Pages

Jumat, 22 Maret 2013


REVIEW BOOK
KAJIAN QIYAS IMAM SYAFI’I
(Buku Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam
Oleh ; H. Sulaeman Abdullah)
 Oleh Jajat Darojat

BAB I
PENDAHULUAN
            Buku yang berjudul “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam (Kajian Qiyas Imam Syafi’I) yang ditulis oleh Sulaeman Abdullah ini merupakan disertasi beliau dalam menyelesaikan gelar Doktornya di IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Jakarta). Awalnya, disertasi yang ditulis bukanlah judul serupa di atas, akan tetapi disertasi tersebut berjudul “Konsep Qiyas Imam Syafi’I dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia”.
Beliau memaparkan alasan perubahan judul bukunya dikarenakan ada beberapa perampingan penulisan dalam bukunya, terutama dalam pembahasan awal yaitu Bab pertama. Namun perubahan tersebut tidak mengurangi ataupun mengubah tulisan secara substantif.
            Buku yang diterbitkan oleh Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, ini merupakan cetakan yang pertama pada tahun 1996 dan mempunyai jumlah halaman sebanyak 257. dan sebagai gambaran mengenai biografi pengarang buku ini adalah sebagai berikut ;
            Nama lengkap dari pengarang buku ini adalah Dr. H. Sulaiman Abdullah, yang berasal dari  Jambi. Ia mulai menyandang gelar sebagai Sarjana Muda di Fakultas Syari’ah IAIN Jambi pada tahun 1964, hingga menyelesaikan program Doktoralnya di IAIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1991-1993. Selain mempunyai latar belakang pendidikan dalam Hukum Islam, Ia juga merupakan Pimpinan Pondok Pesantren al-Hidayah Pemda Tingkat I Jambi (1978 hingga-sekarang). Selain itu juga sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Syari’ah di IAIN Jambi (1991-1993) dan sebagai Dosen Luar Biasa di Perguruan Tinggi lain. Pengalamannya dalam Perguruan Tinggi cukup memadai, sehingga ia pun pernah menjabat sebagai Sekretaris Umum MUI Dati I Jambi (1975-1985), Ketua I MUI Dati I di Jambi (1986-hingga sekarang), sebagai Ketua Satkar Ulama Propinsi Dati Jambi (1992-hingga sekarang)[1], serta beberapa pengalaman keorganisasian lain yang mungkin dalam hal ini tidak dapat disebutkan satu persatu.
            Jika dilihat secara sepintas dari terciptanya buku Sulaiman Abdullah ini hingga pengalaman-pengalamannya dalam dunia pendidikan, mempunyai kajian yang spesifik dalam pembahasannya mengenai konsep Qiyas Imam Syafi’I. Oleh karena itu menjadi sebuah landasan kita untuk membedah buku tersebut.
            Berawal dari kegelisahan penulis terhadap persoalan-persoalan sosial kemasyaraktan. Ia menganggap bahwa perlunya menanggapi perubahan-perubahan dalam perkembangan sosial kemasyarakatan (sosial change and sosial development)[2] yang semakin kompleks. Oleh karena itu diperlukan pembaharuan dalam hukum Islam yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Selain itu juga sebagai respon positif terhadap penggalian hukum Islam yang menyangkut peristiwa-peristiwa baru yang muncul sebagai akibat dari perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal penting lain diungkapkan dalam bukunya adalah dengan melihat dan mengkaji mengenai konsep Qiyas Imam Syafi’I ini akan diketahui sejauhmana dinamika ushul fiqh sebagai metode penalaran dan penggalian hukum Islam dalam menjawab tantangan zaman. Dan jika benar Qiyas mempunyai daya dalam mengantisipasi perkembangan dan perubahan sosial, sudah barang tentu kajian tentang Qiyas harus dapat prioritas utama dalam kajian ushul fiqh, dan tentunya kajian ini harus dikembangkan pada masa-masa yang akan datang.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Al-Qiyas
Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia (umat muslim) yang sangat lengkap kandungannya. Oleh karena itu al-Qur’an menjadi sebuah pedoman hidup manusia dalam segala halnya. Termasuk kandungan al-Qur’an mengenai petunjuk hukum dengan semua peristiwa yang dihadapi kaum muslimin, baik peristiwa yang sudah terjadi, sedang terjadi ataupun yang belum dan akan terjadi. Petunjuk al-Qur’an tentang hukum tersebut ada yang tersurat (literal, eksplisit, lafziyyah, sarih) tetapi juga ada yang tersirat (implisit, ma’nawiyah, dengan illah) yang dapat digali (istinbat) dengan memperhatikan indikasi atau isarat (tentang adanya hukum) yang menjadi landasan al-qiyas.[3] Qiyas merupakan dalil keempat setelah al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma. Dan qiyas adalah memberikan suatu hukum semisalnya karena ada sebab yang sama diantaranya.[4] Dalam beberapa kasus, Rasulullah Saw., juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misanya beliau ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khathab tentang batal tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Kemudian dalam hadits riwayah al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud bersabda ;
            “Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal.? Umar menajab, ‘tidak apa-apa’ (tidak batal). Rasulullah Saw., kemudian bersabda, ‘maka teruskanlah puasamu”(H.R. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).
            Rasulullah Saw. dalam hadits ini, menurut para ulama ushul fiqh, meng-qiyas-kan hukum mencium istri dalam keadaan berpuasa dengan hukum berkumur-kumur bagi orang puasa. Dengan kata lain, jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka mencium istripun tidak membatalkan puasa.[5]
            Dengan demikian menurut Sulaeman Abdullah ini, qiyas bisa didefinisikan menjadi sebuah metode ijtihad dan sarana penggalian (istinbat) hukum bagi peristiwa yang tidak disebut secara tegas (sarih) dalam nas. Al-qiyas berpungsi dan berperan sangat penting dalam pengungkapan hukum peristiwa yang tidak disebutkan al-nas.[6] Walaupun qiyas berfungsi dan berperan sangat penting dalam mengungkapkan hukum peristiwa yang tidak disebutkan dalam nas, namun dalam pengertian ini menurut Imam Syafi’I al-qiyas peringkatnya tidak sama dengan hukum yang diperoleh secara sarih dari al-Qur’an, sunnah ataupun ijmak.[7]
Dalam pengertian lain qiyas merupakan sesuatu yang Allah SWT percayakan kepada akal dan fitrah. Pernyataan ini, sebagaimana dikatakan Ibnu Qoyim, di antara mizan yang Allah SWT turunkan dengan kitab-Nya dan menjadikannya sebagai pendamping dan pembantunya. Kemudian yang dimaksud dengan mizan adalah adil dan alat yang dikenal dengan adil dan sebalinyak. Dan qiyas yang benar adalah al-Mizan. Seperti dalah firman Allah SWT ;
“Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan kami telah turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (Q.S. al-Hadiid ; 25)[8]
            Berikut beberapa ulama ushul fiqh mengungkapkan pengertian qiyas-nya masing-masing.
1.      Qiyas menurut Imam Syafi’I adalah sebagai berikut ;
“Qiyas itu adalah metode berpikir yang digunakan untuk mencari sesuatu (hukum peristiwa) yang sejalan dengan khabar yang sudah ada, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah karena keduanya merupakan pengetahuan tentang kebenaran yang wajib dicari.”[9]
2.      Qiyas menurut al-Ghazali dalam al-Mustashfa ;
“Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.[10]


3.      Qiyas menurut Asy-Syari’ah
“memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.[11]
4.      Qiyas menurut Abu Manshur al-Maturidi
“mengungkap (ibanah) hukum yang sama dengan hukum salah satu dari dua kasus tertentu berdasarkan kesamaan sebabnya yang efektif tentang kasus lain.”[12]
Beberapa definisi mengenai qiyas yang dikemukakan para ahli ushul fiqh di atas, hanya beberapa saja yang mungkin bisa sebagai bahan untuk memahami definisi qiyas. Definisi-definisi yang tersebut berbeda rumusannya, namun berdekatan maksudnya. Dengan kata lain perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang kemukakan di atas, para ulama ushul fiqh sepakat bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (istinbat al-hukm wa isya’uhu) melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-kasyf wa izhar li al-hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.[13]
B.     Ushul Fiqh Imam Syafi’I
Pada waktu Nabi Muhammad Saw masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan padanya. Dan Nabi Muhammad Saw pun menjawab hukum dengan menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an, dan dalam al-Qur’an tidak menyebutkan jawaban atas persoalannya, maka kemudian Nabi memberikan jawaban melalui penetapannya yang kita kenal dengan hadits atau sunnah. Inilah kemudian sebagai gambaran bahwa al-Qur’an dan penjelasannya yang itu dalam bentuk hadits disebut sebagai sumber pokok hukum Islam.
Bila para sahabat Nabi menemukan persoalan hukum yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, akan tetapi mereka tidak bisa bertanya kepada Nabi secara langsung, maka yang mereka lakukan adalah dengan mencari jawabannya dalam al-Qur’an. Bila tidak ditemukan jawaban secara harfiah dalam al-Qur’an, maka kemudian mereka mencari jawaban dalam koleksi hadits Nabi. Dan jika dalam hadits tidak juga mereka temukan jawabannya, mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam ijtihad itu mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadits.[14] Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha “memelihara kemaslahatan umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hukum syara’. Oleh sebab itu para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa tujuan utama ushul fiqh adalah mengetahui dalil-dalil syara’, yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah, mu’amalah, uqubah dan akhlak. Pengetahuan tentang dalil-dalil tersebut pada gilirannya dapat diamalkan sesuai dengan kehendak syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh bukan merupakan “tujuan”, melainkan sebagai “sarana” untuk mengetahui hukum-hukum Allah pada setiap kasus sehingga dapat dipedomani dan diamalkan sebaik-baiknya. Dengan demikian tujuan yang sebenarnya adalah mempedomani dan mengamalkan hukum-hukum Allah yang diperoleh melalui kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.[15]
Pembicaraan tentang sumber-sumber hukum dan cara-cara memahami dalil merupakan pokok kajian ilmu ushul fiqh yang utama. Demikian juga halnya ushul fiqh Imam Syafi’I. Rumusan ushul fiqhnya diolah dengan menggunakan akal yang cerdas, penguasaan bahasa yang luas dan pengetahuannya yang lengkap tentang fikih al-hadits dan fikih al-ra’yi untuk ;
1.      Memahami secara mendalam dalalah al-Qur’an
2.      Membuat rumusan teoritis keabsahan al-Sunnah
3.      Menganalisis ijtihad ahl al-hadits dan ahl al-ra’yu, lalu membuat kerangka teoritis metodologis tentang ijtihad.
Motif Imam Syafi’I dalam menyusun ushul fiqh yang diketahui ;
1.      Untuk menjadi neraca dalam menilai mana pendapat yang benar dan mana yang keliru.
2.      Untuk menjadi kaidah yang dijadikan pegangan dalam melakukan istinbat hukum baru.[16]
Dalam hal ini ushul fiqh Imam Syafi’I tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praksis; tidak memproyeksikan gambaran yang dipradugakan, tetapi mendefinisikan peristiwa yang terjadi dan maujud. Misalnya, dalam membahas dan memecahkan persoalan nasikh-mansukh. Ia rumuskan kaidah naskh itu terhadap masalah yang menurutnya benar-benar naskh berdasarkan sunnah Rasulullah Saw atau berdasarkan asar dari sahabat.[17]
Pokok bahasan (mawdu al-bahs) ushul fiqh Imam Syafi’I telah meliputi komponen pokok bahasan ilmu ushul fiqh yang diantaranya adalah ;
1.      Adillah al-Syar’iyyah : al-Kitab, al-Sunnah, Aqwal al-Sahabi, dan al-qiyas.
2.      Qa’idah al-Istinbat bi al-lughawiyyah (kaidah-kaidah istinbat hukum dengan pendekatan kebahasaan), am, khas, musytarak, mubayyin, mutlaq, muqayyad, mafhum, takhsis al-am, taqyid al-mutlaq.
3.      Qa’idah al-Tsayriyyah (kaidah penetapan hukum) ; peristiwa hukum yang boleh diijtihadkan, persoalan yang menyangkut ijtihad, hubungan al-Kitab al-Sunnah (ta’arud, tarjih dan naskh).
Ini menunjukan bahwa ushul fiqh sebagai pranata ijtihad menggali hukum dari sumbernya al-Qur’an dan al-Hadits, dilakukannya dengan berbagai pendekatan, antara lain ;
1.      Pendekatan literal (kebahasaan), yang meliputi ; takhsis, al-am, taqyid al-mutlaq, ta’yin al-musyatarak ; dalalah al-lafzi yang terbagi menjadi mantuq dan mafhum;
a)      Mantuq terbagi menjadi dua, yaitu 1). Sarih; (ibarah al-nas, dilalah al-barah), 2). Ghairu sarih, terbagi menjadi dua (a). Dalalah al-ima (dalalah al-isyarah atau isyarah al-nas), (b). Dalalah al-iqtida (iqtida al-nas atau dalala al-nas)
b)      Mafhum terbagi menjadi dua, yaitu 1). Mafhum muwafaqah (yang dimasukannya kedalam bagian al-qiyas) dan sama dengan dalalah al-nas menurut istilah Hanafiah, 2). Mafhum mukhalafah apabila terdapat syarat, sabab, sifah, ghayah dan adad. Mafhum mukhalafah ditolak oleh Hanafiah, sehingga kemungkinan berbeda hasil ijtihad sering terjadi.
2.      Pendekatan ma’nawiyah, ialah dengan metode al-qiyas.
3.      Pendekatan kaidah tasyri, (kaidah penetapan hukum) yaitu ta’arud dan naskh.
Memang apa yang dikemukakannya mengenai masing-masing komponen pokok bahasan belum lengkap dan rinci, tetapi ia sudah berjasa membuat fondasi dan rangka ”perumahan” ilmu ushul fiqh. Adalah tugas ulama usul generasi sesudahnya untuk menyelesaikan dan menyempurnakan ”bangunan”-nya.[18]
C.    Konsep Qiyas Imam Syafi’I
Sebuah prinsip untuk menerapkan hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an atau ketetapan dalam sunnah pada permasalahan yang tidak jelas ketetapannya di dalam dua sumber hukum Islam tersebut. Imam Syafi’I adalah salah satu diantara tokoh pembangun dan pengguna prinsip qiyas.[19] Ketika mengemukakan konsep al-qiyas, Imam Syafi’I menjelaskan tentang identitas, pembagiannya dan diiringinya dengan beberapa contoh, sehingga dapat diketahui bahwa al-qiyas terbentuk oleh empat unsur (rukun) ; asl (berupa al-Qur’an atau al-Sunnah), far (peristiwa yang tidak disebutkan nas, yang akan dicari hukumnya), hukum asl (disebutkan dalam nas) dan makna. Yang dimaksudkan dengan makna tak lain dari apa yang dikenal sebagai illah. Imam Syafi’I tidak menerangkan jalan-jalan untuk mengetahui illat atau makna (masalikh al-illah).[20]
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi antara lain ;
a)      Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan yang terdapat pada ashl. Dari segi ini, qiyas dibagi menjadi tiga macam, yaitu 1). Qiyas al-aulawi 2). Qiyas al-musawi 3). Qiyas al-adna.
b)      Dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat pada hukum, qiyas dapat dibagi pada dua macam yaitu, 1). Qiyas al-jaly, 2). Qiyas al-khafy
c)      Dilihat dari keserasian ‘illat dengan hukum, qiyas dibagi atas dua bentuk, yaitu 1). Qiyas al-mu’atstsir 2). Qiyas al-mula’im.
d)     Dari segi kejelasan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut, qiyas dapat dibagi kepada tiga bentuk, yaitu 1). Qiyas al-ma’na 2). Qiyas al-‘illat 3). Qiyas ad-dalalah.
e)      Dilihat dari segi metode (masalik) dalam menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi yaitu, 1) qiyas al-ikhalah yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan melalui munasabah dan ikhalah, 2). Qiyas asy-syabah yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan melalui metode syabah, 3). Qiyas as-sabru yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan melalui metode as-sabr wa at-taqsim, dan 4). Qiyas at-thard yaitu qiyas yang ‘illat-nya melalui metode thard.[21]
1.      Imam Syafi’I peletak pertama patokan al-qiyas
Imam Syafi’I adalah mujtahid pertama yang membicarakan al-qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan al-qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Disinilah Imam Syafi’I tampil kedepan memilih metode al-qiyas serta memberikan kerangka teoritis dan metodologinya dalm bentuk kaidah rasional namun tetap praktis.
Sebagai dalil penggunaan al-qiyas, Imam Syafi’I mendasarkannya pada firman Allah ;
“.......Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).......(Q.S. An-Nisaa’ ; 59)
Dalam ayat ini Imam Syafi’I menjelaskan bahwa maksud “kembalikan kepada Allah dan Rasul” itu, adalah qiyas-kanlah kepada salah satu al-Qur’an atau Sunnah. Menurut Imam Syafi’I peristiwa apapun yang dihadapi kaum muslimin, pasti terdapat petunjuk tentang hukumnya dalam al-Qur’an, sebagaimana dikatakannya ;
“tidak ada satu peristiwa pun yang dihadapi penganut agama Allah (yang tidak terdapat ketentuan hukumnya) melainkan terdapat petunjuk tentang cara pemecahannya dalam Kitabullah”[22]
2.      Fungsi al-qiyas
Fungsi al-qiyas dalam mengungkapkan hukum dari al-Qur’an atau al-Sunnah, dikemukakannya ;
“semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan orang Islam, pasti terdapat ketentuan hukumnya atau indikasi yang mengacu pada adanya ketentuan hukumnya. Jika ketentuan hukum itu disebutkan maka haruslah diikuti; jika tidak, maka haruslah dicari indikasi yang mengacu pada ketentuan hukum tersebut dengan berijtihad. Ijtihad itu adalah qiyas”
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa fungsi qiyas itu sangat penting dalam mengungkapkan hukum dari dalilnya (al-Qu’ran atau Sunnah) guna menjawab tantangan peristiwa yang dihadapi kaum muslimin yang tidak secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an atau Sunnah.[23]
3.      Unsur-unsur al-qiyas
Al-qiyas terbentuk oleh beberapa unsur yang saling berkaitan. Unsur-unsur al-qiyas dikalangan ulama usul dikenal dengan sebutan arkan al-qiyas yang terdiri dari a). Asl, b). Hukm asl c). Far d). Illah.[24]
4.      Pembagian al-qiyas
Imam Syafi’I membagi al-qiyas ditinjau dari dua aspek ; pertama dari aspek kekuatan illah yang mempertalikan asl dengan far dan kedua dari aspek jelas tidaknya illah.
a)      Dari aspek kekuatan illah, al-qiyas dibaginya kepada tiga bagian ;
1)      ’Illah pada far lebih kuat illah pada hukum asl. Ini oleh ulama usul pengikut al-Syafi’I disebut al-qiyas al-awlawi.
2)      ’Illah pada hukum far sama dengan pada hukum asl. Ini mereka sebut dengan al-qiyas al-musawi.
3)      Illah hukum far kurang jelas dari illah pada hukum asl. Ini mereka sebut dengan qiyas a’-adna.[25]
b)      Dari aspek jelas atau tidak jelasnya illah, Imam Syafi’I membagi qiyas kepada ;
1)      Al-qiyas fi ma’na as-asl, atau qiyas al-ma’na yaitu qiyas yang asl-nya satu nas tertentu karena far se ma’na dengan asl.
2)      Qiyas al-syabah, yaitu al-qiyas yang hukum far-nya diketahui dengan meng-qiyas-kan kepada salah satu dari beberapa asl dalam beberapa nas yang lebih mirip dengan far.[26]
Secara terperinci konsep al-qiyas Imam Syafi’I yang diuraikannya dalam kita al-risalah adalah sebagai berikut ;
a)      ”Semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan orang muslim, tentu ada hukumnya yang pasti, atau menurut jalan yang benar terdapat petunjuk tentang hukumnya. Berdasarkan hal itu, apabila terdapat ketentuan hukumnya dengan konkrit maka haruslah diikuti; dan apabila ketentuan hukumnya tidak terdapat secara konkrit, harus dicari petunjuk yang benar tentang hukumnya dengan ijtihad dan ijtihad itu adalah al-qiyas.
b)      ”Maka tidaklah terjadi sesuatu peristiwa yang dihadapi penganut agama Allah, melainkan di dalam al-Qur’an terdapat petunjuk tentang pemecahannya.”
c)      ”Dan al-qiyas itu ditinjau dari dua segi; pertama bahwa sesuatu peristiwa baru (far) sama betul dengan ma’na asl, maka dalam hal ini al-qiyas tidak berbeda; kedua bahwa sesuatu peristiwa mempunyai kemiripan dengan beberapa ma’na pada beberapa asl, maka peristiwa itu dihubungkan dengan asl yang paling utama dan lebih banyak kemiripannya. Dalam segi yang kedua ini sering terjadi perbedaan pendapat para pelaku al-qiyas.
Dari ungkapan a, dapat disimpulkan bahwa setiap peristiwa yang terjadi ada ketentuan hukumnya. Ketentuan hukumnya ada yang sarih dan ada pula yang tidak sarih yang harus dicari dengan ijtihad yaitu al-qiyas. Jadi al-qiyas berperan mencari hukum peristiwa yang baru terjadi. Ini menunjukan bahwa al-qiyas Imam Syafi’I berperan besar mencari hukum peristiwa baru yang senantiasa berkembang. Kemudian dari ungkapan b, dapat disimpulkan bahwa dalil hukum itu adalah al-Qur’an. Ini menegaskan bahwa rujukan pencarian hukum oleh al-qiyas tidak boleh keluar kaitannya dari nas. Sedangkan ungkapan c, membuka kemungkinan berbedanya hasil hukum yang dicari mujtahid dengan al-qiyas.[27]
Terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara’. Memang tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil syara’ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada pentunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara’ diluar apa yang ditetapkan oleh nash. Dalam penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara’, Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi tiga kelompok ;
1.      Kelompok Jumhur Ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah dan dalam ijma’ ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
2.      Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Zhahiriyah juga menolak penemuan illat atas suatu hukum yang menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’.
3.      Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Merekapun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya; kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagian ayat al-Qur’an atau Sunnah.[28]
Dari kelompok-kelompok tersebut, Wahab al-Zuhaili menyimpulkan bahwa beberapa pendapat yang beragam itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Yaitu pertama, kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum, yaitu mayoritas ulama ushul fiqh. Kedua, kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum, yaitu ulama Syi’ah, al-Nazhzham, Zhahiriyyah, dan sebagian Mu’tazilah dari Irak. Namun Jumhur ulama ushul fiqh yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam menetapkan hukum syara’ mengemukakan alasan seperti dalam firman Allah SWT;
”.....maka mengambilah pelajaran wahai kalian semua orang-orang yang mempunyai pandangan atau mata.” (Q.S. al-Hasyr ; 02)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai pelajaran. Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa, menurut Jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh karena itu, penetapan hukum melalui qiyas adalah boleh, bahkan diperintahkan oleh al-Qur’an.[29]
D.    Al-Qiyas Imam Syafi’I Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Islam
1.      Perlunya Pembaharuan Hukum dan Penerapan al-qiyas
Perlunya perlunya pembaharuan hukum atau perubahan hukum adalah untuk menanggapi peristiwa baru yang bermunculan atau menanggapi peristiwa hukum ijtihadi yang disebabkan perubahan makna. Kemajuan teknologi merupakan faktor pendorong yang kuat bagi timbulnya peristiwa baru yang pasti ada hukumnya ataupun perubahan teknologi merupakan faktor pendorong kuat bagi timbulnya peristiwa baru. Berikut beberapa peristiwa baru beserta penerapan al-qiyas Imam Syafi’I dalam menanggapi peristiwa tersebut ;
a)      Transpalansi organ tubuh manusia
Transpalansi organ tubuh sebenarnya termasuk kategori jinayah qisas yang sudah ada hukum larangnya, firman Allah ;
”Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya.” (Q.S. Al-Maidah ; 45)
Dikenakan sangsi qisas terhadap perusak organ tubuh itu, ialah karena (illah-nya) intihak karamah al-ihsan (merupakan kemulian manusia). Karena dalam kasus pemindahan organ tubuh manusia ini (far) terdapat pula illah  hukum haram merusak organ tubuh yaitu merusak kemuliaan manusia, maka hukumnya pemindahan organ tubuh ini dilarang juga, kecuali dalam keadaan darurat yang merupakan kaidah umum dalam membolehkan yang dilarang.[30]
b)      Bayi tabung meminjam rahim wanita lain
Bayi tabung dengan menitipkan sperma dan ovum antara suami-istri, kedalam rahim wanita lain (far). Allah melarang zina (asl) dan Nabi melarang memasukan sperma ke rahim wanita yang tidak halal bagi pemilik sperma (asl). Ayat yang menerangkan keharaman zina (asl) ialah firman Allah ;
”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Israa ; 32)
Dilarangnya menghampiri zina (asl) karena (il-lat) zina itu perbuatan keji, dan cara yang buruk. Secara mafhum (al-qiyas al-awlawi) melakukan zina tentulah lebih keji. Karena illah keji itu terdapat juga pada memasukan sperma dan ovum suami-istri ke dalam rahim yang tak halal baginya, maka hukum melakukan bayi tabung dengan meminjam rahim wanita lain disamakan dengan hukum menghampiri zina karena sama-sama keji dan cara yang buruk.[31]
2.      Penerapan al-qiyas dalam Menanggapi Produk Teknologi Modern.
Al-qiyas Imam Syafi’I dapat diterapkan dalam menentukan hukum bagi segala benda peralatan produk teknologi modern. Di antara benda produk teknologi modern itu adalah sebagai berikut ;
a.       Sarana transportasi ; berbagai kendaraan dan pesawat yang memberikan jasa memperpendek jarak perjalanan yang jauh.
b.      Sarana kesehatan ; alat pemacu jantung, mesin ginjal yang memberikan jasa menyelamatkan perderita dari ancaman maut (daruriyyah).
c.       Sarana telekomunikasi ; telepon, radio, dan televisi yang memberikan jasa komunikasi jarak jauh, dalam waktu cepat.
d.      Sarana produksi ; traktor, pabrik pengolahan yang memberikan jasa mempercepat penyelesaian kerja/ mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
e.       Sarana penulisan ; mesin cetak dan komputer, semuanya bermanfaat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan mempermudah tugas manusia.
Dasar hukum mengenai berbagai benda tersebut, tidak ditemukan dalam al-Kitab maupun al-Sunnah secara khusus, akan tetapi berdasarkan istiqra (introduksi) yang dilakukan para mujtahid terhadap hukum-hukum yang ditetapkan al-Kitab atau al-Sunnah diperoleh kesimpulan bahwa setiap hukum yang ditetapkan tidak keluar dari tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia (li tahqiq masalih al-nas). Ini merupakan kaidah umum tasri.[32]

BAB III
PENUTUP
Sebagai kesimpulan dari book review yang berjudul “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam (kajian Imam Syafi’I)yang ditulis oleh H. Sulaeman Abdullah ini adalah sebagai berikut ;
Hukum Islam yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan hidup manusia, ternyata mampu mengantisipasi perkembangan dan perubahan sosial, dengan menggunakan metode ijtihad yang pernah digunakan mujtahid masa lalu untuk menggali hukum dari sumbernya oleh para sahabat terutama metode al-qiyas yang merupakan metode paling jelas dan akurat. Oleh karena itu qiyas seharusnya dipahami sebagai suatu prinsip pengambilan hukum yang selalu berkembang. Dengan kata lain konsep qiyas yang sudah ada harus terus dilihat secara kritis, digali secara mendalam lalu kemudian dikembangakan lagi sesuai dengan kebutuhan hukum dan perubahan masyarakat.
Disertasi yang ditulis oleh Sulaeman Abdullah ini menunjukan bahwa perlunya pembaharuan hukum Islam dalam menghadapi perkembangan dan perubahan sosial masyarakat, akan tetapi pendekatan metode al-qiyas-nya hanya pada perkembangan ilmu pengetahuan saja, melainkan tidak dijelaskan mengenai bagaimana dengan persoalan sosial yang lain seperti halnya dampak negatif dari teknologi (televisi) yang merusak moral, dan persoalan sosial masyarakat lainnya. Secara makro tidak banyak singgungan atau penjelaskan dalam pembahasannya tesebut. Namun tulisannya ini menunjukan apresiasi yang sangat positif terhadap perkembangan zaman. Respon hukum Islam terhadap perubahan dan perkembangan zaman menjadi sangat penting dan urgens dalam menghadapi persoalan-persoalan baru dimasa yang akan datang. Oleh karena itu peran dan posisi hukum Islam sangat dibutuhkan bagi umat muslim dalam menghadapi perubahan dan perkembangan zaman.

 Daftar Pustaka ;
-          Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh (jilid I)”, Logos Wacana Ilmu, Ciputat ; 1997.
-          Muahammad Roy, “Ushul Fiqih Mazhab Aristoteles”, Safiria Insania Press, Yogyakarta ; 2004.
-          Nasrudin Haroen, “Ushul Fiqh”, Logos Wacana Ilmu, Ciputat ; 1997.
-          Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam (kajian Imam Syafi’I), Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta ; 1996.
-          Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, “Kamus Ilmu Ushul Fikih”, Amzah, 2005.
-          Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Praktis”, Gema Insani, Jakarta ; 2002.


[1] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam (kajian Imam Syafi’I), Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta ; 1996, hal. 255.
[2] Ibid, hal. 6.
[3] Ibid, hal. 99.
[4] Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Praktis”, Gema Insani, Jakarta ; 2002, hal. 67.
[5] Nasrudin Haroen, “Ushul Fiqh”, Logos Wacana Ilmu, Ciputat ; 1997, hal. 7.
[6] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam …, hal. 100.
[7] Ibid, hal. 100.
[8] Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Praktis…, hal. 67.
[9] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam …, hal. 105.
[10] Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh (jilid I)”, Logos Wacana Ilmu, Ciputat ; 1997, hal. 144.
[11] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, “Kamus Ilmu Ushul Fikih”, Amzah, 2005, hal. 270.
[12] Muh. Roy, “Ushul Fiqih Mazhab Aristoteles”, Safiria Insania Press, Yogyakarta ; 2004, hal 49.
[13] Nasrudin Haroen, “Ushul Fiqh …, hal. 63.
[14] Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh (jilid I)..., hal. 33.
[15] Nasrudin Haroen, “Ushul Fiqh…, hal. 5.
[16] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam …, hal. 46
[17]Ibid, hal. 48.
[18] Ibid, hal. 49.
[19] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, “Kamus Ilmu Ushul Fikih…, hal. 271.
[20] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam…, hal. 48.
[21] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, “Kamus Ilmu Ushul Fikih…, hal. 273.
[22] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam…, hal. 96.
[23] Ibid, hal. 98.
[24] Ibid, hal. 114
[25] Ibid, hal. 153.
[26] Ibid, hal. 158.
[27] Ibid, hal. 217.
[28] Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh (jilid I)..., hal. 150.
[29] Muahammad Roy, “Ushul Fiqih Mazhab Aristoteles…, hal. 54.
[30] Sulaeman Abdullah, “Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam…, hal. 221
[31] Ibid, hal. 225.
[32] Ibid, hal. 230.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar