Pages

Jumat, 22 Maret 2013


POLARISASI PEDIDIKAN
 Oleh; Jajat Darojat
A.    Pendahuluan
Perbincangan mengenai pendidikan akan selalu hangat untuk diperbincangkan, dan dalam pembahasannya tidak akan menemukan titik final karena dalam setiap kondisi ataupun situasi akan selalu berubah. Oleh karena itu, pendidikan akan menjadi pembahasan yang selalu up to date untuk diperbincangkan. Sebagai respons terhadap perubahan-perubahan tersebut maka pendidikan dibutuhan penyegaran kembali dalam orientasi maupun tujuan dari pendidikan itu sendiri. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya untuk merekonstruksi, reorientasi, serta restrukturisai pendidikan sehingga
lebih realistik dan sesuai dengan konteks dan perkembangan masyarakat. Sebab, bagaimanapun sederhananya suatu proses pendidikan, ultimate goal-nya harus diarahkan pada tujuan yang lebih mulia, yakni membuat manusia benar-benar menjadi manusia.
Pendidikan adalah suatu proses atau usaha sadar yang terencana dan sistematis untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik. Proses pembentukan karakter manusia sehingga memiliki nalar yang kritis terhadap kondisi lingkungannya, dibutuhkan pendidikan yang dialogis-partisipatoris. Dengan kata lain, yang menjadi pelaku (subyek) dalam proses pendidikan adalah manusia itu sendiri (peserta didik). Oleh karena itu dalam hal ini pendidikan tidak dapat dipisahkan dari budaya, karena dalam proses kebudayaan terdapat proses pendidikan dan pendidikan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Setiap kegiatan yang dilakukan manusia baik itu berupa hal yang positif maupun negatif adalah bagian dari kegiatan pendidikan.
Pendidikan merupakan institusi kehidupan yang akan selalu menampakkan eksistensinya dalam setiap waktu dan tempat. Dalam historisitas kemanusiaan, ia senantiasa menjadi fenomena yang aktual. Pembahasannya tidak akan mengalami titik final, sebab pendidikan merupakan permasalahan akbar dalam kehidupan manusia yang akan senantiasa aktual untuk diperbincangkan. Kehidupan manusia akan selalu berubah dan berkembang tanpa henti, itu artinya proses pendidikan (life is education and education is life) akan terus terjadi sebagaimana disinggung oleh Lodge. Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, maka dalam hal ini penulis ingin menghadirkan pembahasan mengenai dunia pendidikan yang bertemakan “Polarisasi Pendidikan”. Kenapa dan bagaimana pendidikan itu menjadi suatu yang dikastanisasikan, dalam hal ini penulis mempunyai kegelisahan dalam hal tersebut.


B.     Pembahasan
1.      Komersialisasi Pendidikan
Kebijakan pendidikan naional seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat klas bawah. Orientasi pendidikan telah banyak diselewengkan oleh para penguasa dan berakibat vatal bagi golongan masyarakat kecil. Karena, setiap kebijakan pasti akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat secara umum. Kelompok sosial yang notabene masyarakat klas menengah ke bawah akan menjadi tumbal dari penindasan yang dilakukan secara sistematis, salah satunya melalui jalur pendidikan.[1] Pendidikan merupakan sub sistem yang cukup strategis dalam menghegemoni sistem sosial yang ada. Kali ini pendidikan telah menjadi barang komoditi yang susah untuk didapatkan. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan “bangku sekolah”, karena pendidikan sudah mengasingkan diri dari klas-klas masyarakat yang tidak berpunya. Pendidikan menjadi suatu yang alien (asing) bagi kelompok masyarakat tertentu, artinya pendidikan telah menjadi “menara gading”, yang terpisah dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
Tujuan pendidikan nasional sudah menjadi bagian dari kepentingan tertentu, maka tujuannya menjadi tidak sesuai dengan fungsi yang sebenarnya dari pendidikan itu sendiri “panggang jauh dari bara”. Pendidikan tidak lagi berposisi untuk membenahi dan memperbaiki segala tatanan kehidupan berbangsa, namun sudah berorientasi pada perusakan kehidupan bangsa, mulai dari pendidikan yang diserahkan kepada pasar, pendidikan dibentuk untuk melahirkan produk-produk pendidikan yang hanya mengenal kebendaan, direkayasa demi pembangunan karakter hidup hedonis material, dan lain seterusnya. Padahal jati diri tujuan terselenggaranya pendidikan adalah “memanusiakan manusia” sehingga menjadi seorang humanis yang hakiki.[2] Ibarat mesin raksasa yang memproduksi barang siap pakai, pendidikan di arahkan pada pemenuhan kebutuhan pasar produksi, dan tidak dikembalikan pada si pemiliknya. Jelas kemudian, bahwa pendidikan sarat dengan kepentingan dan tergantung pada faktor penguasanya. Maka dapat disimpulkan bahwa sifat dari pendidikan itu cenderung statis serta kurang mengakomodir pandangan-pandangan baru (ekslusif). Orientasi pendidikan yang konservatif akan selalu kaku dalam setiap menghadapi perubahan, dan hal ini menunjukan pada arah untuk mempertahankan nilai-nilai normatif yang telah mapan (status quo). Pendidikan tidak ubahnya hanya sebatas proses transfer nilai yang kemudian dijadikan sebagai pedoman hidup yang tidak perlu untuk dilanggar ataupun diubah.
Paradigma yang mengkungkung masyarakat berada dalam kondisinya. Tanpa kita sadari bahwa mulai dari cara berfikir kita pun sudah dibatasi dan tidak bebas. Cara berfikir (mind set) yang membentuk opini publik, bahwa menilai klas-klas sosial dalam dunia pendidikan pun sudah terpeta-petakan. Seseorang (peserta didik) yang belajar disuatu lembaga pendidikan dengan sendirinya akan terbaca atau bisa ditentukan dari golongan klas manakah ia (peserta didik) berasal. Hal ini, membuktikan bahwa cara berfikir kita yang sudah dibentuk oleh sistem yang ada. Selain itu juga dapat dipastikan bahwa pendidikan sudah menjadi pintu gerbang pemisah bagi klas-klas masyarakat. Pertanyaannya kemudian, siapakah pemilik pendidikan yang sebenarnya dan apa tujuannya dari proses pendidikan itu sendiri.
Pendidikan humanis mempunyai visi yang berfokus terhadap problem kemanusiaan, sedangkan pendidikan kapitalis memunculkan visi pendidikan dengan logika perdagangan untung-rugi, mahal-murah, dan hal-hal yang ditunjukan untuk meraup keuntungan lainnya.[3] Munculnya sekolah-sekolah bertaraf internasional yang megatasnamakan mutu lulusan yang unggul adalah bentuk riil dari wajah pendidikan yang berwatak kapitalisme pendidikan. Dari sini sudah nampak sekali disparitas sosial yang membentuk klas-klas ataupun status sosial dalam masyarakat. Jika melihat sejarah pendidikan pada masa kolonialisme nampak sekali dengan skat-skat dalam kelompok masyarakat, pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan adalah untuk menciptakan buruh berdasi dan buruh kasar. Di mana hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir biaya jika harus mendatangkan tenaga-tenaga ahli dari luar Indonesia. Artinya, pendidikan hari ini tidak ubahnya dengan proses pendidikan masa penjajahan dulu, hanya saja penjajahan pada periode sekarang ini lebih halus dan terkesan tidak terjadi persoalan dalam dunia pendidikan. Dengan kata lain, bisa diistilahkan dengan Neo-kolonialisme yang sudah merambah dalam dunia pendidikan.
Pendidikan seringkali dipahami sebagai fenomena individu di satu pihak dan fenomena sosial dipihak yang lain. Sebagai fenomena individual, bertolak dari suatu pandangan antropologis dengan pemahaman terhadap manusia sebagai realitas mikrokosmos dengan kepemilikan potensi-potensi dasar yang dapat dikembangkan di masa yang akan datang.[4] Oleh karena itu, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bebas merdeka, baik secara materiil maupun non-materiil. Artinya, manusia sebagai makhluk yang bebas menentukan kearah mana tujuan hidup yang ia tuju. Dalam konteks ini manusia mempunyai kecenderungan untuk menentukan diri dia sendiri. Maka, pendidikan adalah suatu yang tidak bisa dibatasi atas manusia yang lain atau bahkan mendistorsi hakikat dari pada tujuan pendidikan itu sendiri, walaupun pada akhirnya digiring untuk mencari “ijazah”.
Alhasil, Pendidikan nasional yang sarat dengan pergumulan ideologi dan politik telah melemparkan jauh dari fungsi dan tugas pendidikan yang sebenarnya. Tampaknya pendidikan tidak lagi menuntaskan kebodohan dan pemecahan masalahan (problem solving) bagi bangsa ini. Pendidikan hanya melahirkan manusia-manusia yang bringas, yang siap bertarung dengan manusia lain untuk menguasainya. Mengkerdilkan fikiran-fikiran dan membuat manusia tidak lagi kritis terhadap dunianya. Menjadi musibah besar bagi bangsa ini, jika pendidikan tidak lagi berpihak pada rakyat (egaliter) namun melakukan praktek liberalisasi pendidikan dengan mempolarisasikan pendidikan, dan ini menunjukan bahwa pendidikan nasional sudah berwajah kapitalisasi pendidikan.
Posisi manusia dihadapan pendidikan dengan gaya kapitalis, manusia ditempatkan sebagai produk yang siap pakai. Dalam sistemnya, manusia diproduksi untuk dijadikan mesin-mesin penggerak industri. Maka, arah dan tujuan yang dipakai dalam proses pendidikannya adalah untuk mensuplai manusia yang profesional dalam rangka menciptakan industrialisasi. Artinya, manusia disini menjadi obyek dalam proses pendidikan. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa jelas dalam pendidikan gaya kapitalis tidak ubahnya seperti mesin raksasa yang menciptakan buruh-buruh yang siap pakai. Proses perubahan pola dasar kehidupan masyarakat kapitalistik akan mengarahkan pada kehidupan yang konsumeristik dan ini artinya mengarah pada proses industrialisasi. Permasalahan yang ada dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan ini ternyata tidak berhenti pada titik itu saja, kriminalisasi, disintegrasi, diskriminasi, anarkisme, bahkan kesabaran sosial yang akan tergadaikan akibat persoalan-persoalan disatu sistem sosial mengalami kepincangan dalam fungsinya. Dengan kata lain, sebagaimana disinggung di atas bahwa pendidikan adalah bagian dari kehidupan masyarakat (manusia) maka pendidikan harus bersifat egaliter dan bersistem demokrasi-masyarakat.

2.      Pendidikan dalam Perspektif Paulo Freire
Dalam konstelasi pemikiran pendidikan kritis, Paulo Freire menyebutnya dengan “memanusiakan manusia” atau lebih dikenal dengan pendidikan pembebasan. Pendidikan kritis mendorong sebuah upaya guna melahirkan bangunan berfikir yang gelisah terhadap realitas sosial yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Pedidikan kritis mendukung satu gerakan dan pergerakan paradigma yang berbasis kekuatan berfikir anti-kemapaman karena yang diharapkan dalam konsep pendidikan tersebut adalah adanya produk-produk pendidikan yang bisa melawan tirani yang dominan dan dominasi status quo yang tidak menghendaki perubahan kehidupan masyarakat.[5]
Paulo Freire menyebutkan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada pengenalan realitas dari manusia dan dirinya. Hal itu berarti bahwa pendidikan bukan hanya sebagai ajang transfer of knowledge (teori pendidikan gaya Bank), akan tetapi bagaimana ilmu pengetahuan dijadikan sarana untuk mendidik manusia agar mampu membaca realitas sosial. Hal ini juga didkung oleh Lodge yang dinyatakan dalam bahasanya life is education, education is life. Pada dasarnya manusia adalah merdeka dan memiliki kemandirian. Karena itu, untuk mengakhiri periode atau rentetan kejahatan manusia (genosida), lembaga pendidikan harus mampu menyadarkan akan arti “pendidikan”  sebagai sarana membebaskan manusia dari keterkungkungan dogma dan pemahaman sesat seorang pemimpin.[6]
Paulo Freire memahami pendidikan sebagai proses penyadaran (conscientizacao). Bagi Freire, pendidikan diartikan sebagai proses penyadaran agar manusia memahami akan diri dan realitas sosial yang dihadapinya.[7] Dapat dipahami bahwa pendidikan tidak lagi membentuk manusia yang cerdas secara intelektual (Being Smart), pendidikan diarahkan pada pemaknaan akan dirinya dan lingkungannya (Being Good). Pendidikan secara mendasar mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada dalam diri dan ligkungannya. Oleh karena itu, Paulo Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga kesadaran, yang itu diantaranya adalah; Pertama, Kesadaran magis (magical consciousness), yakni tingkat kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dan faktor lainnya. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketidak berdayaan. Proses yang menggunakan logika ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap suatu permasalahan masyarakat. Kedua, Kesadaran naif (naival consciousness), kesadaran yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini masalah etika kreativitas, need for achievment dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah baik dan benar, merupakan faktor given dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar peserta didik bisa masuk dan beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Ketiga, Kesadaran kritis (critical consciousness), kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktur menghindari ‘blaming the victims’ dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya serta akibat pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana menstransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.[8]
Dalam terminologi Paulo Freire, pendidikan pembebasan bermuara pada realitas dikotomi peran antara guru dan peserta didik yang dikonsepsikannya dengan istilah Banking of Education. Freire mengurai secara kritis realitas pendidikan pada waktu itu yang pada intinya ia mengkhawatirkan apabila situasi terebut terus berlanjut justru akan menenggelamkan peserta didik dalam suatu pemahaman yang sempit terhadap realitas, dengan diposisikannya hanya sebagai obyek pendidikan bukan posisi semestinya, yakni sebagai subyek dari proses pendidikan. Dalam pendidikan pembebasan Freire, karakteristik yang menonjol adalah upaya pembebasan manusia dari belenggu ketidakberdayaan untuk mengembalikannya pada eksistensi dasar, yaitu sebagai tokoh sentral dalam mengkreasi dirinya dan realitas di sekitarnya.[9]
Hakikat utama yang sedang diperjuangkan oleh Paulo Freire dalam pendidikan adalah membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat proses humanisasi atau memanusiakan manusia. Kunci pokoknya adalah konsientisasi atau pembangkitan kesadaran kritis. Dalam pandangan Freire, pendidikan tidak lain adalah proses memanusiakan manusia kembali setelah mereka mendapat penindasan, hegemoni, maupun kepentingan-kepentingan politik tertentu yang menyebabkan masyarakat terasing dari realitas lingkungan tempat mereka tinggal dan berinteraksi. Gagasan ini berasal mula dari analisis kritis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya telah membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi. Pendidikan sebagai alat dari sistem masyarakat justru dijadikan proses dehumanisasi dengan sedemikian keji melalui pembodohan atau penutupan informasi mengenai kehidupan mereka dan realitas sosial tertentu.[10]
3.      Analisis Masalah
a.       Paradigma Struktural Konflik
Jika melihat persoalan-persoalan yang sudah dijelaskan di atas dengan menggunakan Struktural konflik, bahwa dalam suatu masyarakat pasti terjadi pembentukan klas-klas sosial. Pendidikan dalam hal ini dipandang sebagai sebuah persoalan yang akan menimbulkan konflik di tubuh masyarakat, yaitu pembagian dalam stratifikasi sosial yang disebut dengan klas-klas atau status sosial. Asumsi dasar dalam pendekatan struktur konflik ini adalah bahwa perubahan merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat. Artinya konflik merupakan gejala yang melekat dalam diri setiap masyarakat. Lebih lanjut, setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan. Oleh karena itu, setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi terhadap sejumlah kelompok masyarakat lain. Karena dalam paradigma struktur konflik ini, dalam masyarakat akan terjadi pembagian klas-klas sosial atau status sosial.
Setiap masyarakat selalu ada perubahan dan konflik. Dalam wajah pendidikan terjadi penguasaan atau dominasi oleh masyarakat klas tertentu sehingga menimbulkan ketimpangan dan ketegangan sosial. Jika melihat ke atas tadi bahwa apa yang terjadi dalam dunia pendidikan adalah menimbulkan konflik dalam tubuh masyarakat. Maka, jika mengacu pada perubahan yang konstruktif-positif dibutuhkan kontradiksi dan perubahan dalam struktur sosial tersebut. Lebih lanjut, maka letak permasalah dalam sistem pendidikan adalah bukan pada manusianya atau manusianya yang bermasalah, namun sistem pendidikannya lah yang bermasalah dalam proses dan penyelenggaraan pendidikan.
b.      Paradigma Struktural Fungsional
Pendekatan Struktural Fungsional memandang bahwa manusia tidak dipandang sebagai individu, melainkan sebagai komunitas masyarakat. Dengan kata lain, bahwa manusia tidak bisa dikatakan sebagai individu tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang utuh, dan masyarakat terdiri dari struktur dan fungsi yang harus dilihat. Struktur fungsionalisme melihat sebuah bagian dari sebuah sistem yang memperthankan status quo atau struktur yang berlaku. Maka dalam struktural fungsional, pendidikan di pandang sebagai suatu alat untuk mempertahankan sistem atau struktur sosial yang sudah ada. Jika melihat sistem pendidikan nasional yang terjadi, maka dalam pendekatan ini sistem pendidikan sudah dianggap mapan dan baik. Oleh karena itu, letak permasalahannya dalam pendidikan adalah manusianya itu sendiri, dan sistemnya tidak terdapat persoalan.
Pendidikan adalah suatu elemen yang cukup strategis dalam menghegemoni sistem sosial atau masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan adalah tempat pembentukan karakter atau cara berfikir suatu komunitas dan masyarakat secara luas. Dalam kawasan ini pendidikan akan menentukan sejauhmana peranannya dalam perubahan atau bahkan peradaban sosial-masyarakat. Paradigma struktural fungsional memposisikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan status quo, sehingga dalam proses pendidikan hanya sebatas transfer of knowedge. Ini artinya pendidikan difungsikan sebagai wadah atau pemindahan ilmu pengetahuan dari seseorang terhadap orang lain.
C.    Penutup
Penyelenggaraan pendidikan nasional memang syarat dengan ideologi dan kepentingan (politik) tertentu. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan dianggap sebagai komponen yang cukup strategis bagi penguasa untuk menghegemoni dan mempertahankan status quo-nya. Oleh karena itu, jika melihat pemaparan di atas bahwa dapat ditarik garis besar dalam melihat persoalan, tentunya dengan menggunakan pisau analisa atau pendekatan tertentu.
Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan dengan mengembangkan kecerdasan kritis sebagaimana yang dijelaskan oleh Paulo Freire. Maka jika melihat potret pendidikan nasional saat ini hanya sebagai alat untuk melegitimasi masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan hanya menjadi jurang pemisah bagi masyarakat tertentu. Pendidikan kritis melihat pendidikan nasional sekarang ini adalah pendidikan yang tidak mencerdaskan, pendidikan yang menumpulkan kekritisan manusia terhadap realitas sosialnya. Maka, pendidikan hanya sebagai “menara gading”, yang terpisahkan dari suatu kondisi yang ada (realitas). Paulo Freire menjelaskan pelaksanaan pendidikan kritis harus menciptakan ruang dialogis-partisipatoris dalam proses pendidikannya sehingga menciptakan suatu proses pendidikan yang membebaskan (memanusiakan manusia). Dalam hal ini Paulo Freire memposisikan manusia (peserta didik) dalam pendidikan adalah sebagai pelaku (subyek) dari proses pendidikan. Dapat dikategorikan menurut penulis sendiri bahwa paradigma Struktural Konflik adalah pendidikan dengan menggunakan pendekatan kecerdasan kritis.
Sedangkan pendidikan yang menggunakan pendekatan kecerdasan naif adalah salah satu paradigma struktural fungsional. Teori kecerasan naif yang disampaikan oleh Paulo Freire adalah bahwa melihat sistem pendidikan sekarang ini sudah baik dan mapan, artinya jika permasalahan di atas adalah permasalahannya ada pada manusia itu sendiri. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang sudah ada tidak bisa disalahkan. Pendekatan ini pelaksanaan pendidikan hanya sebatas untuk mencari prestis sebagai akibat dari proses pendidikan. Dalam pendekatan ini proses pendidikan hanya sebatas transfer ilmu (transfer knowledge) dari seseorang terhadap orang lain, sedangkan peserta didik sendiri dipandang sebagai obyek pendidikan.

D.    Daftar Pustaka
-          Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan (menggadaikan kecerdasan kehidupan bangsa), Cet. I, Yogyakarta; Pinus Book Publisher, 2008.
-          Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia (belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara), Cet. I, Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2009.
-          Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Trasformatif, Cet. I, Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2009.
-          Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik (Konsep, teori, dan aplikasi dalam dunia pendidikan), Cet. Cet. I, Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2009.
-          Benni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional (analisis pendidikan nasional), Cet. I, Yogyakarta; Ar-Ruzz Media Group, 2008.
-          William F. O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
-          Umiarso dan Zamroni, Pendidikan dan Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur), Cet. I, Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2011.


[1] Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan (menggadaikan kecerdasan kehidupan bangsa), Cet. I (Yogyakarta; Pinus Book Publisher, 2008), hal. 7.
[2] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia (belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara), Cet. I, (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 77.
[3] Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Trasformatif, Cet. I, (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 21.
[4]  Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik (Konsep, teori, dan aplikasi dalam dunia pendidikan), Cet. Cet. I, (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 20.
[5] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia...,hal. 142
[6] Benni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional (analisis pendidikan nasional), Cet. I, (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media Group, 2008), hal. 75.
[7]  Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan..., hal. 64.
[8] William F. O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. xvi.
[9] Umiarso dan Zamroni, Pendidikan dan Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur), Cet. I, (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 59.
[10] Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan Indonesia..., hal. 160.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar