HOLISTIKA
PENDIDIKAN NASIONAL
Proses pendidikan
adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia, karena
manusia sebagai makhluk yang independen mempunyai kebebasan dalam upaya
mengkreasi dirinya dalam setiap dinamika sosial yang terjadi. Namun kebebasan
tersebut tidak lahir secara instan dan datang begitu saja, akan tetapi perlu
adanya kesadaran dan indentifikasi terhadap kesadaran serta kenyataan yang ada
disekitarnya. Kesadaran inilah yang disebut oleh Paulo Freire dengan
“pendidikan pembebasan”. Oleh karena itu dalam pendidikan pembebasan, Freire meletakkan
manusia sebagai subyek dari proses pendidikan dan realitas sebagai obyeknya,
dan hal ini ia sebut dengan konsep pendidikan yang “memanusiakan manusia.”
Dalam wilayah pendidikan pembebasan, peserta didik dan pendidik dianggap sama
derajatnya, hanya saja pendidik dalam proses pendidikan adalah evaluator,
motivator, pasilitator, korektor, dan lainnya, sehingga peserta didik adalah
sebagai pelaku dari proses pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, metode
tersebut mendasarkan diri pada dialog dan partisipasi antara personil
pendidikan, yang merupakan hubungan horizontal antara peserta didik dan
pendidik. Hal ini dimaksudkan, bahwa pendidikan bukanlah suatu proses
indoktrinasi, konsevatif (pendidikan ala banking).
Pendidikan ala banking adalah
pendidikan yang hanya menitik beratkan pada transfer ilmu, dari satu orang ke
orang lain.
Dalam konsep pendidikan
tersebut, Freire menjelaskan bahwa syarat utama dalam proses pendidikannya
dibutuhan dialogis-partisipatoris sehingga terjadi kesadaran yang utuh, yang
bersandar pada suatu kenyataan ilmiah. Artinya proses pendidikan tidak seperti
“menara gading” yang memisahkan manusia dengan kehidupannya. Secara sederhana,
Freire sendiri mendeskripsikan kesadaran manusia (consciousness) dalam proses pendidikan, terbagi
menjadi tiga yaitu;
1. Kesadaran magis (magical consciousness), yakni tingkat
kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dan faktor
lainnya. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun
supra natural) sebagai penyebab dan ketidak berdayaan. Proses yang menggunakan
logika ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan
struktur terhadap suatu permasalahan masyarakat.
2. Kedua, Kesadaran naif (naival consciousness), kesadaran yang
dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi
akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini masalah etika
kreativitas, need for achievment dianggap sebagai penentu perubahan
sosial. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan
struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah baik dan benar, merupakan
faktor given dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas
pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar peserta didik bisa
masuk dan beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
3. Ketiga, Kesadaran kritis (critical consciousness), kesadaran ini
lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Lebih
menganalisis untuk secara kritis dan menyadari struktur serta sistem sosial,
politik, ekonomi, dan budaya serta akibat pada keadaan masyarakat. Paradigma
kritis dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis
bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana
menstransformasikannya.
Proses pendidikan bisa
terjadi dimana dan kapan saja, maka sebagaimana disebutkan oleh Paulo Freire
hal tersebut ia jelaskan dalam teorinya long
life education, atau menurut Lodge sendiri disebut dengan life is education dan education is life.
Dalam wajah pendidikan
Nasional, Indonesia telah membentuk sejarah pendidikan (legal formal) yang
cukup panjang. Mulai dari masa kolonialisme, pendidikan di Indonesia terjadi
pada periode penjajahan Belanda. Di mana pendidikan pada saat itu adalah bentuk
apiliasi dari kebijakan politik Etis
yang salah satunya adalah pendidikan (education).
Namun pada saat ini pendidikan hanya dipandang sebagai alat kolonial untuk
menciptakan buruh kasar dan buruh berdasi. Dalam lingkup akses pendidikan pun
terjadi dislokasi terhadap golongan-golongan tertentu. Dengan kata lain,
pendidikan pada periode ini masih melihat golongan atau status sosial saja yang
bisa mendapatkan pendidikan, dan golongan yang dimaksud adalah kaum-kaum
priyayi, bangsawan dan lainnya. Sejarah kelam pendidikan tersebut bisa
dijadikan alat untuk merepleksikan pendidikan kita mulai dari Orde Lama, Orde
Baru, hingga pasca reformasi saat ini.
Secara tegas,
pendidikan Orde Lama di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang
bebas terhadap pendidikan. Walaupun tidak seutuhnya sesuai dengan harapan bagi
bangsa Indonesia pada saat itu, akan tetapi pada periode ini Soekarno mencoba
memperbaiki karakter bangsa dari bentuk-bentuk penindasan kolonial. Konsep
pemerintahan Soekarno yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana
pendidikan akan dibentuk, dijalankan, dan dilakoni sedemikian rupa demi
kesejahteraan bangsa dari keterpurukan masa lalu. Yang pasti, konsep sosialisme
dalam pendidikan memberikan prinsip dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua
kelompok masyarakat tanpa memandang dari klas sosial apapun mereka berasal.
Tidak hanya itu saja sosialisme memberikan penghargaan setinggi-tingginya
terkait derajat yang sama di depan hukum dan kemanusiaan sehingga tidak ada
yang dibedakan karena faktor, budaya, suku, agama, ras, maupun golongan. Ada
penghargaan yang luar biasa ditunjukan dalam pendidikan sosialisme yang
dijalankan tersebut.
Masih tergambar dalam
ingatan kita, bahwa pada masa Orde Baru merupakan orde pembangunanisme nasional.
Ini menunjukan bahwa telah terjadi lokalisasi pendidikan, yakni diarahkan pada
pembangunan nasional. Pada periode ini juga telah memunculkan konsep link and mach. Dari konsep tersebut
termuat sebuah kebijakan yang terjalin hubungan antara dunia pendidikan dan
dunia perusahaan. Maka, pendidikan pun bukan lagi melahirkan manusia-manusia
yang terdidik, yang siap mengabdi pada bangsa guna melakukan perubahan, namun
mereka berada di bawah kendali para penguasa, pengusaha, dan elemen lain yang
memiliki modal besar. Pendidikan pada periode ini tidak ubahnya seperti “mesin”
raksasa yang siap memproduksi buruh-buruh profesional, yang siap diposisikan
sebagai penyokong keberlangsungan dan kemajuan usaha para majikannya.
Pendidikan yang demikian hanya melahirkan para jongos, mereka mengabdi sepenuhnya untuk para majikan yang secara take for granted, menerima begitu saja
dan siap memperjuangkan segala hal yang dikejar sang majikan. Lebih ironi lagi,
pendidikan demikian hanya melahirkan para tenaga yang siap masuk pabrik-pabrik
untuk dipekerjakan sebagai tenaga kerja. Salah satu dari dampak kebijakan pada
masa Orde Baru ini adalah dengan munculnya sekolah-sekolah kejuruan seperti
STM, SMK, dan lainnya.
Menginjak pada masa
pasca reformasi, dunia pendidikan tidak ada hentinya dirundung masalah
kemanusiaan. Pendidikan pada saat ini pun tidak ubahnya pada masa kolonialisme
dan Orde Baru. Karena, ternyata dunia pendidikan kita saat ini belum keluar
dari permasalahan mendasar dalam proses pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan
masih digiring pada lokalisasi pendidikan. Munculnya lembaga-lembaga pendidikan
yang bertaraf internasional seperti Rintisan Sekalah Bertaraf Internasional
(RSBI) telah menyingkirkan masyarakat pada dunia pendidikan formal. Akibatnya,
pendidikan dijadikan barang “komoditi” yang tidak sembarang orang bisa
mendapatkan pendidikan yang layak. Artinya, dalam hal ini pendidikan telah
terjadi komersialisasi pendidikan. Ibarat barang yang diperjual-belikan,
pendidikan saat ini mempunyai level dan “harga” yang berbeda-beda. Kenyataan
pendidikan pada saat ini telah melenceng dari tujuan dan hakikat pendidikan
(panggang jauh dari bara). Pendidikan yang seharusnya menyelesaikan masalah (problem solving), justru sampai saat ini
pendidikan masih menimbulkan persoalan bagi bangsa kita. Dan ternyata, bangsa
kita saat ini seutuhnya belum mendapatkan haknya sebagai warga negara. Artinya,
penjajahan baru (neo-kolonialisme) masih merundung bangsa kita. Pendidikan
hanya dijadikan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Tidak sampai di
situ saja, pendidikan telah menciptakan mental-mental “ijasah”, yang siap untuk
menjadi buruh di salah satu wilayah.
Alhasil, pendidikan
dalam konteks hari ini masih terpisah dari masyarakat sehingga bangsa kita
masih berada dalam lubang neo-kolonialisme. Oleh karena itu, tujuan pendidikan
harus mengacu pada pendidikan kritis, yang mendorong sebuah upaya untuk
melahirkan bangunan berfikir, yang gelisah terhadap realitas sosial yang sedang
terjadi di masyarakat. Pendidikan kritis mendukung satu gerakan dan pergerakan
paradigma yang berbasis pada realitas dan kekuatan berfikir kritis yang
antikemapanan, karena yang diharapkan dalam konsep pendidikan tersebut adalah
adanya produk-produk pendidikan yang menghendaki perubahan pada masyarakat.
Oleh karena itu, pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang berwatak kerakyatan
(egaliter) dan bersifat demokratis dan berpola nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar