Menghadirkan
Nilai Pendidikan Pancasila dalam Kehidupan Masyarakat
Membicarakan
pendidikan memang tidak akan menemui titik final karena dalam setiap kondisi
historisitas masyarakat akan selalu mengalami perubahan maupun kebutuhan. Dalam
setiap kondisi dan sosiografi, pendidikan akan selalu hangat untuk
diperbincangkan. Sebagai suatu titik awal pembicaraan pendidikan tentunya tidak
akan terlepas dari penelitian terkait perubahan-perubahan sosial masyarakat ataupun
persoalan-persoalan manusia dan kemanusiaan. Untuk itu dibutuhkan suatu upaya
yang realistik dalam menjawab persoalan-persoalan sosial tersebut. Bagaimanapun
juga pendidikan merupakan proses rekayasa sosial yang melibatkan seluruh kehidupan
maupun elemen-elemen sosial masyarakat. Artinya problem-problem sosial yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat menjadi tanggungjawab pendidikan untuk
menuntaskannya. Proses pendidikan harus diarahkan pada tujuan yang lebih mulia
yaitu mengangkat harkat martabat manusia yang lebih tinggi dengan membentuk
masyarakat Pancasilais. Masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi,
perdamaian, keadilan, keamanan, maupun kesejahteraan dan martabat manusia. Sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam TAP MPR-RI No. VII/ MPR/ 2001 tentang Visi
Indonesia Masa Depan bahwa Visi Indonesia 2020 yaitu terwujudnya masyarakat
Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju,
mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara.[1]
Sebagai
suatu bangsa yang berazaskan Pancasila, maka seharusnya tujuan pendidikan
bermuara pada penafsiran nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai suatu ideologi
bangsa bukan sekedar hafalan yang dibacakan setiap hari senin pada upacara
bendera di sekolah. Akan tetapi sebagai wujud komitmen lembaga pendidikan untuk
menginterpretasikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya kepada
peserta didik. Yang dimaksud dengan nilai-nilai pendidikan adalah nilai-nilai
yang berhubungan dengan kemanusiaan dan keyakinan-keberagamaan. Hubungan antara
manusia dengan manusia (hablum min an-Nas)
dalam situasi sosial dan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablum min Allah). Artinya secara konkrit sebenarnya Pancasila
memberikan pedoman sikap hidup berhubungan dengan sesama manusia dalam situasi sosial.
Sehingga terciptanya hubungan harmonis yang ditumbuhi dengan rasa persatuan, kesatuan,
gotong royong, keadilan serta kesetaraan hak dan kewajiban sebagai komunitas
masyarakat secara nyata. Pancasila sebagai panji dan dasar kehidupan bernegara
tidak perlu diganti dengan ideologi yang lain. Namun perlu tuntunan perubahan
maka perlu dilakukan interpretasi dan reinterpretasi terhadap nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya agar tidak menjadi ideologi tertutup yang kaku dan
totaliter. Implikasinya perlu dikembangkan strategi pendidikan transformatif
yaitu pendidikan yang mengakses perubahan dengan tetap berpijak pada
nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pandangan hidup tersebut.[2]
Pendidikan
merupakan solusi yang bersifat preventif ketika suatu bangsa mengalami
problem-problem kebangsaan dan kemanusian. Maka, pendidikan bertanggungjawab
penuh terhadap proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai universalisme
maupun nilai-nilai kemanusiaan (human dignity). Sebab pendidikan adalah
usaha membangun generasi bangsa yang lebih baik. Melalui pendidikan, jati diri
suatu bangsa dapat terus dibangun dan diwariskan secara turun-temurun. Melalui
pendidikan juga, suatu bangsa dapat meningkatkan kualitas SDM-nya (Sumber Daya
Manusia) dengan memberikan bekal pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
memadai.[3]
Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan sendiri merupakan upaya untuk
mengembangkan tumbuhnya budipekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran (intellect) dan tubuh anak. Sedangkan
menurut Romo Mangun Wijaya, pendidikan adalah proses awal usaha untuk
menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap manusia sebagai pelaku sejarah.[4]
Maka, jelas kemudian peran dan fungsi pendidikan adalah untuk membentuk pribadi
manusia yang utuh sebagai makhluk sosial dan makhluk religius. Bahkan dapat
dikatakan bahwa maju mundurnya suatu peradaban masyarakat ataupun bangsa, akan
ditentukan oleh pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat
ataupun bangsa itu sendiri.
Pendidikan
merupakan institusi kehidupan yang menampakan diri pada setiap waktu dan
tempat. Kualitas mutu proses pendidikan dapat tercermin dari kehidupan ataupun
kondisi yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Berbagai persoalan yang ada
pada kehidupan masyarakat menunjukan sejauhmana kualitas pendidikan yang
diciptakan oleh masyarakat. Karena arah tujuan pelaksanaan termasuk dari pada
isi pendidikan tersebut ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Artinya masyarakatlah
yang memiliki otoritas atas perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam
kehidupan sosialnya. Sebagaimana yang dikatakan Pierre Bourdieu bahwa, dalam
masyarakat terdapat struktur-struktur tertentu (doxa) yang mengatur
tingkah laku para anggotanya. Dalam hal ini kurikulum dari sistem pendidikan
suatu masyarakat berfungsi sebagai doxa yang mengatur dan mengarahkan
tingkah laku para anggotanya.[5] Maka,
sebagai bagian dari sistem sosial, pendidikan ikut bertanggungjawab dalam
merespon segala tuntutan, kebutuhan dan tantangan zaman. Pendidikan berkenaan
dengan perkembangan dan perubahan kelakuan anak didik. Pendidikan bertalian
dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, dan aspek-aspek
kelakuan lainnya kepada generasi muda. Pendidikan adalah proses mengajar dan
belajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat.[6]
Hampir
setiap hari pemberitaan di media televisi maupun media cetak mengabarkan
terjadinya kekerasan bahkan sampai pada kasus-kasus pembunuhan, pembuangan bayi
dan lain sebagainya. Belum lagi aksi premanisme yang kerap terjadi dalam dunia
pendidikan, yang sudah mencoreng institusi pendidikan. Aksi premanisme maupun
radikalisme dalam dunia pendidikan seperti tawuran antar pelajar yang sejak
jaman dahulu sampai sekarang belum menemukan anti biotik untuk menyembuhkan
penyakit tersebut. Serta persoalan-persoalan lain yang melibatkan dan mencoreng
dunia pendidikan. Hal ini memunculkan berbagai pertanyaan besar bagi pendidikan.
Persoalan dilingkungan masyarakat pun tidak kalah ramainya disuguhkan dalam
pemberitaan. Belum lagi para pemegang kebijakan yang tersandung berbagai macam
kasus yang cukup kompleks. Mulai dari kasus kekerasan, asusila, sampai pada
kasus korupsi. Sebagai bangsa yang memiliki dasar hidup atau yang ber-ideologikan
Pancasila tidak sepatutnya problem-problem tersebut terjadi jika bangsa itu
sendiri benar-benar mempraktikan pedoman hidup tersebut. Pancasila merupakan
dasar hidup bernegara telah menyebutkan dasar-dasar yang cukup mewakili untuk
menciptakan masyarakatnya yang sejahtera, berketuhanan, berkeadilan,
berkemanusiaan dan sebagainya.
Hal
yang menjadi persoalan kemudian adalah kenyataan bahwa pendidikan Islam
merupakan bagian dari pendidikan nasional. Dalam ungkapan yang berbeda,
pendidikan Islam adalah subsistem dari pendidikan nasional. Dengan demikian,
dapat dipastikan bahwa kegagalan pendidikan nasional yang sudah diperbincangkan
di atas, dengan seluruh bukti yang tidak terbantahkan, adalah juga kegagalan
pendidikan Islam. Dengan segala kerusakan yang tampak nyata, dapatlah menarik
kesimpulan bahwa pendidikan nasional tengah mengalami kegagalan dalam
menjalankan fungsinya. Alih-alih melahirkan generasi yang baik seperti yang
dikatakan Plato, pendidikan kini justru menghasilkan pribadi-pribadi yang di
dalam dirinya terkumpul segala macam kejelekan seperti licik, culas, curang,
khianat, brutal, malas, bodoh, rakus, korup, sombong, oportunis, tidak
bertanggungjawab dan lain sebagainya.[7]
[1] H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan (pengantar
Pedagogik transformatif untuk Indonesia, (Rineka Cipta, Jakarta; 2012),
halm. 78
[2] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam (paradigma humanisme teosentris), Cet. II
(Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2010), halm. 159.
[3]
Sutrisno dan Muhyidin, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial,
Cet. I (ar-Ruzz Media, Yogyakarta; 2012) halm. 86
[4]
Usman Abu Bakar dan Jajat
Darojat, Pendidikan Islam
Pluralis-Multikultural, Cet I, (UAB Media, Yogyakarta; 2013) halm. xx
[5]
H.A.R. Tilaar. Pendidikan
dan Kekuasaan (suatu tinjauan dari perspektif studi kultural), Cet. I,
(IndonesiaTera, Magelang; 2003), halm. 94
[6]
Nasution, Sosiologi Pendidikan, Cet. VI, (Bumi
Aksara, Jakarta; 2011), halm. 10
[7]
Sutrisno dan Muhyidin, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial,
Cet. I (ar-Ruzz Media, Yogyakarta; 2012) halm. 87