POLARISASI
PEDIDIKAN
Oleh; Jajat Darojat
A.
Pendahuluan
Perbincangan
mengenai pendidikan akan selalu hangat untuk diperbincangkan, dan dalam
pembahasannya tidak akan menemukan titik final karena dalam setiap kondisi
ataupun situasi akan selalu berubah. Oleh karena itu, pendidikan akan menjadi
pembahasan yang selalu up to date
untuk diperbincangkan. Sebagai respons terhadap perubahan-perubahan tersebut
maka pendidikan dibutuhan penyegaran kembali dalam orientasi maupun tujuan dari
pendidikan itu sendiri. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya untuk merekonstruksi,
reorientasi, serta restrukturisai pendidikan sehingga
lebih realistik dan
sesuai dengan konteks dan perkembangan masyarakat. Sebab, bagaimanapun
sederhananya suatu proses pendidikan, ultimate
goal-nya harus diarahkan pada tujuan yang lebih mulia, yakni membuat
manusia benar-benar menjadi manusia.
Pendidikan
adalah suatu proses atau usaha sadar yang terencana dan sistematis untuk
mencapai taraf kehidupan yang lebih baik. Proses pembentukan karakter manusia
sehingga memiliki nalar yang kritis terhadap kondisi lingkungannya, dibutuhkan
pendidikan yang dialogis-partisipatoris. Dengan kata lain, yang menjadi pelaku
(subyek) dalam proses pendidikan adalah manusia itu sendiri (peserta didik).
Oleh karena itu dalam hal ini pendidikan tidak dapat dipisahkan dari budaya,
karena dalam proses kebudayaan terdapat proses pendidikan dan pendidikan
menjadi bagian dari kehidupan manusia. Setiap kegiatan yang dilakukan manusia
baik itu berupa hal yang positif maupun negatif adalah bagian dari kegiatan
pendidikan.
Pendidikan
merupakan institusi kehidupan yang akan selalu menampakkan eksistensinya dalam
setiap waktu dan tempat. Dalam historisitas kemanusiaan, ia senantiasa menjadi
fenomena yang aktual. Pembahasannya tidak akan mengalami titik final, sebab
pendidikan merupakan permasalahan akbar dalam kehidupan manusia yang akan
senantiasa aktual untuk diperbincangkan. Kehidupan manusia akan selalu berubah
dan berkembang tanpa henti, itu artinya proses pendidikan (life is education and education is life) akan terus terjadi sebagaimana
disinggung oleh Lodge. Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, maka
dalam hal ini penulis ingin menghadirkan pembahasan mengenai dunia pendidikan
yang bertemakan “Polarisasi Pendidikan”. Kenapa dan bagaimana pendidikan itu
menjadi suatu yang dikastanisasikan, dalam hal ini penulis mempunyai
kegelisahan dalam hal tersebut.
B.
Pembahasan
1. Komersialisasi
Pendidikan
Kebijakan
pendidikan naional seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat klas bawah.
Orientasi pendidikan telah banyak diselewengkan oleh para penguasa dan
berakibat vatal bagi golongan masyarakat kecil. Karena, setiap kebijakan pasti
akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat secara umum. Kelompok sosial
yang notabene masyarakat klas menengah ke bawah akan menjadi tumbal dari penindasan
yang dilakukan secara sistematis, salah satunya melalui jalur pendidikan.[1]
Pendidikan merupakan sub sistem yang cukup strategis dalam menghegemoni sistem
sosial yang ada. Kali ini pendidikan telah menjadi barang komoditi yang susah
untuk didapatkan. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan “bangku sekolah”,
karena pendidikan sudah mengasingkan diri dari klas-klas masyarakat yang tidak
berpunya. Pendidikan menjadi suatu yang alien
(asing) bagi kelompok masyarakat tertentu, artinya pendidikan telah menjadi
“menara gading”, yang terpisah dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
Tujuan
pendidikan nasional sudah menjadi bagian dari kepentingan tertentu, maka
tujuannya menjadi tidak sesuai dengan fungsi yang sebenarnya dari pendidikan
itu sendiri “panggang jauh dari bara”. Pendidikan tidak lagi berposisi untuk
membenahi dan memperbaiki segala tatanan kehidupan berbangsa, namun sudah
berorientasi pada perusakan kehidupan bangsa, mulai dari pendidikan yang
diserahkan kepada pasar, pendidikan dibentuk untuk melahirkan produk-produk
pendidikan yang hanya mengenal kebendaan, direkayasa demi pembangunan karakter
hidup hedonis material, dan lain seterusnya. Padahal jati diri tujuan
terselenggaranya pendidikan adalah “memanusiakan manusia” sehingga menjadi seorang
humanis yang hakiki.[2]
Ibarat mesin raksasa yang memproduksi barang siap pakai, pendidikan di arahkan
pada pemenuhan kebutuhan pasar produksi, dan tidak dikembalikan pada si
pemiliknya. Jelas kemudian, bahwa pendidikan sarat dengan kepentingan dan tergantung
pada faktor penguasanya. Maka dapat disimpulkan bahwa sifat dari pendidikan itu
cenderung statis serta kurang mengakomodir pandangan-pandangan baru (ekslusif).
Orientasi pendidikan yang konservatif akan selalu kaku dalam setiap menghadapi
perubahan, dan hal ini menunjukan pada arah untuk mempertahankan nilai-nilai
normatif yang telah mapan (status quo).
Pendidikan tidak ubahnya hanya sebatas proses transfer nilai yang kemudian
dijadikan sebagai pedoman hidup yang tidak perlu untuk dilanggar ataupun
diubah.
Paradigma
yang mengkungkung masyarakat berada dalam kondisinya. Tanpa kita sadari bahwa
mulai dari cara berfikir kita pun sudah dibatasi dan tidak bebas. Cara berfikir
(mind set) yang membentuk opini
publik, bahwa menilai klas-klas sosial dalam dunia pendidikan pun sudah
terpeta-petakan. Seseorang (peserta didik) yang belajar disuatu lembaga
pendidikan dengan sendirinya akan terbaca atau bisa ditentukan dari golongan
klas manakah ia (peserta didik) berasal. Hal ini, membuktikan bahwa cara
berfikir kita yang sudah dibentuk oleh sistem yang ada. Selain itu juga dapat
dipastikan bahwa pendidikan sudah menjadi pintu gerbang pemisah bagi klas-klas
masyarakat. Pertanyaannya kemudian, siapakah pemilik pendidikan yang sebenarnya
dan apa tujuannya dari proses pendidikan itu sendiri.
Pendidikan
humanis mempunyai visi yang berfokus terhadap problem kemanusiaan, sedangkan
pendidikan kapitalis memunculkan visi pendidikan dengan logika perdagangan
untung-rugi, mahal-murah, dan hal-hal yang ditunjukan untuk meraup keuntungan
lainnya.[3]
Munculnya sekolah-sekolah bertaraf internasional yang megatasnamakan mutu
lulusan yang unggul adalah bentuk riil dari wajah pendidikan yang berwatak
kapitalisme pendidikan. Dari sini sudah nampak sekali disparitas sosial yang
membentuk klas-klas ataupun status sosial dalam masyarakat. Jika melihat
sejarah pendidikan pada masa kolonialisme nampak sekali dengan skat-skat dalam
kelompok masyarakat, pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan adalah untuk
menciptakan buruh berdasi dan buruh kasar. Di mana hal ini dimaksudkan untuk
meminimalisir biaya jika harus mendatangkan tenaga-tenaga ahli dari luar
Indonesia. Artinya, pendidikan hari ini tidak ubahnya dengan proses pendidikan
masa penjajahan dulu, hanya saja penjajahan pada periode sekarang ini lebih
halus dan terkesan tidak terjadi persoalan dalam dunia pendidikan. Dengan kata
lain, bisa diistilahkan dengan Neo-kolonialisme yang sudah merambah dalam dunia
pendidikan.
Pendidikan
seringkali dipahami sebagai fenomena individu di satu pihak dan fenomena sosial
dipihak yang lain. Sebagai fenomena individual, bertolak dari suatu pandangan
antropologis dengan pemahaman terhadap manusia sebagai realitas mikrokosmos
dengan kepemilikan potensi-potensi dasar yang dapat dikembangkan di masa yang
akan datang.[4]
Oleh karena itu, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bebas merdeka, baik
secara materiil maupun non-materiil. Artinya, manusia sebagai makhluk yang
bebas menentukan kearah mana tujuan hidup yang ia tuju. Dalam konteks ini
manusia mempunyai kecenderungan untuk menentukan diri dia sendiri. Maka,
pendidikan adalah suatu yang tidak bisa dibatasi atas manusia yang lain atau
bahkan mendistorsi hakikat dari pada tujuan pendidikan itu sendiri, walaupun
pada akhirnya digiring untuk mencari “ijazah”.
Alhasil,
Pendidikan nasional yang sarat dengan pergumulan ideologi dan politik telah
melemparkan jauh dari fungsi dan tugas pendidikan yang sebenarnya. Tampaknya
pendidikan tidak lagi menuntaskan kebodohan dan pemecahan masalahan (problem solving) bagi bangsa ini.
Pendidikan hanya melahirkan manusia-manusia yang bringas, yang siap bertarung
dengan manusia lain untuk menguasainya. Mengkerdilkan fikiran-fikiran dan
membuat manusia tidak lagi kritis terhadap dunianya. Menjadi musibah besar bagi
bangsa ini, jika pendidikan tidak lagi berpihak pada rakyat (egaliter) namun melakukan
praktek liberalisasi pendidikan dengan mempolarisasikan pendidikan, dan ini
menunjukan bahwa pendidikan nasional sudah berwajah kapitalisasi pendidikan.
Posisi
manusia dihadapan pendidikan dengan gaya kapitalis, manusia ditempatkan sebagai
produk yang siap pakai. Dalam sistemnya, manusia diproduksi untuk dijadikan
mesin-mesin penggerak industri. Maka, arah dan tujuan yang dipakai dalam proses
pendidikannya adalah untuk mensuplai manusia yang profesional dalam rangka
menciptakan industrialisasi. Artinya, manusia disini menjadi obyek dalam proses
pendidikan. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa jelas dalam pendidikan gaya
kapitalis tidak ubahnya seperti mesin raksasa yang menciptakan buruh-buruh yang
siap pakai. Proses perubahan pola dasar kehidupan masyarakat kapitalistik akan
mengarahkan pada kehidupan yang konsumeristik dan ini artinya mengarah pada
proses industrialisasi. Permasalahan yang ada dalam kehidupan
sosial-kemasyarakatan ini ternyata tidak berhenti pada titik itu saja,
kriminalisasi, disintegrasi, diskriminasi, anarkisme, bahkan kesabaran sosial
yang akan tergadaikan akibat persoalan-persoalan disatu sistem sosial mengalami
kepincangan dalam fungsinya. Dengan kata lain, sebagaimana disinggung di atas
bahwa pendidikan adalah bagian dari kehidupan masyarakat (manusia) maka
pendidikan harus bersifat egaliter dan bersistem demokrasi-masyarakat.
2. Pendidikan dalam
Perspektif Paulo Freire
Dalam
konstelasi pemikiran pendidikan kritis, Paulo Freire menyebutnya dengan
“memanusiakan manusia” atau lebih dikenal dengan pendidikan pembebasan.
Pendidikan kritis mendorong sebuah upaya guna melahirkan bangunan berfikir yang
gelisah terhadap realitas sosial yang sedang terjadi di tengah masyarakat.
Pedidikan kritis mendukung satu gerakan dan pergerakan paradigma yang berbasis
kekuatan berfikir anti-kemapaman karena yang diharapkan dalam konsep pendidikan
tersebut adalah adanya produk-produk pendidikan yang bisa melawan tirani yang
dominan dan dominasi status quo yang
tidak menghendaki perubahan kehidupan masyarakat.[5]
Paulo
Freire menyebutkan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada pengenalan
realitas dari manusia dan dirinya. Hal itu berarti bahwa pendidikan bukan hanya
sebagai ajang transfer of knowledge (teori
pendidikan gaya Bank), akan tetapi bagaimana ilmu pengetahuan dijadikan sarana
untuk mendidik manusia agar mampu membaca realitas sosial. Hal ini juga didkung
oleh Lodge yang dinyatakan dalam bahasanya life
is education, education is life. Pada dasarnya manusia adalah merdeka dan
memiliki kemandirian. Karena itu, untuk mengakhiri periode atau rentetan
kejahatan manusia (genosida), lembaga pendidikan harus mampu menyadarkan akan
arti “pendidikan” sebagai sarana
membebaskan manusia dari keterkungkungan dogma dan pemahaman sesat seorang
pemimpin.[6]
Paulo
Freire memahami pendidikan sebagai proses penyadaran (conscientizacao). Bagi Freire, pendidikan diartikan sebagai proses
penyadaran agar manusia memahami akan diri dan realitas sosial yang
dihadapinya.[7]
Dapat dipahami bahwa pendidikan tidak lagi membentuk manusia yang cerdas secara
intelektual (Being Smart), pendidikan
diarahkan pada pemaknaan akan dirinya dan lingkungannya (Being Good). Pendidikan secara mendasar mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan yang ada dalam diri dan ligkungannya. Oleh karena itu, Paulo Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga
kesadaran, yang itu diantaranya adalah; Pertama, Kesadaran magis (magical
consciousness), yakni tingkat kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan
antara satu faktor dan faktor lainnya. Kesadaran magis lebih melihat faktor di
luar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketidak
berdayaan. Proses yang menggunakan logika ini tidak memberikan kemampuan
analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap suatu permasalahan
masyarakat. Kedua, Kesadaran naif (naival consciousness),
kesadaran yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek
manusia’ menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini masalah
etika kreativitas, need for achievment dianggap sebagai penentu
perubahan sosial. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem
dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah baik dan benar,
merupakan faktor given dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan.
Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar peserta didik
bisa masuk dan beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Ketiga, Kesadaran
kritis (critical consciousness), kesadaran ini lebih melihat aspek
sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktur menghindari ‘blaming
the victims’ dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur
dan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya serta akibat pada keadaan
masyarakat. Paradigma kritis dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu
melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana
menstransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah
menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu
proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.[8]
Dalam
terminologi Paulo Freire, pendidikan pembebasan bermuara pada realitas dikotomi
peran antara guru dan peserta didik yang dikonsepsikannya dengan istilah Banking of Education. Freire mengurai
secara kritis realitas pendidikan pada waktu itu yang pada intinya ia
mengkhawatirkan apabila situasi terebut terus berlanjut justru akan
menenggelamkan peserta didik dalam suatu pemahaman yang sempit terhadap
realitas, dengan diposisikannya hanya sebagai obyek pendidikan bukan posisi
semestinya, yakni sebagai subyek dari proses pendidikan. Dalam pendidikan
pembebasan Freire, karakteristik yang menonjol adalah upaya pembebasan manusia
dari belenggu ketidakberdayaan untuk mengembalikannya pada eksistensi dasar,
yaitu sebagai tokoh sentral dalam mengkreasi dirinya dan realitas di
sekitarnya.[9]
Hakikat
utama yang sedang diperjuangkan oleh Paulo Freire dalam pendidikan adalah
membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat proses humanisasi atau
memanusiakan manusia. Kunci pokoknya adalah konsientisasi atau pembangkitan
kesadaran kritis. Dalam pandangan Freire, pendidikan tidak lain adalah proses
memanusiakan manusia kembali setelah mereka mendapat penindasan, hegemoni,
maupun kepentingan-kepentingan politik tertentu yang menyebabkan masyarakat
terasing dari realitas lingkungan tempat mereka tinggal dan berinteraksi.
Gagasan ini berasal mula dari analisis kritis bahwa sistem kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya telah membuat masyarakat mengalami proses
dehumanisasi. Pendidikan sebagai alat dari sistem masyarakat justru dijadikan
proses dehumanisasi dengan sedemikian keji melalui pembodohan atau penutupan
informasi mengenai kehidupan mereka dan realitas sosial tertentu.[10]
3. Analisis Masalah
a.
Paradigma
Struktural Konflik
Jika
melihat persoalan-persoalan yang sudah dijelaskan di atas dengan menggunakan
Struktural konflik, bahwa dalam suatu masyarakat pasti terjadi pembentukan
klas-klas sosial. Pendidikan dalam hal ini dipandang sebagai sebuah persoalan
yang akan menimbulkan konflik di tubuh masyarakat, yaitu pembagian dalam
stratifikasi sosial yang disebut dengan klas-klas atau status sosial. Asumsi
dasar dalam pendekatan struktur konflik ini adalah bahwa perubahan merupakan
gejala yang melekat pada setiap masyarakat. Artinya konflik merupakan gejala
yang melekat dalam diri setiap masyarakat. Lebih lanjut, setiap unsur dalam
masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan.
Oleh karena itu, setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau
dominasi terhadap sejumlah kelompok masyarakat lain. Karena dalam paradigma struktur
konflik ini, dalam masyarakat akan terjadi pembagian klas-klas sosial atau
status sosial.
Setiap
masyarakat selalu ada perubahan dan konflik. Dalam wajah pendidikan terjadi
penguasaan atau dominasi oleh masyarakat klas tertentu sehingga menimbulkan ketimpangan
dan ketegangan sosial. Jika melihat ke atas tadi bahwa apa yang terjadi dalam
dunia pendidikan adalah menimbulkan konflik dalam tubuh masyarakat. Maka, jika
mengacu pada perubahan yang konstruktif-positif dibutuhkan kontradiksi dan
perubahan dalam struktur sosial tersebut. Lebih lanjut, maka letak permasalah
dalam sistem pendidikan adalah bukan pada manusianya atau manusianya yang
bermasalah, namun sistem pendidikannya lah yang bermasalah dalam proses dan
penyelenggaraan pendidikan.
b.
Paradigma Struktural
Fungsional
Pendekatan
Struktural Fungsional memandang bahwa manusia tidak dipandang sebagai individu,
melainkan sebagai komunitas masyarakat. Dengan kata lain, bahwa manusia tidak
bisa dikatakan sebagai individu tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang
utuh, dan masyarakat terdiri dari struktur dan fungsi yang harus dilihat.
Struktur fungsionalisme melihat sebuah bagian dari sebuah sistem yang
memperthankan status quo atau struktur yang berlaku. Maka dalam struktural
fungsional, pendidikan di pandang sebagai suatu alat untuk mempertahankan
sistem atau struktur sosial yang sudah ada. Jika melihat sistem pendidikan
nasional yang terjadi, maka dalam pendekatan ini sistem pendidikan sudah
dianggap mapan dan baik. Oleh karena itu, letak permasalahannya dalam
pendidikan adalah manusianya itu sendiri, dan sistemnya tidak terdapat
persoalan.
Pendidikan
adalah suatu elemen yang cukup strategis dalam menghegemoni sistem sosial atau
masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan adalah tempat pembentukan karakter atau
cara berfikir suatu komunitas dan masyarakat secara luas. Dalam kawasan ini
pendidikan akan menentukan sejauhmana peranannya dalam perubahan atau bahkan
peradaban sosial-masyarakat. Paradigma struktural fungsional memposisikan
pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan status quo, sehingga dalam proses
pendidikan hanya sebatas transfer of
knowedge. Ini artinya pendidikan difungsikan sebagai wadah atau pemindahan
ilmu pengetahuan dari seseorang terhadap orang lain.
C.
Penutup
Penyelenggaraan
pendidikan nasional memang syarat dengan ideologi dan kepentingan (politik)
tertentu. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan dianggap sebagai komponen
yang cukup strategis bagi penguasa untuk menghegemoni dan mempertahankan status
quo-nya. Oleh karena itu, jika melihat pemaparan di atas bahwa dapat ditarik
garis besar dalam melihat persoalan, tentunya dengan menggunakan pisau analisa
atau pendekatan tertentu.
Pendidikan
yang membebaskan adalah pendidikan dengan mengembangkan kecerdasan kritis
sebagaimana yang dijelaskan oleh Paulo Freire. Maka jika melihat potret
pendidikan nasional saat ini hanya sebagai alat untuk melegitimasi masyarakat.
Oleh karena itu, pendidikan hanya menjadi jurang pemisah bagi masyarakat
tertentu. Pendidikan kritis melihat pendidikan nasional sekarang ini adalah
pendidikan yang tidak mencerdaskan, pendidikan yang menumpulkan kekritisan
manusia terhadap realitas sosialnya. Maka, pendidikan hanya sebagai “menara
gading”, yang terpisahkan dari suatu kondisi yang ada (realitas). Paulo Freire
menjelaskan pelaksanaan pendidikan kritis harus menciptakan ruang
dialogis-partisipatoris dalam proses pendidikannya sehingga menciptakan suatu
proses pendidikan yang membebaskan (memanusiakan manusia). Dalam hal ini Paulo
Freire memposisikan manusia (peserta didik) dalam pendidikan adalah sebagai
pelaku (subyek) dari proses pendidikan. Dapat dikategorikan menurut penulis
sendiri bahwa paradigma Struktural Konflik adalah pendidikan dengan menggunakan
pendekatan kecerdasan kritis.
Sedangkan
pendidikan yang menggunakan pendekatan kecerdasan naif adalah salah satu
paradigma struktural fungsional. Teori kecerasan naif yang disampaikan oleh
Paulo Freire adalah bahwa melihat sistem pendidikan sekarang ini sudah baik dan
mapan, artinya jika permasalahan di atas adalah permasalahannya ada pada
manusia itu sendiri. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang sudah ada tidak
bisa disalahkan. Pendekatan ini pelaksanaan pendidikan hanya sebatas untuk
mencari prestis sebagai akibat dari proses pendidikan. Dalam pendekatan ini
proses pendidikan hanya sebatas transfer ilmu (transfer knowledge) dari seseorang terhadap orang lain, sedangkan peserta
didik sendiri dipandang sebagai obyek pendidikan.
D.
Daftar
Pustaka
-
Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan (menggadaikan
kecerdasan kehidupan bangsa), Cet. I, Yogyakarta; Pinus Book Publisher,
2008.
-
Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia (belajar dari
Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara), Cet. I, Yogyakarta; Ar-Ruzz Media,
2009.
-
Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Trasformatif, Cet. I,
Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2009.
-
Baharuddin dan
Moh. Makin, Pendidikan Humanistik
(Konsep, teori, dan aplikasi dalam dunia pendidikan), Cet. Cet. I, Yogyakarta;
Ar-Ruzz Media, 2009.
-
Benni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional (analisis
pendidikan nasional), Cet. I, Yogyakarta; Ar-Ruzz Media Group, 2008.
-
William F.
O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
-
Umiarso dan
Zamroni, Pendidikan dan Pembebasan (dalam
perspektif Barat dan Timur), Cet. I, Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2011.
[1]
Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan (menggadaikan
kecerdasan kehidupan bangsa), Cet. I (Yogyakarta; Pinus Book Publisher,
2008), hal. 7.
[2] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia (belajar dari
Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara), Cet. I, (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media,
2009), hal. 77.
[3] Muhammad
Karim, Pendidikan Kritis Trasformatif,
Cet. I, (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 21.
[4] Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik (Konsep, teori, dan
aplikasi dalam dunia pendidikan), Cet. Cet. I, (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media,
2009), hal. 20.
[5] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia...,hal.
142
[6] Benni
Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional
(analisis pendidikan nasional), Cet. I, (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media Group,
2008), hal. 75.
[7] Mu’arif, Liberalisasi
Pendidikan..., hal. 64.
[8] William F.
O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), hal. xvi.
[9]
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan dan
Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur), Cet. I, (Yogyakarta; Ar-Ruzz
Media, 2011), hal. 59.
[10]
Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan
Indonesia..., hal. 160.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar