PENDIDIKAN BERKARAKATER BANGSA
Oleh Jajat Darojat
A. Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu
negara yang multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari
sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini
diakui atau tidak, menimbulkan berbagai macam persoalan yang sekarang ini
dihadapi bangsa ini, seperti KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme),
premanisme, perseteruan politik, kemiskinan,
kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan dan hilangnya kemanusiaan untuk
selalu menghargai hak-hak orang lain.
Agama dan budaya menjadi
sangat problematik ketika memiliki implikasi horizontal. Yaitu, satu
keberagamaan atau kebudayaan seseorang atau kelompok tertentu bergesekan dengan
keberagamaan atau keberbudayaan orang atau kelompok lain. Perjumpaan antariman dan
budaya dewasa ini, akibat faktor-faktor eksternal seperti
globalisasi, politik
domestik, dan kondisi sosial budaya, selain faktor-faktor internal seperti
penafsiran agama dan budaya, telah melahirkan problem-problem fundamentalisme,
konflik antar agama, konflik etnis, serta ketegangan budaya.[1]
Kasus
kekerasan dalam agama hingga saat ini belum terselesaikan. Sebagai gambarannya
akhir-akhir ini di daerah-daerah seperti di Temanggung, Bogor, Tasikmalaya, dan
lain sebagainya merupakan gambaran bahwa betapa rawannya jika sensitifitas
kebhinekaan dalam tubuh masyarakat sudah tidak ada lagi, akibatnya kemudian
berdampak pada panatikisme golongan. Konflik-konflik tersebut sudah merembet
pada kaum-kaum muda yang menjadi harapan bangsa.
Oleh
karena itu semakin penting adanya kesadaran akan identitas suatu bangsa.
Identitas suatu bangsa merupakan tumpuan yang kuat bukan hanya bagi
perkembangan pribadinya tetapi juga sebagai benteng pertahanan yang melindungi
pengaruh-pengaruh negatif dari kebudayaan global.[2]
Inilah yang kemudian menjadi modal utama dalam membangun pendidikan yang mampu
mengendalikan panatikisme golongan atau entis.
Jika kita
mau mengintrospeksi diri dalam rangka menemukan model baru dalam
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Dalam hal ini diperlukan kegiatan yang
dilakukan secara konsisten dan kontinyu dalam jangka waktu tertentu oleh
intsitusi atau lembaga penyelenggara pendidikan yang bersangkutan agar dapat mengetahui
sejauh mana kelemahan, penyimpangan, kekuatan serta peluang yang dimiliki agar
sesegera mungkin diperbaiki.[3]
B.
Refleksi Masa lalu dan
Tantangan Masa Depan
Dalam
pendidikan faktor sejarah dianggap salah satu faktor budaya yang paling penting
yang telah dan tetap mempengaruhi filsafat pendidikan baik dalam tujuan maupun
sistemnya pada masyarakat manapun juga. Kepribadian nasional, misalnya yang
menjadi dasar filsafat pendidikan diberbagai masyarakat haruslah berlaku jauh
kemasa lampau, walaupun sistem-sistemnya adalah hasil dari pemerintahan
revolusioner, yang didirikannya dengan sengaja untuk mengembangkan dan
memperbaiki pola-pola warisan budaya dari umat dan rakyat. Oleh sebab itu
sistem pendidikan nasional berakar tunjang pada masa lampau dan berbatang,
berdaun dengan dunia hari ini dan esok.
Dengan
kata lain sejarah merupakan modal awal dalam melakukan perubahan. Namun datangnya
hari ini dan masa mendatang adalah tujuan kita untuk membenahi sesuatu yang ada
dengan modal yang sudah kita punya. Jawaban atas persoalan-persoalan yang sudah
terjadi agar tidak terulang serta pesoalan masa kini ataupun masa depan adalah
pekerjaan rumah yang mau tidak mau harus diselesaikan dengan mempelajari masa
lalu dan memahami kelemahan, kekurang, serta peluangnya.
Dari paparan di atas jelas
sudah, bahwa perlunya kemampuan yang dikembangkan dalam menyelenggarakan
pendidikan bermutu di masa mendatang dengan menuntut penyelenggaraan pendidikan
agar mengembangkan kecerdasan yang tidak hanya kecerdasan IQ saja, melainkan juga
kecerdasan emosional ESQ.[4] Dengan kata lain menuntun tumbuhnya budi
pekerti dalam kehidupan agar supaya kelak menjadi manusia berpribadi yang
beradab dan bersusila.
Begitu pesatnya perubahan
wacana dalam dunia pendidikan ini mengharuskan kita untuk tidak santai dalam
menanggapi persoalan dalam menghadapi perubahan pada dunia pendidikan. Seperti
dengan pendekatan kontekstual (Contextual
Teaching and Learning), dimana konsep belajar ini membantu guru untuk
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan nyata sebagai anggota keluarga dan
masyarakat.[5]
Tujuannya adalah agar peserta
didik mampu membuka dirinya dengan berbagai perbedaan yang ada disekitarnya.
Dengan membangun sikap inklusif terhadap perbedaan budaya, etnis maupun
golongan akan membawa peserta didik pada penghargaan terhadap perbedaan yang
dimaksudkan dalam pembangunan kecerdasan emosional (ESQ), dan bukan hanya
kecerdasan IQ.
C.
Tantangan Arus Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah
sistem yang mendunia, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia baik itu
ekonomi, politik, budaya, dan tentunya pendidikan termasuk di dalamnya. Kenyataan
ini tentunya akan berpengaruh pada tatanan kehidupan masyarakat (lokal) yang
mempunyai keragaman daerah-daerah yang lengkap dengan tradisi, kebudayaan,
adat, dan ikatan-ikatan sosial yang meliputi berbagai aspek kehidupan. Yang kemudian masuk dalam tata kehidupan
nasional dan dilanjutkan masuk dalam tata global (internasional). Yang menjadi
masalah adalah bagaimana agar individu lokal maupun nasional mampu menjadi
warga global dengan tanpa tercerabut dari akarnya dan tidak kehilangan jati
dirinya. Dengan tidak menutup diri atau bersikap ekslusif yang berdampak pada ketertinggalan
perkembangan zaman.[6]
Dalam tantangan arus
globalisasi, akan timbul kebutuhan yang kemudian melakukan persaingan agar
tidak menjadi sasaran kolonialisme modernis. Akibatnya adalah kesenjangan serta
sikap-sikap diskriminatif, konsumtif, individualis dan lain sebagainya. Dalam
kehidupan bermasyarakat seperti ini akan berdampak pada kekerasan, premanisme,
kriminalisme, yang berujung pada menurunnya kesadaran akan keadilan sosial.
Dengan demikian, realitas global ini menuntut masyarakat atau invidu untuk
berfikir secara komprehensif atau menyeluruh, berparadigma global, namun tetap
berkesadaran kritis yakni kesadaran yang mampu menguraikan secara kritis
keterkaitan persoalan yang satu dengan yang lain pada seluruh aspek kehidupan
manusia.
Karena dalam tantang
globalisasi ini, jika terjebak dan hilangnya indentitas bangsa maka tidak
menutup kemungkinan akan muncul persoalan-persoalan yang kompleks seperti yang
sudah dipaparkan di atas. Oleh karena itu membangun sikap anti diskrimatif
sejak dini menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan globalisasi.
Pembangunan sikap ini selayaknya dilakukan dalam berbagai konteks, baik itu
dalam budaya, etnis, maupun dalam ilmu pengetahuan. Inilah yang kemudian tugas
dari lembaga pendidikan dalam menghadapi tantangan globalisasi. Selain sebagai
wadah untuk menumbuhkan sesitifitas terhadap gejala-gejala anti diskriminasi
kepada peserta didik, juga sebagai jawaban dari persoalan-persoalan yang sering
terjadi akhir-akhir ini.[7]
Dalam hal ini proses belajar pada pemecahan masalah (Problem Solving) adalah kemampun untuk melihat dunia secara nyata
yang penuh dengan masalah yang harus dipecahkan.
D.
Pendidikan Dalam Perspektif
Kultural
Menurut Mastuhu Pendidikan
pada dasarnya hanya satu yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan
martabat manusia (Human dignity),
yaitu mengangkat manusia menjadi pemimpin di muka bumi, atau menurut istilah
agamanya menjadi khalifah di bumi dengan tugas dan tanggungjawab memakmurkan
kehidupan dan memelihara lingkungan.[8]
Salah satu upaya preventif yang kemudian direkomendasikan adalah
membangun kesadaran dan pemahaman akan pentingnya untuk selalu menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemanusiaan dan pluralisme dalam
kehidupan sosial.
Oleh karena
itu pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar dan
terdidik, namun jauh lebih penting lagi adalah pendidikan mewujudkan manusia
yang terdidik dan juga memiliki kepekaan terhadap budaya (Educated and
Civilized Human Being) juga berdasarkan pada peserta didik, pasar,
atau bahkan tuntutan perkembangan zaman. Idealnya Sistem pendidikan itu diarahkan pada
pemahaman kebudayaan Indonesia yang Bhineka dengan menanggalkan sistem pendidikan yang berorientasi pada
kepentingan pemerintah yang sudah terkontaminasi dengan kepentingan-kepentingan
golongan.[9]
Pada
dasarnya antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang saling
berkaitan. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula tidak ada
praksis pendidikan di dalam vakum tetapi selalu berada di dalam lingkup
kebudayaan yang konkret. Apabila kita ingin membangun kembali masyarakat
Indonesia dari krisis multidimensi ini maka tugas tersebut merupakan suatu
pembangunan kembali kebudayaan kita. Uraian bahwa pendidikan tidak terlepas
dari kebudayaan bahkan merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri, maka tidak
dapat kita bayangkan adanya pendidikan tanpa kebudayaan. Seterusnya, apabila
kita bersepakat untuk mewujudkan suatu masyarakat dan bangsa Indonesia maka
adalah merupakan suatu kewajiban kita untuk membentuk dan mengembangkan
kebudayaan nasional.
Sebagai titik tolak analisis mengenai hakikat
kebudayaan yang dapat digunakan untuk memahami hakikat pendidikan, dalam hal ini
mengambil rumusan pelopor antropologi yaitu Edward B. Tylor dalam bukunya "Primitive
Culture" yang terbit pada Tahun 1871 mendefinisikan atau menjelaskan
bahwa ;
"Kebudayaan atau peradaban adalah suatu
keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat".[10]
Oleh karena itu kultur yang
dimiliki oleh masyarakat adalah sebagai indentitas bangsa yang kemudian menjadi
modal utama dalam menciptakan pendidikan yang bersifat egaliter, demokratis,
adil serta mampu bersaing dalam kancah dunia internasional.
Dengan ini masyarakat mampu menjadi warga global dengan tidak akan lagi ada
kekawatiran akan kehilangan jati diri atau bahkan tercerabut dari akarnya
sebagai bangsa Indonesia.
E.
Menuju Masyarakat Baru Indonesia
Krisis multidimensial yang
terjadi dimasyarakat akhir-akhir ini telah membawa pada keterpurukan mutu
kehidupan bangsa. Keterpurukan tersebut diindikasikan pula oleh merosotnya mutu
sumber daya manusia yang semakin rendah. Kemerosotan tersebut menunjukan bahwa
rendahnya kualitas pendidikan kita. Gerakan baru untuk membangun masyarakat
Indonesia baru menuntut pendidikan agar bermutu dan merata, khususnya output pendidikan kita yang berkualitas.
Namun hingga saat ini arah pengembangan pendidikan kita belum mempunyai konsep
yang jelas untuk berperan secara proaktif dalam upaya membangun masyarakat baru
Indonesia.
Persoalan-persoalan yang
terjadi dalam lingkup masyarakat kita ini semakin kompleks, mulai dari krisis
kepercayaan terhadap birokrasi pemerintah, ekonomi, keadilan, kesenjangan
sosial dan lain sebagainya, termasuk dalam dunia pendidikan yang akhir-akhir
ini semakin melenceng dari hakikatnya. Sebagai dampak yang terjadi dalam dunia pendidikan
kita sekarang ini hanya mencetak pelajar-pelajar yang bermental preman,
terbukti setiap minggunya pendidikan selalu tersorot dalam kekerasan, tawuran
para pelajar, suporter sepakbola, dan bahkan sampai penyiksaan hingga mati.
Sungguh sangat ironis,
pendidikan yang seharusnya menciptakan peserta didik agar mampu menjawab
persoalan, ini justru malah menambah persoalan yang sudah jelas persoalan di
masyarakat sudah banyak. Paparan di atas hanya sedikit saja
dari berbagai persoalan yang sering terjadi dalam dunia pendidikan.
Dalam menemukan serta
mengarahkan pengembangan pendidikan nasional, kita perlu mempunyai suatu visi
yang jelas mengenai ke arah mana masyarakat Indonesia akan dibangun. Jika visi
yang dijadikan pedoman oleh pendidikan kita kurang memadai atau sampai tidak
sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia maka
yang terjadi akan timbul persoalan baru seperti yang sudah digambarkan di atas. Seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, visi masyarakat Indonesia
dirumuskan berat sebelah kepada pembangunan fisik dan kurang memberikan
perhatian pada pengembangan moral. Dunia pendidikan telah dikerdilkan seperti
layaknya menara gading yang jauh dari kenyataan. Dengan adanya Normalisasi kegiatan
kampus dan Badan koordinasi kampus yang kita kenal dengan NKK/BKK menjadikan
dunia pendidikan tumpul kekritisannya dalam melihat kenyataan (riil). Akibatnya
adalah lahirnya berbagai persoalan seperti terpecah-pecahnya masyarakat,
masyarakat yang berwatak individualis, serta kemerosotan hidup berbangsa dan
bertanah air satu, yaitu bangsa dan tanah air Indonesia.
Lalu apakah visi dari
masyarakat baru Indonesia.? adalah masyarakat baru Indonesia yang kembali pada
pesan yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni keinginan
untuk mewujudkan suatu masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur. Visi Indonesia masa depan yang merupakan cita-cita luhur bangsa
Indonesia merupakan visi yang berkesinambungan dan tentunya berkaitan dengan
kondisi serta tantangan masyarakat.[11]
Dengan kata lain adalah terciptanya masyarakat yang adil secara sosial,
sejahtera secara ekonomi, partisipatif secara budaya, serta demokrasi secara
politik merupakan harapan umum dari masyarakat Indonesia sekarang ini, dengan
tidak memilah dan memilih golongan tertentu.
Daftar Pustaka
-
Baharudin & Moh. Makin, Pendidikan Humanistik,
Ar-ruzzmedia, Yogyakarta,
2009.
-
Djohar
& Abd. Rochman Assegaf, Pendidikan
Transformatif, Sukses Offset, Yogyakarta ,
2010.
-
H.A.R
Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan
Nasional, Rineka Cipta, Jakarta , 2004.
-
H.A.R Tilaar, Pendidikan,
Kebudayaan, dan Masyrakat Madani Indonesia ,
Rosdakarya, Bandung ,
2002
-
Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural
menghargai kemajemukan menjalin kebersamaan, Jakarta : Kompas, 2003.
-
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Pilar Media, Yogyakarta, 2005.
-
Mastuhu, Menata
Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21, Safiria Insania
Press & MSI UII, Yogyakarta, 2004.
[1] Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural (menghargai
kemajemukan menjalin kebersamaan), Jakarta
: Kompas, 2003.
[2] H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan
Nasional, Rineka Cipta, Jakarta , 2004, hal. 17
[3] Mastuhu, Menata Ulang
Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Dalam Abad 21, Safiria Insania Press
& MSI UII, Yogyakarta, 2004, hal. 87
[4] Mastuhu, Ibid, hal. 97
[5] Baharudin & Moh. Makin, Pendidikan
Humanistik, Ar-ruzzmedia, Yogyakarta, 2009, hal. 210
[6] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran…., hal. 126.
[7] M. Ainul Yaqin, Pendidikan
Multikultural, Pilar Media, Yogyakarta ,
2005, hal. 222
[8] Djohar & Abd. Rochman assegaf, Pendidikan Transformatif, Sukses Offset, Yogyakarta ,
2010, hal. 20.
[9] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran…., hal. 33.
[10] H.A.R Tilaar, Pendidikan,
Kebudayaan, dan Masyrakat Madani Indonesia ,
Rosdakarya, Bandung ,
2002, hal. 39.
[11] H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan, hal. 300.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar