KOMERSIALISASI
PENDIDIKAN
Manusia
adalah makhluk sosial (social human) yang memiliki kemampuan, keinginan,
akal pikiran, rasio, dan segala potensi lainnya yang meliputi kemampuan skill.
Dalam kategori lain, manusia juga dapat dikatakan sebagai makhluk sosial yaitu makhluk yang memiliki sejarah masa lalu, masa
kini, dan akan memiliki masa yang akan datang. Maka, dapat dikatakan bahwa
manusia adalah makhluk pendidikan (the create education), karena ia
senantiasa memiliki pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang didapatkan tersebut
akan berpengaruh terhadap segala potensi yang disebutkan di atas tadi, seperti
pemikiran, keinginan, kemampuan, bahkan pada karakter manusia itu sendiri. Pendidikan
merupakan proses atau upaya manusia dalam meningkatkan taraf derajat dan
martabat manusia dan kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain
bahwa pendidikan adalah salah satu bagian dari kegiatan manusia yang tidak
dapat terpisahkan dalam interaksi sosial masyarakat. Karena itu, pendidikan
merupakan suatu yang inheren dalam kegiatan manusia. Namun dalam pengertian
lama, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Jadi segala sesuatu dalam kehidupan masyarakat, baik dalam hal
adat, budaya, bahkan kepercayaan adalah bagian dari proses pewarisan budaya
atau disebut dengan pendidikan. Maka dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan
proses terciptannya pengalaman hidup manusia. Dan dari proses terciptanya
pengalaman masa lalu dan masa sekarang tersebut manusia dapat mengambil
pelajaran dan merencanakan sesuatu terhadap masa depan hidupnya.
Begitu
pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia. Maka hal ini sangat riskan
terhadap suatu eksistensi manusia dalam interaksi manusia. Artinya, proses
pendidikan akan terhambat ketika proses pencapaian tujuan pendidikan tersebut
terdistorsi oleh kepentingan golongan masyarakat tertentu. Pada dasarnya,
pendidikan adalah hak prerogratif manusia yang seharusnya terjaga dari
kepentingan manusia lain. Karena itu, pendidikan seharusnya tidak terbatas oleh
suatu golongan, klas sosial, status sosial, usia, maupun yang lainnya. Namun
jika pendidikan itu hanya sebatas pada proses dogmatisasi paradigma, maka yang
akan terjadi adalah proses just men atau truth claim
antara satu paradigma dengan paradigma lain, manusia dengan manusia lain. Dalam
proses pendidikan tidak ada keberpihakan, harus murni dengan tujuan kemanusiaan
atau disebut dengan memanusiakan manusia (Paulo Friere). Walaupun kebijakan
pendidikan nasional telah menjamin kebebasan untuk mendapatkan pendidikan bagi
masyarakat. Namun pada kenyataannya, pendidikan nasional masih mendikotomi
golongan tertentu untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan masih seperti barang
komoditi di pasaran yang memiliki harganya masing-masing. Pendidikan menjadi
barang berharga bagi masyarakat klas bawah, dan bahkan menjadi barang yang
sulit untuk didapatkan. Artinya pendidikan telah teralienasi dari suatu
masyarakat seperti hal layaknya “menara gading” yang jauh dari realitas sosial.
Padahal pendidikan adalah alat untuk memecahkan permasalahan sosial (problem
solving) yang terkait dengan kemanusiaan. Jika pendidikan selayaknya
“menara gading” yang jauh dari realitas sosial maka tujuan pelaksanaan
pendidikan telah terdistorsi oleh kepentingan tertentu. Padahal jelas bahwa
dalam UU dan Pancasila telah menjamin untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”
dan menjaminan “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Inilah dasar pemerataan
pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif terhadap bangsanya.
Sebagaimana
disebutkan dalam UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) yang menyinggung prinsip dasar pelaksanaan
pendidikan. Dalam Bab III Pasal 4 disebutkan “prinsip penyelenggaraan
pendidikan” yaitu Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
ke-agamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Maka jelas sekali kemudian,
jika jaminan pemerataan pendidikan bagi bangsa (masyarakat) sudah menjadi harga
mati dan tidak bisa ditawar lagi. Namun faktanya, pendidikan hari ini sudah
jauh dari kata egaliter dan demokratis. Karena dalam kasus lapangan pendidikan
sudah diserahkan pada pemilik modal sehingga harga-harga barang komoditi
(sekolah) tersebut mahal, dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Perbedaan harga
masuk sekolah atau bahkan perguruan tinggi membuat pertanyaan-pertanyaan baru
bermunculan, milik siapakan pendidikan bangsa ini dan masih adakah kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan tinggi bagi masyarakat bawah (pemerataan
pendidikan). Dalam kasus sederhana misalnya, dalam paradigma umum tercipta
bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai masyarakat kelas bawah, menengah
atau atas jika sudah masuk menjadi siswa atau mahasiswa disuatu lembaga
pendidikan tertentu. Artinya, kita dapat menilai seseorang apakah termasuk
kelas bawah, menengah atau atas itu cukup dilihat dari suatu lembaga pendidikan
yang didapatkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar