Pages

Minggu, 01 Februari 2015

Menghadirkan Nilai Pendidikan Pancasila dalam Kehidupan Masyarakat
Membicarakan pendidikan memang tidak akan menemui titik final karena dalam setiap kondisi historisitas masyarakat akan selalu mengalami perubahan maupun kebutuhan. Dalam setiap kondisi dan sosiografi, pendidikan akan selalu hangat untuk diperbincangkan. Sebagai suatu titik awal pembicaraan pendidikan tentunya tidak akan terlepas dari penelitian terkait perubahan-perubahan sosial masyarakat ataupun persoalan-persoalan manusia dan kemanusiaan. Untuk itu dibutuhkan suatu upaya yang realistik dalam menjawab persoalan-persoalan sosial tersebut. Bagaimanapun juga pendidikan merupakan proses rekayasa sosial yang melibatkan seluruh kehidupan maupun elemen-elemen sosial masyarakat. Artinya problem-problem sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat menjadi tanggungjawab pendidikan untuk menuntaskannya. Proses pendidikan harus diarahkan pada tujuan yang lebih mulia yaitu mengangkat harkat martabat manusia yang lebih tinggi dengan membentuk masyarakat Pancasilais. Masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi, perdamaian, keadilan, keamanan, maupun kesejahteraan dan martabat manusia. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam TAP MPR-RI No. VII/ MPR/ 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan bahwa Visi Indonesia 2020 yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara.[1]
Sebagai suatu bangsa yang berazaskan Pancasila, maka seharusnya tujuan pendidikan bermuara pada penafsiran nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai suatu ideologi bangsa bukan sekedar hafalan yang dibacakan setiap hari senin pada upacara bendera di sekolah. Akan tetapi sebagai wujud komitmen lembaga pendidikan untuk menginterpretasikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya kepada peserta didik. Yang dimaksud dengan nilai-nilai pendidikan adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kemanusiaan dan keyakinan-keberagamaan. Hubungan antara manusia dengan manusia (hablum min an-Nas) dalam situasi sosial dan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablum min Allah). Artinya secara konkrit sebenarnya Pancasila memberikan pedoman sikap hidup berhubungan dengan sesama manusia dalam situasi sosial. Sehingga terciptanya hubungan harmonis yang ditumbuhi dengan rasa persatuan, kesatuan, gotong royong, keadilan serta kesetaraan hak dan kewajiban sebagai komunitas masyarakat secara nyata. Pancasila sebagai panji dan dasar kehidupan bernegara tidak perlu diganti dengan ideologi yang lain. Namun perlu tuntunan perubahan maka perlu dilakukan interpretasi dan reinterpretasi terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya agar tidak menjadi ideologi tertutup yang kaku dan totaliter. Implikasinya perlu dikembangkan strategi pendidikan transformatif yaitu pendidikan yang mengakses perubahan dengan tetap berpijak pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pandangan hidup tersebut.[2]
Pendidikan merupakan solusi yang bersifat preventif ketika suatu bangsa mengalami problem-problem kebangsaan dan kemanusian. Maka, pendidikan bertanggungjawab penuh terhadap proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai universalisme maupun nilai-nilai kemanusiaan (human dignity). Sebab pendidikan adalah usaha membangun generasi bangsa yang lebih baik. Melalui pendidikan, jati diri suatu bangsa dapat terus dibangun dan diwariskan secara turun-temurun. Melalui pendidikan juga, suatu bangsa dapat meningkatkan kualitas SDM-nya (Sumber Daya Manusia) dengan memberikan bekal pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang memadai.[3] Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan sendiri merupakan upaya untuk mengembangkan tumbuhnya budipekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran (intellect) dan tubuh anak. Sedangkan menurut Romo Mangun Wijaya, pendidikan adalah proses awal usaha untuk menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap manusia sebagai pelaku sejarah.[4] Maka, jelas kemudian peran dan fungsi pendidikan adalah untuk membentuk pribadi manusia yang utuh sebagai makhluk sosial dan makhluk religius. Bahkan dapat dikatakan bahwa maju mundurnya suatu peradaban masyarakat ataupun bangsa, akan ditentukan oleh pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat ataupun bangsa itu sendiri.
Pendidikan merupakan institusi kehidupan yang menampakan diri pada setiap waktu dan tempat. Kualitas mutu proses pendidikan dapat tercermin dari kehidupan ataupun kondisi yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Berbagai persoalan yang ada pada kehidupan masyarakat menunjukan sejauhmana kualitas pendidikan yang diciptakan oleh masyarakat. Karena arah tujuan pelaksanaan termasuk dari pada isi pendidikan tersebut ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Artinya masyarakatlah yang memiliki otoritas atas perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan sosialnya. Sebagaimana yang dikatakan Pierre Bourdieu bahwa, dalam masyarakat terdapat struktur-struktur tertentu (doxa) yang mengatur tingkah laku para anggotanya. Dalam hal ini kurikulum dari sistem pendidikan suatu masyarakat berfungsi sebagai doxa yang mengatur dan mengarahkan tingkah laku para anggotanya.[5] Maka, sebagai bagian dari sistem sosial, pendidikan ikut bertanggungjawab dalam merespon segala tuntutan, kebutuhan dan tantangan zaman. Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan kelakuan anak didik. Pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda. Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat.[6]
Hampir setiap hari pemberitaan di media televisi maupun media cetak mengabarkan terjadinya kekerasan bahkan sampai pada kasus-kasus pembunuhan, pembuangan bayi dan lain sebagainya. Belum lagi aksi premanisme yang kerap terjadi dalam dunia pendidikan, yang sudah mencoreng institusi pendidikan. Aksi premanisme maupun radikalisme dalam dunia pendidikan seperti tawuran antar pelajar yang sejak jaman dahulu sampai sekarang belum menemukan anti biotik untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Serta persoalan-persoalan lain yang melibatkan dan mencoreng dunia pendidikan. Hal ini memunculkan berbagai pertanyaan besar bagi pendidikan. Persoalan dilingkungan masyarakat pun tidak kalah ramainya disuguhkan dalam pemberitaan. Belum lagi para pemegang kebijakan yang tersandung berbagai macam kasus yang cukup kompleks. Mulai dari kasus kekerasan, asusila, sampai pada kasus korupsi. Sebagai bangsa yang memiliki dasar hidup atau yang ber-ideologikan Pancasila tidak sepatutnya problem-problem tersebut terjadi jika bangsa itu sendiri benar-benar mempraktikan pedoman hidup tersebut. Pancasila merupakan dasar hidup bernegara telah menyebutkan dasar-dasar yang cukup mewakili untuk menciptakan masyarakatnya yang sejahtera, berketuhanan, berkeadilan, berkemanusiaan dan sebagainya.
Hal yang menjadi persoalan kemudian adalah kenyataan bahwa pendidikan Islam merupakan bagian dari pendidikan nasional. Dalam ungkapan yang berbeda, pendidikan Islam adalah subsistem dari pendidikan nasional. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa kegagalan pendidikan nasional yang sudah diperbincangkan di atas, dengan seluruh bukti yang tidak terbantahkan, adalah juga kegagalan pendidikan Islam. Dengan segala kerusakan yang tampak nyata, dapatlah menarik kesimpulan bahwa pendidikan nasional tengah mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya. Alih-alih melahirkan generasi yang baik seperti yang dikatakan Plato, pendidikan kini justru menghasilkan pribadi-pribadi yang di dalam dirinya terkumpul segala macam kejelekan seperti licik, culas, curang, khianat, brutal, malas, bodoh, rakus, korup, sombong, oportunis, tidak bertanggungjawab dan lain sebagainya.[7]



[1] H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan (pengantar Pedagogik transformatif untuk Indonesia, (Rineka Cipta, Jakarta; 2012), halm. 78
[2] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam (paradigma humanisme teosentris), Cet. II (Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2010), halm. 159.
[3] Sutrisno dan Muhyidin, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial, Cet. I (ar-Ruzz Media, Yogyakarta; 2012) halm. 86
[4] Usman Abu Bakar dan Jajat Darojat, Pendidikan Islam Pluralis-Multikultural, Cet I, (UAB Media, Yogyakarta; 2013) halm. xx
[5] H.A.R. Tilaar. Pendidikan dan Kekuasaan (suatu tinjauan dari perspektif studi kultural), Cet. I, (IndonesiaTera, Magelang; 2003), halm. 94
[6] Nasution, Sosiologi Pendidikan, Cet. VI, (Bumi Aksara, Jakarta; 2011), halm. 10
[7] Sutrisno dan Muhyidin, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial, Cet. I (ar-Ruzz Media, Yogyakarta; 2012) halm. 87