TANTANGAN
MULTIKULTURALISME INDONESIA
(Dari
Radikalisme Menuju Kebangsaan)
Oleh; Jajat Darojat
BOOK REVIEW
Judul Buku :
Tantangan Multikulturalisme Indonesia (Dari Radikalisme
Menuju Kebangsaan)
Penulis :
Prof. Dr. Nur Syam, M.Si
Cetakan/ Tahun :
2009
Penerbit :
Impulse (Institute Multikulturalism-Pluralism Studies)
Tebal Buku :
263
A. Abstrak
Sudah tidak dapat dipungkiri lagi
bahwa bangsa Indonesia memiliki banyak keragaman budaya[1] di
dalamnya, mulai dari etnis, suku, agama, sampai pada bahasa. Hal ini menunjukan
bahwasannya Indonesia merupakan salah satu negara yang pluralis-multikultural.
Namun demikian, keragaman tersebut menjadi rawan dengan konflik horizontal mapun
vertikal, malai dari konflik agama, golongan, sampai pada percaturan politik
dikalangan elit.
Sebagai bagian awal pembahasan, bahwa akhir-akhir
ini isu pluralisme semakin mencuat, maraknya teror yang dilakukan oleh
sekelompok orang yang mengatasnamakan agama membuat masyarakat terpecah-pecah
dan merasa terganggu dengan isu tersebut. Isu yang meresahkan masyarakat tersebut
semakin memperburuk keadaan masyarakat, karena dengan keadaan masyarakat yang
selama ini sudah tidak lagi sejahtera, dihadapakan dengan konflik horozontal
yang menyulut pada sikap etnosentrisme atau panatisme golongan (caufinisme).
Keadaan ini memungkinkan masyarakat berada sangat jauh dari kata sejahtera dan semakin
lebarnya jurang pemisah antara kelompok-kelompok masyarakat, tentunya hal ini
sangat bertentangan dengan slogan Bhineka Tunggal Ika.
Agama menjadi isu yang sangat mendesak
untuk diselesaikan, dengan tumbuhnya gerakan-gerakan yang mengatasnamakan
agama, yang mengklaim golongannya yang paling benar (Truth Claim)
menjadikan konflik agama tersebut semakin panjang dan parah. Jika kita membuka
lagi buku sejarah Indonesia yaitu pada masa Orde lama sampai pada Orde
reformasi, hal tersebut belum terlalu terlihat muncul dipermukaan, walaupun
dalam arsip nasional mencatat perselisihan dalam tubuh masyarakat Indonesia
terkait dengan pedoman Pancasila sudah ada. Namun merebaknya gerakan-gerakan
baru dalam tubuh masyarakat Indonesia ditandai dengan adanya reformasi dalam
tubuh negara. Inilah kemudian yang akan menjadi pokok pembahasan dalam bukunya
Nur Syam yang berjudul “Tantangan Multikulturalisme Indonesia (dari radikalisme
menuju kebangsaan).
B. Pokok Masalah yang
diangkat
Nur Syam dalam bukunya mengatakan
bahwa konflik yang terjadi akhir-akhir ini dikarenakan adanya benturan-benturan
tradisi lokal dengan tradisi yang berasal dari luar. Ia mengatakan bahwa, Islam
datang ke Indonesia bukan pada kawasan yang vakum akan budaya, oleh karena itu
Islam juga harus beradaptasi dengan tradisi-tradisi lokal. Keharusan
beradaptasi inilah yang memicu kontroversi baik dikalangan akademisi maupun
praktisi keislaman.[2] Disisi lain Nur Syam juga
mengkategorikan empat hal dalam tantangan multikulturalisme Indonesia, yaitu
diantaranya adalah sebagai berikut ;
1. Radikalisme
2. Entosentrisme
3. Bountique multiculturalism
4. Negara
Dalam hal ini ia mepersepsikan bahwa golongan
radikalisme adalah golongan yang membutakan terhadap realitas agama dan juga sebagai
dampak dari klaim kebenaran terhadap suatu identitas kesukuan, yang kemudian
berujung pada munculnya sikap etnosentrisme. Ia juga memberikan argumen bahwa
radikalisme dan etnosentrisme di Indonesia masih disikapi dengan ideologi
multikultur yang artifisial, yang hanya pada dataran co-existance dan belum
pro-existence. Oleh karena itu ini menjadi penting untuk dibicarakan atau
dikaji secara mendalam. Karena jika negara sudah tidak lagi menjalankan amanat Pancasila
dan UUD 1945 dalam menjujung tinggi keadilan dan kemanusiaan, maka kebijakan
negara akan semakin diskriminatif, dan semakin tidak memperdulikan kaum
minoritas dengan menyingkirkan rasa keadilan.
C. Pentingnya Topik diangkat
- Islam di
Indonesia
Seperti yang sudah disinggung dalam pembahasan
awal, bahwa bangsa Indonesia tidak terlepas dari sebuah keragaman budaya.[3]
Namun demikian Islam pun datang ke Indonsia sudah memiliki budaya atau
kepercayaan sendiri. Hal inilah kemudian menjadi sebuah persoalan ketika Islam
tersebut bergesekan dengan budaya lokal. Artinya harus mempunyai alat untuk
menjembatani kedua hal tersebut agar saling mengisi satu sama lain. Para founding
father negeri inipun sedari awal sudah menyadari bahwa bangsa ini terdiri
dari suku, agama, dan ras yang heterogen sehingga harus ada common platform
yang mampu mempersatukannya. Oleh karena itu, yang menjadi alat pemersatu itu
adalah Pancasila yang kemudian dijadikan sebagai dasar negara dan pemersatu
bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa yang terdiri dari kaum agamawan dan
nasionalis pun telah menyepakati bahwa hanya dengan Pancasila kesatuan dan
persatuan bangsa Indonesia akan terus terjadi.[4]
Kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara sebetulnya sudah memperoleh pengesahan baik secara de jure maupun
de facto. Namun demikian, kedudukan Pancasila itu belum memperoleh
pengakuan yang optimal dari seluruh lapisan masyarakat. Penerimaan tersebut dalam
praktiknya masih setengah hati. Jauh sebelumnya telah muncul gerakan DI/ TII
diberbagai wilayah Indonesia Semisal, di Jawa Barat dengan S.M. Kartosoewiryo,
di Sulawesi Selatan dengan Kahar Muzakkar, serta di Aceh Daud Beureuh.
Pembangkangan mereka tentunya didasari oleh ketidak sepahaman tentang dasar
negara dan praktik penyelenggaraan negara yang dianggap tidak sesuai dengan
keinginannya. Mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, atau
sekurang-kurangnya Theo-Demokrasi. Namun dikalangan Islam moderat, posisi
Pancasila sebagai dasar negara sudah tidak lagi dipertayakan, semisal NU dan
Muhammadiyah.[5] Mereka memandang bahwa
hubungan Pancasila dengan Islam dianggap sebagai hubungan sisi koin mata uang.
Bagi kaum Islam moderat, maka Islam dan Pancasila adalah satu kesatuan yang
saling membutuhkan, sehingga tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling
mengisi dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa Pancasila sebagai pedoman bernegara dan Islam sebagai pedoman
agama.
Sebagai negara yang
pluralis-multikultural, Indonesia mempunyai sejarah panjang dalam pergulatan
pemikiran dan kebudayaan. Contohnya saja dalam kawasan pemikiran agama, Islam
memiliki banyak corak dalam pemikirannya seperti Islam Moderat, Liberal, maupun
corak pemikiran yang Fundamental. Sebagaimana dikatakan Baharuddin dan Moh.
Makin dalam bukunya "Pendidikan humanistik", mengatakan bahwa
jika di Indonesia corak pemikiran tersebut tumbuh dan berkembang maka tidak
menutup kemungkinan akan terjadi gesekan-gesekan yang berujung pada hancurnya
rasa kemanusiaan dan terkikisnya semangat religius, serta kaburnya nilai-nilai
kemanusiaan dan hilangnya jati diri budaya bangsa.[6] Menurut
Prof Nur Syam dalam hal ini ia mengatakan bahwa, tantangan NU kedepan sebagai
kalangan Islam moderat adalah gerakan-gerakan pemikiran yang bertentangan
dengan maintream pemikiran Islam Indonesia, yaitu Islam Liberal dan
Fundamentalisme. Dalam pergulatan pemikiran Islam Indonesia, keduanya merupakan
pemikiran kesilaman yang tranplanted. Liberalisme bersentuhan dengan
gerakan-gerakan pemikiran yang bercorak kontekstual dan cenderung bebas dalam
menafsirkan teks-teks suci agama. Disisi lain kaum fundamentalis cenderung
kembali kepada teks dan mengabaikan konteks dalam menafsirkan ajaran
agama-agama.[7]
Kaum fundamentalisme inipun
memunculkan gerakan-gerakannya yang bertujuan untuk menjaga genuitas Islam.
Secara transpalanted muncul gerakan ikhwan al muslimin yang semula
tumbuh dan berkembang di Mesir, Hizbut Tahrir yang tumbuh di Libanon dan
gerakan-gerakan Islam fundamental lain yang tumbuh dan berkembang di Indonesia
seperti Fron Pembela Islam (FPI), Laskar ahlu Sunnah wal Jamaah, Majelis
Mujahidin, Ikhwanul Muslimin dan lain sebagainya. Meskipun memiliki cara dan
metodologi dalam gerakan, akan tetapi ada kesamaan dalam visi dan misinya,
yaitu ; khilafah, mengikuti ulama salaf yang saleh, memusuhi
Barat sebagai setan besar dan memusuhi Islam Liberal.[8] Gerakan-gerakan
ini memperoleh tempat yang subur di Indonesia. Ide penerapan syariah Islam dan Khilafah
Islamiyah hakikatnya adalah turunan yang berkembang di negara asal oragnisasi
religio-politik, seperti yang sudah disebutkan diatas. Akan tetapi bentuk
indoktrinasi yang dilakukan oleh gerakan-gerakan ini mempunyai pengaruh yang sangat luar biasa
terhadap kaum muda di tengah usaha pencarian terhadap identitas keagamaannya.
Dalam pandangan fundamentalisme, Islam
Liberal mempunyai karakter pemikirannya sendiri yakni mencoba mendialogkan
antara teks dengan konteks sosio-kultural-politik yang kemudian menggabungkan
pemikiran Barat dan Islam. Sebagai pengikut Ahlu sunnah wal jamaah seperti
pada para pemegang pemikiran fundamentalisme. Hal tersebut muncul dari sebuah
pemikiran teologis yang dicetuskan oleh ulama Timur Tengah pada abad awal Islam
sebagai identifikasi terhadap kelompok yang memiliki klaim kebenaran (truth
calim), yaitu sebagai pengikut utama Nabi Muahammad Saw. Truth Claim tersebut
dimunculkan dalam merespons terhadap hadits ;”sataftariqu ummaty ‘ala
tsalasatin wa sab’ian firqatan, kulluhum fin nar, illa wahid”. Kemudian golongan
ini yang mengklaim diri sebagai kaum yang mengadopsi pola pikir dan nilai-nilai
dasar ajaran Islam yang sesuai dengan kaidah perilaku Nabi Muhammad Saw.[9]
- Pluralis-Multikultural
Perspektif Ajaran Islam
Sejarah meskipun tidak terlalu ideal
kiranya dapat dijadikan sebagai referensi mengenai bagaimana seharusnya merajut
pluralisme beragama ditengah kehidupan ramai. Di dalam sejarah perjalanan Nabi
Muhammad Saw., pluralisme sebenarnya telah menjadi satu contoh nyata yang di
dalam konsepsi Islam yang kita kenal dengan Piagam Madinah. Pada Piagam Madinah
mencakup 47 pasal, antara lain berisi hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban
bernegara, hak perlindungan hukum, sampai pada toleransi beragama.[10]
Sejak masa awal perkembangannya, Islam
telah menjadi agama dan peradaban yang senantiasa bersentuhan dengan agama dan
peradaban lain. Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara
positif dan optimistik. Karena itu menurut Islam, seluruh manusia berasal dari
satu asal yang sama yaitu Nabi Adam dan Hawa. Meskipun nenek moyangnya sama,
namun dalam perkembangannya kemudian terpecah menjadi bersuku-suku,
berkaum-kaum, atau berbangsa-bangsa, lengkap dengan segala kebudayaan dan
peradaban khas masing-masing. Semua perbedaan yang ada selanjutnya mendorong
mereka untuk saling mengenal dan menumbuhkan apresiasi satu sama lain. Inilah
yang kemudian oleh Islam dijadikan sebagai dasar perspektif “kesatuan umat
manusia” (universal humanity).[11]
Wacana pluralisme-multikulturalisme
sebenarnya tidak berpretensi menghilangkan nilai-nilai partikular dari agama
karena upaya seperti itu merupakan hal yang tidak mungkin. Wacana ini menurut
istilah Amin Abdullah, hanya berupaya agar nilai partikular ini tetap berada
dalam exlusive locus, yaitu berada dalam wilayah komunitas yang
mempercayai nilai partikular itu saja. Sedangkan bagi masyarakat partikural
yang tidak mempercayai, maka diberlakukan nilai universal. Partikular nilai
dari suatu agama lebih-lebih partikularitas agama, hanya diperuntukan bagi internal
pemeluk agama itu sendiri dan tidak dipaksakan kepada mereka yang tidak
mempercayainya. Dalam menghadapi pemeluk agama yang berbeda, yang harus
dikedepankan adalah nilai-nilai universal, seperti keadilan, kemanusiaan,
kesetaraan, berbuat baik terhadap sesama, kejujuran dan lain sebagainya.[12]
- Membangun
Paradigma Keberagamaan Inklusif
Manusia harus menjaga hubungan baik
dengan sesama manusia. Memelihara tali hubungan kemesraan berdasar humanitas
adalah bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Sebagai delegasi tuhan di
muka bumi (khalifah fil ardl), manusia dapat melaksanakan peran yang
sangat penting agar hubungan antar manusia tidak didistorsi oleh kepentingan
atas nama kelompok, golongan dan lainnya. Mengisi “ruang kosong” humanitas
adalah tugas manusia ditengah pergulatan kehidupan yang penuh dengan
tarikan-tarikan kepentingan yang sering menggelora. Inti kemanusiaan adalah
equalitas, keadilan, kemerdekaan, dan keselamatan yang didasari oleh ajaran
agama. Oleh karena itu, agama yang benar selalu menempatkan humanitas sebagai
inti ajarannya. Agama yang dipahami dengan tidak mengedepankan humanitas
tentunya bukan yang menjadi inti misi agama.[13]
Karena agama seharusnya dapat menjadi pendorong bagi umat manusia untuk selalu
menegakan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia
di muka bumi. Sayangnya dalam kehidupan sebenarnya, agama menjadi salah satu
penyebab terjadinya kekerasan dan kehancuran umat. Kenyataan pahit yang
menyangkut kehidupan umat beragama ini dialami oleh berbagai macam pemeluk
agama dan terjadi diseluruh dunia. Seperti di Bosnia Herzegovina, umat Islam
dan Khatolik saling membunuh. Kemudian baru-baru ini juga perang yang
berkepanjangan di negara-negara Timur Tengah, walaupun tujuannya untuk
menundukan suatu wilayah dan pemenuhuan kebutuhan perekonomian suatu negara,
akan tetapi isu yang diangkat adalah isu agama. Tak kalah dengan kasus-kasus di
luar, di negara kita pun telah menorehkan banyak tragedi konflik yang bermuara
pada persoalan agama seperti di Poso, Ambon, Tasikmalaya, dan lain sebaganya.[14]
Seperti yang sudah dijelaskan dalam penjelasan
mengenai bentuk dari Piagam Madinah, dalam membangun paradigma keberagamaan
inklusif pun terkandung didalamnya. Dalam Piagam Madinah tersebut mempunyai
empat hal pengertiannya dalam bernegara yaitu ; Pertama, mempersatukan
segenap kaum muslimin dari berbagai suku menjadi satu ikatan. Kedua,
menghidupkan semangat gotongroyong, hidup berdampingan, saling menjamin
keamanan diantara sesama warga negara. Ketiga, menetapkan bahwa setiap
warga masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata. Keempat, menjamin
persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lain dalam
mengurus kepentingan mereka. Konsep mengenai Piagam Madinah merupakan contoh
bahwa yuridis formal, Nabi Muhammad Saw., justru mengakui dan menghargai
terhadap pemeluk agama lain. Di dalam suatu negara ada kewajiban yang harus
saling diemban dan juga hak yang sama-sama diperoleh sebagai sesama warga
negara. Konsep ini memiliki relevansi terhadap kehidupan manusia yang memang
plural dalam banyak aspek. Mengingkari pluralisme hakikatnya adalah mengingkari
Sunnatullah yang memang Allah ciptakan di dalam kategori bersuku,
beretnis, atau berbangsa yang berbeda-beda. Seperti dalam firman-Nya ; Inna
khalaqnakum min dzakariw wa untsa waja’alnakum syu’ubaw waqabaila lita’arafu.[15]
Jika Pluralis merupakan realitas, maka
membangun kesadaran terhadap pluralitas (pluralisme) merupakan dimensi yang
sangat penting. Sebab, kesadaran terhadap pluralitas inilah yang seharusnya
menjadi landasan dalam bersikap, berinteraksi, dan membangun relasi sosial
secara luas. Tanpa kesadaran semacam ini, setiap perbedaan akan dinilai dalam
perspektif pejoratif yang harus ditundukan. Mereka yang berbeda dinilai sebagai
lawan, bukan sebagai kawan dialog yang setara.[16]
Dalam hal ini juga Aswaja NU memang lebih dekat dengan corak pemikiran Islam
Inklusif (pribumisasi Islam) atau melihat realitas yang ada. Dengan kata lain
corak Islam yang memiliki kedekatan bahkan akomodatif terhadap budaya lokal.
Sebagai pemikiran keagamaan yang mengedepankan tawazunisme, maka corak
pemikiran yang memang lebih cocok adalah yang bertipologi Inklusif.[17]
Dalam catatan Prof. Nur Syam doktrin
Aswaja NU, mempunyai empat ciri utama yaitu Pertama, Tawassuth
(moderat). Doktrin ini diambil dari cara berpikir pendahulu golongan Aswaja,
Imam Asy’ari, yang meletakkan doktrin pemikiran Qodariyah dan Jabariyah.
Qodariyah yang freewell dan Jabariyah yang fatalistik
pada posisi dialogis yang mengenkan. Manusia berusaha, tuhan yang menentukan.
Kedua, Tawazun (keseimbangan). Doktrin ini memberikan gambaran bahwa
religio-politik, sosial, ekonomi, dan budaya perlu dibangun keseimbangan.
Ketiga, I’tidal (keadilan). Adalah prinsip penting di dalam membangun
prinsip kepercayaan. Cultural trust yang akan dibangun tidak akan ada
artinya tanpa mengedepankan prinsip keadilan. Keempat, Tatharruf
(universalisme). Merupakan prinsip yang mengedepankan nilai-nilai kebenaran
Islam yang bersifat universal. Nilai ketuhanan, humanisme, keadilan, dan
keselamatan merupakan nilai-nilai universal yang tidak dapat ditawar-tawar
penerapannya.[18]
- Menuju
Masyarakat Indonesia yang Pluralis-Multikultural
Untuk menciptakan tatanan masyarakat
Indonesia yang multikultural tentu tidak mudah. Paling tidak, dibutuhkan
beberapa konsep yang mendukung demi terwujudnya tatanan multikultural yang
betul-betul berpijak pada konsep yang kuat dan tidak mudah terombang-ambing.
Inti cita-cita spirit reformasi adalah terbentuknya sebuah masyarakat sipil
yang demokratis, ditegakannya hukum, terselenggarakannya pemerintah yang bersih
dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial, terciptanya rasa aman, terjaminya
kelancaran produktivitas warga masyarakat dan kehidupan ekonomi yang
mensejahterakan masyarakat Indonesia. hasil reformasi ini adalah, bahwa
masyarakat Indonesia yang bercorak majemuk (plural society) yang
berisikan potensi kekuatan primordial yang ototriter-militeristik harus digeser
menjadi ideologi keanekaragaman kebudayaan atau ideologi multikuturalisme.[19] Dalam
konteksaktivis menurut Hendar Purwanto, multikulturalisme mencerminkan kaum
upaya kaum “kiri radikal” yang mau membalikan konsep masyarakat dan sejarah
yang dominan dan cenderung monokultural
yang dalam pandangan mereka dianggap sebagai konsep melanggengkan
praktik etnosentrisme dan rasis.[20]
Sebagaimana hukum keniscayaan (sunnatullah)
yang berlaku pada setiap hal yang terkait dengan dunia seisinya, maka
perbedaan, keragaman, heterogenitas dan apapun nama dan bentuknya, seakan tidak
dapat lagi dihindarkan. Rasanya sudah tidak mungkin lagi kita menemukan sebuah
tatanan masyarakat dengan satu bentuk budaya yang menjadi dasar dalam melakukan
tindakan dan alat untuk menafsirkan perilaku baik secara internal maupun
eksternal. Bahkan dalam satu etnis budaya saja sangat dimungkinkan terdapat
varian tradisi dan subkultur yang memiliki nilai dan bentuk yang berbeda-beda.
Perbedaan-perbedaan itu lahir dari posisi pada budaya etnis tersebut, apakah
budaya diletakan pada posisi sebagai pola bagi tindakan atau budaya sebagai
pola dari tindakan manusia dalam memahaminya. Masing-masing varian budaya
memiliki karakter khusus yang melekat erat dalam atribut, tingkah laku dan
identitas komunal di dalamnya, sehingga tiap varian dapat dibedakan dengan
varian lainnya.[21]
Yang menjadi tujuan dalam masyarakat
multikultural adalah menciptakan kehidupan bersama yang harmonis dan dinamis
dalam keberagaman. Maka hanya memperhatikan aspek keberagaman, atau hanya
memperhatikan kesamaan, akan menjadi sikap yang tidak berimbang dalam membangun
masyarakat multikultural. Dengan kata lain, pembentukan identitas diri oleh
kebudayaan tidak hanya menekankan pada aspek perbedaan melainkan kesamaan. Maka
dalam konsep Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, menurut Prof. Nur Syam
sendiri berpendirian bahwa maksudnya adalah kenikmatan besar kepada manusia
akan berarti manakala kenikmatan itu tidak hanya bercorak individual tetapi
kenikmatan bercorak komunal. Kita seringkali memaknai nikmat itu dari sisi
kenikmatan individual, padahal puncak kenikmatan itu adalah kenikmatan yang
dapat dirasakan oleh orang banyak.[22]
D. Kerangka Dasar
(Metodologi)
Pendekatan yang digunakan dalam buku
ini adalah menggunakan pendekatan Sosio-antropologis, Fenomenologis dan Historis.
Karena dalam bukunya lebih mengedepankan pembahasan mengenai
kasuistik-kasuistik yang sering terjadi didalam kehidupan masyarakat
(Indonesia), kemudian di dikaitkan antara sebab-sebab munculnya gejolak sosial yang
terjadi didalam tubuh masyarakat. Berbagai pendekatan tersebut digunakan dengan
maksud untuk menuangkan ide serta gagasan-gagasan yang dapat diambil sebagai
kajian Pluralis-multikulturalisme. Dengan harapan mampu memberikan kontribusi
bagi khasanah keilmuan akademik.
E. Kesimpulan
Buku ini memberikan gambaran mengenai
bagaimana agama dan budaya menjadi sangat problematik ketika memiliki implikasi
horizontal. Yaitu, satu keberagamaan, kebudayaan seseorang atau kelompok
tertentu bergesekan dengan kebudayaan kelompok lain. Perjumpaan antariman dan budaya dewasa ini, diakibatkan
adanya faktor-faktor eksternal seperti globalisasi, politik domestik, dan
kondisi sosial budaya. Selain faktor-faktor internal seperti penafsiran agama
dan budaya, juga telah melahirkan problem-problem fundamentalisme, konflik
antar agama, konflik etnis, serta ketegangan budaya.
Hal ini dimungkinkan agar ada upaya
dalam menjembatani perbedaan yang ada di maysarakat sehingga masyarakat tidak
tercerabut dari kebudayaannya sendiri. Karena dalam realitasnya, Indonesia
merupakan negara yang dikenal masyarakatnya dengan budaya gotongroyong, ramah
tamah, dan lain sebagainya. Oleh karena itu semakin penting adanya kesadaran akan identitas suatu
bangsa. Karena identitas suatu bangsa merupakan tumpuan yang kuat bukan hanya
bagi perkembangan pribadinya tetapi juga sebagai benteng pertahanan yang
melindungi pengaruh-pengaruh negatif dari kebudayaan global.
Dalam buku “Tantangan Multikulturalisme
Indonesia” Prof. Nur Syam menjelaskan bahwa salah satu bentuk upaya dalam
menjembatani persoalan-persoalan tersebut adalah melalui pancasila. Akan tetapi
pancasila ini diperlukan rumusan-rumusan yang lebih aplikabel tentang bagaimana
menerapkan pancasila tersebut sebagai pedoman bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Tentunya hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang, dan bukan
hanya seminar dalam sehari.
F. Kritik dan Saran
Dalam kajian Pluralisme-Multikulturalisme
yang dijelaskan oleh Prof. Nur Syam ini mengunakan pendektan Sosio-antropologis,
Fenomenologis dan Historis. Karenanya dalam pembahasan bukunya lebih banyak
pada kondisi masyarakat, mulai dari sebab-sebab munculnya gerakan-gerakan Islam
di Indonesia, pola pemikiran gerakan-gerakan Islam, sampai pada pandangan pluralisme-multikultural
menurut Islam. Namun yang menjadi kekurangan dalam buku ini adalah tidak banyaknya
singgungan mengenai konsep dari multikulturalisme itu sendiri, serta hanya
sedikit memberikan gambaran mengenai bagaimana konsep tersebut diimplementasikan,
kemudian pada aspek apa multikulturalisme itu di internalisasikan.
Oleh karena itu, penulis
merekomendasikan dalam membangun kesadaran tersebut adalah melalui jalur
pendidikan. Munurut hemat penulis jalur pendidikan merupakan jalan yang efektif
dalam mewacanakan pluralisme-multikultural. Karena pendidikan merupakan
instrumen yang diyakini memiliki peranan penting dan paling efektif dalam
proses internalisasi dan penyemaian nilai-nilai pluralis-multikultural. Yang
harus dilakukan kemudian, yaitu membangun kesadaran dan pemahaman generasi masa
depan akan pentingnya untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan,
demokrasi, kemanusiaan dan pluralisme dalam pergaulan di masyarakat. Oleh
karena itu, mengingat akan pentingnya kajian ini, maka pelunya langkah-langkah konkret
seperti ; seminar, workshop atau kajian-kajian yang lebih dalam tentang
Pluralisme-Multikulturalisme.
Daftar Pustaka
-
Nur Syam,
“Tantangan Multikulturalisme Indonesia
(dari radikalisme menuju kebangsaan)”, Kanisius, Yogyakarta
; 2009.
-
H.A.R. Tilaar, “Pendidikan, Kebudayaan, dan
Masyarakat Madani Indonesia”, Remaja Rosdakarya, Bandung ; 2002.
-
Baharuddin
dan Moh. Makin, “Pendidikan Humanistik”, Ar-ruz Media, Yogyakarta
; 2009.
-
Nagainun Naim dan Achamad Sauqi, “Pendidikan Multikultural (konsep dan
aplikasi), Ar-ruz Media, Yogyakarta ; 2008.
-
Andre Ata
Ujan dkk, “Multikulturalisme”, Indeks, Jakarta ; 2009.
-
Choirul
Mahfud, “Pendidikan Multikultural”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta ;
2008.
-
M. Ainul Yaqin, M.Ed., “Pendidikan Multikultural (cross cultural
understandinguntuk demokrasi dan keadilan)”, Pilar Media, Yogyakarta ; 2005
[1] Menurut Edwar B. Taylor definisi budaya adalah sebagai berikut ;
“Budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan
kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Periksa,
H.A.R. Tilaar, “Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia ”, (Remaja Rosdakarya, Bandung ; 2002).
[2] Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme Indonesia (dari radikalisme menuju kebangsaan)”,
Kanisius, Yogyakarta ; 2009, hal. 22.
[3] Budaya mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia karena
kebudayaan merupakan suatu wahana dimana anak-anak manusia untuk pertama kali
dan seterusnya mengalami proses pembelajaran menjadi manusia melalui relasinya
dengan sesamanya, alam dan yang Maha Tinggi dalam kehidupan sehari-hari yang
konkret dan apa adanya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan disebut sebagai life
word. Periksa, Andre Ata Ujan dkk, “Multikulturalisme”, Indeks, Jakarta ; 2009.
[4] Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme Indonesia ....,
hal. 160.
[5] Ibid, hal. 168
[6] Baharuddin dan Moh. Makin, “Pendidikan Humanistik”, Ar-ruz
Media, Yogyakarta ; 2009, hal. 17.
[7] Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme Indonesia ….,hal. 13
[8] Ibid, hal. 23
[9] Ibid hal. 27
[10] Ibid hal. 60
[11] Nagainun Naim dan Achamad Sauqi, “Pendidikan Multikultural
(konsep dan aplikasi), Ar-ruz Media, Yogyakarta
; 2008, hal. 129
[12] Ibid, hal. 133
[13] Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme Indonesia …..,hal. 196
[14] M. Ainul Yaqin, M.Ed., “Pendidikan Multikultural (cross cultural
understandinguntuk demokrasi dan keadilan)”, Pilar Media, Yogyakarta ;
2005, hal. 34
[15] Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme Indonesi….,hal. 61
[16] Nagainun Naim dan Achamad Sauqi,
“Pendidikan Multikultural ...,hal. 152
[17] Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme
Indonesia…,hal. 25
[19] Choirul Mahfud, “Pendidikan
Multikultural”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2008, hal. 98
[20] Andre Ata Ujan dkk, “Multikulturalisme”, Indeks, Jakarta ; 2009, hal. 156
[21] Seperti yang diungkapkan Geertz dalam mencermati budaya Jawa, ia
berpendapat bahwa pada kultur Jawa ada tiga varian yang disebut abangan, santri
dan priayi. Tiga varian tersebut dalam budaya Jawa juga memiliki subvarian
budaya masing-masing yang memiliki karakter tersendiri yang berbeda antar satu
dengan yang lain. Periksa, Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme Indonesia (dari radikalisme menuju kebangsaan)”,
(Kanisius, Yogyakarta ; 2009)
[22] Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme Indonesia ….,hal. 186
CASINOS to host two events of The Game at the Casino at
BalasHapusJCMH 통영 출장안마 Sportsbook and 하남 출장마사지 the California Game Show, held 안산 출장샵 at 777 Harrah's Rincon Way, 대구광역 출장마사지 Game will be held at 777 오산 출장마사지 Harrah's Rincon Way, Valley Center, CA 89526.