Pages

Jumat, 15 Agustus 2014

KEBIJAKAN PENDIDIKAN SEBAGAI
KEBIJAKAN PUBLIK
2012
A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang
            Kebijakan publik adalah keputusan atau seperangkat tindakan pemerintah untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik (masyarakat). Maka, kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik dapat dipahami sebagai kebijakan pendidikan yang berjajar/ setara dengan kebijakan secara umum. Dalam bahasa operasional, kebijakan pendidikan menjadi prioritas utama atau pertama. Pada negara-negara maju, “pembangunan” tidak lagi menjadi isu, kebijakan pendidikan menjadi kebijakan publik.[1] Dapat dipahami bahwa kebijakan pendidikan merupakan kebijakan yang memiliki wilayah publik. Sebagaimana dalam UUD 1945 pada Bab XIII Pasal 31 Ayat 1 mengenai Pendidikan dan Kebudayaan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan pada Ayat 2 mengatakan bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.[2] Dasar pemeritah dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan tersebut merupakan suatu kebijakan publik pada wilayah pendidikan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan adalah sebagai kebijakan publik, dan publik disini adalah masyarakat atau bangsa dari suatu wilayah atau negara. Maka, dapat disimpulkan bahwa pendidikan sendiri merupakan fasilitas publik yang tidak diakomodir oleh sekelompok orang ataupun sekelompok masyarakat tertentu. Pendidikan merupakan suatu wilayah publik yang tersusun dalam bangunan struktur sosial, karena itu tidak heran ketika pendidikan dikatakan sebagai sub-sistem dari sistem sosial masyarakat. Pendidikan merupakan salah satu dari kegiatan sosial masyarakat, dalam rangka meningkatkan taraf hidup baik dari segi intelektual, pengetahuan, budi pekerti, moral, bahkan sampai pada agama. Dalam pengertian lama, pendidikan diartikan sebagai proses pewarisan budaya dari generasi tua ke generasi selanjutnya. Namun, pada perkembangannya definisi dari pendidikan mengalami berbagai perubahan makna (terminologi) maupun epistemologinya.
            Karena berbagai perkembangan dan cara berpikir manusia yang terus mengalami perubahan, maka pola atau cara dalam memahami pendidikan pun mengalami perubahan. Perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan “budaya” sendiri adalah sebagaimana dijelaskan oleh seorang ahli antropologi modern Edward B. Tylor dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture mendefinisikan “budaya atau peradaban sebagai suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[3] Pada pengertian ini pendidikan hanya berlangsung pada kegiatan transfer kemampuan-kemampuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Artinya, pendidikan belum pada sampai taraf sebagai creator bahkan menjadi perubah dari keadaan lingkungan manusia. Karena itu, pendidikan dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam prosesnya. Artinya, tidak ada proses pendidikan yang terjadi didalam suatu vakum yang stagnan, pendidikan terjadi pada suatu proses yang dilakukan oleh subyek daripada pendidikan yaitu manusia. Peranan pendidikan di dalam kebudayaan dapat dilihat dengan nyata di dalam perkembangan kepribadian manusia. Tanpa kepribadian manusia, tidak ada kebudayaan, meskipun kebudayaan bukanlah sekedar jumlah dari kepribadian-kepribadian. Oleh karena itu, individu adalah kreator dan sekaligus manipulator dari kebudayaanya. Dalam hal ini Kroeber da Kluckhohn mengemukakan pengertian “sebab-akibat sirkuler” yang berarti bahwa antara kepribadian dan kebudayaan terdapat suatu interaksi yang saling menguntungkan. Di dalam pengembangan kepribadian diperlukan kebudayaan dan seterusnya kebudayaan akan dapat berkembang melalui kepribadian-kepribadian tersebut. Inilah yang disebut sebab-akibat sirkuler antara kepribadian dan kebudayaan. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif tetapi perlu mengembangkan kepribadian yang kreatif.[4] Maka, pendidikan dan kebudayaan adalah satu kesatuan dalam proses, atau bisa dikatakan bahwa kebudayaan adalah manusia itu sendiri sedangkan pendidikan adalah proses kehidupannya ataupun seluruh aktivitas manusia yang tidak terbatas.
            Membahas ataupun mengkaji pendidikan, memang tidak akan ada habisnya. Sebagaimana pola dan perubahan pada masyarakat, pembicaraan pendidikan akan selalu relevan dengan kondisi maupun situasi dimasyarakat. Oleh karena itu, pada perkembangannya ada beberapa pandangan filsafat yang berbicara tentang pendidikan, salah satunya adalah aliran filsafat empirisisme. Aliran ini memandang bahwa proses pendidikan tidak hanya proses pemindahan ilmu dari satu orang kepada orang lain, akan tetapi proses pemberian situasi kepada peserta didik sehingga ia belajar dari lingkungan yang telah disediakan oleh pendidik. Dari setiap pandangan filsafat memiliki kekurangan serta kelebihannya masing-masing, karena itu dalam filsafat tidak ada yang mutlak kebenarannya. Salah satu kelemahan pada filsafat ini adalah mengabaikan potensi internal atau kemampuan pada diri peserta didik (manusia) itu sendiri. Begitu besarnya pengaruh pendidikan terhadap pola, perubahan, dan keberlangsungan hidup manusia, karena itu perubahan masyarakat dapat dilihat dari proses pendidikan yang berlangsung.
            Dari dasar pemikiran tersebut, jika dikembalikan pada fokus pembahasan mengenai kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik, maka kebijakan pendidikan menjadi alasan untuk dilihat langsung sebagai bahan kajian dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Karena itulah kebijakan pendidikan dikatakatan sebagai kebijakan publik sebagaimana dijelaskan pada awal pembahasan latar belakang tersebut. Filosofi dari kebijakan publik berangkat dari pengakuan otoritas pemerintah untuk menetapkan alternatif tindakan bagi publik. Penerjemahan kepentingan publik oleh pemerintah seringkali tidak sejalan dengan pikiran masyarakat. Untuk itu, keputusan kebijakan publik perlu dikembangkan dengan berakar pada kesadaran masyarakat yang berbasis komunitas.[5] Ototritas pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat adalah suatu bagian dari kebutuhan publik karena pendidikan formal, nonformal, maupun informal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseharian masyarakat.
            Kebijakan pendidikan berkenaan dengan pengaturan kehidupan dengan sesama manusia. Hal ini menunjukan aspek sosialitas dari keberadaan manusia. Oleh sebab itu, kebijakan pendidikan tidak terlepas dari pertanyaan mengenai apakah manusia itu ataukah apakah hakikat dari manusia. Selanjutnya jawaban terhadap hakikat manusia akan membawa kepada pertanyaan apakah sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia ini dan bagaimana manusia itu dapat mewujudkan tujuan tersebut.[6] Peranan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik terletak pada wilayah penentuan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian pendidikan terhadap masyarakat secara umum. Kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik merupakan tindakan legal yang diselenggarakan atas dasar kebutuhan atau hajat masyarakat umum pada suatu wilayah. Karena itu, dapat dilihat kebijakan pendidikan nasional apakah sudah memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum atau tidak. Kebijakan publik dalam ruang lingkup pendidikan merupakan hak asasi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Dalam konteks tersebut, kewajiban pemerintah untuk melaksanakannya, utamanya peranan mendasar dalam menyediakan fasilitas untuk belajar. Dengan demikian aspek pendidikan sebagai pasilitas publik merupakan dimensi kebijakan pendidikan, terkait dengan perspektif kebijakan publik yang harus dikaji secara multidisipliner dengan sudut pandang analitik dan komprehensif, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
2.      Rumusan Masalah
            Berdasarkan hasil pembahasan latar belakang pembahasan tersebut, maka terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah sebagai berikut:
a.       Kebijakan pendidikan berdasarkan hakikat pendidikan
b.      Kewenangan daerah sebagai daerah otonom kebijakan pendidikan
c.       Kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik (studi kasus Jembrana)
B.     Pembahasan
1.      Kebijakan Pendidikan Berdasarkan Hakikat Pendidikan
            Kebijakan merupakan instrumen pemerintah untuk melakukan suatu tindakan dalam bidang tertentu seperti fasilitas umum, pendidikan, transformasi, kesehatan dan lain sebagainya yang dianggap akan berdampak positif bagi kehidupan warganya. Pengertian lainnya kebijakan publik hanya sebatas dokumen-dokumen resmi seperti peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan pemeritah. Namun sebagian lagi mengartikan kebijakan publik sebagai pedoman acuan, strategi dan kerangka yang dipilih atau ditetapkan sebagai garis besar pemerintah dalam melakukan kegiatan pembangunan.[7] Sedangkan kebijakan pendidikan sendiri adalah suatu keputusan sebagai dasar untuk melakukan suatu tindakan dalam bidang pendidikan. Dengan demikian kebijakan pendidikan merupakan pengejawantahan dari visi dan misi pendidikan bernuansa esensi manusia berdasarkan filsafat manusia dan politik dalam konteks situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakatnya.[8]
            Sebelum menentukan kebijakan pendidikan, tentunya terlebih dahulu mengupas hakikat dari pendidikan dan proses pendidikan itu sendiri. Artinya, siapakah yang melakukan pendidikan dan apa pengertian dari pendidikan itu. Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) dalam Bab I Pasal 1 dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaknya, masyarakat, bangsa dan negera.[9] Sebagai suatu upaya pemberian kondisi dan situasi yang tersusun dalam suatu sistem pendidikan dengan dasar dan tujuan yang sudah ditetapkan dalam per-Undang-Undangan. Nurani Soyomukti dalam bukunya “Teori-teori Pendidikan”, mendefinisikan bahwa pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Jadi, banyak hal yang dibicarakan ketika membicarakan pendidikan. Aspek-aspek yang biasanya paling dipertimbangkan antara lain penyadaran, pencerahan, pemberdayaan, dan perubahan prilaku.[10]
            Dari pengertian pendidikan di atas, terlihat penekanan pada proses pendidikan terjadi pada manusia. Dengan kata lain, ada partisipasi dan respon teradap persoalan-persoalan manusia, sebab itulah sebagian para ahli pendidikan mendefinisikan sebagai proses pendewasaan diri manusia. Dalam proses pendidikan terjadi ruang dialog serta partisipasi peserta didik dalam mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya. Rumusan tersebut sebagai bahan konseptual yang dapat dipertimbangkan sebagai bahan rujukan dalam merumuskan kebijakan pendidikan.
            Berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat, menjadi perjalan bangsa Indonesia dalam dinamika sosial masyarakat. Pasca Orde Baru, keadaan bangsa agak kurang stabil. Berbagai kerusuhan dan konflik yang bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan menjadi pekerjaan rumah yang sampai saat ini belum terselesaikan. Sebut saja konflik Ambon, Poso, Papua yang berkepanjangan dengan ditandai banyaknya kerusuhan hingga saat ini.[11] Keadaan tersebut seakan mengajarkan kepada bahwa perlu adanya rekonstruksi, reorientasi serta restrukturisasi pendidikan sehingga menjadi implementatif bagi kehidupan masyarakat. Hal ini menjadi alasan karena semenjak pasca kemerdekaan hingga saat ini pendidikan masih belum menemukan formula yang cocok bagi bangsa. Perjalanan pendidikan selama puluhan tahun, namun keadaan masyarakat masih berada dalam posisi kekuasaan sekelompok orang. Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana seharusnya mampu mencegah atau meminimalisir masalah keadaan di atas. Pendidikan sebagai sarana pendewasaan masyarakat sudah selayaknya mampu menjawab dan mengikuti perkembangan dan perubahan jaman.
            Menurut Romo Mangun Wijaya, pendidikan adalah proses awal usaha untuk menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap manusia sebagai pelaku sejarah. Kesadaran sosial hanya bisa tercapai apabila seseorang telah berhasil membaca realitas perantaraan dunia di sekitar mereka. Menurut ahli sosiologi pendidikan, terdapat relasi resiprokal (timbal balik) antara pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat, yang jelas pendidikan itu menumbuhkan nalar kritisisme sosial.[12] Artinya pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar secara intelektual dan terdidik, namun yang jauh lebih penting lagi adalah pendidikan mewujudkan manusia yang terdidik dan juga memiliki kepekaan terhadap kondisi sosial, agar pendidikan tidak layaknya seperti “menara gading”. Pendidikan tidak hanya menciptakan manusia yang cerdas secara intelektual, akan tetapi pendidikan juga memperhatikan pengembangan budipekerti, kecerdasan sosial, dan lain sebagainya. Inilah hakikat dari apa yang akan dicapai dalam proses pendidikan itu sendiri.
            Karena itulah dalam kehidupan suatu negara pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk menjamin keberlangsungan hidup negara dan bangsa, karena pendidikan merupakan wahana peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia serta sekaligus sebagai faktor penentu keberhasilan pembangunan. Hal ini diakui bahwa keberhasilan suatu bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam memperbaiki dan memperbaharui sektor pendidikan. Artinya, keberhasilan tersebut akan menentukan keberhasilan bangsa ini dalam menghadapi tantangan jaman di masa depan.[13] Karena itu, keberhasilan tersebut paling tidak harus didukung oleh sistem pendidikan yang dibangun sesuai dengan tuntutan jaman agar pendidikan dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan masing-masing locus dimasyarakat. Disinilah peran pemegang kebijakan sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan pendidikan. Dalam hal ini tentu saja tanpa menafikan nilai-nilai kebudayaan atau kearifan lokal yang dipegang teguh oleh masyarakat, tempat pendidikan diselenggarakan. Salah satu dari nilai-nilai kebudayaan yang ada pada masyarakat adalah kolektifitas, gotong royong, dan lain sebagainya.
            Dari uraian singkat mengenai pengertian dari kebijakan, kebijakan publik, kebijakan pendidikan, sampai pada hakikat dari pendidikan itu sendiri maka dalam merumuskan kebijakan pendidikan berdasarkan hakikat pendidikan merupakan instrumen penting dalam menentukan keputusan berdasarkan esensi dari manusia. Pada dasarnya hidup dan kehidupan manusia merupakan suatu proses pembelajaran atau lebih umumnya disebut dengan proses pendidikan bagi manusia. Oleh karena itu, dalam menentukan kebijakan pendidikan sudah seharusnya memiliki basis kemasyarakatan yang mempunyai sifat egaliter, demokratis, berkeadilan, serta merata agar pemerintah dalam melaksanakan atau menyelenggarakan pendidikan bisa dirasakan oleh seluruh bangsa atau masyarakat secara umum. Sebagaimana dijelaskan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang tercantum dalam Bab I tentang Ketentuan Umum pada Pasal 1 Ayat 16 bahwa “Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan dari, oleh, dan untuk masyarakat.[14]
2.      Kewenangan Daerah Sebagai Daerah Otonom Kebijakan Pendidikan
            Sebelum jauh membahas pada kewenangan daerah sebagai daerah otonomi pendidikan, maka sebagai latar belakang munculnya beberapa kebijakan mengenai “pemerintah daerah” terlihat pada pasca reformasi atau munculnya UU tersebut. Salah satu hasil dari gelombang reformasi total ialah lahirnya dua Undang-Undang yaitu UU mengenai otonomi, dan UU mengenai perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua perangkat tersebut berhubungan erat satu dengan yang lain, oleh karena desentralisasi tanpa pengaturan mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah akan tidak mempunyai arti apa-apa. Gerakan reforamasi total tidak terlepas dari suatu gerakan global yaitu proses demokratisasi.[15] Desentralisasi bukanlah sekedar dekonsentrasi kekuasaan Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom. Desentralisasi pendidikan berkenaan dengan masalah yang sangat mendasar yaitu pendidikan adalah milik masyarakat. Pendidikan merupakan hak serta milik masyarakat, adalah lahir dan dikembangkan dalam masyarakat yang konkret. Pendidikan sebagai proses pembudayaan tidak terlepas dari tuntutan-tuntutan hidup bersama masyarakat yang berbudaya. Oleh sebab itu, desentralisasi pendidikan mempunyai dua tuntutan, yaitu akuntabilitas terhadap masyarakat sebagai pemiliknya (akuntabilitas horizontal), dan selanjutnya di dalam hidup bersama sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia, maka pendidikan juga mempunyai fungsi di dalam pengembangan sosial capital persatuan bangsa. Inilah yang disebut dengan akuntabilitas vertikal pendidikan nasional.[16]
            Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang berisi mengenai Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dan diiringi pula PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, sebagaimana disebutkan di atas. Maka penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberi kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan antara keuangan pusat dan daerah.[17] Secara prinsipil, otonomi kebijakan pendidikan mengenai desentralisasi ini adalah upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional, sehingga mampu membangun serta mengembangkan bangsa dalam persaingan dunia global. Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal dalam pembangunan nasional terutama dalam membangun keadilan dan kesejahteraan bangsa. Pembangunan dan peningkatan mutu pendidikan diharapakan akan mempunyai efektivitas, efisiensi, dan produktivitas pendidikan. Artinya, dalam rangka pembangunan nasional pendidikan harus dikembalikan pada masing-masing pemiliknya (budaya), sehingga dalam mengambil kebijakan pendidikan akan lebih implementatif terhadap budaya lokal. Sedangkan kebijakan pemerataan pendidikan diharapakan akan mampu mengakomodasi seluruh anak bangsa dalam memperoleh pendidikan. Sehingga otonomi daerah untuk kebijakan pendidikan menjadi relevan dan bermutu bagi penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
            Pemahaman otonomi daerah dapat dilihat pada dasar kebijakan publik tentang otonomi daerah, yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. otonomi merupakan produk atau desentralisasi.[18] Sedangkan menurut Dennis A. Rondinelli dan Shabbir Cheema mengemukakan bahwa desentralisasi berkembang bukan saja berkenaan dengan menurunnya efektivitas penyelenggaraan administrasi publik yang tersentralisasi, akan tetapi dikarenakan meningkatnya kompleksitas dan ketidak pastian proses pembangunan. Dikemukakan Rondinelli dan Cheema bahwa desentralisasi adalah sebagai transfer pengelolaan ke unit-unit yang lebih kecil atau berada di bawahnya. Dikemukakan sebagai berikut:
            Desentralization is....the transfer of planning, decission making, or administrative autheory from central goverment to its field organization, local administrative units, semi-autonomous and parastatal organizations, local goverments, or non-govermental organizations.[19]
            Setidaknya ada enam istilah yang perlu dijelaskan, berkenaan dengan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, delegasi, devolusi, privatisasi, dan otonomi. Rondinelli membedakan kedalam empat kategori. Desentralisasi adalah penyerahan otoritas pusat ke daerah-daerah. Dekonsentrasi adalah penyerahan tanggungjawab layanan sektor tertentu pada perwakilan pemerintah pusat di daerah. Delegasi adalah pengalihan tanggungjawab untuk membuat keputusan dan mengatur pengelolaan layanan publik kepada pemerintah daerah. Daerah lebih bersifat semi otonom. Dalam devolusi pemerintah pusat mengalihkan otoritas pembuatan keputusan dan implementasinya kepada daerah. Devolusi memberi hak penuh kepada daerah untuk memilih dan mengangkat Wali Kota atau Bupati, menyusun anggaran, dan membuat keputusan sendiri. Sedangkan privatisasi merupakan pengalihan otoritas sektoral kepada usaha-usaha swasta. Dan otonomi merupakan arah balik dari desentralisasi. Desentralisasi berangkat dari otoritas pusat yang diserahkan ke daerah; sedang otonomi berangkat dari pengakuan atas otoritas daerah.[20] Kemudian jika berbicara upaya menuju desentralisasi pendidikan, maka difokuskan pada penataan kewenangan pusat dan daerah. Daerah perlu memiliki peluang untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah. Sementara itu, pusat mengurus hal-hal yang strategis pada tatanan nasional, yaitu pengembangan kurikulum nasional, bantuan teknis, bantuan dana, monitoring, pendidikan bahasa Indonesia, pembakuan mutu, pendidikan moral dan karakter bangsa, dan pemberian kesempatan pendidikan pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung. PP No. 25/2000 telah memberikan rambu-rambu tersebut, namun pelaksanaannya sangat tergantung pada masing-masing daerah.[21]
            Model pengelolaan pendidikan nasional telah mengalami restrukturisasi dalam rangka pembangunan nasioanl. Sebagaimana dijelaskan pada penjelasan di atas, bahwa adanya UU serta Peraturan Pemerintah tentang kewenangan daerah dalam mengelola pendidikannya telah memberikan peluang pada masing-masing daerah. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan dan untuk pembangunan pendidikan unggul, kebijakan pemerintah tersebut memeberikan keluasan dalam merumuskan kebijakan pendidikan bagi setiap daerahnya. Hal tersebut sebagaimana terjelaskan dalam isi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Artinya, mengenai pengelolaan pendidikan pada masing-masing daerah sangat tergantung pada rumusan kebijakan pendidikan di masing-masing daerah. Maka, kewenangan daerah sebagai daerah otonom pengambil kebijakan pendidikan adalah salah satu bentuk dari derivasi kebijakan pemerintah (kebijakan publik) mengenai desentralisasi pendidikan.
3.      Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik (Studi Kasus Jembrana)
            Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa pembahasan mengenai kebijakan pendidikan berdasarkan hakikat pendidikan adalah dasar dan bahan konseptual yang dapat dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, yang seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan,[22] maka pendidikan sudah selayaknya mampu memecahkan persoalan-persoalan manusia dan kemanusiaan (problem solving) sehingga pendidikan memiliki karakter yang aplikatif terkadap kondisi dan lingkungan masyarakat. Maka, pendidikan tidak hanya menciptakan manusia yang memiliki intelektual tinggi, kecerdasan yang mumpuni, akan tetapi mendidik berarti membimbing tumbuhnya budi pekerti serta mengembangkan manusia berbudaya (educated and civilized human being) dan membentuk masyarakat yang beradab dan bersusila. Pendidikan juga membentuk manusia supaya mampu melihat situasi dari lingkungan dimana ia berada, secara kritis ia mampu berperan sebagai pengubah suatu kondisinya, dan tidak kondisi yang mengubah dirinya. Artinya, proses internalisasi nilai-nilai budaya dalam pendidikan mampu menjadi penggerak (move) dalam pembangunan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera. Dari sinilah dapat dijadikan sebagai landasan dalam kebijakan pendidikan, bahwa pendidikan adalah hak setiap warga (manusia) dalam proses pendewasaan dirinya. Karena itu, pemerintah sebagai pemegang wewenang kebijkan paling tidak mampu melihat dari dasar dan hakikat dari manusia itu sendiri, sebagai subyek dari pendidikan. Kemudian terkait dengan kewenangan daerah sebagai daerah otonomi pendidikan, menjadi peluang bagi setiap daerah dalam meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Dengan adanya otonomi daerah yang terwujud dalam suatu kebijakan desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah dapat merumuskan kebijakan pendidikan sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, maupun budaya setempat.
            Sebagai suatu perwujudan dari otonomi daerah serta wilayah yang mempunyai komitmen terhadap kebijakan pendidikan salah satunya adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana, mempunyai prinsip pembangunan bahwa perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi menjadi desentralisasi membawa konsekuensi logis dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan daerah. Di tengah arus globalisasi yang mempertipis batas antar negara, adanya pengaruh sosial budaya dari berbagai negara, lemahnya kemampuan dalam membiayai pendidikan dan lain sebagainya. Merupakan bagian dari tantangan bagi masyarakat Jembrana dalam mengimbangi perkembangan dan perubahan jaman, karena lemahnya kemampuan masyarakat dalam membiayai pendidikan. Dengan demikian, bidang pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan di Kabupaten Jembrana. Pemerintah di Kabupaten Jembrana menyadari bahwa investasi sumber daya manusia adalah investasi jangka panjang yang akan melanjutkan pembangunan di Kabupaten Jembrana. Kegagalan pendidikan dapat menyebabkan keterbelakangan dan keterpurukan sehingga terancam kehilangan sebuah generasi (lost generation).[23] Salah satu yang menjadi alasan mengapa kebijakan pendidikan di Jembrana menjadi layak untuk disoroti dalam meningkatkan mutu pendidikan.
            Dari permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Jembrana dengan segala keterbatasannya, maka Pemerintahnya memiliki visi “terwujudnya masyarakat Jembrana yang bahagia dan sejahtera, berkeadilan dan berbudaya yang dilandasi dengan iman dan taqwa serta didukung oleh sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas serta semangat makepung untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan”. Komitmen yang dibangun oleh masyarakat Jembrana tersebut ditopang Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jembrana yang bersentuhan langsung dengan pembangunan pendidikan, yang merupakan penjabaran dari visi Kabupaten menjadi landasan operasional dalam pembangunan pendidikan juga sebagai kebijakan pendidikan yang merupakan perwujudan dari otonomi daerah. Dalam visinya tersebut adalah “terwujudnya pendidikan yang berbudaya, merata, bermutu, efektif dan efisien serta relevan dengan kebutuhan masyarakat. Adapun kebijakan pertama yang direalisasikan adalah kebijakan mengenai pembebasan iuran wajib pada sekolah Negeri, yang sebelumnya di atur dengan keputusan Bupati No. 24 Tahun 2003. Kebijakan yang kedua adalah tentang pemberian beasiswa kepada semua tingkat (jenjang pendidikan) yang memiliki nilai Surat Tanda Kelulusan (STK) tertinggi dan berprestasi dibidang olah raga, Kebijakan tersebut tertuang pada Keputusan Bupati No. 1615 Tahun 2004. Kemudian kebijakan yang ke tiga adalah Perda No. 10/ 2006 tentang subsidi biaya pendidikan pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK Negeri di Kabupaten Jembrana. Kebijakan ini disebutkan sebagai subsidi biaya pendidikan adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan setiap bulan untuk membiayai pendidikan dengan besaran anggaran yang telah ditentukan.[24]
            Pemahaman awal dari studi kasus tersebut, bahwa terdapat beberapa asumsi atau pemahaman terhadap kebijakan pendidikan dan kebijakan publik. Yaitu, kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik, dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik. Permahaman pertama adalah salah satu turunan atau derivat dari kebijakan publik, dimana kebijakan publik di negara berkembang dipahami sebagai kebijakan pembangunan. Dengan kebijakan pendidikan menjadi kebijakan sektoral yang harus bersaing dengan sektor lain untuk mendapatkan prioritas. Pada kondisi seperti ini, kebijakan pendidikan tidak jarang mengalah terhadap kebijakan sektoral lainnya. Pemahaman kedua, kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik, yaitu ketika kebijakan pendidikan berjajar setara dengan kebijakan secara umum. Dalam bahasa operasional, kebijakan pendidikan menjadi prioritas utama atau pertama. Pada negara-negara maju, “pembangunan” tidak lagi menjadi isu, kebijakan pendidikan menjadi kebijakan publik.[25] Persoalan ini perlu dianalisis dalam implementasi kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Karena hal ini mempunyai kaitan dengan sektor-sektor publik yang dikelola secara serius, serta besar tingkat urgensi bagi pemerintah di dalam menetapkan prioritas pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa kasus kebijakan pendidikan di Kabupaten Jembrana tersebut termasuk pada asumsi kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik.
C.    Kesimpulan
            Kebijakan publik merupakan suatu proses yang amat kompleks, bersifat analitis dan bahkan bersifat politis karena dalam menerapkan kebijakan-kebijakan publik tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan. Namun, seharusnya kebijakan publik hanya memiliki kepentingan atau tujuan umum, yaitu pada semua masyarakat secara umum (publik). Oleh karena itu, kebijakan pendidikan akan sangat tergantung pada pemegang kebijakan yang berwenang. Dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan mempunyai pengaruh pada struktur yang ada dalam sistem pemerintahan. Bahkan tidak jarang seringkali menimbulkan pertanyaan maupun konflik dalam mengimplementasikan kebijakan karena adanya kepentingan pada masing-masing pemegang wewenang kebijakan. Namun, dapat dipahami bahwa dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, akan selalu menimbulkan akibat tehadap kehidupan bahkan kelangsungan hidup bangsa.
            Kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik, karena memposisikan pendidikan pada sektor publik atau sarana publik yang dikelola secara serius oleh pemerintah dalam rangka pembangunan nasional. Kebijakan publik merupakan suatu tindakan legal yang dibuat oleh orang atau sekelompok orang yang memiliki otoritas dan legitimasi dalam sistem pemerintahan. Setiap daerah memiliki wewenang dalam mengelola dan mengembangkan sumber daya alam serta sumber daya manusianya dalam rangka pembangunan Nasional melalui upaya peningkatan mutu pendidikan.
1.      Kebijakan pendidikan berdasarkan hakikat pendidikan
            Kebijakan adalah suatu keputusan yang tertuang dalam suatu dokumen Undang-Undang ataupun dalam suatu Peraturan Pemerintah. Adapun dalam merumuskan kebijakan pendidikan harus berdasarkan hakikat dari pendidikan, yang mengacu pada aspek penyadaran, pencerahan, pemberdayaan, dan perubahan prilaku serta memiliki sifat demokratis, egaliter, serta berkeadilan sehingga mampu dirasakan oleh semua kalangan masyarakat secara umum (publik). Karena itu dalam suatu rumusan kebijakan pendidikan tidak dimanipulasi oleh kepentingan politik tertentu, hal tersebut sebagaimana penjelasan dalam UUD 1945 Bab III Pasal 31 Ayat 1 dan 2 tentang Pendidikan dan Kebudayaan memberikan penjelasan bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” dan “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Dari Undang-Undang tersebut sudah terlihat bahwa penyusunan kebijakan pendidikan tidak terlepas dari esensi manusia, yakni pendidikan tidak bisa dipisahkan dari manusia, dan merupakan kebijakan yang berupaya untuk meningkatkan taraf hidup dan kehidupan masyarakat secara umum (publik).
2.      Kewenangan daerah sebagai daerah otonom kebijakan pendidikan
            Sebagaimana penjelasan mengenai kewengan daerah sebagai daerah otonom pengambil kebijakan pendidikan, tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Alasan dan peluang yang besar bagi masing-masing daerah dalam meningkatkan mutu dan taraf hidup masyarakatnya. Pemerintah daerah memiliki wewenang dalam mengelola dan mengatur daerahnya sehingga kebijakan yang dibuat sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, maupun budaya daerah masing-masing. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Undang-undang disini sebagai respon terhadap pemerataan pendidikan yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31.
3.      Kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik (studi kasus Jembrana)
            Kebijakan publik adalah seperangkat tindakan ataupun keputusan pemerintah yang didesain menurut aturan dan ditujuan untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapakan oleh masyarakat secara umum (publik). Karena itu kebijakan publik adalah kewenangan pemerintah, yang merupakan representasi dari masyarakat secara umum. Salah satu ruang publik atau fasilitas publik salah satunya adalah pendidikan yang memiliki tujuan untuk memberdayakan. Sebagai wujud dari kebijakan pendidikan mengenai otonomi daerah adalah desentralisasi pendidikan, yang merupakan salah satu dari gambaran dari kebijakan publik. Kebijakan Pendidikan sebagai wujud dari derivasi kebijakan otonomi daerah mengenai desentralisasi pendidikan tertuang dalam suatu Peraturan Pemerintah Daerah di Kabupaten Jembrana misalnya. Adapun kebijakan publik pada wilayah pendidikan adalah sebagai berikut;
a.       Kebijakan mengenai pembebasan iuran wajib pada sekolah Negeri, dalam Keputusan Bupati No. 24 Tahun 2003.
b.      Kebijakan mengenai pemberian beasiswa kepada semua tingkat (jenjang pendidikan) yang memiliki nilai Surat Tanda Kelulusan (STK) tertinggi dan berprestasi dibidang olah raga, Kebijakan tersebut tertuang pada Keputusan Bupati No. 1615 Tahun 2004.
c.       Perda No. 10/ 2006 tentang subsidi biaya pendidikan pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK Negeri di Kabupaten Jembrana.
            Kebijakan publik merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat. Kebijakan pendidikan adalah salah satu turunan dari tujuan pendidikan yang berupa suatu keputusan yang berdasarkan pada esensi manusia dan dalam konteks situasi maupun kondisi sosial, ekonomi, maupun budaya tertentu.
D.    Daftar Pustaka
Ø  Aminuddin Bakry. Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, (Jurnal Medtek, Vol 2, No. 1. 2010.
Ø  Benni Setiawan. Agenda Pendidikan Nasional (analisis pendidikan nasional). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2008.
Ø  Fasli Jalal dan Dedi Supriadi. Reformasi Pendidikan Dalam konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicipta Karya Nusa. 2001.
Ø  Haidar Putra Daulay. Pendidikan Islam (dalam sistem pendidikan Nasional Indonesia). Jakarta: Kencana. 2004.
Ø  H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho. Kebijakan Pendidikan (pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
Ø  H.A.R Tilaar. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. 2006
Ø  __________. Paradigma Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. 2004
Ø  __________. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002.
Ø  Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI. 2011.
Ø  Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan Indonesia Belajar Dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2009.
Ø  Nurani Soyomukti. Teori-teori Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2010.
Ø  Riant Nugroho. Kebijakan Pendidikan Yang Unggul (kasus pembangunan pendidikan di kabupaten jembrana 2000-2006). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.
Ø  Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) dan Penjelasannya. Yogyakarta: Media Wacana. 2005.
Ø  Usman Abu Bakar dan Surohim. Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam. Yogyakarta: Safiria Insania Press. 2005.



[1] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan (pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik), Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 365.
[2] Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Edisi Revisi, Cet. X (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2011), hal. 175.
[3] H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Cet. III, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 39.
[4] Ibid., hal. 50.
[5] Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan Dalam konteks Otonomi Daerah, Cet. I, (Yogyakarta: Adicipta Karya Nusa, 2001), hal. 72.
[6] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 18.
[7] Aminuddin Bakry, Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, (Jurnal Medtek, Vol 2, No. 1. 2010)
[8] Ibid.
[9] Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) dan Penjelasannya, (Yogyakarta: Media Wacana, 2005), hal. 3
[10] Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hal. 27.
[11] Benni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional (analisis pendidikan nasional), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hal 77.
[12] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia Belajar Dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 15.
[13] Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hal. 1.
[14] Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan..., hal. 6.
[15] H.A.R. Tilaar, Paradigma Pendidikan Nasional, Cet. II, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 85.
[16] H.A.R Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, Cet. I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 26.
[17] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam (dalam sistem pendidikan Nasional Indonesia), Cet. I, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 60.
[18] Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan Yang Unggul (kasus pembangunan pendidikan di Kabupaten Jembrana 2000-2006), Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 23.
[19] Ibid., 25.
[20] Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan..., hal. 75.
[21] Ibid., hal. 99.
[22] Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda..., hal. 119.
[23] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 367.
[24] Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 45.
[25] H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hal. 364.