Pages

Jumat, 22 Maret 2013


PENDIDIKAN BERKARAKATER BANGSA
Oleh Jajat Darojat
A.    Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak, menimbulkan berbagai macam persoalan yang sekarang ini dihadapi bangsa ini, seperti KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), premanisme,   perseteruan   politik,   kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan dan hilangnya kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain.
Agama dan budaya menjadi sangat problematik ketika memiliki implikasi horizontal. Yaitu, satu keberagamaan atau kebudayaan seseorang atau kelompok tertentu bergesekan dengan keberagamaan atau keberbudayaan orang atau kelompok lain. Perjumpaan antariman dan budaya dewasa ini, akibat faktor-faktor eksternal seperti
globalisasi, politik domestik, dan kondisi sosial budaya, selain faktor-faktor internal seperti penafsiran agama dan budaya, telah melahirkan problem-problem fundamentalisme, konflik antar agama, konflik etnis, serta ketegangan budaya.[1]
Kasus kekerasan dalam agama hingga saat ini belum terselesaikan. Sebagai gambarannya akhir-akhir ini di daerah-daerah seperti di Temanggung, Bogor, Tasikmalaya, dan lain sebagainya merupakan gambaran bahwa betapa rawannya jika sensitifitas kebhinekaan dalam tubuh masyarakat sudah tidak ada lagi, akibatnya kemudian berdampak pada panatikisme golongan. Konflik-konflik tersebut sudah merembet pada kaum-kaum muda yang menjadi harapan bangsa.
Oleh karena itu semakin penting adanya kesadaran akan identitas suatu bangsa. Identitas suatu bangsa merupakan tumpuan yang kuat bukan hanya bagi perkembangan pribadinya tetapi juga sebagai benteng pertahanan yang melindungi pengaruh-pengaruh negatif dari kebudayaan global.[2] Inilah yang kemudian menjadi modal utama dalam membangun pendidikan yang mampu mengendalikan panatikisme golongan atau entis.
Jika kita mau mengintrospeksi diri dalam rangka menemukan model baru dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Dalam hal ini diperlukan kegiatan yang dilakukan secara konsisten dan kontinyu dalam jangka waktu tertentu oleh intsitusi atau lembaga penyelenggara pendidikan yang bersangkutan agar dapat mengetahui sejauh mana kelemahan, penyimpangan, kekuatan serta peluang yang dimiliki agar sesegera mungkin diperbaiki.[3]

B.     Refleksi Masa lalu dan Tantangan Masa Depan
Dalam pendidikan faktor sejarah dianggap salah satu faktor budaya yang paling penting yang telah dan tetap mempengaruhi filsafat pendidikan baik dalam tujuan maupun sistemnya pada masyarakat manapun juga. Kepribadian nasional, misalnya yang menjadi dasar filsafat pendidikan diberbagai masyarakat haruslah berlaku jauh kemasa lampau, walaupun sistem-sistemnya adalah hasil dari pemerintahan revolusioner, yang didirikannya dengan sengaja untuk mengembangkan dan memperbaiki pola-pola warisan budaya dari umat dan rakyat. Oleh sebab itu sistem pendidikan nasional berakar tunjang pada masa lampau dan berbatang, berdaun dengan dunia hari ini dan esok.
Dengan kata lain sejarah merupakan modal awal dalam melakukan perubahan. Namun datangnya hari ini dan masa mendatang adalah tujuan kita untuk membenahi sesuatu yang ada dengan modal yang sudah kita punya. Jawaban atas persoalan-persoalan yang sudah terjadi agar tidak terulang serta pesoalan masa kini ataupun masa depan adalah pekerjaan rumah yang mau tidak mau harus diselesaikan dengan mempelajari masa lalu dan memahami kelemahan, kekurang, serta peluangnya.
Dari paparan di atas jelas sudah, bahwa perlunya kemampuan yang dikembangkan dalam menyelenggarakan pendidikan bermutu di masa mendatang dengan menuntut penyelenggaraan pendidikan agar mengembangkan kecerdasan yang tidak hanya kecerdasan IQ saja, melainkan juga kecerdasan emosional ESQ.[4] Dengan kata lain menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam kehidupan agar supaya kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan bersusila.
Begitu pesatnya perubahan wacana dalam dunia pendidikan ini mengharuskan kita untuk tidak santai dalam menanggapi persoalan dalam menghadapi perubahan pada dunia pendidikan. Seperti dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning), dimana konsep belajar ini membantu guru untuk mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan nyata sebagai anggota keluarga dan masyarakat.[5]
Tujuannya adalah agar peserta didik mampu membuka dirinya dengan berbagai perbedaan yang ada disekitarnya. Dengan membangun sikap inklusif terhadap perbedaan budaya, etnis maupun golongan akan membawa peserta didik pada penghargaan terhadap perbedaan yang dimaksudkan dalam pembangunan kecerdasan emosional (ESQ), dan bukan hanya kecerdasan IQ.

C.    Tantangan Arus Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah sistem yang mendunia, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia baik itu ekonomi, politik, budaya, dan tentunya pendidikan termasuk di dalamnya. Kenyataan ini tentunya akan berpengaruh pada tatanan kehidupan masyarakat (lokal) yang mempunyai keragaman daerah-daerah yang lengkap dengan tradisi, kebudayaan, adat, dan ikatan-ikatan sosial yang meliputi berbagai aspek kehidupan. Yang kemudian masuk dalam tata kehidupan nasional dan dilanjutkan masuk dalam tata global (internasional). Yang menjadi masalah adalah bagaimana agar individu lokal maupun nasional mampu menjadi warga global dengan tanpa tercerabut dari akarnya dan tidak kehilangan jati dirinya. Dengan tidak menutup diri atau bersikap ekslusif yang berdampak pada ketertinggalan perkembangan zaman.[6]
Dalam tantangan arus globalisasi, akan timbul kebutuhan yang kemudian melakukan persaingan agar tidak menjadi sasaran kolonialisme modernis. Akibatnya adalah kesenjangan serta sikap-sikap diskriminatif, konsumtif, individualis dan lain sebagainya. Dalam kehidupan bermasyarakat seperti ini akan berdampak pada kekerasan, premanisme, kriminalisme, yang berujung pada menurunnya kesadaran akan keadilan sosial. Dengan demikian, realitas global ini menuntut masyarakat atau invidu untuk berfikir secara komprehensif atau menyeluruh, berparadigma global, namun tetap berkesadaran kritis yakni kesadaran yang mampu menguraikan secara kritis keterkaitan persoalan yang satu dengan yang lain pada seluruh aspek kehidupan manusia.
Karena dalam tantang globalisasi ini, jika terjebak dan hilangnya indentitas bangsa maka tidak menutup kemungkinan akan muncul persoalan-persoalan yang kompleks seperti yang sudah dipaparkan di atas. Oleh karena itu membangun sikap anti diskrimatif sejak dini menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan globalisasi. Pembangunan sikap ini selayaknya dilakukan dalam berbagai konteks, baik itu dalam budaya, etnis, maupun dalam ilmu pengetahuan. Inilah yang kemudian tugas dari lembaga pendidikan dalam menghadapi tantangan globalisasi. Selain sebagai wadah untuk menumbuhkan sesitifitas terhadap gejala-gejala anti diskriminasi kepada peserta didik, juga sebagai jawaban dari persoalan-persoalan yang sering terjadi akhir-akhir ini.[7] Dalam hal ini proses belajar pada pemecahan masalah (Problem Solving) adalah kemampun untuk melihat dunia secara nyata yang penuh dengan masalah yang harus dipecahkan.

D.    Pendidikan Dalam Perspektif Kultural
Menurut Mastuhu Pendidikan pada dasarnya hanya satu yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan martabat manusia (Human dignity), yaitu mengangkat manusia menjadi pemimpin di muka bumi, atau menurut istilah agamanya menjadi khalifah di bumi dengan tugas dan tanggungjawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan.[8] Salah satu upaya preventif yang kemudian direkomendasikan adalah membangun kesadaran dan pemahaman akan pentingnya untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemanusiaan dan pluralisme dalam kehidupan sosial.
Oleh karena itu pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar dan terdidik, namun jauh lebih penting lagi adalah pendidikan mewujudkan manusia yang terdidik dan juga memiliki kepekaan terhadap budaya (Educated and Civilized Human Being) juga berdasarkan pada peserta didik, pasar, atau bahkan tuntutan perkembangan zaman. Idealnya Sistem pendidikan itu diarahkan pada pemahaman kebudayaan Indonesia yang Bhineka dengan menanggalkan sistem pendidikan yang berorientasi pada kepentingan pemerintah yang sudah terkontaminasi dengan kepentingan-kepentingan golongan.[9]
Pada dasarnya antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang saling berkaitan. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula tidak ada praksis pendidikan di dalam vakum tetapi selalu berada di dalam lingkup kebudayaan yang konkret. Apabila kita ingin membangun kembali masyarakat Indonesia dari krisis multidimensi ini maka tugas tersebut merupakan suatu pembangunan kembali kebudayaan kita. Uraian bahwa pendidikan tidak terlepas dari kebudayaan bahkan merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri, maka tidak dapat kita bayangkan adanya pendidikan tanpa kebudayaan. Seterusnya, apabila kita bersepakat untuk mewujudkan suatu masyarakat dan bangsa Indonesia maka adalah merupakan suatu kewajiban kita untuk membentuk dan mengembangkan kebudayaan nasional.
Sebagai titik tolak analisis mengenai hakikat kebudayaan yang dapat digunakan untuk memahami hakikat pendidikan, dalam hal ini mengambil rumusan pelopor antropologi yaitu Edward B. Tylor dalam bukunya "Primitive Culture" yang terbit pada Tahun 1871 mendefinisikan atau menjelaskan bahwa ;
"Kebudayaan atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat".[10]
Oleh karena itu kultur yang dimiliki oleh masyarakat adalah sebagai indentitas bangsa yang kemudian menjadi modal utama dalam menciptakan pendidikan yang bersifat egaliter, demokratis, adil serta mampu bersaing dalam kancah dunia internasional. Dengan ini masyarakat mampu menjadi warga global dengan tidak akan lagi ada kekawatiran akan kehilangan jati diri atau bahkan tercerabut dari akarnya sebagai bangsa Indonesia.


E.     Menuju Masyarakat Baru Indonesia
Krisis multidimensial yang terjadi dimasyarakat akhir-akhir ini telah membawa pada keterpurukan mutu kehidupan bangsa. Keterpurukan tersebut diindikasikan pula oleh merosotnya mutu sumber daya manusia yang semakin rendah. Kemerosotan tersebut menunjukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan kita. Gerakan baru untuk membangun masyarakat Indonesia baru menuntut pendidikan agar bermutu dan merata, khususnya output pendidikan kita yang berkualitas. Namun hingga saat ini arah pengembangan pendidikan kita belum mempunyai konsep yang jelas untuk berperan secara proaktif dalam upaya membangun masyarakat baru Indonesia.
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lingkup masyarakat kita ini semakin kompleks, mulai dari krisis kepercayaan terhadap birokrasi pemerintah, ekonomi, keadilan, kesenjangan sosial dan lain sebagainya, termasuk dalam dunia pendidikan yang akhir-akhir ini semakin melenceng dari hakikatnya. Sebagai dampak yang terjadi dalam dunia pendidikan kita sekarang ini hanya mencetak pelajar-pelajar yang bermental preman, terbukti setiap minggunya pendidikan selalu tersorot dalam kekerasan, tawuran para pelajar, suporter sepakbola, dan bahkan sampai penyiksaan hingga mati.
Sungguh sangat ironis, pendidikan yang seharusnya menciptakan peserta didik agar mampu menjawab persoalan, ini justru malah menambah persoalan yang sudah jelas persoalan di masyarakat sudah banyak. Paparan di atas hanya sedikit saja dari berbagai persoalan yang sering terjadi dalam dunia pendidikan.
Dalam menemukan serta mengarahkan pengembangan pendidikan nasional, kita perlu mempunyai suatu visi yang jelas mengenai ke arah mana masyarakat Indonesia akan dibangun. Jika visi yang dijadikan pedoman oleh pendidikan kita kurang memadai atau sampai tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia maka yang terjadi akan timbul persoalan baru seperti yang sudah digambarkan di atas. Seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, visi masyarakat Indonesia dirumuskan berat sebelah kepada pembangunan fisik dan kurang memberikan perhatian pada pengembangan moral. Dunia pendidikan telah dikerdilkan seperti layaknya menara gading yang jauh dari kenyataan. Dengan adanya Normalisasi kegiatan kampus dan Badan koordinasi kampus yang kita kenal dengan NKK/BKK menjadikan dunia pendidikan tumpul kekritisannya dalam melihat kenyataan (riil). Akibatnya adalah lahirnya berbagai persoalan seperti terpecah-pecahnya masyarakat, masyarakat yang berwatak individualis, serta kemerosotan hidup berbangsa dan bertanah air satu, yaitu bangsa dan tanah air Indonesia.
Lalu apakah visi dari masyarakat baru Indonesia.? adalah masyarakat baru Indonesia yang kembali pada pesan yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni keinginan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Visi Indonesia masa depan yang merupakan cita-cita luhur bangsa Indonesia merupakan visi yang berkesinambungan dan tentunya berkaitan dengan kondisi serta tantangan masyarakat.[11] Dengan kata lain adalah terciptanya masyarakat yang adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, partisipatif secara budaya, serta demokrasi secara politik merupakan harapan umum dari masyarakat Indonesia sekarang ini, dengan tidak memilah dan memilih golongan tertentu.


















Daftar Pustaka
-          Baharudin & Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, Ar-ruzzmedia, Yogyakarta, 2009.
-          Djohar & Abd. Rochman Assegaf, Pendidikan Transformatif, Sukses Offset, Yogyakarta, 2010.
-          H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.
-          H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyrakat Madani Indonesia, Rosdakarya, Bandung, 2002
-          Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural menghargai kemajemukan menjalin kebersamaan, Jakarta : Kompas, 2003.
-          M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Pilar Media, Yogyakarta, 2005.
-          Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21, Safiria Insania Press & MSI UII, Yogyakarta, 2004.



[1] Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural (menghargai kemajemukan menjalin kebersamaan), Jakarta : Kompas, 2003.
[2] H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 17
[3] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21, Safiria Insania Press & MSI UII, Yogyakarta, 2004, hal. 87
[4] Mastuhu, Ibid, hal. 97
[5] Baharudin & Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, Ar-ruzzmedia, Yogyakarta, 2009, hal. 210
[6] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran…., hal. 126.
[7] M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Pilar Media, Yogyakarta, 2005, hal. 222
[8] Djohar & Abd. Rochman assegaf, Pendidikan Transformatif, Sukses Offset, Yogyakarta, 2010, hal. 20.
[9] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran…., hal. 33.
[10] H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyrakat Madani Indonesia, Rosdakarya, Bandung, 2002, hal. 39.
[11] H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan, hal. 300.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar