Pages

Senin, 18 Maret 2013


KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
Manusia adalah makhluk sosial (social human) yang memiliki kemampuan, keinginan, akal pikiran, rasio, dan segala potensi lainnya yang meliputi kemampuan skill. Dalam kategori lain, manusia juga dapat dikatakan sebagai makhluk sosial yaitu  makhluk yang memiliki sejarah masa lalu, masa kini, dan akan memiliki masa yang akan datang. Maka, dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk pendidikan (the create education), karena ia senantiasa memiliki pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang didapatkan tersebut akan berpengaruh terhadap segala potensi yang disebutkan di atas tadi, seperti pemikiran, keinginan, kemampuan, bahkan pada karakter manusia itu sendiri. Pendidikan merupakan proses atau upaya manusia dalam meningkatkan taraf derajat dan martabat manusia dan kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain bahwa pendidikan adalah salah satu bagian dari kegiatan manusia yang tidak dapat terpisahkan dalam interaksi sosial masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan suatu yang inheren dalam kegiatan manusia. Namun dalam pengertian lama, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jadi segala sesuatu dalam kehidupan masyarakat, baik dalam hal adat, budaya, bahkan kepercayaan adalah bagian dari proses pewarisan budaya atau disebut dengan pendidikan. Maka dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan proses terciptannya pengalaman hidup manusia. Dan dari proses terciptanya pengalaman masa lalu dan masa sekarang tersebut manusia dapat mengambil pelajaran dan merencanakan sesuatu terhadap masa depan hidupnya.
Begitu pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia. Maka hal ini sangat riskan terhadap suatu eksistensi manusia dalam interaksi manusia. Artinya, proses pendidikan akan terhambat ketika proses pencapaian tujuan pendidikan tersebut terdistorsi oleh kepentingan golongan masyarakat tertentu. Pada dasarnya, pendidikan adalah hak prerogratif manusia yang seharusnya terjaga dari kepentingan manusia lain. Karena itu, pendidikan seharusnya tidak terbatas oleh suatu golongan, klas sosial, status sosial, usia, maupun yang lainnya. Namun jika pendidikan itu hanya sebatas pada proses dogmatisasi paradigma, maka yang akan terjadi adalah proses just men atau truth claim antara satu paradigma dengan paradigma lain, manusia dengan manusia lain. Dalam proses pendidikan tidak ada keberpihakan, harus murni dengan tujuan kemanusiaan atau disebut dengan memanusiakan manusia (Paulo Friere). Walaupun kebijakan pendidikan nasional telah menjamin kebebasan untuk mendapatkan pendidikan bagi masyarakat. Namun pada kenyataannya, pendidikan nasional masih mendikotomi golongan tertentu untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan masih seperti barang komoditi di pasaran yang memiliki harganya masing-masing. Pendidikan menjadi barang berharga bagi masyarakat klas bawah, dan bahkan menjadi barang yang sulit untuk didapatkan. Artinya pendidikan telah teralienasi dari suatu masyarakat seperti hal layaknya “menara gading” yang jauh dari realitas sosial. Padahal pendidikan adalah alat untuk memecahkan permasalahan sosial (problem solving) yang terkait dengan kemanusiaan. Jika pendidikan selayaknya “menara gading” yang jauh dari realitas sosial maka tujuan pelaksanaan pendidikan telah terdistorsi oleh kepentingan tertentu. Padahal jelas bahwa dalam UU dan Pancasila telah menjamin untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan menjaminan “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Inilah dasar pemerataan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif terhadap bangsanya.
Sebagaimana disebutkan dalam UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) yang menyinggung prinsip dasar pelaksanaan pendidikan. Dalam Bab III Pasal 4 disebutkan “prinsip penyelenggaraan pendidikan” yaitu Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai ke-agamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Maka jelas sekali kemudian, jika jaminan pemerataan pendidikan bagi bangsa (masyarakat) sudah menjadi harga mati dan tidak bisa ditawar lagi. Namun faktanya, pendidikan hari ini sudah jauh dari kata egaliter dan demokratis. Karena dalam kasus lapangan pendidikan sudah diserahkan pada pemilik modal sehingga harga-harga barang komoditi (sekolah) tersebut mahal, dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Perbedaan harga masuk sekolah atau bahkan perguruan tinggi membuat pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan, milik siapakan pendidikan bangsa ini dan masih adakah kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi bagi masyarakat bawah (pemerataan pendidikan). Dalam kasus sederhana misalnya, dalam paradigma umum tercipta bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai masyarakat kelas bawah, menengah atau atas jika sudah masuk menjadi siswa atau mahasiswa disuatu lembaga pendidikan tertentu. Artinya, kita dapat menilai seseorang apakah termasuk kelas bawah, menengah atau atas itu cukup dilihat dari suatu lembaga pendidikan yang didapatkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar