Pages

Senin, 18 Maret 2013


POTRET PENDIDIKAN KITA
Oleh ; Jajat Darojat, S.Pd.I.,MSI

A.    Landasan Berpikir
Berbicara mengenai pendidikan memang tidak ada habisnya. Mulai dari persoalan moral (akhlak) sampai pada dataran status social seseorang. Namun demikian juga pendidikan menjadi tolak ukur  status social terhadap seseorang atau anak didik. paradigma publik yang terbentuk adalah jika seorang anak didik masuk dalam suatu lembaga pendidikan, maka dapat digolongkan apakah anak didik tersebut status sosialnya termasuk golongan kelas atas, atau bahkan hanya kelas bawah. Jadi sudah jelas sekali dalam dunia pendidikan kita sudah ada sekat antara si kaya dan si miskin. Lihat saja, ketika kita memandang sesorang belajar di kampus tertentu maka main set seseorang terhadap mahasiswanya maka bisa ditebak status sosialnya. Memang persoalan pendidikan merupakan persoalan sangat krusial sehingga rawan akan berbagai kepentingan. Sehingga dapat dilihat bahwasannya persoalan kita begitu kompleks dan ini menjadi tugas manusia sebagai Khalifah fil Ardl[1].
Pengertian secara epistemology pendidikan adalah “sebagai usaha sadar yang dilakukan manusia” atau jika meminjam perkataannya Mastuhu yaitu “memanusiakan manusia” atau mengangkat harkat dan martabat manusia (Human dignity),[2] maka Paulo Friere pun mengatakan  bahwa pendidikan merupakan jalan untuk menuju pembebasan yang permanen dan itu terdiri dari dua tahap, yakni Pertama, dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka, dan melalui praksis mengubah keadaan itu. Kedua, dibangun di atas tahap pertama, yang merupakan sebuah proses tindakan cultural yang membebaskan.[3] Jika kita mendefinisikan sendiri, maka yang dapat kita artikan bahwa sesungguhnya pendidikan itu sebagai wadah seseorang untuk menjadi lebih baik serta mampu menjawab persoalan yang ada disekitarnya, sehingga manusia tersebut mampu menghadapi atau menjawab tantangan zaman. Artinya pendidikan itu sebagai proses hominisasi dan humanisasi terhadap manusia itu sendiri. Dengan kata lain pendidikan bukan hanya membentuk manusia supaya cerdas akan tetapi pendidikan juga membentuk manusia sebagai mahluk social, atau mahluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain.
“Education for all” adalah
sebagai landasan seseorang atau suatu komunitas dalam penyelenggaraan pendidikan. Sehingga seorang dalam menjalani pendidikan bertujuan untuk menjawab persoalan-persoalan yang ada disekitarnya (problem solving) atau secara universal mampu menjawab serta menghadapi tantangan zaman. Akan tetapi sampai pada hari ini, peranan pendidikan sudah terreduksi dengan berbagai kepentingan sekelompok orang, sehingga pendidikan terjadi derivasi (penyimpangan) dalam pengertian yang sesuangguhnya. Dengan kata lain pendidikan hanya didapatkan oleh segelintir orang saja.
B.     Pendidikan Berkarakter Bangsa
Pendidikan tidak mungkin berada pada keadaan yang vakum akan budaya, begitipun sebaliknya. Jika meminjam perkataanya dari tokoh antropologi yaitu Edward B. Tylor dalam bukunya "Primitive Culture" yang terbit pada Tahun 1871 mendefinisikan atau menjelaskan bahwa ; "Kebudayaan atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat".[4] Oleh karena itu kultur (budaya) yang dimiliki oleh masyarakat adalah sebagai indentitas bangsa yang kemudian menjadi modal utama dalam menciptakan pendidikan yang bersifat egaliter, demokratris, adil serta mampu bersaing dalam kancah dunia internasional.
Hal ini dimungkinkan akan adanya pendidikan yang bercorak pada suatu wilayah tertentu. Dengan kata lain, gaya pendidikan kita pastinya berbeda dengan gaya pendidikan di Negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan lain sebagainya. Oleh karena itu pendidikan di Negeri kita harus bercorak ke-Indonesiaan. Pemaknan pendidikan yang berkarakter bangsa ini adalah pendidikan yang dikembalikan pada corak kondisi masyarakat itu sendiri. Sehingga kebudayaan masyarakat tersebut tidak tercerabut dari kebudayaannya sendiri.
Persoalanya adalah seperti apakah pendidikan yang berkarakter bangsa itu.? Para Founding father Negeri ini seharusnya sedari awal sudah menyadari bahwa bangsa ini terdiri dari berbagai suku, agama, dan ras yang heterogen sehingga harus ada Common platform yang bisa mempersatukannya[5]. Artinya dalam penyelenggaran pendidikan itu harus ada pelibatan antara masyarakat, pemerintah (yang memberikan fasilitas) dan peserta didik. Ketiga elemen ini seharusnya terlibat langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, serta merumuskan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kemudian pertanyaannya selanjutnya adalah untuk siapakah pendidikan itu diselenggarakan.? Seperti yang sudah dijelaskan di atas tadi, bahwa pendidikan untuk kebudayaan dan kebudayaan untuk pendidikan. Oleh karena itu kebudayaan adalah sebagai modal utama dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan kata lain identitas suatu bangsa merupakan tumpuan yang kuat bukan hanya bagi perkembangan pribadinya tetapi juga sebagai benteng pertahanan yang melindungi pengaruh-pengaruh negatif dari kebudayaan global.[6] Hal ini sudah jelas kiranya bahwa yang akan menghadapi suatu kondisi dan perubahan atau tantangan zaman adalah masyarakat itu sendiri sehingga pendidikan itu dikembalikan kepada pemilik yang sebenarnya (masyarakat). Oleh karena itu pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar dan terdidik, namun jauh lebih penting lagi adalah pendidikan mewujudkan manusia yang terdidik dan juga memiliki kepekaan terhadap budaya (Educated and Civilized Human Being) juga berdasarkan pada peserta didik, atau pasar.[7]
C.    Perbandingan Pendidikan Indonesia Dengan Negara-Negara Lain
Sebagai masyarakat dan bangsa sendiri, rasanya sangat menyedihkan jika menilik lebih jauh akan kondisi Negara kita. Karena dalam dunia prestasi dalam pergaulan Internasional hampir-hampir tidak ada yang monumental dan dapat dibanggakan prestasinya. Dalam dunia pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), kita berada dalam urutan yang terbawah, yaitu peringkat ke-102 dari 162 Negara di tahun 2002. indeks kompetisi kita juga sangat rendah, yaitu peringkat ke-47 dari 47 Negara  yang disurvei pada tahun 2003 dan peringkat ke-49 dari 49 Negara di tahun 2004. Kemudian selain itu juga tingkat kemiskinan semakin naik dan bertambah dari tahun ketahun. Didukung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam kenaikan BBM pada tahun 2005, jumlah itu semakin meningkat drastis. Pada tahun 2004 jumlah kemiskinan sebanyak 16,7%, dan pada tahun Agustus 2005 naik menjadi 18,4%. Disisi lain angka pengangguran semakin mencuat ke atas dari 9,9% menjadi 10,3%.[8] Hal ini mengindikasikan bahwa peranan pendidikan tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap masyarakat kita (Indonesia).
Jika kita melirik pada dunia pendidikan, juga sama halnya yaitu berada pada posisi yang tidak begitu membanggakan. Peringkat dunia pendidikan kita di Asia yaitu berada dibawah Vietnam. Indonesia berada pada urutan ke-12 dibawah urutan Vietnam yang berada pada urutan ke-11. Sementara Singapura di urutan ke-2, Malaysia di urutan ke-7, Philipina ke-9, dan Thailand berada diurutan ke-10. Kualitas lembaga pendidikan kita juga belum baik. Dari sekitar 2000 perguruan tinggi, hanya 3 saja yang masuk kategori 100 perguruan tinggi di Asia, yaitu UI peringkat ke-64, UGM ke-68, dan Undip ke-71.
Kemudian jika ditinjau dari segi pembiayaan pendidikan juga sangat menyedihkan, sebab berdasarkan survei di tahun 2005, Indonesia berada diperingkat bawah untuk Asia Tenggara dengan anggaran pendidikan sebesar 10,2% yang jauh dibawah Malaysia yang sudah mencapai 20,2%, Singapura 19%, Thailand 19% dan Philipina 17%. Ini sangat ironis sekali, jika dilihat dari sudut pandang kepedulian atau perhatian terhadap dunia pendidikan di Negara kita. Itupun dari anggaran pendidikan kita yang 10,2% hanya terrealisasi 9,8%.[9] Inilah potret pendidikan kita sekarang ini, dan tidak menutup kemungkinan persoalan ini hanya butiran debu-debu kecil dari sekelumit persoalan yang menimpa Negeri kita. Jika kita melihat lebih jauh lagi mengenai sistem pendidikan dari aspek lainnya, maka mungkin bagi kita yang tahu akan menggeleng-gelengkan kepala, betapa buruknya kondisi pendidikan di Negeri kita ini.


[1] “Manusia sebagai delegasi Tuhan dimuka bumi, manusia dapat melaksanakan peran yang sangat penting, agar hubungan antar manusia tidak didistorsi oleh kepentingan atas nama kelompok, golongan dan lain sebagainya. Inti dari kemanusiaan adalah equalitas, keadilan,kemerdekaan, dan keselamatan yang didasari oleh ajaran agama”. Lihat catatan buku Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme Indonesia (dari radikalisme menuju kebangsaan)”, hal. 195.
[2]Djohar & Abd. Rochman assegaf, Pendidikan Transformatif, Sukses Offset, Yogyakarta, 2010, hal. 20.
[3] Ngainun Naim & Ahmad Sauqi, “Pendidikan Multikultural (konsep dan Aplikasi)”, Ar-ruz, Yogyakarta ; 2008, hal. 31.
[4] H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyrakat Madani Indonesia, Rosdakarya, Bandung, 2002, hal. 39.
[5] Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme Indonesia (dari radikalisme menuju kebangsaan)”, Kanisius, Yogyakarta ; 2009, hal. 160.
[6] H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 17.
[7] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21, Safiria Insania Press & MSI UII, Yogyakarta, 2004, hal. 33.
[8] Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme Indonesia…, hal. 178.
[9] Ibid, hal. 179.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar