POTRET
PENDIDIKAN KITA
Oleh ; Jajat Darojat, S.Pd.I.,MSI
A.
Landasan
Berpikir
Berbicara mengenai pendidikan memang tidak ada habisnya.
Mulai dari persoalan moral (akhlak) sampai pada dataran status social seseorang.
Namun demikian juga pendidikan menjadi tolak ukur status social terhadap seseorang atau anak
didik. paradigma publik yang terbentuk adalah jika seorang anak didik masuk
dalam suatu lembaga pendidikan, maka dapat digolongkan apakah anak didik
tersebut status sosialnya termasuk golongan kelas atas, atau bahkan hanya kelas
bawah. Jadi sudah jelas
sekali dalam dunia pendidikan kita sudah ada sekat antara si kaya dan si
miskin. Lihat saja, ketika kita memandang sesorang belajar di kampus tertentu
maka main set seseorang terhadap mahasiswanya maka bisa ditebak status
sosialnya. Memang persoalan pendidikan merupakan persoalan sangat krusial sehingga
rawan akan berbagai kepentingan. Sehingga dapat dilihat bahwasannya persoalan kita
begitu kompleks dan ini menjadi tugas manusia sebagai Khalifah fil Ardl[1].
Pengertian secara epistemology
pendidikan adalah “sebagai usaha sadar yang dilakukan manusia” atau jika
meminjam perkataannya Mastuhu yaitu “memanusiakan manusia” atau
mengangkat harkat dan martabat manusia (Human
dignity),[2] maka Paulo Friere pun mengatakan
bahwa pendidikan merupakan jalan untuk menuju pembebasan yang permanen
dan itu terdiri dari dua tahap, yakni Pertama, dimana manusia menjadi
sadar akan pembebasan mereka, dan melalui praksis mengubah keadaan itu. Kedua,
dibangun di atas tahap pertama, yang merupakan sebuah proses tindakan
cultural yang membebaskan.[3] Jika kita mendefinisikan sendiri, maka
yang dapat kita artikan bahwa sesungguhnya pendidikan itu sebagai wadah
seseorang untuk menjadi lebih baik serta mampu menjawab persoalan yang ada
disekitarnya, sehingga manusia tersebut mampu menghadapi atau menjawab
tantangan zaman. Artinya pendidikan itu sebagai proses hominisasi dan
humanisasi terhadap manusia itu sendiri. Dengan kata
lain pendidikan bukan hanya membentuk manusia supaya cerdas akan tetapi
pendidikan juga membentuk manusia sebagai mahluk social, atau mahluk yang tidak
bisa hidup tanpa orang lain.
“Education for all” adalah
sebagai landasan seseorang atau suatu komunitas dalam penyelenggaraan
pendidikan. Sehingga seorang dalam menjalani pendidikan bertujuan untuk
menjawab persoalan-persoalan yang ada disekitarnya (problem solving)
atau secara universal mampu menjawab serta menghadapi tantangan zaman. Akan
tetapi sampai pada hari ini, peranan pendidikan sudah terreduksi dengan
berbagai kepentingan sekelompok orang, sehingga pendidikan terjadi derivasi (penyimpangan)
dalam pengertian yang sesuangguhnya. Dengan kata lain pendidikan hanya didapatkan oleh segelintir orang saja.
B.
Pendidikan
Berkarakter Bangsa
Pendidikan tidak
mungkin berada pada keadaan yang vakum akan budaya, begitipun sebaliknya. Jika
meminjam perkataanya dari tokoh antropologi yaitu Edward B. Tylor dalam bukunya "Primitive
Culture" yang terbit pada Tahun 1871 mendefinisikan atau menjelaskan
bahwa ; "Kebudayaan atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang
kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat,
serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat".[4]
Oleh karena itu kultur (budaya) yang dimiliki oleh
masyarakat adalah sebagai indentitas bangsa yang kemudian menjadi modal utama
dalam menciptakan pendidikan yang bersifat egaliter, demokratris, adil serta
mampu bersaing dalam kancah dunia internasional.
Hal ini dimungkinkan akan adanya pendidikan yang
bercorak pada suatu wilayah tertentu. Dengan kata lain, gaya
pendidikan kita pastinya berbeda dengan gaya
pendidikan di Negara-negara lain seperti Malaysia ,
Singapura , Thailand , dan lain sebagainya. Oleh
karena itu pendidikan di Negeri kita harus bercorak ke-Indonesiaan. Pemaknan
pendidikan yang berkarakter bangsa ini adalah pendidikan yang dikembalikan pada
corak kondisi masyarakat itu sendiri. Sehingga kebudayaan masyarakat tersebut
tidak tercerabut dari kebudayaannya sendiri.
Persoalanya adalah seperti apakah pendidikan yang
berkarakter bangsa itu.? Para Founding
father Negeri ini seharusnya sedari awal sudah menyadari bahwa bangsa ini
terdiri dari berbagai suku, agama, dan ras yang heterogen sehingga harus ada Common
platform yang bisa mempersatukannya[5].
Artinya dalam penyelenggaran pendidikan itu harus ada pelibatan antara
masyarakat, pemerintah (yang memberikan fasilitas) dan peserta didik. Ketiga
elemen ini seharusnya terlibat langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, serta
merumuskan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kemudian pertanyaannya selanjutnya adalah untuk siapakah
pendidikan itu diselenggarakan.? Seperti yang sudah dijelaskan di atas tadi, bahwa pendidikan untuk
kebudayaan dan kebudayaan untuk pendidikan. Oleh karena itu kebudayaan adalah
sebagai modal utama dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan kata lain identitas
suatu bangsa merupakan tumpuan yang kuat bukan hanya bagi perkembangan
pribadinya tetapi juga sebagai benteng pertahanan yang melindungi
pengaruh-pengaruh negatif dari kebudayaan global.[6]
Hal ini sudah jelas kiranya bahwa yang akan menghadapi suatu kondisi dan
perubahan atau tantangan zaman adalah masyarakat itu sendiri sehingga
pendidikan itu dikembalikan kepada pemilik yang sebenarnya (masyarakat). Oleh
karena itu pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar
dan terdidik, namun jauh lebih penting lagi adalah pendidikan mewujudkan
manusia yang terdidik dan juga memiliki kepekaan terhadap budaya (Educated
and Civilized Human Being) juga berdasarkan pada peserta didik, atau pasar.[7]
C.
Perbandingan
Pendidikan Indonesia
Dengan Negara-Negara Lain
Sebagai masyarakat dan bangsa sendiri, rasanya sangat
menyedihkan jika menilik lebih jauh akan kondisi Negara kita. Karena dalam
dunia prestasi dalam pergaulan Internasional hampir-hampir tidak ada yang
monumental dan dapat dibanggakan prestasinya. Dalam dunia pengembangan Sumber
Daya Manusia (SDM), kita berada dalam urutan yang terbawah, yaitu peringkat
ke-102 dari 162 Negara di tahun 2002. indeks kompetisi kita juga sangat rendah,
yaitu peringkat ke-47 dari 47 Negara yang
disurvei pada tahun 2003 dan peringkat ke-49 dari 49 Negara di tahun 2004. Kemudian selain itu juga tingkat
kemiskinan semakin naik dan bertambah dari tahun ketahun. Didukung dengan
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam kenaikan BBM pada tahun 2005, jumlah itu
semakin meningkat drastis. Pada tahun 2004 jumlah kemiskinan sebanyak 16,7%,
dan pada tahun Agustus 2005 naik menjadi 18,4%. Disisi lain angka pengangguran
semakin mencuat ke atas dari 9,9% menjadi 10,3%.[8]
Hal ini mengindikasikan bahwa peranan pendidikan tidak memberikan kontribusi apa-apa
terhadap masyarakat kita (Indonesia).
Jika kita melirik pada dunia
pendidikan, juga sama halnya yaitu berada pada posisi yang tidak begitu
membanggakan. Peringkat dunia pendidikan kita di Asia yaitu berada dibawah
Vietnam. Indonesia berada pada urutan ke-12 dibawah urutan Vietnam yang berada
pada urutan ke-11. Sementara Singapura di urutan ke-2, Malaysia di urutan ke-7,
Philipina ke-9, dan Thailand berada diurutan ke-10. Kualitas lembaga pendidikan
kita juga belum baik. Dari sekitar 2000 perguruan tinggi, hanya 3 saja yang
masuk kategori 100 perguruan tinggi di Asia, yaitu UI peringkat ke-64, UGM
ke-68, dan Undip ke-71.
Kemudian jika ditinjau dari
segi pembiayaan pendidikan juga sangat menyedihkan, sebab berdasarkan survei di
tahun 2005, Indonesia berada diperingkat bawah untuk Asia Tenggara dengan
anggaran pendidikan sebesar 10,2% yang jauh dibawah Malaysia yang sudah
mencapai 20,2%, Singapura 19%, Thailand 19% dan Philipina 17%. Ini sangat
ironis sekali, jika dilihat dari sudut pandang kepedulian atau perhatian
terhadap dunia pendidikan di Negara kita. Itupun dari anggaran pendidikan kita
yang 10,2% hanya terrealisasi 9,8%.[9]
Inilah potret pendidikan kita sekarang ini, dan tidak menutup kemungkinan
persoalan ini hanya butiran debu-debu kecil dari sekelumit persoalan yang
menimpa Negeri kita. Jika kita melihat lebih jauh lagi mengenai sistem
pendidikan dari aspek lainnya, maka mungkin bagi kita yang tahu akan
menggeleng-gelengkan kepala, betapa buruknya kondisi pendidikan di Negeri kita
ini.
[1] “Manusia sebagai delegasi Tuhan dimuka bumi, manusia dapat
melaksanakan peran yang sangat penting, agar hubungan antar manusia tidak
didistorsi oleh kepentingan atas nama kelompok, golongan dan lain sebagainya.
Inti dari kemanusiaan adalah equalitas, keadilan,kemerdekaan, dan keselamatan
yang didasari oleh ajaran agama”. Lihat catatan buku Nur Syam, “Tantangan
Multikulturalisme Indonesia
(dari radikalisme menuju kebangsaan)”, hal. 195.
[2]Djohar & Abd. Rochman assegaf, Pendidikan Transformatif, Sukses Offset, Yogyakarta ,
2010, hal. 20.
[3] Ngainun Naim & Ahmad Sauqi, “Pendidikan Multikultural
(konsep dan Aplikasi)”, Ar-ruz, Yogyakarta
; 2008, hal. 31.
[4] H.A.R Tilaar, Pendidikan,
Kebudayaan, dan Masyrakat Madani Indonesia ,
Rosdakarya, Bandung ,
2002, hal. 39.
[5] Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme Indonesia (dari radikalisme menuju kebangsaan)”,
Kanisius, Yogyakarta ; 2009, hal. 160.
[6] H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan
Nasional, Rineka Cipta, Jakarta , 2004, hal. 17.
[7] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21,
Safiria Insania Press & MSI UII, Yogyakarta, 2004, hal. 33.
[8] Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme Indonesia …, hal. 178.
[9] Ibid, hal. 179.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar