Pendidikan
Pembebasan Dalam Konfigurasi Paulo Freire
Oleh
; Jajat Darojat, S.Pd.I.,MSI
Membicarakan pendidikan
akan selalu hangat untuk didiskusikan, berbagai lokus serta latar belakang
kehidupan yang berbeda-beda membuat pendidikan tidak menemukan titik finis
dalam perkembangannya. Alasan paling mendekati adalah adanya perkembangan serta
peradaban manusia yang selalu berkembang, walaupun pada dasarnya perkembangan
manusia tersebut tidak terlepas dari proses pendidikan yang dijalani oleh
manusia. Oleh karena itu, dua elemen penting yang menjadi fundamen dalam proses
pendidikan adalah manusia dan realitas dunia. Artinya, elemen yang pertama,
yang disebut manusia adalah sebagai subyek yang sadar (cognitive), sementara elemen yang kedua merupakan obyek yang
tersadari atau disadari (cognizable).
Hubungan dialektis inilah yang terdapat pada proses pendidikan. Oleh karena itu,
melalui sistem pendidikan yang menentukan serta membentuk “karakter”, cara
pandang manusia terhadap dunia dan lingkungannya. Maka hal tersebut dapat
digambarkan dalam skema sebagai berikut;

Sistem
pendidikan
Sistem
pendidikan yang disebut Paulo Freire dengan istilah “pendidikan gaya Bank” (Banking concept of education) adalah
salah satu pendidikan yang pernah diterapkan di Brazil. Dalam konstelasi pendidikan
gaya Bank ini, Freire menjelaskan adanya praktek pendidikan yang dogmatis
karena
tidak terjadinya ruang dialog dan partisipasi dari peserta didik (dehumanisasi)
sebagai subyek dari proses pendidikan. Pendidikan gaya Bank ini tidak ubahnya
seperti “mesin raksasa”, yang menciptakan manusia-manusia yang siap pakai, yang
menumpulkan daya pikir kritis manusia terhadap dirinya dan lingkungan. Paulo
Freire memberanikan diri untuk mengkritisi sistem pendidikan yang pernah ada
pada saat itu. Melalui fenomena ini Freire menjawab fenomena tersebut dengan
konsep “Pendidikan Pembebasan”, lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam proses
pendidikan harus bertujuan memanusiakan manusia. Artinya, pendidikan yang dimaksud
mempunyai tujuan proses humanisasi dan proses hominisasi dalam sistem
pendidikannya sehingga dalam proses pendidikan bersifat Dialogis-Partisipatoris.
Maka, dalam skema tergambar sebagai berikut;![]() |
Proses
pendidikan
![]() |
Dari
skema tersebut, Freire memposisikan peserta didik dan pendidik sebagai subyek
dari proses pendidikan, kemudian realitas yang menjadi obyek pendidikan, dan
pendidik sendiri diposisikan sebagai evaluator, motivator, pasilitator,
inspirator, dst. Sehingga proses pendidikan yang bernuansa
dialogis-partisipatoris adalah terjadinya hubungan komunikasi-interkomunikasi
antar keduanya untuk membahas realitas dan dirinya sebagai perubah kondisi. Hal
ini dimaksudkan untuk menularkan sikap kritis manusia yang menjalani proses
pendidikan sehingga ia sadar akan diri dan lingkungannya. Kemudian disamping
bernuansa dialog juga terdapat partisipasi dalam proses perubahan realitas,
sebagai tindakan (action) dari proses
pendidikan. Artinya, dalam proses perubahan dan memperbaharui realitas perlu
pelibatan dari peserta didik. Alhasil, dalam proses pendidikan yang bernuansa dialogis-partisipatoris
adalah hubungan horisontal yang dibangun antara peserta didik dan pendidik.
Karena menurut Freire, hubungan yang antidialog adalah hubungan yang anti
empati sehingga tidak adanya penumbuhkan sikap kritis atau disebut dengan
kesadaran kritis.
Dalam
konfigurasi pemikiran Paulo Freire mengenai pendidikan pembebasan adalah bagian
dari agenda kemanusiaan, maka dalam konteks ini Freire memposisikan pendidikan
sebagai pembedah terhadap carut marutnya kehidupan yang dihadapi manusia.
Tatkala membicarakan kemanusiaan, maka disitu terdapat misi-misi kemanusiaan
untuk melahirkan suatu tatanan kehidupan yang baru, kehidupan yang mengarah
pada konstruksi-positif, menuju keterbukaan cakrawala manusia dari kungkungan neo-kolonialisme.
Dari pendidikan pembebasan ini, Freire mengelompokan tiga kesadaran manusia
yang diciptakan dari hasil proses pendidikan, hal itu diantaranya adalah;
1.
Kesadaran Magis
(magical consciousness)
Yakni tingkat
kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dan faktor
lainnya. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun
supra natural) sebagai penyebab dan ketidak berdayaan. Proses yang menggunakan
logika ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan
struktur terhadap suatu permasalahan masyarakat.
2.
Kesadaran Naif (naival
consciousness)
Kesadaran yang dikategorikan dalam
kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab
masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini masalah etika kreativitas, need for
achievment dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Pendidikan dalam
konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan
struktur yang ada adalah baik dan benar, merupakan faktor given dan oleh
sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat
dan mengarahkan agar peserta didik bisa masuk dan beradaptasi dengan sistem
yang sudah benar tersebut.
3.
Kesadaran Kritis
(critical consciousness)
Kesadaran ini
lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan
struktur menghindari ‘blaming the victims’ dan lebih menganalisis untuk
secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, dan
budaya serta akibat pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam sistem dan
struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan
struktur itu bekerja, serta bagaimana menstransformasikannya. Tugas pendidikan
dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta
pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara
fundamental baru dan lebih baik.
Freire
menjelaskan bahwa, pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan
penjinakan sosial-budaya dan pendidikan pembebasan bukan untuk penguasaan atau
dominasi. Pendidikan yang memanusiakan manusia juga dapat dijelaskan sebagai
pendidikan yang tidak menjauhkan atau memisahkan manusia dengan kehidupannya
sehingga ia layaknya “menara gading” yang jauh dari realitas atau lingkungan. Dari
hasil pembahasan singkat di atas, maka dapat ditarik asumsi dasar dari
pendidikan pembebasan yang digagas oleh Paulo Freire tersebut adalah sebagai
berikut;
1.
Pendidikan yang
memerdekakan manusia dari segala kepentingan individu/ kelompok tertentu
(memanusiakan manusia)
2.
Pendidikan yang
berwawasan paradigma kritis
3.
Pendidikan yang
anti rasisme, etnisisme, klasisme
4.
Pendidikan yang
berwatak egalitarianisme
5.
Pendidikan yang
bernuansa dialogis-partisipatoris
6.
Pendidikan yang tanpa
henti (long life education).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar