyas
yang dikemukakan para ahli ushul fiqh di atas, hanya beberapa saja yang mungkin
bisa sebagai bahan untuk memahami definisi qiyas. Definisi-definisi yang
tersebut berbeda rumusannya, namun berdekatan maksudnya. Dengan kata lain
perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang kemukakan di atas, para ulama
ushul fiqh sepakat bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas
bukanlah menetapkan hukum dari awal (istinbat al-hukm wa isya’uhu)
melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-kasyf wa izhar li
al-hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.[13]
B.
Ushul
Fiqh Imam Syafi’I
Pada waktu Nabi Muhammad Saw masih hidup, segala
persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan padanya. Dan Nabi Muhammad Saw pun
menjawab hukum dengan menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an, dan dalam al-Qur’an
tidak menyebutkan jawaban atas persoalannya, maka kemudian Nabi memberikan
jawaban melalui penetapannya yang kita kenal dengan hadits atau sunnah. Inilah
kemudian sebagai gambaran bahwa al-Qur’an dan penjelasannya yang itu dalam
bentuk hadits disebut sebagai sumber pokok hukum Islam.
Bila para sahabat Nabi menemukan persoalan hukum yang
timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, akan tetapi
mereka tidak bisa bertanya kepada Nabi secara langsung, maka yang mereka
lakukan adalah dengan mencari jawabannya dalam al-Qur’an. Bila tidak
ditemukan jawaban secara harfiah dalam al-Qur’an, maka kemudian mereka mencari
jawaban dalam koleksi hadits Nabi. Dan jika dalam hadits tidak juga mereka
temukan jawabannya, mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad.
Dalam ijtihad itu mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang
dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadits.[14]
Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha “memelihara kemaslahatan
umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hukum syara’. Oleh sebab itu para
ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa tujuan utama ushul fiqh adalah mengetahui
dalil-dalil syara’, yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah, mu’amalah, uqubah
dan akhlak. Pengetahuan tentang dalil-dalil tersebut pada gilirannya dapat
diamalkan sesuai dengan kehendak syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Para
ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh bukan merupakan “tujuan”,
melainkan sebagai “sarana” untuk mengetahui hukum-hukum Allah pada setiap kasus
sehingga dapat dipedomani dan diamalkan sebaik-baiknya. Dengan demikian
tujuan yang sebenarnya adalah mempedomani dan mengamalkan hukum-hukum Allah
yang diperoleh melalui kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.[15]
Pembicaraan tentang sumber-sumber hukum dan cara-cara
memahami dalil merupakan pokok kajian ilmu ushul fiqh yang utama. Demikian juga halnya ushul fiqh Imam Syafi’I. Rumusan ushul
fiqhnya diolah dengan menggunakan akal yang cerdas, penguasaan bahasa yang luas
dan pengetahuannya yang lengkap tentang fikih al-hadits dan fikih al-ra’yi
untuk ;
1. Memahami secara
mendalam dalalah al-Qur’an
2. Membuat rumusan
teoritis keabsahan al-Sunnah
3. Menganalisis ijtihad ahl
al-hadits dan ahl al-ra’yu, lalu membuat kerangka teoritis
metodologis tentang ijtihad.
Motif Imam Syafi’I dalam menyusun
ushul fiqh yang diketahui ;
1. Untuk menjadi neraca
dalam menilai mana pendapat yang benar dan mana yang keliru.
2. Untuk menjadi kaidah
yang dijadikan pegangan dalam melakukan istinbat hukum baru.[16]
Dalam hal ini ushul fiqh
Imam Syafi’I tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praksis; tidak memproyeksikan gambaran yang
dipradugakan, tetapi mendefinisikan peristiwa yang terjadi dan maujud. Misalnya,
dalam membahas dan memecahkan persoalan nasikh-mansukh. Ia
rumuskan kaidah naskh itu terhadap masalah yang menurutnya benar-benar naskh
berdasarkan sunnah Rasulullah Saw atau berdasarkan asar dari
sahabat.[17]
Pokok bahasan (mawdu
al-bahs) ushul fiqh Imam Syafi’I telah meliputi komponen pokok bahasan ilmu ushul fiqh yang diantaranya
adalah ;
1. Adillah
al-Syar’iyyah : al-Kitab,
al-Sunnah, Aqwal al-Sahabi, dan al-qiyas.
2. Qa’idah
al-Istinbat bi al-lughawiyyah (kaidah-kaidah istinbat hukum dengan pendekatan kebahasaan), am,
khas, musytarak, mubayyin, mutlaq, muqayyad, mafhum, takhsis al-am, taqyid
al-mutlaq.
3. Qa’idah al-Tsayriyyah
(kaidah penetapan hukum)
; peristiwa hukum yang boleh diijtihadkan, persoalan yang menyangkut ijtihad,
hubungan al-Kitab al-Sunnah (ta’arud, tarjih dan naskh).
Ini menunjukan bahwa ushul
fiqh sebagai pranata ijtihad menggali hukum dari sumbernya al-Qur’an dan
al-Hadits, dilakukannya dengan berbagai pendekatan, antara lain ;
1. Pendekatan literal
(kebahasaan), yang meliputi ; takhsis, al-am, taqyid al-mutlaq, ta’yin
al-musyatarak ; dalalah al-lafzi yang terbagi menjadi mantuq dan mafhum;
a) Mantuq terbagi menjadi dua, yaitu 1). Sarih; (ibarah
al-nas, dilalah al-barah), 2). Ghairu sarih, terbagi menjadi dua
(a). Dalalah al-ima (dalalah al-isyarah atau isyarah al-nas),
(b). Dalalah al-iqtida (iqtida al-nas atau dalala al-nas)
b) Mafhum terbagi menjadi dua, yaitu 1). Mafhum
muwafaqah (yang dimasukannya kedalam bagian al-qiyas) dan sama
dengan dalalah al-nas menurut istilah Hanafiah, 2). Mafhum mukhalafah
apabila terdapat syarat, sabab, sifah, ghayah dan adad. Mafhum
mukhalafah ditolak oleh Hanafiah, sehingga kemungkinan berbeda hasil
ijtihad sering terjadi.
2. Pendekatan ma’nawiyah,
ialah dengan metode al-qiyas.
3. Pendekatan kaidah tasyri,
(kaidah penetapan hukum) yaitu ta’arud dan naskh.
Memang apa yang
dikemukakannya mengenai masing-masing komponen pokok bahasan belum lengkap dan
rinci, tetapi ia sudah berjasa membuat fondasi dan rangka ”perumahan” ilmu
ushul fiqh. Adalah tugas
ulama usul generasi sesudahnya untuk menyelesaikan dan menyempurnakan
”bangunan”-nya.[18]
C. Konsep Qiyas Imam
Syafi’I
Sebuah prinsip untuk menerapkan
hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an atau ketetapan dalam sunnah pada
permasalahan yang tidak jelas ketetapannya di dalam dua sumber hukum Islam
tersebut. Imam Syafi’I adalah salah satu diantara tokoh pembangun dan
pengguna prinsip qiyas.[19]
Ketika mengemukakan konsep al-qiyas, Imam Syafi’I menjelaskan tentang
identitas, pembagiannya dan diiringinya dengan beberapa contoh, sehingga dapat
diketahui bahwa al-qiyas terbentuk oleh empat unsur (rukun) ; asl (berupa
al-Qur’an atau al-Sunnah), far (peristiwa yang tidak disebutkan nas,
yang akan dicari hukumnya), hukum asl (disebutkan dalam nas) dan makna.
Yang dimaksudkan dengan makna tak lain dari apa yang dikenal sebagai illah.
Imam Syafi’I tidak menerangkan jalan-jalan untuk mengetahui illat atau
makna (masalikh al-illah).[20]
Para ulama ushul fiqh
menyatakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi antara lain ;
a) Dilihat dari segi
kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan yang
terdapat pada ashl. Dari segi ini, qiyas
dibagi menjadi tiga macam, yaitu 1). Qiyas al-aulawi 2). Qiyas
al-musawi 3). Qiyas al-adna.
b) Dari segi
kejelasan ‘illat yang terdapat pada hukum, qiyas dapat dibagi
pada dua macam yaitu, 1). Qiyas al-jaly, 2). Qiyas al-khafy
c) Dilihat dari
keserasian ‘illat dengan hukum, qiyas dibagi atas dua bentuk,
yaitu 1). Qiyas al-mu’atstsir 2). Qiyas al-mula’im.
d) Dari segi
kejelasan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut, qiyas dapat
dibagi kepada tiga bentuk, yaitu 1). Qiyas al-ma’na 2). Qiyas
al-‘illat 3). Qiyas ad-dalalah.
e) Dilihat dari segi
metode (masalik) dalam menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi yaitu, 1) qiyas al-ikhalah
yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan melalui munasabah dan
ikhalah, 2). Qiyas asy-syabah yaitu qiyas yang ‘illat-nya
ditetapkan melalui metode syabah, 3). Qiyas as-sabru yaitu qiyas
yang ‘illat-nya ditetapkan melalui metode as-sabr wa at-taqsim, dan
4). Qiyas at-thard yaitu qiyas yang ‘illat-nya melalui
metode thard.[21]
1. Imam Syafi’I peletak
pertama patokan al-qiyas
Imam Syafi’I adalah
mujtahid pertama yang membicarakan al-qiyas dengan patokan kaidahnya dan
menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah
menggunakan al-qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan
patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum
mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang
benar dan mana yang keliru. Disinilah Imam Syafi’I tampil kedepan memilih metode al-qiyas
serta memberikan kerangka teoritis dan metodologinya dalm bentuk kaidah
rasional namun tetap praktis.
Sebagai dalil penggunaan al-qiyas,
Imam Syafi’I mendasarkannya pada firman Allah ;
“.......Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya).......(Q.S. An-Nisaa’ ; 59)
Dalam ayat ini Imam Syafi’I
menjelaskan bahwa maksud “kembalikan kepada Allah dan Rasul” itu, adalah qiyas-kanlah
kepada salah satu al-Qur’an atau Sunnah. Menurut Imam Syafi’I peristiwa apapun yang
dihadapi kaum muslimin, pasti terdapat petunjuk tentang hukumnya dalam
al-Qur’an, sebagaimana dikatakannya ;
“tidak ada satu peristiwa
pun yang dihadapi penganut agama Allah (yang tidak terdapat ketentuan hukumnya)
melainkan terdapat petunjuk tentang cara pemecahannya dalam Kitabullah”[22]
2. Fungsi al-qiyas
Fungsi al-qiyas dalam
mengungkapkan hukum dari al-Qur’an atau al-Sunnah, dikemukakannya ;
“semua peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan orang Islam, pasti terdapat ketentuan hukumnya atau
indikasi yang mengacu pada adanya ketentuan hukumnya. Jika ketentuan hukum itu
disebutkan maka haruslah diikuti; jika tidak, maka haruslah dicari indikasi
yang mengacu pada ketentuan hukum tersebut dengan berijtihad. Ijtihad itu
adalah qiyas”
Pernyataan tersebut menegaskan
bahwa fungsi qiyas itu sangat penting dalam mengungkapkan hukum dari
dalilnya (al-Qu’ran atau Sunnah) guna menjawab tantangan peristiwa yang
dihadapi kaum muslimin yang tidak secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an atau
Sunnah.[23]
3. Unsur-unsur al-qiyas
Al-qiyas terbentuk oleh beberapa unsur yang saling
berkaitan. Unsur-unsur al-qiyas dikalangan ulama usul dikenal dengan
sebutan arkan al-qiyas yang terdiri dari a). Asl, b). Hukm asl
c). Far d). Illah.[24]
4. Pembagian al-qiyas
Imam Syafi’I membagi al-qiyas
ditinjau dari dua aspek ; pertama dari aspek kekuatan illah yang
mempertalikan asl dengan far dan kedua dari aspek jelas tidaknya illah.
a) Dari aspek kekuatan illah,
al-qiyas dibaginya kepada tiga bagian ;
1) ’Illah pada far lebih kuat illah pada
hukum asl. Ini oleh ulama usul pengikut al-Syafi’I disebut al-qiyas
al-awlawi.
2) ’Illah pada hukum far sama dengan pada
hukum asl. Ini mereka sebut dengan al-qiyas al-musawi.
3) Illah hukum far kurang jelas dari illah
pada hukum asl. Ini mereka sebut dengan qiyas a’-adna.[25]
b) Dari aspek jelas atau
tidak jelasnya illah, Imam Syafi’I membagi qiyas kepada ;
1) Al-qiyas fi ma’na
as-asl, atau qiyas
al-ma’na yaitu qiyas yang asl-nya satu nas tertentu karena far
se ma’na dengan asl.
2) Qiyas al-syabah, yaitu al-qiyas yang hukum far-nya
diketahui dengan meng-qiyas-kan kepada salah satu dari beberapa asl dalam
beberapa nas yang lebih mirip dengan far.[26]
Secara terperinci konsep al-qiyas
Imam Syafi’I yang diuraikannya dalam kita al-risalah adalah sebagai
berikut ;
a) ”Semua peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan orang muslim, tentu ada hukumnya yang pasti, atau
menurut jalan yang benar terdapat petunjuk tentang hukumnya. Berdasarkan hal
itu, apabila terdapat ketentuan hukumnya dengan konkrit maka haruslah diikuti;
dan apabila ketentuan hukumnya tidak terdapat secara konkrit, harus dicari
petunjuk yang benar tentang hukumnya dengan ijtihad dan ijtihad itu adalah al-qiyas.”
b) ”Maka tidaklah
terjadi sesuatu peristiwa yang dihadapi penganut agama Allah, melainkan di
dalam al-Qur’an terdapat petunjuk tentang pemecahannya.”
c) ”Dan al-qiyas
itu ditinjau dari dua segi; pertama bahwa sesuatu peristiwa baru (far)
sama betul dengan ma’na asl, maka dalam hal ini al-qiyas tidak
berbeda; kedua bahwa sesuatu peristiwa mempunyai kemiripan dengan beberapa ma’na
pada beberapa asl, maka peristiwa itu dihubungkan dengan asl yang
paling utama dan lebih banyak kemiripannya. Dalam segi yang kedua ini sering
terjadi perbedaan pendapat para pelaku al-qiyas.
Dari ungkapan a, dapat disimpulkan bahwa setiap
peristiwa yang terjadi ada ketentuan hukumnya. Ketentuan hukumnya ada yang sarih
dan ada pula yang tidak sarih yang harus dicari dengan ijtihad yaitu
al-qiyas. Jadi al-qiyas berperan mencari hukum peristiwa yang
baru terjadi. Ini menunjukan bahwa al-qiyas Imam Syafi’I berperan besar
mencari hukum peristiwa baru yang senantiasa berkembang. Kemudian dari ungkapan
b, dapat disimpulkan bahwa dalil hukum itu adalah al-Qur’an. Ini
menegaskan bahwa rujukan pencarian hukum oleh al-qiyas tidak boleh
keluar kaitannya dari nas. Sedangkan ungkapan c, membuka
kemungkinan berbedanya hasil hukum yang dicari mujtahid dengan al-qiyas.[27]
Terdapat perbedaan pendapat
tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara’. Memang tidak ada
dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan
dalil syara’ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada pentunjuk yang
membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara’ diluar apa yang ditetapkan oleh
nash. Dalam penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum
syara’, Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi tiga kelompok ;
1. Kelompok Jumhur Ulama
yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam
hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah dan dalam ijma’
ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak
melampaui batas kewajaran.
2. Kelompok ulama
Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara
mutlak. Zhahiriyah juga menolak penemuan illat atas suatu hukum yang
menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’.
3. Kelompok yang
menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Merekapun berusaha menggabungkan
dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya;
kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas,
sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagian ayat al-Qur’an atau
Sunnah.[28]
Dari kelompok-kelompok
tersebut, Wahab al-Zuhaili menyimpulkan bahwa beberapa pendapat yang beragam
itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Yaitu pertama,
kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum, yaitu mayoritas ulama
ushul fiqh. Kedua, kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil
hukum, yaitu ulama Syi’ah, al-Nazhzham, Zhahiriyyah, dan sebagian Mu’tazilah
dari Irak. Namun Jumhur ulama ushul fiqh yang membolehkan qiyas
sebagai salah satu metode dalam menetapkan hukum syara’ mengemukakan
alasan seperti dalam firman Allah SWT;
”.....maka mengambilah
pelajaran wahai kalian semua orang-orang yang mempunyai pandangan atau mata.” (Q.S. al-Hasyr ; 02)
Dalam ayat ini, Allah
memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai pelajaran. Mengambil pelajaran dari suatu
peristiwa, menurut Jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh
karena itu, penetapan hukum melalui qiyas adalah boleh, bahkan
diperintahkan oleh al-Qur’an.[29]
D. Al-Qiyas Imam
Syafi’I Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Islam
1. Perlunya Pembaharuan
Hukum dan Penerapan al-qiyas
Perlunya perlunya pembaharuan
hukum atau perubahan hukum adalah untuk menanggapi peristiwa baru yang
bermunculan atau menanggapi peristiwa hukum ijtihadi yang disebabkan
perubahan makna. Kemajuan
teknologi merupakan faktor pendorong yang kuat bagi timbulnya peristiwa baru yang
pasti ada hukumnya ataupun perubahan teknologi merupakan faktor pendorong kuat
bagi timbulnya peristiwa baru. Berikut beberapa peristiwa baru beserta
penerapan al-qiyas Imam Syafi’I dalam menanggapi peristiwa tersebut ;
a) Transpalansi organ
tubuh manusia
Transpalansi organ tubuh
sebenarnya termasuk kategori jinayah qisas yang sudah ada hukum
larangnya, firman Allah ;
”Dan kami Telah tetapkan
terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa,
mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya.” (Q.S. Al-Maidah ; 45)
Dikenakan sangsi qisas
terhadap perusak organ tubuh itu, ialah karena (illah-nya) intihak
karamah al-ihsan (merupakan kemulian manusia). Karena dalam kasus pemindahan organ tubuh
manusia ini (far) terdapat pula illah hukum haram merusak organ tubuh yaitu merusak
kemuliaan manusia, maka hukumnya pemindahan organ tubuh ini dilarang juga,
kecuali dalam keadaan darurat yang merupakan kaidah umum dalam membolehkan yang
dilarang.[30]
b) Bayi tabung
meminjam rahim wanita lain
Bayi tabung dengan
menitipkan sperma dan ovum antara suami-istri, kedalam rahim wanita lain (far).
Allah melarang zina (asl) dan Nabi melarang memasukan sperma ke rahim
wanita yang tidak halal bagi pemilik sperma (asl). Ayat yang menerangkan
keharaman zina (asl) ialah firman Allah ;
”Dan janganlah kamu
mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan
suatu jalan yang buruk.” (Q.S.
Al-Israa ; 32)
Dilarangnya menghampiri zina (asl)
karena (il-lat) zina itu perbuatan keji, dan cara yang buruk. Secara mafhum
(al-qiyas al-awlawi) melakukan zina tentulah lebih keji. Karena illah
keji itu terdapat juga pada memasukan sperma dan ovum suami-istri ke dalam
rahim yang tak halal baginya, maka hukum melakukan bayi tabung dengan meminjam
rahim wanita lain disamakan dengan hukum menghampiri zina karena sama-sama keji
dan cara yang buruk.[31]
2. Penerapan al-qiyas
dalam Menanggapi Produk Teknologi Modern.
Al-qiyas Imam Syafi’I dapat diterapkan dalam
menentukan hukum bagi segala benda peralatan produk teknologi modern. Di antara benda produk teknologi modern
itu adalah sebagai berikut ;
a. Sarana transportasi ;
berbagai kendaraan dan pesawat yang memberikan jasa memperpendek jarak
perjalanan yang jauh.
b. Sarana kesehatan ;
alat pemacu jantung, mesin ginjal yang memberikan jasa menyelamatkan perderita
dari ancaman maut (daruriyyah).
c. Sarana telekomunikasi
; telepon, radio, dan televisi yang memberikan jasa komunikasi jarak jauh,
dalam waktu cepat.
d. Sarana produksi ;
traktor, pabrik pengolahan yang memberikan jasa mempercepat penyelesaian kerja/
mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
e. Sarana penulisan ;
mesin cetak dan komputer, semuanya bermanfaat untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia dan mempermudah tugas manusia.
Dasar hukum mengenai
berbagai benda tersebut, tidak ditemukan dalam al-Kitab maupun al-Sunnah secara
khusus, akan tetapi berdasarkan istiqra (introduksi) yang dilakukan para
mujtahid terhadap hukum-hukum yang ditetapkan al-Kitab atau al-Sunnah diperoleh kesimpulan bahwa setiap
hukum yang ditetapkan tidak keluar dari tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia (li tahqiq masalih al-nas). Ini merupakan kaidah umum tasri.[32]
BAB III
PENUTUP
Sebagai kesimpulan dari book
review yang berjudul “Dinamika Qiyas
Dalam Pembaharuan Hukum Islam (kajian Imam Syafi’I)” yang ditulis oleh H. Sulaeman Abdullah ini
adalah sebagai berikut ;
Hukum Islam yang bertujuan
mewujudkan kemaslahatan hidup manusia, ternyata mampu mengantisipasi
perkembangan dan perubahan sosial, dengan menggunakan metode ijtihad
yang pernah digunakan mujtahid masa lalu untuk menggali hukum dari
sumbernya oleh para sahabat terutama metode al-qiyas yang merupakan
metode paling jelas dan akurat. Oleh
karena itu qiyas seharusnya dipahami sebagai suatu prinsip pengambilan
hukum yang selalu berkembang. Dengan kata lain konsep qiyas yang
sudah ada harus terus dilihat secara kritis, digali secara mendalam lalu
kemudian dikembangakan lagi sesuai dengan kebutuhan hukum dan perubahan
masyarakat.
Disertasi yang ditulis oleh Sulaeman
Abdullah ini menunjukan bahwa perlunya pembaharuan hukum Islam dalam
menghadapi perkembangan dan perubahan sosial masyarakat, akan tetapi pendekatan
metode al-qiyas-nya hanya pada perkembangan ilmu pengetahuan saja,
melainkan tidak dijelaskan mengenai bagaimana dengan persoalan sosial yang lain
seperti halnya dampak negatif dari teknologi (televisi) yang merusak moral, dan
persoalan sosial masyarakat lainnya. Secara makro tidak banyak singgungan atau
penjelaskan dalam pembahasannya tesebut. Namun tulisannya ini menunjukan apresiasi
yang sangat positif terhadap perkembangan zaman. Respon hukum Islam terhadap
perubahan dan perkembangan zaman menjadi sangat penting dan urgens dalam menghadapi
persoalan-persoalan baru dimasa yang akan datang. Oleh karena itu peran
dan posisi hukum Islam sangat dibutuhkan bagi umat muslim dalam menghadapi
perubahan dan perkembangan zaman.
Daftar Pustaka
;
-
Amir
Syarifuddin, “Ushul Fiqh (jilid I)”, Logos Wacana Ilmu, Ciputat ; 1997.
-
Muahammad
Roy, “Ushul Fiqih Mazhab Aristoteles”, Safiria Insania Press, Yogyakarta ; 2004.
-
Nasrudin
Haroen, “Ushul Fiqh”, Logos Wacana Ilmu, Ciputat ; 1997.
-
Sulaeman
Abdullah, “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam (kajian Imam
Syafi’I), Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta
; 1996.
-
Totok
Jumantoro dan Samsul Munir Amin, “Kamus Ilmu Ushul Fikih”, Amzah, 2005.
-
Yusuf
al-Qaradhawi, “Fiqih Praktis”, Gema Insani, Jakarta ; 2002.
[1] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam
(kajian Imam Syafi’I), Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta ; 1996, hal. 255.
[2] Ibid, hal. 6.
[3] Ibid, hal. 99.
[4] Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Praktis”, Gema Insani, Jakarta ; 2002, hal. 67.
[5] Nasrudin Haroen, “Ushul Fiqh”, Logos Wacana Ilmu, Ciputat ;
1997, hal. 7.
[6] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam
…, hal. 100.
[7] Ibid, hal. 100.
[8] Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Praktis…, hal. 67.
[9] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam
…, hal. 105.
[10] Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh (jilid I)”, Logos Wacana Ilmu,
Ciputat ; 1997, hal. 144.
[11] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, “Kamus Ilmu Ushul Fikih”,
Amzah, 2005, hal. 270.
[12] Muh. Roy , “Ushul Fiqih Mazhab
Aristoteles”, Safiria Insania Press, Yogyakarta
; 2004, hal 49.
[13] Nasrudin Haroen, “Ushul Fiqh …, hal. 63.
[14] Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh (jilid
I)..., hal. 33.
[15] Nasrudin Haroen, “Ushul Fiqh…,
hal. 5.
[16] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas
Dalam Pembaharuan Hukum Islam …, hal. 46
[19] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, “Kamus
Ilmu Ushul Fikih…, hal. 271.
[20] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas
Dalam Pembaharuan Hukum Islam…, hal. 48.
[21] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, “Kamus Ilmu Ushul Fikih…,
hal. 273.
[22] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum
Islam…, hal. 96.
[23] Ibid, hal. 98.
[24] Ibid, hal. 114
[25] Ibid, hal. 153.
[26] Ibid, hal. 158.
[27] Ibid, hal. 217.
[28] Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh (jilid
I)..., hal. 150.
[29] Muahammad Roy, “Ushul Fiqih Mazhab
Aristoteles…, hal. 54.
[30] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas
Dalam Pembaharuan Hukum Islam…, hal. 221
[32] Ibid, hal. 230.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar