KEBIJAKAN
PENDIDIKAN SEBAGAI
KEBIJAKAN
PUBLIK
2012
A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Kebijakan publik adalah keputusan
atau seperangkat tindakan pemerintah untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang
diharapkan oleh publik (masyarakat). Maka, kebijakan pendidikan sebagai
kebijakan publik dapat dipahami sebagai kebijakan pendidikan yang berjajar/
setara dengan kebijakan secara umum. Dalam bahasa operasional, kebijakan
pendidikan menjadi prioritas utama atau pertama. Pada negara-negara maju,
“pembangunan” tidak lagi menjadi isu, kebijakan pendidikan menjadi kebijakan
publik.[1] Dapat dipahami bahwa kebijakan
pendidikan merupakan kebijakan yang memiliki wilayah publik. Sebagaimana dalam
UUD 1945 pada Bab XIII Pasal 31 Ayat 1 mengenai Pendidikan dan Kebudayaan bahwa
“setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan pada Ayat 2 mengatakan
bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya”.[2] Dasar pemeritah dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan tersebut merupakan suatu kebijakan
publik pada wilayah pendidikan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan adalah
sebagai kebijakan publik, dan publik disini adalah masyarakat atau bangsa dari
suatu wilayah atau negara. Maka, dapat disimpulkan bahwa pendidikan sendiri
merupakan fasilitas publik yang tidak diakomodir oleh sekelompok orang ataupun
sekelompok masyarakat tertentu. Pendidikan merupakan suatu wilayah publik yang
tersusun dalam bangunan struktur sosial, karena itu tidak heran ketika
pendidikan dikatakan sebagai sub-sistem dari sistem sosial masyarakat.
Pendidikan merupakan salah satu dari kegiatan sosial masyarakat, dalam rangka
meningkatkan taraf hidup baik dari segi intelektual, pengetahuan, budi pekerti,
moral, bahkan sampai pada agama. Dalam pengertian lama, pendidikan diartikan
sebagai proses pewarisan budaya dari generasi tua ke generasi selanjutnya.
Namun, pada perkembangannya definisi dari pendidikan mengalami berbagai
perubahan makna (terminologi) maupun epistemologinya.
Karena berbagai perkembangan dan cara
berpikir manusia yang terus mengalami perubahan, maka pola atau cara dalam
memahami pendidikan pun mengalami perubahan. Perlu dipahami bahwa yang dimaksud
dengan “budaya” sendiri adalah sebagaimana dijelaskan oleh seorang ahli
antropologi modern Edward B. Tylor dalam bukunya yang berjudul Primitive
Culture mendefinisikan “budaya atau peradaban sebagai suatu keseluruhan
yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat,
serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat.[3] Pada pengertian ini
pendidikan hanya berlangsung pada kegiatan transfer kemampuan-kemampuan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Artinya, pendidikan belum pada sampai
taraf sebagai creator bahkan menjadi perubah dari keadaan lingkungan
manusia. Karena itu, pendidikan dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan dalam prosesnya. Artinya, tidak ada proses pendidikan
yang terjadi didalam suatu vakum yang stagnan, pendidikan terjadi pada suatu
proses yang dilakukan oleh subyek daripada pendidikan yaitu manusia. Peranan
pendidikan di dalam kebudayaan dapat dilihat dengan nyata di dalam perkembangan
kepribadian manusia. Tanpa kepribadian manusia, tidak ada kebudayaan, meskipun
kebudayaan bukanlah sekedar jumlah dari kepribadian-kepribadian. Oleh karena
itu, individu adalah kreator dan sekaligus manipulator dari kebudayaanya. Dalam
hal ini Kroeber da Kluckhohn mengemukakan pengertian “sebab-akibat sirkuler”
yang berarti bahwa antara kepribadian dan kebudayaan terdapat suatu interaksi
yang saling menguntungkan. Di dalam pengembangan kepribadian diperlukan
kebudayaan dan seterusnya kebudayaan akan dapat berkembang melalui
kepribadian-kepribadian tersebut. Inilah yang disebut sebab-akibat sirkuler
antara kepribadian dan kebudayaan. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan bukan
semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif tetapi perlu mengembangkan
kepribadian yang kreatif.[4] Maka, pendidikan dan
kebudayaan adalah satu kesatuan dalam proses, atau bisa dikatakan bahwa
kebudayaan adalah manusia itu sendiri sedangkan pendidikan adalah proses
kehidupannya ataupun seluruh aktivitas manusia yang tidak terbatas.
Membahas ataupun mengkaji
pendidikan, memang tidak akan ada habisnya. Sebagaimana pola dan perubahan pada
masyarakat, pembicaraan pendidikan akan selalu relevan dengan kondisi maupun
situasi dimasyarakat. Oleh karena itu, pada perkembangannya ada beberapa
pandangan filsafat yang berbicara tentang pendidikan, salah satunya adalah
aliran filsafat empirisisme. Aliran ini memandang bahwa proses pendidikan tidak
hanya proses pemindahan ilmu dari satu orang kepada orang lain, akan tetapi
proses pemberian situasi kepada peserta didik sehingga ia belajar dari
lingkungan yang telah disediakan oleh pendidik. Dari setiap pandangan filsafat
memiliki kekurangan serta kelebihannya masing-masing, karena itu dalam filsafat
tidak ada yang mutlak kebenarannya. Salah satu kelemahan pada filsafat ini
adalah mengabaikan potensi internal atau kemampuan pada diri peserta didik
(manusia) itu sendiri. Begitu besarnya pengaruh pendidikan terhadap pola,
perubahan, dan keberlangsungan hidup manusia, karena itu perubahan masyarakat
dapat dilihat dari proses pendidikan yang berlangsung.
Dari dasar pemikiran tersebut, jika dikembalikan
pada fokus pembahasan mengenai kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik,
maka kebijakan pendidikan menjadi alasan untuk dilihat langsung sebagai bahan
kajian dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Karena itulah kebijakan
pendidikan dikatakatan sebagai kebijakan publik sebagaimana dijelaskan pada
awal pembahasan latar belakang tersebut. Filosofi dari kebijakan publik
berangkat dari pengakuan otoritas pemerintah untuk menetapkan alternatif
tindakan bagi publik. Penerjemahan kepentingan publik oleh pemerintah
seringkali tidak sejalan dengan pikiran masyarakat. Untuk itu, keputusan
kebijakan publik perlu dikembangkan dengan berakar pada kesadaran masyarakat
yang berbasis komunitas.[5] Ototritas pemerintah
dalam menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat adalah suatu bagian dari
kebutuhan publik karena pendidikan formal, nonformal, maupun informal merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari keseharian masyarakat.
Kebijakan pendidikan berkenaan
dengan pengaturan kehidupan dengan sesama manusia. Hal ini menunjukan aspek
sosialitas dari keberadaan manusia. Oleh sebab itu, kebijakan pendidikan tidak
terlepas dari pertanyaan mengenai apakah manusia itu ataukah apakah hakikat
dari manusia. Selanjutnya jawaban terhadap hakikat manusia akan membawa kepada
pertanyaan apakah sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia ini dan bagaimana
manusia itu dapat mewujudkan tujuan tersebut.[6] Peranan
kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik terletak pada wilayah penentuan
keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur
pengelolaan dan pendistribusian pendidikan terhadap masyarakat secara umum.
Kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik merupakan tindakan legal yang
diselenggarakan atas dasar kebutuhan atau hajat masyarakat umum pada suatu
wilayah. Karena itu, dapat dilihat kebijakan pendidikan nasional apakah sudah
memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum atau tidak. Kebijakan publik dalam
ruang lingkup pendidikan merupakan hak asasi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan
dan pengajaran. Dalam konteks tersebut, kewajiban pemerintah untuk
melaksanakannya, utamanya peranan mendasar dalam menyediakan fasilitas untuk
belajar. Dengan demikian aspek pendidikan sebagai pasilitas publik merupakan
dimensi kebijakan pendidikan, terkait dengan perspektif kebijakan publik yang
harus dikaji secara multidisipliner dengan sudut pandang analitik dan
komprehensif, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil pembahasan latar
belakang pembahasan tersebut, maka terdapat beberapa rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini, adalah sebagai berikut:
a.
Kebijakan
pendidikan berdasarkan hakikat pendidikan
b.
Kewenangan
daerah sebagai daerah otonom kebijakan pendidikan
c.
Kebijakan
pendidikan sebagai kebijakan publik (studi kasus Jembrana)
B.
Pembahasan
1.
Kebijakan Pendidikan
Berdasarkan Hakikat Pendidikan
Kebijakan merupakan instrumen
pemerintah untuk melakukan suatu tindakan dalam bidang tertentu seperti
fasilitas umum, pendidikan, transformasi, kesehatan dan lain sebagainya yang
dianggap akan berdampak positif bagi kehidupan warganya. Pengertian lainnya kebijakan
publik hanya sebatas dokumen-dokumen resmi seperti peraturan perundang-undangan
dan peraturan-peraturan pemeritah. Namun sebagian lagi mengartikan kebijakan
publik sebagai pedoman acuan, strategi dan kerangka yang dipilih atau
ditetapkan sebagai garis besar pemerintah dalam melakukan kegiatan pembangunan.[7] Sedangkan kebijakan pendidikan sendiri adalah
suatu keputusan sebagai dasar untuk melakukan suatu tindakan dalam bidang
pendidikan. Dengan demikian kebijakan pendidikan merupakan pengejawantahan dari
visi dan misi pendidikan bernuansa esensi manusia berdasarkan filsafat manusia
dan politik dalam konteks situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya
masyarakatnya.[8]
Sebelum menentukan kebijakan
pendidikan, tentunya terlebih dahulu mengupas hakikat dari pendidikan dan
proses pendidikan itu sendiri. Artinya, siapakah yang melakukan pendidikan dan
apa pengertian dari pendidikan itu. Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) dalam Bab I Pasal 1 dijelaskan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlaknya, masyarakat, bangsa dan negera.[9] Sebagai suatu upaya pemberian kondisi dan situasi
yang tersusun dalam suatu sistem pendidikan dengan dasar dan tujuan yang sudah
ditetapkan dalam per-Undang-Undangan. Nurani Soyomukti dalam bukunya
“Teori-teori Pendidikan”, mendefinisikan bahwa pendidikan adalah proses untuk
memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri.
Jadi, banyak hal yang dibicarakan ketika membicarakan pendidikan. Aspek-aspek
yang biasanya paling dipertimbangkan antara lain penyadaran, pencerahan,
pemberdayaan, dan perubahan prilaku.[10]
Dari pengertian pendidikan di atas,
terlihat penekanan pada proses pendidikan terjadi pada manusia. Dengan kata
lain, ada partisipasi dan respon teradap persoalan-persoalan manusia, sebab
itulah sebagian para ahli pendidikan mendefinisikan sebagai proses pendewasaan
diri manusia. Dalam proses pendidikan terjadi ruang dialog serta partisipasi
peserta didik dalam mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya. Rumusan
tersebut sebagai bahan konseptual yang dapat dipertimbangkan sebagai bahan
rujukan dalam merumuskan kebijakan pendidikan.
Berbagai persoalan yang terjadi di
masyarakat, menjadi perjalan bangsa Indonesia dalam dinamika sosial masyarakat.
Pasca Orde Baru, keadaan bangsa agak kurang stabil. Berbagai kerusuhan dan
konflik yang bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan menjadi pekerjaan
rumah yang sampai saat ini belum terselesaikan. Sebut saja konflik Ambon, Poso,
Papua yang berkepanjangan dengan ditandai banyaknya kerusuhan hingga saat ini.[11] Keadaan tersebut seakan mengajarkan kepada bahwa
perlu adanya rekonstruksi, reorientasi serta restrukturisasi pendidikan
sehingga menjadi implementatif bagi kehidupan masyarakat. Hal ini menjadi
alasan karena semenjak pasca kemerdekaan hingga saat ini pendidikan masih belum
menemukan formula yang cocok bagi bangsa. Perjalanan pendidikan selama puluhan
tahun, namun keadaan masyarakat masih berada dalam posisi kekuasaan sekelompok
orang. Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana seharusnya mampu mencegah
atau meminimalisir masalah keadaan di atas. Pendidikan sebagai sarana
pendewasaan masyarakat sudah selayaknya mampu menjawab dan mengikuti
perkembangan dan perubahan jaman.
Menurut Romo Mangun Wijaya,
pendidikan adalah proses awal usaha untuk menumbuhkan kesadaran sosial pada
setiap manusia sebagai pelaku sejarah. Kesadaran sosial hanya bisa tercapai
apabila seseorang telah berhasil membaca realitas perantaraan dunia di sekitar
mereka. Menurut ahli sosiologi pendidikan, terdapat relasi resiprokal (timbal
balik) antara pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat, yang jelas
pendidikan itu menumbuhkan nalar kritisisme sosial.[12] Artinya
pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar secara
intelektual dan terdidik, namun yang jauh lebih penting lagi adalah pendidikan
mewujudkan manusia yang terdidik dan juga memiliki kepekaan terhadap kondisi
sosial, agar pendidikan tidak layaknya seperti “menara gading”. Pendidikan
tidak hanya menciptakan manusia yang cerdas secara intelektual, akan tetapi
pendidikan juga memperhatikan pengembangan budipekerti, kecerdasan sosial, dan
lain sebagainya. Inilah hakikat dari apa yang akan dicapai dalam proses
pendidikan itu sendiri.
Karena itulah dalam kehidupan suatu
negara pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk menjamin
keberlangsungan hidup negara dan bangsa, karena pendidikan merupakan wahana
peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia serta sekaligus
sebagai faktor penentu keberhasilan pembangunan. Hal ini diakui bahwa
keberhasilan suatu bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam memperbaiki
dan memperbaharui sektor pendidikan. Artinya, keberhasilan tersebut akan
menentukan keberhasilan bangsa ini dalam menghadapi tantangan jaman di masa depan.[13] Karena itu, keberhasilan tersebut paling tidak
harus didukung oleh sistem pendidikan yang dibangun sesuai dengan tuntutan
jaman agar pendidikan dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan
masing-masing locus dimasyarakat. Disinilah peran pemegang kebijakan
sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan pendidikan.
Dalam hal ini tentu saja tanpa menafikan nilai-nilai kebudayaan atau kearifan
lokal yang dipegang teguh oleh masyarakat, tempat pendidikan diselenggarakan.
Salah satu dari nilai-nilai kebudayaan yang ada pada masyarakat adalah
kolektifitas, gotong royong, dan lain sebagainya.
Dari uraian singkat mengenai
pengertian dari kebijakan, kebijakan publik, kebijakan pendidikan, sampai pada
hakikat dari pendidikan itu sendiri maka dalam merumuskan kebijakan pendidikan
berdasarkan hakikat pendidikan merupakan instrumen penting dalam menentukan
keputusan berdasarkan esensi dari manusia. Pada dasarnya hidup dan kehidupan
manusia merupakan suatu proses pembelajaran atau lebih umumnya disebut dengan
proses pendidikan bagi manusia. Oleh karena itu, dalam menentukan kebijakan
pendidikan sudah seharusnya memiliki basis kemasyarakatan yang mempunyai sifat
egaliter, demokratis, berkeadilan, serta merata agar pemerintah dalam
melaksanakan atau menyelenggarakan pendidikan bisa dirasakan oleh seluruh
bangsa atau masyarakat secara umum. Sebagaimana dijelaskan dalam UU Sisdiknas
No. 20 Tahun 2003 yang tercantum dalam Bab I tentang Ketentuan Umum pada Pasal
1 Ayat 16 bahwa “Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan
pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi
masyarakat sebagai perwujudan dari, oleh, dan untuk masyarakat.[14]
2.
Kewenangan Daerah Sebagai Daerah Otonom Kebijakan Pendidikan
Sebelum jauh membahas pada
kewenangan daerah sebagai daerah otonomi pendidikan, maka sebagai latar
belakang munculnya beberapa kebijakan mengenai “pemerintah daerah” terlihat
pada pasca reformasi atau munculnya UU tersebut. Salah satu hasil dari
gelombang reformasi total ialah lahirnya dua Undang-Undang yaitu UU mengenai
otonomi, dan UU mengenai perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Kedua perangkat tersebut berhubungan erat satu dengan yang
lain, oleh karena desentralisasi tanpa pengaturan mengenai perimbangan keuangan
pusat dan daerah akan tidak mempunyai arti apa-apa. Gerakan reforamasi total
tidak terlepas dari suatu gerakan global yaitu proses demokratisasi.[15] Desentralisasi bukanlah sekedar dekonsentrasi
kekuasaan Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom. Desentralisasi pendidikan
berkenaan dengan masalah yang sangat mendasar yaitu pendidikan adalah milik
masyarakat. Pendidikan merupakan hak serta milik masyarakat, adalah lahir dan
dikembangkan dalam masyarakat yang konkret. Pendidikan sebagai proses
pembudayaan tidak terlepas dari tuntutan-tuntutan hidup bersama masyarakat yang
berbudaya. Oleh sebab itu, desentralisasi pendidikan mempunyai dua tuntutan,
yaitu akuntabilitas terhadap masyarakat sebagai pemiliknya (akuntabilitas
horizontal), dan selanjutnya di dalam hidup bersama sebagai satu bangsa, bangsa
Indonesia, maka pendidikan juga mempunyai fungsi di dalam pengembangan sosial
capital persatuan bangsa. Inilah yang disebut dengan akuntabilitas
vertikal pendidikan nasional.[16]
Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang berisi mengenai Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Daerah dan diiringi pula PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, sebagaimana
disebutkan di atas. Maka penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan
memberi kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara
proporsional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber
daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan antara keuangan pusat dan
daerah.[17] Secara prinsipil, otonomi kebijakan
pendidikan mengenai desentralisasi ini adalah upaya pemerintah dalam
meningkatkan mutu pendidikan nasional, sehingga mampu membangun serta
mengembangkan bangsa dalam persaingan dunia global. Sumber daya manusia yang
berpendidikan akan menjadi modal dalam pembangunan nasional terutama dalam
membangun keadilan dan kesejahteraan bangsa. Pembangunan dan peningkatan mutu
pendidikan diharapakan akan mempunyai efektivitas, efisiensi, dan produktivitas
pendidikan. Artinya, dalam rangka pembangunan nasional pendidikan harus
dikembalikan pada masing-masing pemiliknya (budaya), sehingga dalam mengambil
kebijakan pendidikan akan lebih implementatif terhadap budaya lokal. Sedangkan
kebijakan pemerataan pendidikan diharapakan akan mampu mengakomodasi seluruh
anak bangsa dalam memperoleh pendidikan. Sehingga otonomi daerah untuk
kebijakan pendidikan menjadi relevan dan bermutu bagi penyelenggaraan
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pemahaman otonomi daerah dapat
dilihat pada dasar kebijakan publik tentang otonomi daerah, yaitu UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. otonomi merupakan produk atau desentralisasi.[18] Sedangkan menurut Dennis A. Rondinelli dan
Shabbir Cheema mengemukakan bahwa desentralisasi berkembang bukan saja
berkenaan dengan menurunnya efektivitas penyelenggaraan administrasi publik
yang tersentralisasi, akan tetapi dikarenakan meningkatnya kompleksitas dan
ketidak pastian proses pembangunan. Dikemukakan Rondinelli dan Cheema bahwa
desentralisasi adalah sebagai transfer pengelolaan ke unit-unit yang lebih
kecil atau berada di bawahnya. Dikemukakan sebagai berikut:
Desentralization
is....the transfer of planning, decission making, or administrative autheory
from central goverment to its field organization, local administrative units,
semi-autonomous and parastatal organizations, local goverments, or
non-govermental organizations.[19]
Setidaknya ada enam istilah yang
perlu dijelaskan, berkenaan dengan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu
desentralisasi, dekonsentrasi, delegasi, devolusi, privatisasi, dan otonomi.
Rondinelli membedakan kedalam empat kategori. Desentralisasi adalah penyerahan
otoritas pusat ke daerah-daerah. Dekonsentrasi adalah penyerahan tanggungjawab
layanan sektor tertentu pada perwakilan pemerintah pusat di daerah. Delegasi
adalah pengalihan tanggungjawab untuk membuat keputusan dan mengatur
pengelolaan layanan publik kepada pemerintah daerah. Daerah lebih bersifat semi
otonom. Dalam devolusi pemerintah pusat mengalihkan otoritas pembuatan
keputusan dan implementasinya kepada daerah. Devolusi memberi hak penuh kepada
daerah untuk memilih dan mengangkat Wali Kota atau Bupati, menyusun anggaran,
dan membuat keputusan sendiri. Sedangkan privatisasi merupakan pengalihan
otoritas sektoral kepada usaha-usaha swasta. Dan otonomi merupakan arah balik
dari desentralisasi. Desentralisasi berangkat dari otoritas pusat yang
diserahkan ke daerah; sedang otonomi berangkat dari pengakuan atas otoritas
daerah.[20] Kemudian jika berbicara upaya menuju
desentralisasi pendidikan, maka difokuskan pada penataan kewenangan pusat dan
daerah. Daerah perlu memiliki peluang untuk mengembangkan pendidikan sesuai
dengan kebutuhan dan potensi daerah. Sementara itu, pusat mengurus hal-hal yang
strategis pada tatanan nasional, yaitu pengembangan kurikulum nasional, bantuan
teknis, bantuan dana, monitoring, pendidikan bahasa Indonesia, pembakuan mutu,
pendidikan moral dan karakter bangsa, dan pemberian kesempatan pendidikan pada
kelompok masyarakat yang kurang beruntung. PP No. 25/2000 telah memberikan
rambu-rambu tersebut, namun pelaksanaannya sangat tergantung pada masing-masing
daerah.[21]
Model pengelolaan pendidikan
nasional telah mengalami restrukturisasi dalam rangka pembangunan nasioanl.
Sebagaimana dijelaskan pada penjelasan di atas, bahwa adanya UU serta Peraturan
Pemerintah tentang kewenangan daerah dalam mengelola pendidikannya telah
memberikan peluang pada masing-masing daerah. Dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan dan untuk pembangunan pendidikan unggul, kebijakan pemerintah
tersebut memeberikan keluasan dalam merumuskan kebijakan pendidikan bagi setiap
daerahnya. Hal tersebut sebagaimana terjelaskan dalam isi UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Artinya, mengenai pengelolaan pendidikan pada
masing-masing daerah sangat tergantung pada rumusan kebijakan pendidikan di
masing-masing daerah. Maka, kewenangan daerah sebagai daerah otonom
pengambil kebijakan pendidikan adalah salah satu bentuk dari derivasi kebijakan
pemerintah (kebijakan publik) mengenai desentralisasi pendidikan.
3.
Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik (Studi Kasus
Jembrana)
Sebagaimana dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya, bahwa pembahasan mengenai kebijakan pendidikan
berdasarkan hakikat pendidikan adalah dasar dan bahan konseptual yang dapat
dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, yang seluruh proses
hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan,[22] maka
pendidikan sudah selayaknya mampu memecahkan persoalan-persoalan manusia dan
kemanusiaan (problem solving) sehingga pendidikan memiliki
karakter yang aplikatif terkadap kondisi dan lingkungan masyarakat. Maka,
pendidikan tidak hanya menciptakan manusia yang memiliki intelektual tinggi,
kecerdasan yang mumpuni, akan tetapi mendidik berarti membimbing tumbuhnya budi
pekerti serta mengembangkan manusia berbudaya (educated and civilized human
being) dan membentuk masyarakat yang beradab dan bersusila. Pendidikan juga
membentuk manusia supaya mampu melihat situasi dari lingkungan dimana ia
berada, secara kritis ia mampu berperan sebagai pengubah suatu kondisinya, dan
tidak kondisi yang mengubah dirinya. Artinya, proses internalisasi nilai-nilai
budaya dalam pendidikan mampu menjadi penggerak (move) dalam pembangunan
masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera. Dari sinilah dapat dijadikan sebagai
landasan dalam kebijakan pendidikan, bahwa pendidikan adalah hak setiap warga
(manusia) dalam proses pendewasaan dirinya. Karena itu, pemerintah sebagai
pemegang wewenang kebijkan paling tidak mampu melihat dari dasar dan hakikat
dari manusia itu sendiri, sebagai subyek dari pendidikan. Kemudian terkait
dengan kewenangan daerah sebagai daerah otonomi pendidikan, menjadi peluang
bagi setiap daerah dalam meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Dengan adanya
otonomi daerah yang terwujud dalam suatu kebijakan desentralisasi pendidikan,
pemerintah daerah dapat merumuskan kebijakan pendidikan sesuai dengan kondisi
sosial, ekonomi, maupun budaya setempat.
Sebagai suatu perwujudan dari
otonomi daerah serta wilayah yang mempunyai komitmen terhadap kebijakan
pendidikan salah satunya adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana, mempunyai
prinsip pembangunan bahwa perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi
menjadi desentralisasi membawa konsekuensi logis dalam perencanaan dan
penyelenggaraan pembangunan daerah. Di tengah arus globalisasi yang mempertipis
batas antar negara, adanya pengaruh sosial budaya dari berbagai negara,
lemahnya kemampuan dalam membiayai pendidikan dan lain sebagainya. Merupakan
bagian dari tantangan bagi masyarakat Jembrana dalam mengimbangi perkembangan
dan perubahan jaman, karena lemahnya kemampuan masyarakat dalam membiayai
pendidikan. Dengan demikian, bidang pendidikan merupakan salah satu prioritas
utama dalam pembangunan di Kabupaten Jembrana. Pemerintah di Kabupaten Jembrana
menyadari bahwa investasi sumber daya manusia adalah investasi jangka panjang
yang akan melanjutkan pembangunan di Kabupaten Jembrana. Kegagalan pendidikan
dapat menyebabkan keterbelakangan dan keterpurukan sehingga terancam kehilangan
sebuah generasi (lost generation).[23] Salah satu
yang menjadi alasan mengapa kebijakan pendidikan di Jembrana menjadi layak
untuk disoroti dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Dari permasalahan dan tantangan yang
dihadapi oleh masyarakat Jembrana dengan segala keterbatasannya, maka
Pemerintahnya memiliki visi “terwujudnya masyarakat Jembrana yang bahagia dan
sejahtera, berkeadilan dan berbudaya yang dilandasi dengan iman dan taqwa serta
didukung oleh sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas serta
semangat makepung untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan”.
Komitmen yang dibangun oleh masyarakat Jembrana tersebut ditopang Dinas
Pendidikan Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jembrana yang bersentuhan
langsung dengan pembangunan pendidikan, yang merupakan penjabaran dari visi
Kabupaten menjadi landasan operasional dalam pembangunan pendidikan juga
sebagai kebijakan pendidikan yang merupakan perwujudan dari otonomi daerah.
Dalam visinya tersebut adalah “terwujudnya pendidikan yang berbudaya, merata,
bermutu, efektif dan efisien serta relevan dengan kebutuhan masyarakat. Adapun
kebijakan pertama yang direalisasikan adalah kebijakan mengenai pembebasan
iuran wajib pada sekolah Negeri, yang sebelumnya di atur dengan keputusan
Bupati No. 24 Tahun 2003. Kebijakan yang kedua adalah tentang pemberian
beasiswa kepada semua tingkat (jenjang pendidikan) yang memiliki nilai Surat
Tanda Kelulusan (STK) tertinggi dan berprestasi dibidang olah raga, Kebijakan
tersebut tertuang pada Keputusan Bupati No. 1615 Tahun 2004. Kemudian kebijakan
yang ke tiga adalah Perda No. 10/ 2006 tentang subsidi biaya pendidikan pada
TK, SD, SMP, SMA, dan SMK Negeri di Kabupaten Jembrana. Kebijakan ini
disebutkan sebagai subsidi biaya pendidikan adalah sejumlah uang yang harus
dibayarkan setiap bulan untuk membiayai pendidikan dengan besaran anggaran yang
telah ditentukan.[24]
Pemahaman awal dari studi kasus
tersebut, bahwa terdapat beberapa asumsi atau pemahaman terhadap kebijakan
pendidikan dan kebijakan publik. Yaitu, kebijakan pendidikan sebagai bagian
dari kebijakan publik, dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik.
Permahaman pertama adalah salah satu turunan atau derivat dari
kebijakan publik, dimana kebijakan publik di negara berkembang dipahami sebagai kebijakan
pembangunan. Dengan kebijakan pendidikan menjadi kebijakan sektoral yang
harus bersaing dengan sektor lain untuk mendapatkan prioritas. Pada kondisi
seperti ini, kebijakan pendidikan tidak jarang mengalah terhadap kebijakan
sektoral lainnya. Pemahaman kedua, kebijakan pendidikan sebagai kebijakan
publik, yaitu ketika kebijakan pendidikan berjajar setara dengan kebijakan
secara umum. Dalam bahasa operasional, kebijakan pendidikan menjadi prioritas
utama atau pertama. Pada negara-negara maju, “pembangunan” tidak lagi menjadi
isu, kebijakan pendidikan menjadi kebijakan publik.[25] Persoalan
ini perlu dianalisis dalam implementasi kebijakan pemerintah pusat maupun
daerah. Karena hal ini mempunyai kaitan dengan sektor-sektor publik yang
dikelola secara serius, serta besar tingkat urgensi bagi pemerintah di dalam
menetapkan prioritas pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, dapat diasumsikan
bahwa kasus kebijakan pendidikan di Kabupaten Jembrana tersebut termasuk pada
asumsi kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik.
C.
Kesimpulan
Kebijakan publik merupakan suatu
proses yang amat kompleks, bersifat analitis dan bahkan bersifat politis karena
dalam menerapkan kebijakan-kebijakan publik tidak terlepas dari
kepentingan-kepentingan. Namun, seharusnya kebijakan publik hanya memiliki
kepentingan atau tujuan umum, yaitu pada semua masyarakat secara umum (publik).
Oleh karena itu, kebijakan pendidikan akan sangat tergantung pada pemegang
kebijakan yang berwenang. Dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan mempunyai
pengaruh pada struktur yang ada dalam sistem pemerintahan. Bahkan tidak jarang
seringkali menimbulkan pertanyaan maupun konflik dalam mengimplementasikan
kebijakan karena adanya kepentingan pada masing-masing pemegang wewenang
kebijakan. Namun, dapat dipahami bahwa dalam setiap kebijakan yang diambil oleh
pemerintah, akan selalu menimbulkan akibat tehadap kehidupan bahkan
kelangsungan hidup bangsa.
Kebijakan pendidikan merupakan
bagian dari kebijakan publik, karena memposisikan pendidikan pada sektor publik
atau sarana publik yang dikelola secara serius oleh pemerintah dalam rangka
pembangunan nasional. Kebijakan publik merupakan suatu tindakan legal yang
dibuat oleh orang atau sekelompok orang yang memiliki otoritas dan legitimasi
dalam sistem pemerintahan. Setiap daerah memiliki wewenang dalam mengelola dan
mengembangkan sumber daya alam serta sumber daya manusianya dalam rangka
pembangunan Nasional melalui upaya peningkatan mutu pendidikan.
1.
Kebijakan
pendidikan berdasarkan hakikat pendidikan
Kebijakan adalah suatu keputusan
yang tertuang dalam suatu dokumen Undang-Undang ataupun dalam suatu Peraturan
Pemerintah. Adapun dalam merumuskan kebijakan pendidikan harus berdasarkan
hakikat dari pendidikan, yang mengacu pada aspek penyadaran, pencerahan,
pemberdayaan, dan perubahan prilaku serta memiliki sifat demokratis, egaliter,
serta berkeadilan sehingga mampu dirasakan oleh semua kalangan masyarakat
secara umum (publik). Karena itu dalam suatu rumusan kebijakan pendidikan tidak
dimanipulasi oleh kepentingan politik tertentu, hal tersebut sebagaimana
penjelasan dalam UUD 1945 Bab III Pasal 31 Ayat 1 dan 2 tentang Pendidikan dan
Kebudayaan memberikan penjelasan bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan” dan “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”. Dari Undang-Undang tersebut sudah terlihat
bahwa penyusunan kebijakan pendidikan tidak terlepas dari esensi manusia, yakni
pendidikan tidak bisa dipisahkan dari manusia, dan merupakan kebijakan yang
berupaya untuk meningkatkan taraf hidup dan kehidupan masyarakat secara umum
(publik).
2.
Kewenangan
daerah sebagai daerah otonom kebijakan pendidikan
Sebagaimana penjelasan mengenai
kewengan daerah sebagai daerah otonom pengambil kebijakan pendidikan, tertuang
dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Bahwa otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Alasan dan peluang yang besar bagi masing-masing
daerah dalam meningkatkan mutu dan taraf hidup masyarakatnya. Pemerintah daerah
memiliki wewenang dalam mengelola dan mengatur daerahnya sehingga kebijakan
yang dibuat sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, maupun budaya daerah
masing-masing. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat. Undang-undang disini sebagai respon terhadap pemerataan
pendidikan yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31.
3.
Kebijakan
pendidikan sebagai kebijakan publik (studi kasus Jembrana)
Kebijakan publik adalah seperangkat
tindakan ataupun keputusan pemerintah yang didesain menurut aturan dan ditujuan
untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapakan oleh masyarakat secara
umum (publik). Karena itu kebijakan publik adalah kewenangan pemerintah, yang
merupakan representasi dari masyarakat secara umum. Salah satu ruang publik
atau fasilitas publik salah satunya adalah pendidikan yang memiliki tujuan
untuk memberdayakan. Sebagai wujud dari kebijakan pendidikan mengenai otonomi
daerah adalah desentralisasi pendidikan, yang merupakan salah satu dari
gambaran dari kebijakan publik. Kebijakan Pendidikan sebagai wujud dari
derivasi kebijakan otonomi daerah mengenai desentralisasi pendidikan tertuang
dalam suatu Peraturan Pemerintah Daerah di Kabupaten Jembrana misalnya. Adapun
kebijakan publik pada wilayah pendidikan adalah sebagai berikut;
a.
Kebijakan
mengenai pembebasan iuran wajib pada sekolah Negeri, dalam Keputusan Bupati No.
24 Tahun 2003.
b.
Kebijakan
mengenai pemberian beasiswa kepada semua tingkat (jenjang pendidikan) yang
memiliki nilai Surat Tanda Kelulusan (STK) tertinggi dan berprestasi dibidang
olah raga, Kebijakan tersebut tertuang pada Keputusan Bupati No. 1615 Tahun 2004.
c.
Perda
No. 10/ 2006 tentang subsidi biaya pendidikan pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK
Negeri di Kabupaten Jembrana.
Kebijakan publik merupakan
keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur
pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, finansial dan manusia demi
kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat. Kebijakan
pendidikan adalah salah satu turunan dari tujuan pendidikan yang berupa suatu
keputusan yang berdasarkan pada esensi manusia dan dalam konteks situasi maupun
kondisi sosial, ekonomi, maupun budaya tertentu.
D.
Daftar Pustaka
Ø Aminuddin Bakry. Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan
Publik, (Jurnal Medtek, Vol 2, No. 1. 2010.
Ø Benni Setiawan. Agenda Pendidikan Nasional (analisis
pendidikan nasional). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2008.
Ø Fasli Jalal dan Dedi Supriadi. Reformasi Pendidikan Dalam
konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicipta Karya Nusa. 2001.
Ø Haidar Putra Daulay. Pendidikan Islam (dalam sistem pendidikan
Nasional Indonesia). Jakarta: Kencana. 2004.
Ø H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho. Kebijakan Pendidikan
(pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai
kebijakan publik). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
Ø H.A.R Tilaar. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta:
Rineka Cipta. 2006
Ø __________. Paradigma Pendidikan Nasional. Jakarta:
Rineka Cipta. 2004
Ø __________. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani
Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002.
Ø Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Edisi Revisi,
Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI. 2011.
Ø Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan Indonesia Belajar Dari Paulo
Freire dan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2009.
Ø Nurani Soyomukti. Teori-teori Pendidikan. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media. 2010.
Ø Riant Nugroho. Kebijakan Pendidikan Yang Unggul (kasus
pembangunan pendidikan di kabupaten jembrana 2000-2006). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2008.
Ø Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS) dan Penjelasannya. Yogyakarta: Media Wacana. 2005.
Ø Usman Abu Bakar dan Surohim. Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan
Islam. Yogyakarta: Safiria Insania Press. 2005.
[1] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan
(pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai
kebijakan publik), Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 365.
[2] Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI),
Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Edisi Revisi,
Cet. X (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2011), hal. 175.
[3] H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat
Madani Indonesia, Cet. III, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 39.
[4] Ibid., hal. 50.
[5] Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan
Dalam konteks Otonomi Daerah, Cet. I, (Yogyakarta: Adicipta Karya Nusa,
2001), hal. 72.
[6] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan...,
hal. 18.
[7] Aminuddin Bakry, Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan
Publik, (Jurnal Medtek, Vol 2, No. 1. 2010)
[8] Ibid.
[9] Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) dan Penjelasannya, (Yogyakarta: Media
Wacana, 2005), hal. 3
[10] Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan, Cet. I,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hal. 27.
[11] Benni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional (analisis
pendidikan nasional), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hal 77.
[12] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia Belajar Dari
Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2009), hal. 15.
[13] Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga
Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hal.
1.
[14] Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem
Pendidikan..., hal. 6.
[15] H.A.R. Tilaar, Paradigma Pendidikan Nasional, Cet.
II, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 85.
[16] H.A.R Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, Cet.
I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 26.
[17] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam (dalam sistem
pendidikan Nasional Indonesia), Cet. I, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 60.
[18] Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan Yang Unggul (kasus
pembangunan pendidikan di Kabupaten Jembrana 2000-2006), Cet. I, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hal. 23.
[19] Ibid., 25.
[20] Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan...,
hal. 75.
[21] Ibid., hal. 99.
[22] Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda..., hal. 119.
[23] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan...,
hal. 367.
[24] Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 45.
[25] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal.
364.